Tentang Manusia Manusia Target Saya and
Tentang “Manusia Manusia
Target”
Saya & IPT 1965
Aboeprijadi Santoso (1947)
Jurnalis, Redaktur Tim Media International People’s
Tribunal 1965
Martono, bapak lebih separo umur yang krempeng
itu, berdiri memandang hadirin. Dia baru saja
menyampaikan kesaksiannya. Lalu mondar mandir
di tengah kerumunan di Nieuwe Kerk, gedung gereja
yang direnovasi tempat IPT (International People’s
Tribunal), Pengadilan Rakyat Internasional tentang
Tragedi 1965, bersidang di Den Haag, Belanda. Dia
merasa bahagia setelah mengungkap kesaksiannya
di muka publik. Dengan penampilannya yang khas,
menutup kepala dengan muts (kupluk hangat)
merah tua, dia menjawab pertanyaanpertanyaan
Jaksa dengan lancar. Suaranya enteng, kadang
melengking, tapi gerak tubuhnya menunjukkan
keseriusannya. Tanpa drama teatrikal.
“Ya, ya! .. Mbuang mayatmayat itu kerjaan saya,
betul!” tegasnya ketika saya dekati. Kisah bapak
tukang listrik asal Solo ini amat ironis, nyaris
surealis. Dia mengaku, berkat dianiaya berat
namun selamat, dia mendapat tugas khusus –
membuang mayat – yang membuat dirinya,
akhirnya, mampu berkeluarga dan hidup bahagia.
Kebal (1)
Suatu hari di pertengahan 1966 Martono disergap
tiga pria bertopeng ala ninja bersama dua anggota
RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat).
“Dengan tangan dan kaki terikat, saya diseret 150
meter ke jalan raya, dibawa ke Karang Menjangan,
markas RPKAD di Sukohardjo, desa Kartasura, 13
km dari Solo.” Semalaman disiksa dan diperiksa,
ditanya nama, partaimu apa, yang kamu bunuh
berapa. “Karena tidak ketemu bukti, (saya) dilempar
ke plafond, kepala ke eternit (atap) sampai tiga kali.”
Rupanya tentara berdalih PKI (Partai Komunis
Indonesia) telah bergerak dan membunuh orang.
Martono kemudian dipindahkan ke Balai Kota,
kompleks Kasunanan Solo. “Disitu, dengan celana
dalam doang, setiap pagi dipertontonkan kepada
masyarakat. Semua tahanan yang dianggap penting,
disiksa. Ada AURI (Angkatan Udara), polisi dan CPM
(Corps Polisi Militer). Itu Korem 174. Disitu 12
meninggal.” Lalu dipindah ke Santono Mulyo.
“Sekitar 2000 orang disitu. Selama setahun disitu,
dibiarkan. Tidak diperiksa. Ada yang dibon,
istilahnya. Itu pulang tinggal nama. Tiap malam ada
kematian. Kodenya: ‘Bawa perlengkapan!’. Yang
perintahkan Peperda, kantor gabungan RPKAD.”
Pertengahan 1967. “Setelah setahun, dipanggil
Korem 174 untuk dipekerjakan sesuai keahlian
saya. Masih berstatus tahanan, tapi tak ada bukti
tertulis. Semua lisan. Karena konduit di Korem
dianggap baik, mau dipekerjakan di bengkel listrik.
Eh, .. ternyata tidak. Malam itu di CPM ada
sengketa. Saya, satusatunya sipil, jadi tahanan,
dianggap otak penembakan. Disetrum di jempol
kaki, tapi saya kebal. Akhirnya dibebaskan, tanpa
surat. Dengan syarat bertugas ‘membuat banteng
banteng’. Itu bahasa Solo, (artinya) tiap ada yang
dibantai, malamnya saya yang buang. Karena kalau
malam kan nggak ada yang lihat.” Ketika mayat
makin bertumpuk dan harus disingkirkan, Martono
menjadi solusinya. Dari malam ke malam menjalani
tugas itu, dia jadi kebal.
Jaksa: “Apa Anda mengalami trauma?”
Martono (lantang): “Sampai detik ini pun saya tidak
trauma karena udah lihat mayatmayat, udah
dipukuli. Saya disini ini untuk mengungkap
kebenaran.”
Jaksa: “Bagaimana perasaan Anda setelah hidup
tersiksa?”
Martono: “Di satu sisi itu siksaan, tapi ada
hikmahnya. Setelah keluar tahanan, saya bisa
berrumah, beranak, bercucu, bahkan bercicit. Saya
bisa menghidupi keluarga saya dengan bermayat.”
Mayat dan bangkai
Walhasil, mayatmayat itu membebaskan Martono
dari trauma panjang, namun juga menjadi wujud
penistaan terhadap manusiamanusia yang harus
dihabisi. Dengan truknya, dia mengangkut entah
berapa puluh mayat setiap malam. Di tangan dia,
mayatmayat itu ‘turun pangkat’ jadi bangkai.
Tanpa doa dan hormat layaknya bagi manusia yang
tutup usia, dia menyeretnya ke tepi sungai.
Baginya, doa dan hormat bukan tak penting, tapi
mustahil. Penghinaan massal itu menjadi rutinitas
yang dipaksakan pada dirinya, karena dia sendiri
adalah warga, bagian dari masyarakat, yang
dicampakkan, tak dihormati lagi, oleh negara
penguasa negeri.
Martono yang terhina, harus melakukan
penghinaan kepada sesamanya. Itulah
pemandangan surealis, sekaligus pekerjaan
keseharian baginya, di tahuntahun celaka itu.
“Wah, paling capek itu Bung, itu kalau wik’en (akhir
pekan). Pekerjaan bertumpuk. Mondar mandir,
buang mayat ke sungai!” Dia tak peduli lagi siapa
dan mengapa mayatmayat itu dia seret dan buang.
Dengan kata lain, Martono – seperti banyak korban
1965 adalah korban berlipatganda. Dia jadi
korban tanpa mengetahui apa kesalahannya seraya
harus menistakan kehormatan dirinya mau pun
sesamanya, sebagai bagian dari kerjapaksa demi
menyambung hidupnya. Dia tahu apa sanksinya
bila dia membangkang perintah sang komandan.
Kisah Martono, sebagai bagian dari tribunal IPT,
bagi saya, menjadi mata rantai terbaru dari
rangkaian panjang sejumlah kenyataan,
pengalaman dan pengetahuan yang menyertai
kesadaran saya tentang Peristiwa Besar 1965.
Semua itu menjadi bagian dari eye opening dan
perubahan diskursus terutama sejak awal 1970an.
Lebaran 1965
Pertengahan 1947, saat tentara Belanda masuk
Jawa Tengah, saya terlahir dari keluarga yang
tengah mengungsi ke Blitar, Jawa Timur.
Delapanbelas tahun kemudian, Desember 1965,
saya menyaksikan – kali ini secara sadar agresi
yang lain: agresi manusia terhadap manusia,
tepatnya: agresi negara terhadap sesama warga.
Di tahun pembantaian 1965 itu, Lebaran jatuh pada
bulan Desember. Seperti lazimnya, kami sekeluarga
berlebaran di Malang. Apa yang saya saksikan
kemudian melekat di benak. 2) Ketika pulang,
selepas Yogya, tibatiba semua kendaraan berhenti.
Orang hilir mudik, tapi semua diam atau berbisik
bisik. Tak ada tentara. Yang ada hanya orang saling
pandang. Aneh, tak ada riang selepas Lebaran. Luar
biasa. Kami – kala itu saya masih di bangku kelas
dua SMA – terheranheran, ada apa gerangan?
Maka kami pun menuju tepi jembatan tempat
banyak orang berjejer, memandang ke bawah, ke
sungai. Sejumlah mayat terkapar di tepi dan tengah
sungai yang dangkal. Terhenyak sesaat, saya tak
menghitung. Yang pasti ada puluhan. Orang
menonton, diam, lalu pergi. Pertama kali saya
menyaksikan puluhan mayat manusia jadi tontonan
publik dan dibiarkan. Kami pun melanjutkan
perjalanan pulang ke Bandung.
Tak ada yang istimewa dari kesaksian itu kecuali
mimik dan raut wajah orang menjadi bahasa yang
bercerita. Dalam kilasbalik ini, kita harus mencatat
bahwa sejak pertengahan Oktober 1965, harian
Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata memanasi
emosi masyarakat dengan membanjiri media dengan
kabar dan cerita kekejaman dan dekadensi Gerwani
di Lubang Buaya, yang belakangan ternyata dusta
belaka. Tetapi di pertengahan 1960an itu banyak
orang tak menyadari skala dan betapa mendalam
yang terjadi di masyarakat desa. Bahasa mimik
wajah tadi menunjukkan bahwa orang lokal
menyadari benar apa yang terjadi, bahwa mayat
mayat terkapar di sungai itu hanyalah sebuah
mikrokosmos dari malapetaka besar: sebuah porsi
lokal dari gambar besar yang menjelma menjadi
warna zaman. Meski diam, takut dan berbisikbisik,
khalayak desa menyadari sebuah tragedi sedang
melanda bangsa ini – dan sebuah aparat negara
berada dibaliknya.
Alih zaman
Setiba di Bandung, ayah ditahan beberapa hari –
hanya karena bertanyatanya tentang apa yang
disaksikannya. Lebaran 1965 menjadi tonggak
dalam perjalanan kesadaran saya. Sementara
kehebatan propaganda Orde Baru tak membuat
orang mudah beralih pikiran. Sejak Oktober 1965
rezim menuding PKI sebagai biang kerok dan pantas
dihajar.
Dua dasawarsa kemudian, 197080an, ditandai
suasana zaman bergolak. Isuisu Dunia Ketiga,
imperialisme dan kediktaturan militer marak di
panggung Eropa. Awal 1967: mengikuti keluarga,
saya pindah ke Belanda. 1968: semasa mahasiswa
di Leiden, setiap hari bersepeda melewati sebuah
jembatangantung yang ditandai grafiti Soeharto
Moordenaar (Soeharto Pembunuh). Di Amsterdam,
Amnesty International tampil dengan tajuk The
Archipelago of Prisons (Kepulauan Penjara). Guru
besar sejarah dan sosiologi Asia W. F. Wertheim
yang memimpin Komittee Indonesië dan majalah
Feiten en Meningen (Fakta dan Pendapat),
memelopori kajian kritis dan kegiatan penyadaran
masyarakat akan isu kediktaturan dan kekejaman
di Indonesia. Di Paris, semacam Mekkah gerakan
mahasiswa 1970an, filsuf JeanPaul Sartre
menyulut kebangkitan cendekia dan perhatian
dunia pada Dunia Ketiga. Di Stockholm, filsuf
Bertrand Russel menggugah nurani dunia melalui
Vietnam War Crime Tribunal (1971) dengan
mengingatkan bahwa di Indonesia dalam enam
bulan jatuh korban sebesar Perang Vietnam dalam
beberapa dekade (19541975). Dengan latar Lebaran
1965 tadi, dinamika Eropa memacu perubahan
pikiran banyak orang, termasuk saya.
Betapa kontras zaman memuncak. Di Asia dan
Amerika Latin rezimrezim baru menemukan
kediktaturan militer dan pembantaian sebagai jalan
pintas untuk memenangi Perang Dingin.
Sebaliknya, di Eropa tuntutan Zeitgeist (warna
zaman) justru menyoal solusisolusi itu. Pada titik
itulah orang menohok hipokrisi dunia: ada
perhatian besar terhadap kekejaman rezim komunis
ala Khmer Merah di Kamboja, namun bungkam
tentang pembantaian manusia di Indonesia 1965
1966.
Di kalangan mahasiswa Indonesia (PPI,
Perhimpunan Pelajar Indonesia di Nederland),
diskusi seputar Peristiwa Besar 1965 absen.
Kebanyakan ogah dan takut. Hanya di Leiden Jusfiq
Hadjar, Onghokham dan di Amsterdam Liem Soei
Liong dan beberapa teman mengusik masa kelam
itu. Jusfiq seorang anarkhis yang bersikap moralis.
Liem, seorang pegiat politik kongkrit. Keduanya
pelarian. Ong, seorang akademik dan liberal,
sejarawan yang shock berat menyaksikan gegap
gempita kekerasan 1965. Perdebatan ramai, tak
hanya seputar ‘1965’, tapi juga soal menyikapi
secara politikmoral terhadap negara dibawah rezim
semacam Orde Baru. Bagi saya, dasawarsa 1970an
bermakna penting dalam mengembangkan pikiran
dan menata sikap.
Sepanjang 198090an kegiatan lebih terpusat di
kalangan aktivis lokal (Kommittee Indonesië di
Amsterdam, Tapol di London, beberapa teman di
Paris) dan juga di kalangan eksil 1965, mereka yang
terhalang pulang, di seantero Eropa. Juga di PPI
Amsterdam dan bersama Th. Sumartana (alm) dan
temanteman lain di penerbitan ‘Berita Indonesia’,
‘Dialog Nusantara’ dan ‘Tanah Air’.
Kejahatan beranakpinak
Tahun 1970802000an, narasi Dunia Ketiga pudar
dari wacana dunia. Perihal Indonesia, temanya
beralih ke apa yang dapat kita sebut ‘kejahatan
beranakpinak’: 1965, Timor Timur, Tanjung Priok,
Talangsari, Aceh, Papua, Mei 1998 dan banyak yang
lain. Beberapa kasus dan dampaknya saya saksikan
dalam liputanliputan untuk Radio Nederland
Siaran Indonesia.
‘1965’ menjadi simbol dan induk: simbol kejahatan
kemanusiaan yang menjadi trauma bangsa. Orde
Baru mewariskan kuburan massal dan metode
aniaya. Di Aceh, awal Desember 1999, seorang ibu
di desa Jim Jim, Pidie, bercerita bagaimana tentara
menghukum perempuan tersangka GAM (Gerakan
Aceh Merdeka) dengan menyuruhnya lari telanjang
memutari sebuah lapangan volley menjadi tontonan
‘hiburan’ – para serdadu. Kembali ke Amsterdam
saya terkejut ketika mewawancarai Ibu Sulami
(alm). Mantan tokoh Gerwani ini bercerita persis
sama tentang cara menghukum tahanan
perempuan: lari telanjang mengelilingi sebuah
kampung di Solo. Lapangan volley di Aceh 1990an
dan kampung di Solo 1965 itu hanya saksi bisu dari
metode dan wacana yang sama.
Bandingkan tontonan itu dengan ‘pameran’ kepala
manusia di Kediri di akhir 1965 3]atau foto kepala
gerilyawan Fretilin yang dipamerkan oleh sejumlah
prajurit Indonesia di hutan Matebian, Timor Timur,
akhir 1970an. Rupanya ada kecenderungan
manusia berjaya untuk mempertontonkan
kejahatan dan kekerasan. Filsuf Michael Foucault
menyebutnya sebagai ‘kegagalan negara dan
peradaban’. 4)
Kesadaran dan kesaksian tentang ini membuat
orang – tidak hanya para korban dan saksi di Tim
Tim dan Aceh, tapi juga saya sendiri cepat atau
lambat menyadari geneaologi kekerasan negara
sejak 1965.
Jadi, 1965 adalah tahun yang berkepanjangan.
Selaku jurnalis, siapa pun harus tetap
memberitakan peristiwa dari berbagai sisi. Pada
saat yang sama empati dan posisi moralnya dapat
tertuang dalam kolomkolom opini. Orde Baru
memaksa saya menulis di suratkabar berbahasa
asing, tapi ini juga semacam berkah. Di lain pihak,
‘1965’ berekor panjang berkat hegemoni politiknya,
lengkap dengan machoisme dan jagoismenya,
membuat orang, juga aktivis, perlu membebaskan
diri dari dampak ideologis – developmentalis di
masa pascaotoriterisme. Disitulah Orde Baru
merekayasa masa lampau yang remangremang –
seperti Peristiwa Madiun 1948 – menjadi ‘Dosa
Madiun’ untuk membenarkan pembunuhan massal
1965. Seorang peneliti akademis menyebut motif ini
‘malicious fantasy’ (khayalan jahat). 5)
Tapi ‘1965’ juga bagaikan matahari tenggelam yang
perlahan terbit kembali. Mirip Spanyol pasca
kediktaturan Franco di paruh awal 2000an,
Indonesia menyaksikan upayaupaya awal untuk
memproduksi memori masa kelamnya untuk
mencari kebenaran sejarah melalui publikasi, film,
media, diskusi, buku, penggalian kuburan massal
dan reedukasi seputar isuisu yang menjadi lubang
hitam dari masa silam (196566 untuk Indonesia,
193033 untuk Spanyol). 6)
Perubahan zaman sejak 1970an menuju 2000an
telah membawa pengetahuan dan kesadaran yang
membuka perspektif baru. Bagi mahasiswa
mahasiswa di masa itu, dinamika itu menjadi
sumber inspirasi dan kegiatan, tapi juga refleksi.
Benar, Genosida 1965tanpacomingtoterms (tak
terselesaikan karena tanpa mencari kebenaran dan
rehabilitasi korban) itu membuat kita, sebagai anak
bangsa, malu. Namun, dengan kejahatan yang
beranakpinak itu, malu dan hutang moral
bertahuntahun itu berkembang menjadi kelugasan
akal sehat yang mendorong banyak teman, juga
saya, menemukan sebuah upaya bersama:
membantu Tribunal IPT.
Momentum historis
Jika Jerman – berkat tekanan berat para pemenang
Perang Dunia II relatif cepat, dan Spanyol
memerlukan tujuh dasawarsa, untuk bangun dan
berdamai dengan halaman hitamnya, bagaimana
Indonesia dengan ‘1965’? Dua tema mengemuka
disini: unwilling (tidak berniat) dan unable (tidak
mampu). Setengah abad berlalu, masyarakat
menyadari bahwa negara dan pemerintah
sesungguhnya tidak berkeinginan dan tidak berdaya
menyelesaikan persoalan besar bangsanya sendiri
untuk mencari keadilan dan mengatasi warisan
masa lalunya. Kedua kesimpulan itu, dalam
pertemuan informal dengan sutradara The Act of
Killing, Joshua Oppenheimer, pada 23 Maret 2013
di Den Haag, mencetuskan gagasan bersama untuk
– atas nama korban dan komuniti aktivis
internasional menggelar suatu tribunal
internasional yang kemudian kita kenal sebagai IPT.
7)
Syahdan, generasi baru datang dan bertanya, akan
datang dan akan terus bertanya ‘apa yang terjadi’,
‘mengapa dan bagaimana bangsa ini sanggup
melakukan pembunuhan massal dan sejumlah
kejahatan lain terhadap sesama mereka sendiri’,
dan ‘bagaimana mungkin kita selama ini begitu
lama mendiamkannya’. 8)
Untuk itu, Martono, para korban dan penyintas
Genosida 1965 dan para peneliti akademis yang
bersaksi dalam Tribunal IPT di Den Haag, telah
menyumbangkan porsinya masingmasing yang
amat berharga.
Dengan pengalaman, nurani dan pengetahuan yang
ada, ‘1965’ telah menjadi pembelajaran penting bagi
kita semua.
Mencari keadilan dan upaya mengatasi masa
lampau merupakan suatu proses panjang. Terlebih,
oleh karena dusta dan kejahatan yang terjadi
sebenarnya merupakan suatu politisida – sebuah
upaya dan manifestasi dari niat dan tekad (mens
rea) untuk menghabisi hak hak mereka yang
menjadi korban dan sasaran kejahatan. Ini
mengingatkan saya pada katakata seorang korban
1965 yang saya temui di Brebes, Januari 2016.
“Kami ini manusiamanusia target, Bung! Anakanak
dan cucu saya yang belum lahir sekarang pun sudah
terhukum!”
Katakata ini dasyhat. Dia datang dari seorang
korban, warga awam, yang kebetulan anak seorang
kader PKI. Ungkapannya amat bermakna bagi
kemanusiaan, dan negara dan sebagian bangsa,
yang masih mengabaikan dusta dan kejahatan yang
terjadi.
Disitu, IPT merupakan sumbangan suatu
momentum historis yang semoga dapat ikut
menggugah peradaban bangsa ini dan dunia.
Catatan
(1) Kisah Martono saya ambil dari wawancara, dan
sebagian besar dari kesaksiannya
https://www.youtube.com/watch?v=4Z5hI21rcw
13. Nov. 2015, Martono 49’57” – 1.04’30”
2) Bagian ini saya ambil bebas dari tulisan saya:
Aboeprijadi Santoso, 1965 – Tahun Matahari
Tenggelam: Sebuah Refleksi, 16 Sept. 2015,
http://indoprogress.com/2015/09/1965tahun
mataharitenggelamsebuahrefleksi/
3) Pipit Rochijat, Am I PKI or NonPKI?, Indonesia,
Vol. 40, Okt. 1985, hal. 3756.
4) Aboeprijadi Santoso, The ‘1965’ killers – What’s
gone ‘wrong’ with Indonesia? (2013)
https://www.academia.edu/3262094/The_1965_kill
ers_What_s_gone_wrong_with_Indonesia_2013_
5) Robert Cribb, “Modes of Denial: Indonesia and
genocide in comparative perspective” at
International Conference, ‘“1965” Today: Living with
the Indonesian massacres,’ Amsterdam, 2 October
2015. Quoted in IPT Final Report, p.77 ;
http://www.tribunal1965.org/finalreportofthe
ipt1965/
6) Aboeprijadi Santoso, A Spanish lesson for
Indonesia’s 1965,
http//asiapacific.anu.edu.au/newmandala/2014/1
2/08/aspanishlessonforindonesias1965/ ;
https://www.academia.edu/9675613/A_Spanish_le
sson_for_Indonesia_s_1965_Dec._2014_
7) Selengkapnya disini: Aboeprijadi Santoso, When
Genocide Turns Public Discourse, The 1965 People
Tribunal and Its Final Conclusion. (Akan terbit)
8) Salahsatu contoh menarik adalah kumpulan
tulisan dan rekaman suara generasi muda,
semacam egodocuments generasi baru tentang
Peristiwa Besar 1965 dan dampaknya:
https://medium.com/ingat65
Sumber:
Dari Beranda Tribunal, Bunga Rampai Relawan,
Friends of International People’s Tribunal,
Bandung, Ultimus, 2017, hal. 124133
Target”
Saya & IPT 1965
Aboeprijadi Santoso (1947)
Jurnalis, Redaktur Tim Media International People’s
Tribunal 1965
Martono, bapak lebih separo umur yang krempeng
itu, berdiri memandang hadirin. Dia baru saja
menyampaikan kesaksiannya. Lalu mondar mandir
di tengah kerumunan di Nieuwe Kerk, gedung gereja
yang direnovasi tempat IPT (International People’s
Tribunal), Pengadilan Rakyat Internasional tentang
Tragedi 1965, bersidang di Den Haag, Belanda. Dia
merasa bahagia setelah mengungkap kesaksiannya
di muka publik. Dengan penampilannya yang khas,
menutup kepala dengan muts (kupluk hangat)
merah tua, dia menjawab pertanyaanpertanyaan
Jaksa dengan lancar. Suaranya enteng, kadang
melengking, tapi gerak tubuhnya menunjukkan
keseriusannya. Tanpa drama teatrikal.
“Ya, ya! .. Mbuang mayatmayat itu kerjaan saya,
betul!” tegasnya ketika saya dekati. Kisah bapak
tukang listrik asal Solo ini amat ironis, nyaris
surealis. Dia mengaku, berkat dianiaya berat
namun selamat, dia mendapat tugas khusus –
membuang mayat – yang membuat dirinya,
akhirnya, mampu berkeluarga dan hidup bahagia.
Kebal (1)
Suatu hari di pertengahan 1966 Martono disergap
tiga pria bertopeng ala ninja bersama dua anggota
RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat).
“Dengan tangan dan kaki terikat, saya diseret 150
meter ke jalan raya, dibawa ke Karang Menjangan,
markas RPKAD di Sukohardjo, desa Kartasura, 13
km dari Solo.” Semalaman disiksa dan diperiksa,
ditanya nama, partaimu apa, yang kamu bunuh
berapa. “Karena tidak ketemu bukti, (saya) dilempar
ke plafond, kepala ke eternit (atap) sampai tiga kali.”
Rupanya tentara berdalih PKI (Partai Komunis
Indonesia) telah bergerak dan membunuh orang.
Martono kemudian dipindahkan ke Balai Kota,
kompleks Kasunanan Solo. “Disitu, dengan celana
dalam doang, setiap pagi dipertontonkan kepada
masyarakat. Semua tahanan yang dianggap penting,
disiksa. Ada AURI (Angkatan Udara), polisi dan CPM
(Corps Polisi Militer). Itu Korem 174. Disitu 12
meninggal.” Lalu dipindah ke Santono Mulyo.
“Sekitar 2000 orang disitu. Selama setahun disitu,
dibiarkan. Tidak diperiksa. Ada yang dibon,
istilahnya. Itu pulang tinggal nama. Tiap malam ada
kematian. Kodenya: ‘Bawa perlengkapan!’. Yang
perintahkan Peperda, kantor gabungan RPKAD.”
Pertengahan 1967. “Setelah setahun, dipanggil
Korem 174 untuk dipekerjakan sesuai keahlian
saya. Masih berstatus tahanan, tapi tak ada bukti
tertulis. Semua lisan. Karena konduit di Korem
dianggap baik, mau dipekerjakan di bengkel listrik.
Eh, .. ternyata tidak. Malam itu di CPM ada
sengketa. Saya, satusatunya sipil, jadi tahanan,
dianggap otak penembakan. Disetrum di jempol
kaki, tapi saya kebal. Akhirnya dibebaskan, tanpa
surat. Dengan syarat bertugas ‘membuat banteng
banteng’. Itu bahasa Solo, (artinya) tiap ada yang
dibantai, malamnya saya yang buang. Karena kalau
malam kan nggak ada yang lihat.” Ketika mayat
makin bertumpuk dan harus disingkirkan, Martono
menjadi solusinya. Dari malam ke malam menjalani
tugas itu, dia jadi kebal.
Jaksa: “Apa Anda mengalami trauma?”
Martono (lantang): “Sampai detik ini pun saya tidak
trauma karena udah lihat mayatmayat, udah
dipukuli. Saya disini ini untuk mengungkap
kebenaran.”
Jaksa: “Bagaimana perasaan Anda setelah hidup
tersiksa?”
Martono: “Di satu sisi itu siksaan, tapi ada
hikmahnya. Setelah keluar tahanan, saya bisa
berrumah, beranak, bercucu, bahkan bercicit. Saya
bisa menghidupi keluarga saya dengan bermayat.”
Mayat dan bangkai
Walhasil, mayatmayat itu membebaskan Martono
dari trauma panjang, namun juga menjadi wujud
penistaan terhadap manusiamanusia yang harus
dihabisi. Dengan truknya, dia mengangkut entah
berapa puluh mayat setiap malam. Di tangan dia,
mayatmayat itu ‘turun pangkat’ jadi bangkai.
Tanpa doa dan hormat layaknya bagi manusia yang
tutup usia, dia menyeretnya ke tepi sungai.
Baginya, doa dan hormat bukan tak penting, tapi
mustahil. Penghinaan massal itu menjadi rutinitas
yang dipaksakan pada dirinya, karena dia sendiri
adalah warga, bagian dari masyarakat, yang
dicampakkan, tak dihormati lagi, oleh negara
penguasa negeri.
Martono yang terhina, harus melakukan
penghinaan kepada sesamanya. Itulah
pemandangan surealis, sekaligus pekerjaan
keseharian baginya, di tahuntahun celaka itu.
“Wah, paling capek itu Bung, itu kalau wik’en (akhir
pekan). Pekerjaan bertumpuk. Mondar mandir,
buang mayat ke sungai!” Dia tak peduli lagi siapa
dan mengapa mayatmayat itu dia seret dan buang.
Dengan kata lain, Martono – seperti banyak korban
1965 adalah korban berlipatganda. Dia jadi
korban tanpa mengetahui apa kesalahannya seraya
harus menistakan kehormatan dirinya mau pun
sesamanya, sebagai bagian dari kerjapaksa demi
menyambung hidupnya. Dia tahu apa sanksinya
bila dia membangkang perintah sang komandan.
Kisah Martono, sebagai bagian dari tribunal IPT,
bagi saya, menjadi mata rantai terbaru dari
rangkaian panjang sejumlah kenyataan,
pengalaman dan pengetahuan yang menyertai
kesadaran saya tentang Peristiwa Besar 1965.
Semua itu menjadi bagian dari eye opening dan
perubahan diskursus terutama sejak awal 1970an.
Lebaran 1965
Pertengahan 1947, saat tentara Belanda masuk
Jawa Tengah, saya terlahir dari keluarga yang
tengah mengungsi ke Blitar, Jawa Timur.
Delapanbelas tahun kemudian, Desember 1965,
saya menyaksikan – kali ini secara sadar agresi
yang lain: agresi manusia terhadap manusia,
tepatnya: agresi negara terhadap sesama warga.
Di tahun pembantaian 1965 itu, Lebaran jatuh pada
bulan Desember. Seperti lazimnya, kami sekeluarga
berlebaran di Malang. Apa yang saya saksikan
kemudian melekat di benak. 2) Ketika pulang,
selepas Yogya, tibatiba semua kendaraan berhenti.
Orang hilir mudik, tapi semua diam atau berbisik
bisik. Tak ada tentara. Yang ada hanya orang saling
pandang. Aneh, tak ada riang selepas Lebaran. Luar
biasa. Kami – kala itu saya masih di bangku kelas
dua SMA – terheranheran, ada apa gerangan?
Maka kami pun menuju tepi jembatan tempat
banyak orang berjejer, memandang ke bawah, ke
sungai. Sejumlah mayat terkapar di tepi dan tengah
sungai yang dangkal. Terhenyak sesaat, saya tak
menghitung. Yang pasti ada puluhan. Orang
menonton, diam, lalu pergi. Pertama kali saya
menyaksikan puluhan mayat manusia jadi tontonan
publik dan dibiarkan. Kami pun melanjutkan
perjalanan pulang ke Bandung.
Tak ada yang istimewa dari kesaksian itu kecuali
mimik dan raut wajah orang menjadi bahasa yang
bercerita. Dalam kilasbalik ini, kita harus mencatat
bahwa sejak pertengahan Oktober 1965, harian
Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata memanasi
emosi masyarakat dengan membanjiri media dengan
kabar dan cerita kekejaman dan dekadensi Gerwani
di Lubang Buaya, yang belakangan ternyata dusta
belaka. Tetapi di pertengahan 1960an itu banyak
orang tak menyadari skala dan betapa mendalam
yang terjadi di masyarakat desa. Bahasa mimik
wajah tadi menunjukkan bahwa orang lokal
menyadari benar apa yang terjadi, bahwa mayat
mayat terkapar di sungai itu hanyalah sebuah
mikrokosmos dari malapetaka besar: sebuah porsi
lokal dari gambar besar yang menjelma menjadi
warna zaman. Meski diam, takut dan berbisikbisik,
khalayak desa menyadari sebuah tragedi sedang
melanda bangsa ini – dan sebuah aparat negara
berada dibaliknya.
Alih zaman
Setiba di Bandung, ayah ditahan beberapa hari –
hanya karena bertanyatanya tentang apa yang
disaksikannya. Lebaran 1965 menjadi tonggak
dalam perjalanan kesadaran saya. Sementara
kehebatan propaganda Orde Baru tak membuat
orang mudah beralih pikiran. Sejak Oktober 1965
rezim menuding PKI sebagai biang kerok dan pantas
dihajar.
Dua dasawarsa kemudian, 197080an, ditandai
suasana zaman bergolak. Isuisu Dunia Ketiga,
imperialisme dan kediktaturan militer marak di
panggung Eropa. Awal 1967: mengikuti keluarga,
saya pindah ke Belanda. 1968: semasa mahasiswa
di Leiden, setiap hari bersepeda melewati sebuah
jembatangantung yang ditandai grafiti Soeharto
Moordenaar (Soeharto Pembunuh). Di Amsterdam,
Amnesty International tampil dengan tajuk The
Archipelago of Prisons (Kepulauan Penjara). Guru
besar sejarah dan sosiologi Asia W. F. Wertheim
yang memimpin Komittee Indonesië dan majalah
Feiten en Meningen (Fakta dan Pendapat),
memelopori kajian kritis dan kegiatan penyadaran
masyarakat akan isu kediktaturan dan kekejaman
di Indonesia. Di Paris, semacam Mekkah gerakan
mahasiswa 1970an, filsuf JeanPaul Sartre
menyulut kebangkitan cendekia dan perhatian
dunia pada Dunia Ketiga. Di Stockholm, filsuf
Bertrand Russel menggugah nurani dunia melalui
Vietnam War Crime Tribunal (1971) dengan
mengingatkan bahwa di Indonesia dalam enam
bulan jatuh korban sebesar Perang Vietnam dalam
beberapa dekade (19541975). Dengan latar Lebaran
1965 tadi, dinamika Eropa memacu perubahan
pikiran banyak orang, termasuk saya.
Betapa kontras zaman memuncak. Di Asia dan
Amerika Latin rezimrezim baru menemukan
kediktaturan militer dan pembantaian sebagai jalan
pintas untuk memenangi Perang Dingin.
Sebaliknya, di Eropa tuntutan Zeitgeist (warna
zaman) justru menyoal solusisolusi itu. Pada titik
itulah orang menohok hipokrisi dunia: ada
perhatian besar terhadap kekejaman rezim komunis
ala Khmer Merah di Kamboja, namun bungkam
tentang pembantaian manusia di Indonesia 1965
1966.
Di kalangan mahasiswa Indonesia (PPI,
Perhimpunan Pelajar Indonesia di Nederland),
diskusi seputar Peristiwa Besar 1965 absen.
Kebanyakan ogah dan takut. Hanya di Leiden Jusfiq
Hadjar, Onghokham dan di Amsterdam Liem Soei
Liong dan beberapa teman mengusik masa kelam
itu. Jusfiq seorang anarkhis yang bersikap moralis.
Liem, seorang pegiat politik kongkrit. Keduanya
pelarian. Ong, seorang akademik dan liberal,
sejarawan yang shock berat menyaksikan gegap
gempita kekerasan 1965. Perdebatan ramai, tak
hanya seputar ‘1965’, tapi juga soal menyikapi
secara politikmoral terhadap negara dibawah rezim
semacam Orde Baru. Bagi saya, dasawarsa 1970an
bermakna penting dalam mengembangkan pikiran
dan menata sikap.
Sepanjang 198090an kegiatan lebih terpusat di
kalangan aktivis lokal (Kommittee Indonesië di
Amsterdam, Tapol di London, beberapa teman di
Paris) dan juga di kalangan eksil 1965, mereka yang
terhalang pulang, di seantero Eropa. Juga di PPI
Amsterdam dan bersama Th. Sumartana (alm) dan
temanteman lain di penerbitan ‘Berita Indonesia’,
‘Dialog Nusantara’ dan ‘Tanah Air’.
Kejahatan beranakpinak
Tahun 1970802000an, narasi Dunia Ketiga pudar
dari wacana dunia. Perihal Indonesia, temanya
beralih ke apa yang dapat kita sebut ‘kejahatan
beranakpinak’: 1965, Timor Timur, Tanjung Priok,
Talangsari, Aceh, Papua, Mei 1998 dan banyak yang
lain. Beberapa kasus dan dampaknya saya saksikan
dalam liputanliputan untuk Radio Nederland
Siaran Indonesia.
‘1965’ menjadi simbol dan induk: simbol kejahatan
kemanusiaan yang menjadi trauma bangsa. Orde
Baru mewariskan kuburan massal dan metode
aniaya. Di Aceh, awal Desember 1999, seorang ibu
di desa Jim Jim, Pidie, bercerita bagaimana tentara
menghukum perempuan tersangka GAM (Gerakan
Aceh Merdeka) dengan menyuruhnya lari telanjang
memutari sebuah lapangan volley menjadi tontonan
‘hiburan’ – para serdadu. Kembali ke Amsterdam
saya terkejut ketika mewawancarai Ibu Sulami
(alm). Mantan tokoh Gerwani ini bercerita persis
sama tentang cara menghukum tahanan
perempuan: lari telanjang mengelilingi sebuah
kampung di Solo. Lapangan volley di Aceh 1990an
dan kampung di Solo 1965 itu hanya saksi bisu dari
metode dan wacana yang sama.
Bandingkan tontonan itu dengan ‘pameran’ kepala
manusia di Kediri di akhir 1965 3]atau foto kepala
gerilyawan Fretilin yang dipamerkan oleh sejumlah
prajurit Indonesia di hutan Matebian, Timor Timur,
akhir 1970an. Rupanya ada kecenderungan
manusia berjaya untuk mempertontonkan
kejahatan dan kekerasan. Filsuf Michael Foucault
menyebutnya sebagai ‘kegagalan negara dan
peradaban’. 4)
Kesadaran dan kesaksian tentang ini membuat
orang – tidak hanya para korban dan saksi di Tim
Tim dan Aceh, tapi juga saya sendiri cepat atau
lambat menyadari geneaologi kekerasan negara
sejak 1965.
Jadi, 1965 adalah tahun yang berkepanjangan.
Selaku jurnalis, siapa pun harus tetap
memberitakan peristiwa dari berbagai sisi. Pada
saat yang sama empati dan posisi moralnya dapat
tertuang dalam kolomkolom opini. Orde Baru
memaksa saya menulis di suratkabar berbahasa
asing, tapi ini juga semacam berkah. Di lain pihak,
‘1965’ berekor panjang berkat hegemoni politiknya,
lengkap dengan machoisme dan jagoismenya,
membuat orang, juga aktivis, perlu membebaskan
diri dari dampak ideologis – developmentalis di
masa pascaotoriterisme. Disitulah Orde Baru
merekayasa masa lampau yang remangremang –
seperti Peristiwa Madiun 1948 – menjadi ‘Dosa
Madiun’ untuk membenarkan pembunuhan massal
1965. Seorang peneliti akademis menyebut motif ini
‘malicious fantasy’ (khayalan jahat). 5)
Tapi ‘1965’ juga bagaikan matahari tenggelam yang
perlahan terbit kembali. Mirip Spanyol pasca
kediktaturan Franco di paruh awal 2000an,
Indonesia menyaksikan upayaupaya awal untuk
memproduksi memori masa kelamnya untuk
mencari kebenaran sejarah melalui publikasi, film,
media, diskusi, buku, penggalian kuburan massal
dan reedukasi seputar isuisu yang menjadi lubang
hitam dari masa silam (196566 untuk Indonesia,
193033 untuk Spanyol). 6)
Perubahan zaman sejak 1970an menuju 2000an
telah membawa pengetahuan dan kesadaran yang
membuka perspektif baru. Bagi mahasiswa
mahasiswa di masa itu, dinamika itu menjadi
sumber inspirasi dan kegiatan, tapi juga refleksi.
Benar, Genosida 1965tanpacomingtoterms (tak
terselesaikan karena tanpa mencari kebenaran dan
rehabilitasi korban) itu membuat kita, sebagai anak
bangsa, malu. Namun, dengan kejahatan yang
beranakpinak itu, malu dan hutang moral
bertahuntahun itu berkembang menjadi kelugasan
akal sehat yang mendorong banyak teman, juga
saya, menemukan sebuah upaya bersama:
membantu Tribunal IPT.
Momentum historis
Jika Jerman – berkat tekanan berat para pemenang
Perang Dunia II relatif cepat, dan Spanyol
memerlukan tujuh dasawarsa, untuk bangun dan
berdamai dengan halaman hitamnya, bagaimana
Indonesia dengan ‘1965’? Dua tema mengemuka
disini: unwilling (tidak berniat) dan unable (tidak
mampu). Setengah abad berlalu, masyarakat
menyadari bahwa negara dan pemerintah
sesungguhnya tidak berkeinginan dan tidak berdaya
menyelesaikan persoalan besar bangsanya sendiri
untuk mencari keadilan dan mengatasi warisan
masa lalunya. Kedua kesimpulan itu, dalam
pertemuan informal dengan sutradara The Act of
Killing, Joshua Oppenheimer, pada 23 Maret 2013
di Den Haag, mencetuskan gagasan bersama untuk
– atas nama korban dan komuniti aktivis
internasional menggelar suatu tribunal
internasional yang kemudian kita kenal sebagai IPT.
7)
Syahdan, generasi baru datang dan bertanya, akan
datang dan akan terus bertanya ‘apa yang terjadi’,
‘mengapa dan bagaimana bangsa ini sanggup
melakukan pembunuhan massal dan sejumlah
kejahatan lain terhadap sesama mereka sendiri’,
dan ‘bagaimana mungkin kita selama ini begitu
lama mendiamkannya’. 8)
Untuk itu, Martono, para korban dan penyintas
Genosida 1965 dan para peneliti akademis yang
bersaksi dalam Tribunal IPT di Den Haag, telah
menyumbangkan porsinya masingmasing yang
amat berharga.
Dengan pengalaman, nurani dan pengetahuan yang
ada, ‘1965’ telah menjadi pembelajaran penting bagi
kita semua.
Mencari keadilan dan upaya mengatasi masa
lampau merupakan suatu proses panjang. Terlebih,
oleh karena dusta dan kejahatan yang terjadi
sebenarnya merupakan suatu politisida – sebuah
upaya dan manifestasi dari niat dan tekad (mens
rea) untuk menghabisi hak hak mereka yang
menjadi korban dan sasaran kejahatan. Ini
mengingatkan saya pada katakata seorang korban
1965 yang saya temui di Brebes, Januari 2016.
“Kami ini manusiamanusia target, Bung! Anakanak
dan cucu saya yang belum lahir sekarang pun sudah
terhukum!”
Katakata ini dasyhat. Dia datang dari seorang
korban, warga awam, yang kebetulan anak seorang
kader PKI. Ungkapannya amat bermakna bagi
kemanusiaan, dan negara dan sebagian bangsa,
yang masih mengabaikan dusta dan kejahatan yang
terjadi.
Disitu, IPT merupakan sumbangan suatu
momentum historis yang semoga dapat ikut
menggugah peradaban bangsa ini dan dunia.
Catatan
(1) Kisah Martono saya ambil dari wawancara, dan
sebagian besar dari kesaksiannya
https://www.youtube.com/watch?v=4Z5hI21rcw
13. Nov. 2015, Martono 49’57” – 1.04’30”
2) Bagian ini saya ambil bebas dari tulisan saya:
Aboeprijadi Santoso, 1965 – Tahun Matahari
Tenggelam: Sebuah Refleksi, 16 Sept. 2015,
http://indoprogress.com/2015/09/1965tahun
mataharitenggelamsebuahrefleksi/
3) Pipit Rochijat, Am I PKI or NonPKI?, Indonesia,
Vol. 40, Okt. 1985, hal. 3756.
4) Aboeprijadi Santoso, The ‘1965’ killers – What’s
gone ‘wrong’ with Indonesia? (2013)
https://www.academia.edu/3262094/The_1965_kill
ers_What_s_gone_wrong_with_Indonesia_2013_
5) Robert Cribb, “Modes of Denial: Indonesia and
genocide in comparative perspective” at
International Conference, ‘“1965” Today: Living with
the Indonesian massacres,’ Amsterdam, 2 October
2015. Quoted in IPT Final Report, p.77 ;
http://www.tribunal1965.org/finalreportofthe
ipt1965/
6) Aboeprijadi Santoso, A Spanish lesson for
Indonesia’s 1965,
http//asiapacific.anu.edu.au/newmandala/2014/1
2/08/aspanishlessonforindonesias1965/ ;
https://www.academia.edu/9675613/A_Spanish_le
sson_for_Indonesia_s_1965_Dec._2014_
7) Selengkapnya disini: Aboeprijadi Santoso, When
Genocide Turns Public Discourse, The 1965 People
Tribunal and Its Final Conclusion. (Akan terbit)
8) Salahsatu contoh menarik adalah kumpulan
tulisan dan rekaman suara generasi muda,
semacam egodocuments generasi baru tentang
Peristiwa Besar 1965 dan dampaknya:
https://medium.com/ingat65
Sumber:
Dari Beranda Tribunal, Bunga Rampai Relawan,
Friends of International People’s Tribunal,
Bandung, Ultimus, 2017, hal. 124133