Sub Tema Religious Missions Local Religi

Sub Tema: Religious Missions, Local Religions and Indigeneous Communities
PERUBAHAN SOSIAL SUKU BATAK: DARI KANIBALISME KE HUMANISME
Sokemd Arjunaroi Manullang
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember
sokemdmanullang@yahoo.com
Abad ke-19, suku batak masih memiliki peradaban yang cenderung primitif, seperti
aliran kepercayaan animisme-dinamisme, permusuhan antar kelompok, perjudian, hingga
kanibalisme. Mereka percaya kepada Mulajadi Nabolon yang berkuasa diatas langit.
Kekuasaannya terwujud dalam Debata Na Tolu, yaitu tondi, sahala, dan begu. Kanibalisme
dilakukan suku-suku Batak dalam ritual kepercayaan terhadap Mulajadi Nabolon. Mereka
mempersempahkan organ tubuh manusia, terkhusus darah, jantung, telapak tangan, dan
telapak kaki manusia untuk menambah tondi dari Mulajadi Nabolon. Masyarakat suku Batak
yang menyembah Mulajadi Nabolon menganut agama Parmalim.
Masa kolonialisme saat itu berusaha masuk ke dalam masyarakat suku Batak, untuk
menguasai daerah-daerah batak di Sumatera Utara. Perilaku kanibalisme suku Batak sangat
menakutkan dan mengancam bagi orang luar daerah yang hendak datang ke daerah-daerah
batak, terutama bagi misionaris keagamaan. Masyarakat suku Batak menganggap orang yang
berasal dari luar kelompok mereka sebagai musuh, sebab sering terjadi permusuhan antar
kelompok-kelompok suku Batak. Para misionaris Injil dari Inggris, Amerika, dan Jerman,
mengalami ancaman dibunuh karena dicurigai sebagai agen penjajah, yang mereka sebut Si
Bottar Mata.

Tahun 1517 menjadi awal reformasi Protestan (Reformasi Jerman) dan Anglikanisme
(Reformasi Inggris) ketika Martin Luther mempublikasikan “Sembilan Puluh Lima Tesis
mengenai Kuasa dan Efikasi Indulgensi”. Penyebaran agama Kristen Protestan dilakukan
keseluruh benua, termasuk wilayah nusantara. Misionaris agama Kristen Protestan datang ke
dalam daerah suku Batak sejak 1824, dan penginjilan misi Rheinische Missions-Gesselschaft
(RMG) dari Jerman hingga berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) pada 7 Oktober
1861.
150 tahun yang lalu, sejak berdirinya gereja HKBP di kabupaten Tapanuli Utara,
propinsi Sumatera Utara, saat ini merupakan organisasi keagamaan terbesar ketiga di
Indonesia setelah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Berdirinya gereja tersebut menjadi
bukti bahwa misi keagamaan harus mampu beradaptasi dengan kebudayaan. Ini yang
Soekarno sebut Ketuhanan yang berbudaya, ketika Soekarno merumuskan ideologi negara
Indonesia. Masyarakat asli suku Batak dengan segala karateristik peradabannya mengalami
proses perubahan sosial menjadi masyarakat yang lebih humanis, religius, dan nasionalis
melalui misi keagamaan dalam gereja HKBP oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen.
Makalah ini membahas proses perubahan sosial masyarakat asli suku Batak yang masih
berperilaku kanibalisme pada abad ke-19 hingga masuknya misi keagamaan dalam wujud
gereja HKBP, yang merubah peradaban suku batak menjadi lebih baik lagi dan lebih
humanis. Saat ini suku Batak merupakan salah satu masyarakat suku di Indonesia yang
menghormati dan menjalankan budaya dan adat dalam kehidupan sehari-hari, mereka

mengalkulturasikan budaya dan adat menjadi lebih humanis. Perubahan sosial ini menarik
untuk diangkat menjadi pembahasan dalam makalah ini, karena segala dinamika masyarakat
yang terjadi di dalamnya.
Keyword: Batak, Parmalim, HKBP, Perubahan Sosial.

PENDAHULUAN

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling berinteraksi sosial dalam kesatuan
dan jaringan. Interaksi sosial yang dimaksud adalah hubungan timbal balik antara individu
dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok dalam
masyarakat. Manusia disebut sebagai makhluk sosial, artinya manusia tidak dapat hidup
hanya sendiri, terutama dalam usaha memenuhi kebutuhannya. Interaksi sosial antara
individu dengan individu terwujud dalam komunikasi verbal maupun komunikasi non-verbal
atau isyarat, seperti jabat tangan, percakapan, perkelahian, dan sorot mata. Sedangkan
interaksi sosial antara individu dengan kelompok menunjukkan kepentingan individu yang
berhadapan dengan kepentingan kelompok dan sebaliknya, seperti perintah pemimpin kepada
kelompok dan sanksi sosial atas nama kelompok terhadap individu. Dan interaksi sosial
antara kelompok dengan kelompok terwujud apabila individu dalam kelompok telah memiliki
kesamaan kepentingan untuk diinteraksikan pada kelompok lain, seperti kontak sosial antara
pendukung tim sepak bola. Individu manusia tidak dapat berdiri sendiri, demikian juga satu

kelompok tidak dapat berdiri sendiri, oleh karena itu mereka melakukan interaksi sosial.
Interaksi sosial oleh individu dan kelompok yang dilakukan dalam satu kesatuan dan jaringan
akan membentuk masyarakat. Karena dengan adanya kesatuan dan jaringan antara individu
dan kelompok akan membentuk masyarakat yang memiliki nilai sosial dan norma sosial.
Nilai sosial dan norma sosial memiliki peranan penting dalam membangun peradaban
masyarakat. Nilai sosial dan norma sosial ini yang mengatur manusia dalam tata kehidupan
bermasyarakat, sehingga tercapai suatu bentuk keteraturan yang berlandaskan pada sistem
budaya masing-masing dalam masyarakat.
Hendaknya diperhatikan bahwa tidak semua kesatuan manusia yang bergaul atau
berinteraksi itu merupakan masyarakat, karena suatu masyarakat harus mempunyai suatu
ikatan lain yang khusus (Koentjaraningrat, 2002: 144). Sekumpulan orang yang ada di
terminal bis, di sekolah, di kantor, atau dalam demonstrasi dan penonton pertandingan sepak
bola tidak dapat disebut masyarakat, karena interaksi sosial mereka terbatas hanya dalam
ikatan yang terbentuk dari situasi sosial di tempat mereka berada. Sekumpulan orang tersebut
disebut kerumunan. Untuk menyebutkan macam-macam sekumpulan orang perlu dibedakan
dengan memberi istilah-istilah khusus. Ada istilah-istilah khusus untuk menyebut kesatuankesatuan khusus yang merupakan unsur-unsur dari masyarakat, yaitu kategori sosial,
golongan sosial, komunitas, kelompok, dan perkumpulan (Koentjaraningrat, 2002: 143).

Sedangkan untuk definisi masyarakat secara antropologi, Koentjaraningrat (2002)
merumuskan bahwa, “masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut

suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa
identitas bersama (hal 146). Interaksi sosial antar anggota masyarakat berjalan berdasarkan
ikatan adat-istiadat yang meliputi kehidupan bermasyarakat yang berkelanjutan atau turun
termurun antar generasi. Adat-istiadat ini menjadi ciri pembeda masyarakat satu dengan
lainnya, dan ciri pembeda ini selanjutnya menjadi identitas khusus yang terikat oleh suatu
rasa kebersamaan. Dengan definisi ini kita dapat menyebutkan pada masyarakat Indonesia,
masyarakat desa Balun, masyarakat kota Jember, dan masyarakat suku Batak.
Interaksi sosial dalam masyarakat yang dinamis akan melahirkan kebudayaan dan
pengetahuan masyarakat. Perkembangan kebudayaan dan pengetahuan merupakan bentuk
peradaban masyarakat. Kebudayaan merupakan suatu hasil pengalaman sosial (Kartasapoetra.
1987: 320). Dalam melakukan interaksi sosial dipengaruhi tindakan sosial oleh anggota
masyarakat, karena pada dasarnya tindakan sosial merupakan perwujudan dari interaksi
sosial. Tindakan sosial merupakan upaya manusia secara individual untuk mempertahankan
dan mengembangkan hidupnya .... suatu tindakan baru dinyatakan sebagai tindakan sosial
apabila subyeknya dihubungkan dengan individu-individu lain (Dhohiri, 2006: 46-47). Max
Weber membedakan empat tindakan sosial yaitu zweckrational action, wertrational action,
affectual action, dan traditional action (Siahaan, 1986: 200-201). Yang dimaksud
zweckrational action atau disebut tindakan sosial legal-rasional adalah tindakan sosial
berdasarkan pertimbangan manusia yang rasional dan diakui sebagai tindakan yang sah
ketika menanggapi lingkungan diluar dirinya dalam rangka usahanya memenuhi kebutuhan

hidup. Wertrational action adalah tindakan sosial yang rasional yang berdasarkan nilai-nilai
absolut seperti nilai etis, estetis, keagamaan, atau nilai lain yang diyakini. Affectual action
adalah tindakan sosial yang timbul dari dorongan emosional (perasaan) atau afeksi.
Sedangkan Traditional action adalah tindakan sosial yang berorientasi pada hukum normatif
dari tradisi budaya masyarakat pada masa lampau. Keempat tindakan sosial inilah yang
menurut Weber akan mempengaruhi pola-pola interaksi sosial serta struktur sosial
masyarakat.
Tindakan sosial, interaksi sosial, dan struktur sosial suatu masyarakat selalu mengalami
perubahan dan perkembangan secara cepat maupun lambat sehingga disebut sebagai
masyarakat yang dinamis. Demikian lamban atau cepatnya perubahan dalam suatu kultur,
kita dapat menamakannya sebagai kultur yang hidup, sedangkan kultur yang mati yaitu yang

sama sekali tidak mengalami perubahan (Kartasapoetra dan Kreimers, 1987: 367). Bapak
Sosiologi, Auguste Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik, bahwa
masyarakat merupakan suatu bagian dari alam, dan bahwa metode-metode penelitian empiris
dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya (Johnson, 1986: 81-82). Metodemetode penelitian empiris tentang dinamika masyarakat ini, Comte menyebutnya sebagai
sosiologi. Comte berpendapat bahwa di dalam masyarakat terjadi perkembangan yang terus
menerus, sekalipun dia juga menambahkan bahwa perkembangan umum dari pada
masyarakat tidaklah merupakan suatu jalan lurus (Siahaan, 1986: 106). Dinamika masyarakat
terus berjalan secara historis dalam proses perubahan sosial. Artinya, perubahan sosial

menjadi tanda adanya dinamika masyarakat dalam usaha membangun peradabannya.
Masyarakat senantiasa berubah di semua tingkat kompleksitas internalnya: di tingkat makro
terjadi perubahan ekonomi, politik, dan kultur; di tingkat mezo terjadi perubahan kelompok,
komunitas, dan organisasi; di tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku
individual (Sztompka, 2004: 65).
Masyarakat suku Batak memiliki dinamika masyarakat dan mengalami perubahan
sosial dalam usaha membangun peradabannya. Seperti uraian tentang masyarakat yang telah
dijelaskan, perubahan sosial masyarakat ada yang berjalan cepat maupun lambat. Dalam
sejarah suku Batak pernah terjadi perubahan sosial cepat pada perilaku sosial masyarakatnya.
Abad ke-19, suku Batak masih memiliki peradaban yang cenderung primitif, seperti aliran
kepercayaan animisme-dinamisme, permusuhan antar kelompok, perjudian, hingga
kanibalisme. Mereka menganut agama Parmalim dan menyembah kepada Mulajadi Nabolon
yang dipercayai sebagai penguasa di atas langit. Proses perubahan sosial masyarakat asli suku
Batak terjadi dari perilaku sosial yang masih kanibal hingga masuknya misi keagamaan
dalam wujud gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), yang merubah peradaban suku
Batak menjadi lebih baik dan lebih humanis. Saat ini suku Batak merupakan salah satu
masyarakat suku di Indonesia yang tetap menghormati dan menjalankan budaya dan adat
dalam kehidupan sehari-hari, mereka mengalkulturasikan budaya dan adat menjadi lebih
humanis. Perubahan sosial suku Batak ini menarik untuk diangkat menjadi pembahasan
dalam makalah ini, karena segala dinamika masyarakat yang terjadi di dalamnya.


METODOLOGI

Makalah ini menjelaskan peristiwa yang terjadi pada sejarah yang menceritakan
perubahan sosial suku Batak. Untuk dapat menjelaskannya dalam makalah ini memerlukan
metode penelitian yang tepat. Metode penelitian yang tepat akan bermanfaat dalam mencapai
tujuan penelitian. Manfaat metode penelitian yang tepat:
(1) menghindari cara pemecahan masalah dan cara berfikir yang spekulatif dalam
mencari kebenaran ilmu, terutama dalam bidang ilmu sosial yang variabelnya
sangat dipengaruhi oleh sikap subyektifitas manusia yang mengungkapkannya; (2)
menghindari cara pemecahan masalah atau cara bekerja yang bersifat trial error
sebagai cara yang tidak menguntungkan bagi perkembangan ilmu yang snagat
dibutuhkan dalam kehidupan modern; (3) meningkatkan sifat obyektifitas dalam
menggali kebenaran pengetahuan, yang tidak saja penting artinya secara teoritis
tetapi juga sangat besar pengaruhnya terhadap kegunaan praktis hasil penelitian di
dalam kehidupan manusia.
(Nawawi, 1991: 61)
Maka dari itu makalah ini memilih satu metode penelitian untuk digunakan, yaitu metode
penelitian historis. Karena sesuai dengan tujuan penelitian dalam makalah ini yang
menjelaskan peristiwa yang terjadi pada sejarah yang menceritakan perubahan sosial suku

Batak. Metode penelitian historis adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan
data masa lalu atau peninggalan-peninggalan (Nawawi, 1991: 78). Metode penelitian historis
digunakan untuk:
.... memahami kejadian atau keadaan yang berlangsung pada masa lalu terlepas
dari keadaan masa sekarang, maupun untuk memahami kejadian atau keadaan
masa sekarang dalam hubungannya dengan kejadian atau keadaan masa lalu,
selanjutnya kerap kalo juga hasilnya dapat dipergunakan untuk meramalkan
kejadian atau keadaan masa yang akan datang.
(Nawawi, 1991: 61)
Dalam metode penelitian historis memerlukan data-data masa lalu yang relevan sebagai
representasi kejadian atau keadaan pada saat itu. Untuk memperoleh data-data tersebut perlu
menggunakan teknik pengumpulan data studi dokumenter, yang merupakan teknik
pengumpulan data melalui peninggalan tertulis berupa arsip, buku, pendapat, teori,
dalil/hukum-hukum yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Pada dasarnya setiap penelitian
tidak lepas dari studi kepustakaan atau literatur ilmiah sebagai parameter dan korelasi dengan
fakta-fakta penelitian sebelumnya. Selain metode penelitian dan teknik pengumpulan data
yang sudah dijelaskan, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan pendekatan
kualitatif maka makalah ini dapat menjelaskan hasil penelitian secara deskriptif. Penelitian

pendekatan kualitatif akan melakukan penggambaran secara mendalam tentang situasi atau

proses yang diteliti (Idrus, 2009: 24). Dalam penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data
studi dokumenter berfungsi sebagai alat pengumpul data utama, karena pembuktikan
hipotesanya dilakukan secara logis dan rasional melalui pendapat, teori atau hukum-hukum
yang diterima kebenarannya (Nawawi, 1991: 133).
Selanjutnya, dalam melihat kejadian dan keadaan sosial yang terjadi pada kasus ini,
perubahan sosial suku Batak, penulis melihat dengan menggunakan paradigma sosiologi.
Paradigma sosiologi pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya, The
Structure of Scientific Revolution (1962). Dia membahas mengenai perkembangan
pengetahuan, bahwa ilmu pengetahuan pada waktu tertentu didominasi oleh satu paradigma
tertentu, lalu paradigma (Normal Science) ini mendapat pertentangan dan penyimpangan
(Anomalies) karena tidak mampu menjadi solusi sosial. Normal Science tersebut pada waktu
tertentu mengalami krisis (Crisis) validitas keilmuannya, hingga terjadi perubahan besar
(Revolution) dalam ilmu pengetahuan dan melahirkan paradigma baru. Paradigma merupakan
terminologi kunci dalam model perkembangan ilmu pengetahuan yang diperkenalkan Kuhn.
Pengaruh paradigma lama mulai menurun dan digantikan paradigma baru yang menjadi
dominan. Model perkembangan ilmu pengetahuan menurut Kuhn (Ritzer, 1985: 4) :
Paradigma I  Normal Science  Anomalies  Crisis  Revolution  Paradigma II
Dalam ilmu pengetahuan sosiologi juga terjadi teori perkembangan ilmu pengetahuan
tersebut, George Ritzer mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan berparadigma
ganda dalam bukunya Sociology: A Multiple Paradigm Science (1980). Sosiologi adalah ilmu

yang memiliki paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku
sosial (Ritzer dan Goodman, 2003: A-13–A-15). Paradigma fakta sosial merupakan
paradigma yang memusatkan perhatian pada fenomena fakta sosial, struktur sosial, dan
institusi sosial serta pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu. Paradigma definisi
sosial merupakan paradigma yang memusatkan perhatian pada cara individu/kelompok
mendefinisikan situasi sosial mereka dan mempelajari pengaruh definisi sosial ini terhadap
tindakan dan integrasi berikutnya. Sedangkan paradigma perilaku sosial merupakan
paradigma yang memusatkan perhatian pada hadiah (rewards) yang menimbulkan perilaku
yang diinginkan dan hukuman (punishments) yang mencegah perilaku yang tidak diinginkan.
Artinya, dalam kajian tentang masyarakat, ilmu pengetahuan sosiologi tidak hanya mengkaji
dari satu paradigma. Tetapi paradigma tersebut terus mengalami perkembangan ilmu
pengetahuan seiring dengan perkembangan masyarakat tersebut.

Demikian juga dengan suku Batak, terjadi teori perkembangan ilmu pengetahuan dalam
paradigma masyarakat Batak. Dari paradigma mereka tentang perilaku sosial kanibalime
yang pada waktu tertentu mengalami anomali, lalu krisis, hingga merubah peradigma mereka
tentang perilaku sosial yang kanibal ke paradigma mereka untuk berperilaku sosial yang
humanis. Penulis akan mengkaji masyarakat suku Batak dengan ilmu pengetahuan sosiologi
yang berparadigma ganda ini.
Didukung dengan metode penelitian historis dan teknik pengumpulan data studi

dokumenter dalam pendekatan kualitatif, diharapakan makalah ini dapat menjelaskan
peristiwa yang terjadi pada sejarah yang menceritakan perubahan sosial suku Batak. Lalu
menganalisanya melalui paradigma sosiologi dan teori perubahan sosial.

PEMBAHASAN

Perubahan Sosial
Konsep perubahan sosial dalam masyarakat berangkat dari teori Auguste Comte yaitu
statistika sosial dan dinamika sosial. Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan
organik, bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam, dan bahwa metode-metode
penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya (Johnson, 1986:
81-82). Hukum-hukum masyarakat, kerangka jaringan masyarakat, dan anatomi masyarakat
sebagai suatu keseluruhan organik, disebut Comte sebagai statistika sosial. Statistik-statistik
sosial ini menjadi unsur penggerak masyarakat yang kemudian menghasilkan perubahan
sosial. Perubahan sosial selalu terjadi dalam dinamika sosial masyarakat. Dinamika sosial
memusatkan perhatian pada psikologi, yakni pada proses yang berlangsung dalam
masyarakat seperti berfungsinya tubuh dan menciptakan perkembangan masyarakat yang
dianalogikan dengan pertumbuhan organik (Sztompka, 2004: 1). Dinamika sosial masyarakat
terus berjalan secara historis dalam proses perubahan sosial. Artinya, perubahan sosial
menjadi tanda adanya dinamika sosial masyarakat dalam usaha membangun pengetahuan dan
kebudayaan (peradaban) masyarakatnya. Masyarakat senantiasa berubah di semua tingkat
kompleksitas internalnya: di tingkat makro terjadi perubahan ekonomi, politik, dan kultur; di
tingkat mezo terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi; di tingkat mikro terjadi
perubahan interaksi dan perilaku individual (Sztompka, 2004: 65).
Selo Soemardjan menyatakan perubahan sosial sebagai perubahan pada lembagalembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya,
termasuk didalamnya nilai, sikap, dan pola perilaku masyarakat (Muin, 2006: 4). Adanya
sistem sosial dalam masyarakat merupakan bukti dari analogi masyarakat sebagai suatu
keseluruhan organik (organisme). Sistem sosial masyarakat terbentuk dari hubungan sosial
dan perilaku individu pada tingkat mikro, yang selanjutnya terintegrasi menjadi sistem sosial
yang lebih luas dalam kesatuan berbagai hubungan kelompok, komunitas, atau organisasi.
Pada tingkat makro terdapat sistem sosial berupa kesatuan hubungan dalam ekonomi, politik,
dan budaya. Sistem sosial ini lah yang mengalami perubahan sosial seperti perubahan
biologis pada suatu organisme. Melalui perubahan sosial, masyarakat mengalami
perkembangan sistem-sistem sosial.

Konsep dasar perubahan sosial mencakup tiga gagasan: (1) perbedaan; (2) pada waktu
berbeda; dan (3) diantara keadaan sistem sosial yang sama (Sztompka, 2004: 3). Maksudnya,
perubahan sosial terjadi setelah jangka waktu tertentu dan terjadi perbedaan yang terlihat
pada waktu yang berbeda antara sebelum dan sesudah perubahan sosial dalam keadaan sistem
sosial yang sama. Sztompka mengutip definisi Hawley (1978) bahwa perubahan sosial adalah
setiap perubahan yang tak terulang dari sistem sosial sebagai satu kesatuan (Sztompka, 2004:
3). Masyarakat tidak akan pernah berada pada keadaan yang tetap (stagnan). Masyarakat
selalu mengalami keadaan yang berbeda pada waktu yang selalu berbeda (waktu yang tidak
terulang) dan terjadi terus-menerus tanpa henti. Masyarakat dalam sejarah mereka memiliki
pengalaman sosial. Pengalaman sosial melahirkan kebudayaan dan pengetahuan masyarakat.
Kebudayaan merupakan suatu hasil pengalaman sosial (Kartasapoetra dan Kreimers, 1987:
320). Perkembangan kebudayaan dan pengetahuan merupakan bentuk peradaban masyarakat.
Waktu, menjadi dimensi ruang terjadinya perubahan sosial. Sztompka (2004) membagi
waktu dalam dua fungsi, yaitu waktu kuantitatif dan waktu kualitatif. Waktu kuantitatif
adalah waktu sebagai kerangka eksternal untuk membandingkan kecepatan, interval,
rentangan, dan lamanya berbagai peristiwa sosial berdasarkan alat pengukur konvensional
seperti jam dan kalender. Semua bentuk perubahan sosial dapat ditetapkan waktunya yang
ditempatkan dalam kerangka eksternal dan disebut sebagai “kejadian dalam waktu”.
Sedangkan waktu kualitatif adalah waktu sebagai kerangka internal yang ditentukan oleh sifat
proses sosial. Perubahan sosial membutuhkan proses sosial yang waktunya panjang atau
pendek, lambat atau cepat, terbagi dalam proses sosial yang lebih substantif, dan yang
ditandai dengan ritme atau interval proses sosial. Semua proses sosial yang terjadi tersebut
disebut “waktu dalam peristiwa” atau “waktu sosial”. Muin (2006) menjelaskan peristiwaperistiwa yang terjadi sebagai faktor internal dan eksternal penyeban perubahan sosial. Faktor
internal yaitu perubahan jumlah penduduk, penemuan-penemuan baru (Discovery dan
Invention), konflik dalam masyarakat, pemberontakan terhadap sistem (revolusi), dan
reformasi struktur sosial. Sedangkan faktor eksternal yaitu bencana alam atau perubahan
lingkungan, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

Indigenous Community
Istilah Indigenous Community lebih tepat diartikan kedalam bahasa Indonesia sebagai
Komunitas Masyarakat Asli. Keberadaan masyarakat tidak terlepas dari wilayah sebagai

tempat tinggal masyarakat tersebut. Masyarakat asli adalah masyarakat yang pertama kali
bertempat tinggal pada suatu wilayah dan masih memiliki keorisinalitasan (keaslian) identitas
masyarakat dalam peradaban budayanya. Masyarakat asli sering juga disebut sebagai suku.
Suku Batak, suku Jawa, suku Bugis, suku Badui, dan suku Dayak merupakan penyebutan
terhadap masyarakat yang memiliki keaslian identitas masyarakat. Reproduksi identitas
masyarakat ini bertahan seiring reproduksi biologis keturunan generasi masyarakatnya. Istilah
suku menunjuk pada keanekaragaman manusia dalam suatu kelompok dengan sifat-sifat yang
merupakan warisan leluhurnya, secara keseluruhan kelompok manusia ini merasa berasal dari
suatu tempat kelahiran yang pemulanya sama (Kartasapoetra dan Kreimers, 1987: 320).
Suatu suku masyarakat pasti memiliki daerah asal atau tanah kelahiran yang selalu
diasumsikan sebagai awal mula lahirnya masyarakat asli. Koentjaraningrat mendefinisikan
suku adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan
kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas tadi sering kali (tetapi tidak selalu) dikuatkan
oleh kesatuan bahasa (Koentjaraningrat, 2002: 264).
Dalam keragaman suku masyarakat di Indonesia terdapat ciri khas yang berbeda satu
sama lain. Ciri khas ini terdapat dalam kebudayaan. Dari berbagai suku yang berbeda dan
kebudayaan yang berbeda-beda, Indonesia berusaha mensejajarkannya melalui semboyan
Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu). Pertentangan antar budaya masingmasing suku di Indonesia menghasilkan peradaban Nusantara. Dalam cakupan negara,
masing-masing suku tidak dapat berdiri sendiri. Sebagai masyarakat yang dinamis, mereka
saling berinteraksi sosial maupun budaya. Suku dan kebudayaan memang merupakan satu
kesatuan tatanan masyarakat, namun dalam pengertian konkret pengertian suku adalah yang
menyangkut bidang biologis, sedangkan kebudayaan banyak sekali sangkutannya dengan
sosial (Kartasapoetra dan Kreimers, 1987: 317). Secara historis kebudayaan dari masingmasing suku di Indonesia mendapat pengaruh dari kebudayaan Hindu, kebudayaan Budha,
kebudayaan Islam, dan kebudayaan Eropa. Namun manusia Indonesia yang tertua sudah ada
kira-kira satu juta tahun yang lalu, waktu Dataran Sunda masih merupakan dataran, dan
waktu Asia Tenggara bagian benua dan bagian kepulauan masih bersambung menjadi sati
(Koentjaraningrat, 1971: 3). Dalam kajian antropologi, manusia Indonesia terus mengalami
evolusi manusia dan menyebar ke berbagai belahan dunia. Perjalanan historis manusia terus
mengalami perubahan sosial seiring dengan perubahan zaman (waktu) hingga abad ke-21
umat manusia dikatakan memasuki zaman kontemporer. Dan perubahan sosial ini tidak akan
pernah berhenti selama masih ada masyarakat.

Masyarakat terus mengalami perubahan sosial, mulai dari manusia tertua yang terus
berevolusi, lalu menyebar ke seluruh permukaan bumi, kemudian membangun komunitasnya
serta peradabannya, lalu menyebar lagi dan mempengaruhi perdaban masyarakat lainnya.
Saling mempengaruhi dan terpengaruhi masing-masing masyarakat terus terjadi, dan tak akan
pernah berhenti, hingga sekarang dalam interaksi sosial mereka. Permasalahannya adalah
bagaimana kita dapat menentukan masyarakat mana yang sebagai Masyarakat Asli
(Indigenous Community) jika sebuah masyarakat terus dipengaruhi dan mempengaruhi antara
masyarakat. Masing-masing suku di Indonesia juga mendapat pengaruh dari kebudayaan
Hindu, kebudayaan Budha, kebudayaan Islam, dan kebudayaan Eropa. Ataukah masyarakat
suku pedalaman adalah masyarakat yang disebut sebagai masyarakat asli karena sedikit
tersentuh pengaruh kebudayaan asing. Asumsi tersebut berdasarkan definisi masyarakat asli
yang memiliki keaslian identitas dalam peradaban budayanya. Sedangkan menurut pendapat
Ronni Suryansyah, “Masyarakat asli adalah masyarakat yang hidup di suatu daerah dan
mengembangkan kebudayaannya sehingga membentuk kebudayaan baru, sedangkan
masyarakat pedalaman adalah masyarakat yang tidak mau mengembangkan kebudayaannya”.
Setuju dengan pendapat tersebut bahwa mayarakat suku pedalaman bukan termasuk
masyarakat yang disebut sebagai masyarakat asli.
Suku Batak adalah masyarakat asli (Indigenous Community), karena suku Batak lahir
dari satu keturunan biologis Si Raja Batak. Dalam kebudayaan suku Batak terdapat catatan
atau silsilah keturunan masyarakat Batak, orang Batak menyebutnya tarombo. Tarombo atau
silsilah masyarakat Batak bila ditarik hingga keturunan pertama adalah dari Si Raja Batak.
Nama Si Raja Batak selanjutnya menjadi nama suku-bangsa Batak hingga saat ini
(Hutagalung, 1991: 31). Satu keturunan yang sama, satu tanah kelahiran yang sama, dan satu
identitas yang juga tetap sama, sebagai alasan bahwa suku Batak adalah masyarakat asli,
bahkan sampai saat ini.

Agama Masyarakat Asli Batak
Wilayah Tanah Batak (Tano Batak) adalah seluruh wilayah Provinsi Sumatra Utara.
Ada enam sub-suku Batak, yaitu Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak, Batak Toba,
Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Batak Karo mendiami Dataran Tinggi Karo, Langkat
Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, dan sebagian Dairi; Batak Simalungun mendiami daerah
Simalungun; Batak Pakpak mendiami daerah Dairi; Batak Toba mendiami daerah tepi Danau

Toba, Pulau Samosir, Asahan, Silindung; Batak Angkola mendiami daerah Angkola, Sipirok,
sebagian Sibolga dan Batang Toru, dan daerah bagian utara Padang Lawas; Batak Mandailing
mendiami daerah Mandailing, Ulu, Pakatan, dan daerah bagian selatan Padang Lawas
(Koentjaraningrat, 1971: 94).
Kekayaan kebudayaan Batak terdapat pada adat, ugama (agama), hata (kesusasteraan),
kesenian, pansarian (filosofi pekerjaan), dan pargoluon (filosofi kehidupan) (Sihombing,
1989: 286). Adat-istiadat Batak sangat di pegang teguh masyarakat Batak. Sistem
kekerabatan masyarakat Batak tidak dapat terlepas dari Marga dan Tarombo. Karena dari
Marga dan Tarombo mereka menentukan posisi atau peran dalam menjalankan adat Batak.
Sistem kekerabatan masyarakat terdapat dalam falsafa Dalihan na Tolu. Berdasarkan
etimologinya, Dalihan na Tolu terdiri atas tiga kata, yaitu dalihan adalah ‘tungku yang
terbuat dari batu’, na artinya ‘yang’, dan tolu artinya ‘tiga’. Jadi secara harafiah, arti Dalihan
na Tolu adalah ‘tungku yang terbuat dari tiga batu’. Dalam buku Jambar Hata dijelaskan:
diparngoluan siapari ni hita halak Batak partuturan i do ondolan ni falsafah ni
parngoluon i, laos partuturan i do na songon tiang partunggul ni pardomuan
parmudaranjala laos partuturan i do na manontuhon sikapta maradophon
dongan. Tolu bagian bolon do partuturan, jala laos i do na ginoaran Dalihan na
Tolu.
(Sihombing, 1989: 23).
Dalam kehidupan bermasyarakat suku Batak, mereka selalu menanyakan marga dan tarombo
kepada orang yang dikenal. Mengetahui marga dan tarombo sangat penting bagi orang Batak
untuk menentukan hubungan kekerabatan (partuturan) dan sikap sosial dalam pergaulan
antara individu atau keluarga. Menurut M. Manullang (Op.Sokemd), “Dalihan na Tolu
maksudnya hubungan dari tiga tiang penyangga dalihan (tungku), seperti dalam hubungan
orang Batak ada Hula-hula, Dongan Tubu, dan Parboru, dalam setiap acara adat Batak harus
ada ketiga pihak tersebut”.
Terhadap hula-hula yaitu orang tua istri dan yang semarga dengan mertua
hendaklah bersikap hormat (somba marhula-hula), secara tersirat itu adalah
sebagai penghargaan terhadap istri. Terhadap sesama semarga hendaklah hati-hati,
tidak sembarangan (manat mardongan tubu). Terhadap saudara perempuan dan
suaminya serta yang semarga dengan mereka hendaklah bersifat membujuk dan
mengayomi (elek marboru).
(Sinaga, 2012: 19).
Prinsip Dalihan na Tolu yang diadopsi oleh orang Batak Toba menjadi sistem
kekerabatannya tidak hanya didasarkan pada tiang tungku yang terbuat dari batu itu, tetapi
juga refleksi dari tercapainya harmoni kosmos (Siburian, 2008: 71). Suku Batak percaya
bahwa alam ini terdiri dari tiga dimensi, Alam Atas (Banua Ginjang), Alam Tengah (Banua

Tonga), dan Alam Bawah (Banua Toru). Ketiga dimensi alam ini diciptakan dan dikuasai
Debata Mulajadi Nabolon. Di Banua Toru, Debata Mulajadi Nabolon dinamai Tuan Bubi
Nabolon atau Debata Batara Guru. Di Banua Tonga, dinamai Ompu Siloan Nabolon atau
Debata Mangalabulan. Sedangkan di Banua Toru, dinamai Tuan Pane Nabolon atau Debata
Asiasi. Suku Batak mempercayai dan menyembah kepada Debata Mulajadi Nabolon.
Kepercayaan ini disebut agama Parmalin (Ugama Malim). Si Raja Batak berkeyakinan bahwa
Sang Pencipta manusia adalah Debata Mulajadi Nabolon.
Sistem kekerabatan suku Batak merupakan representasi dari wujud Debata Mulajadi
Nabolon. Hula-hula merupakan representasi dari Debata Batara Guru. Orang batak mengakui
bahwa berkat, kebijaksanaan, dan hikmat dari Debata Batara Guru disalurkan melalui Hulahula dalam pelaksanaan upacara adat. Dongan Tubu merupakan representasi dari Debata
Mangalabulan yang memberikan pengetahuan dan pengajaran. Dan Boru merupakan
representasi dari Debata Asiasi yang menjadi penolong dan pendukung. Dalam kehidupan
bermasyarakat suku Batak, seseorang tidak selamanya berperan dalam satu posisi dalihan na
tolu. Dalam satu waktu ia dapat berkedudukan dalam peran sebagai Hula-hula, namun dalam
waktu lain ia dapat berkedudukan dalam peran sebagai Dongan Tubu atau peran sebagai
Boru.
Agama Parmalim menyakini manusia pertama adalah Raja Ihatmanisia dan Boru
Ihatmanisia. Keturunan Raja Ihatmanisia adalah Raja Miokmiok, Patundal Nibegu, dan
Ajilampaslampas. Keturunan Raja Miokmiok adalah Engbanua. Keturunan Engbanua adalah
Raja Aceh, Raja Bonang-bonang, dan Raja Jau. Raja Bonang-bonang melahirkan Raja
Tantandebata. Lalu Raja Tantandebata melahirkan Raja Batak. Dari Raja Batak inilah
permulaan keturunan masyarakat suku Batak. Sejarah sistem kepercayaan suku Batak ini
terdapat pada buku-buku kuno (Pustaha), salah satunya seperti buku W.M. Hutagalung
(1991), Pustaha Batak: Tarombo dohot Turturian ni Bangso Batak.
Dalam hubungan tentang Jiwa, Roh, dan Dunia Akhirat orang Batak mengenal tiga
konsep, yaitu Tondi, Sahala, dan Begu (Koentjaraningrat, 1971: 114). Tondi adalah jiwa atau
roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada
manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan
seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap
(menjemput) tondi dari Sombaon yang menawannya. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan
yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki
sahala. Sahala sama dengan Sumangot, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau

Hula-hula. Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan
tingkah laku orang tersebut sebelum meninggal dan hanya muncul pada waktu malam hari.
Orang Batak menganggap Begu sebagai penyebab sakit dan kesusahan (Sihombing, 1989:
286). Beberapa nama Begu yang mereka kenal, antara lain Begu Jau, Begu Siharhar, Begu
Antuk, Begu Nurnur, Begu Ladang, Begu Toba, Begu Siherut, Begu Surpusurpu, Begu Sorpa,
Begu Pane, Begu Rojan, Begu Namora, dll. Dikalangan orang Batak Toba, Begu yang
terpenting ialah Sumangot ni Ompu yaitu Begu dari nenek monyang (Koentjaraningrat, 1971:
115). Sumangot ni Ompu adalah Begu yang disegani dan dihormati karena mereka yang
mengobati dan menyembuhkan sakit dan kesusahan yang disebabkan Begu lain. Kepercayaan
terhadap Sumangot ni Ompu ini disebut kepercayaan Sipelebegu (Sihombing, 1989: 286).
Raja Monang Naipospos adalah Pengurus Pusat Ugamo Malim, sebuah agama
kepercayaan yang lahir dari kebudayaan Batak. Agama ini merupakan peninggalan Raja
Batak Sisingamangaraja.
Kini pusat agama Parmalim terbesar berada di Desa Hutatinggi, 4 kilometer dari
kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara. Di desa ini ada rumah ibadah
orang Parmalim yang disebut Bale Pasogit. Mereka beribadah setiap hari sabtu dan memiliki
dua hari peringatan besar setiap tahunnya yaitu Sipaha Sada dan Sipaha Lima. Sipaha Sada
ini dilakukan saat masuk tahun baru Batak yang dimulai setiap bulan Maret. Dan Sipaha
Lima yang dilakukan saat bulan Purnama yang dilakukan antara bulan Juni-Juli. Dalam
upacara, laki-laki yang telah menikah biasanya mengunakan sorban seperti layaknya umat
muslim, sarung dan Ulos (selendang Batak). Sementara yang wanitanya bersarung dan
mengonde rambut mereka. Semua acara Parmalin dipimpin langsung oleh Raja Marnokkok
Naipospos (Pengurus Pusat Ugamo Malim). Kakek Raja Marnokkok adalah Raja Mulia
Naipospos yang menjadi pembantu utama Sisingamangaraja XI. Agama ini merupakan
peninggalan Raja Batak Sisingamangaraja. Kini penganut Parmalin ini mencapai 7000 orang
termasuk yang bukan orang Batak. Mereka tersebar di 39 tempat di Indonesia termasuk di
Singkil Nanggroe Aceh Darussalam.

Penginjilan oleh Rheinische Missions-Gesselschaft
Pekabaran Injil atau Zending sudah memasuki Indonesia pada masa pendudukan
Portugis di kepulauan Maluku (1512-1605) ditandai dengan menetapnya beberapa misionaris
Katolik Roma di Ternate, pada tahun 1522. Penakluk VOC (Verenigde OosIndicshe

Compagine) terhadap Portugis di Maluku pada tahun 1605 memulai babak baru Pekabaran
Injil oleh Gereja Protestan. Awal abad ke-19 dicatat sebagi masa-masa bersejarah Pekabaran
Injil di Indonesia, dengan bekerjanya sejumlah organisasi Zending oleh Gereja-gereja
Protestan dari Belanda dan Jerman. Organisasi Pekabaran Injil Belanda yang sudah
melakukan misinya di Indonesia adalah Nederlandse Zendeling Genootschap (1795-1816),
Nederlandse Zendings Vereniging, Utrechtse Zendings Vereniging, sedangkan dari Jerman
adalah Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG).
Saat itu masyarakat suku Batak menganut agama Parmalim dan kepercayaan
Sipelebegu. Pengkabaran Injil pertama dilakukan oleh Burton dan Ward pada Juli 1824
sebagai utusan Babtist Church of England. Setelah itu, tahun 1825, pasukan Padri dan Bonjol,
Minangkabau yang dipimpin Tuanku Rao menyerang Tanah Batak. Serangan mendadak
berkekuatan 15.000 pasukan berkuda membunuh lebih dari separuh komunitas Batak Toba.
Penyerangan Padri menimbulkan trauma di kalangan suku Batak Toba. Trauma inilah yang
menjadi awal sikap suku Batak yang selalu menaruh curiga pada setiap pendatang.
Sikap inilah menyebabkan terbunuhnya (mati martir) dua misionaris utusan Gereja
Amerika pada Juli 1834, Samuel Munson dan Henry Lyman. Mayat mereka di pertontonkan
di sebuah pekan di Lobupining, tidak jauh dari Sisangkak, sebagai tanda kemenangan.
Konon, mayat kedua martir itu dimakan hingga tinggal kerangka. Setelah mengetahui
peristiwa tersebut, pemerintah Hindia Belanda melarang para misionaris memasuki Tanah
Batak. Pada saat itu Belanda sendiri sudah menguasai Sumatera Barat dan Tanah Batak
Bagian selatan (Mandailing dan Angkola) setelah berhasil menaklukkan pasukan Padri dalam
perang yang disebut Padri Oorlog (perang Padri) pada tahun 1837. Sedangkan daerah Batak
yang belum dikuasai Belanda disebut “Daerah Batak Merdeka” (De Onafhankelijke
Bataklanden) terdiri dari kawasan yang didiami Batak Toba, yaitu Silindung, Humbang,
Toba, dan Samosir.
Setelah Burton-Ward dan Munson-Lyman, misionaris perintis lain yang menyusul
adalah Gerrit van Asselt. Dia diutus Ds Wetteven dari kota Ermello, Belanda, tiba di Sumatra
Mei 1856 dan berpos di Sipirok, 1857. Organisasi yang mengirimkan Gerrit van Asselt
adalah Nederandse Zending-Genootschap yang berdiri pada tahun 1797. Zending Ermelo
mengirimkan lagi beberapa misionaris mendampingi Gerrit van Asselt, yaitu FG Betz,
Dammerboer, Koster, dan van Dallen. Koster dan van Dalen ditempatkan di Pargarutan. Van
Dallen kemudian pindah ke Simapilapil. Dammerbooer jadi Opzichter di sekolah Belanda
sebelum ke Huta Rimbaru dan masuk ke Mission Java Komite. Gerrit van Asselt sendiri pada

31 Maret 1961 membaptis orang Batak Kristen pertama, Simon Siregar dan Jakobus
Tampubolon di Sipirok.
Pekabaran Injil dari Jerman adalah Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG) yang
berdiri pada tahun 1818. Di Indonesia, RMG pertama sekali mengkosentrasikan Pekabaran
Injil di Kalimantan Tenggara sejak tahun 1836. Pada tahun 1859 meletus Perang Banjar yang
dipimpin Pangeran Hidayat. Perang tersebut menelan banyak korban tewas, termasuk 4
pendeta, 3 istri, dan 2 anak mereka. RMG terpaksa mengundurkan Pekabaran Injil di sana
lalu memindahkannya ke Tanah Batak (1861), Nias (1865), Mentawai (1901), dan Enggano
(1903), Pekabaran Injil yang ditinggalkan RMG di Kalimantan Tenggara diteruskan Basler
Mission Dari Swiss. Pimpinan RMG, Inspektur Dr.Friedrich Fabri mengutus dua misionaris,
Klammer dan Heine. Keduanya tiba di Sibolga 17 Agustus 1961 dan memilih Sipirok sebagai
pos utama.
Atas koordinasi Zending Emelo dan RMG, Betz dan van Asset bergabung dengan
Heine dan Klammer di bawah naungan RMG. Keempat misionaris itu melakukan rapat
pembagian tugas pada 7 Oktober 1861. Betz mendapat tugas di tempat pelayanan yang telah
dia buka sebelumnya, yaitu Bungabondar, Klammer di Sipirok, sedangkan Heine dan van
Asselt di Pangaloan. Tanggal pembagian tugas inilah yang kemudian dicatat sebagai hari jadi
atau lahirnya HKBP (Huria Kristen Batak Protestan).
Lothar Schreiner,dalam bukunya Adat dan Injil membuat tahapan sejarah pengkristenan
orang Batak denga merujuk pada tugas pelayanan Ingwer Ludwig Nommensen dan di
mulainya pekabaran Injil oleh RMG di tanah Batak. Nommensen (1834-1918) merupakan
tokoh sentral Pekabaran Injil di Tanah Batak yang kemudian dijuluki sebagai “Rasul Batak”.
Pertama kali Nommensen datang di Barus Juni 1862, ditempatkan oleh rekan-rekan
pendahulunya di Parausorat Desember 1862, lalu ke Silindung November 1863. Silindung
adalah pilihan utama karena jumlah penduduknya sangat besar, meskipun ditentang
pemerintah Hindia Belanda karena daerah alam yang masih hutan belantara serta
kemungkinan ditolak bahkan bisa terbunuh.
Nommensen, yang kini tetap dikenang dan dipanggil dengan gelar kehormatan “Ompu
I, Apostel Batak”. Dalam perjalanan misi pekabaran injilnya bukanlah tanpa rintangan,
beberapa kali ia pernah akan dibunuh dengan cara menyembelih dan meracunnya. Alasannya,
ia dicurigai sebagai mata-mata “Si Bottar Mata” (stereotip ini ditujukan kepada Belanda).

Suatu kali di puncak (dolok) Siatas Barita (sekarang puncak Taman Wisata Rohani
Salib Kasih, Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara), Nommensen pernah hendak dibunuh.
Waktu itu sedang berlangsung ritual penyembahan kepada Sombaon Siatas Barita, ialah roh
alam yang disembah orang Batak. Kerbau pun disembelih. Akan tetapi, pemimpin ritual
(Sibaso) tidak menyukai Nommensen dan menyuruh pengikutnya untuk membunuh dia. Lalu,
kata Nommensen kepada mereka, “Roh yang berbicara kepada Sibaso bukanlah roh Siatas
Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan. Nenek moyangmu tidak mungkin menuntut
darah salah satu keturunannya.” Sibaso jatuh tersungkur dan mereka tidak mengganggunya
lagi. Pada 1881 misi pekabaran injil dilanjutkan oleh Pendeta Bonn yang telah mendapat
restu dari Raja Ompu Tinggi dan Raja Oppu Timbang yang menyediakan lahan gedung
sekolah di Laguboti. Sepeninggalan Bonn, Nommensen mendapat rintangan di mana sempat
terjadi perdebatan sesama penduduk atas izin sebidang tanah. Setelah akhirnya mendapat
persetujuan dari penduduk, ia pun mendirikan gereja, sekolah, balai pengobatan, lahan
pertanian dan tempat tinggalnya di sana. Konsep pembangunan satu atap ini disebut dengan
“pargodungan”, yang menjadi karakter setiap pembangunan gereja Protestan di Tanah Batak.
Nommensen bersama beberapa pendeta lainnya melanjutkan zending dengan menaiki
“solu” (perahu) melintasi Danau Toba yang menuju Pulau Samosir. Pada 1893 Pendeta J.
Warneck tiba di Nainggolan, 1898 Pendeta Fiise di Palipi, 1911 Pendeta Lotz di Pangururan
dan 1914 Pendeta Bregenstroth di Ambarita. Misi zending tak berhenti sampai di sana, RMG
mengutus Pendeta Simon, Pendeta Guillaume dan Pendeta Meisel menuju Sigumpar pada 16
Maret 1903 untuk peerluasan pekabaran Injil sampai ke daerah Simalungun.
Misi Nommensen memang penuh pengorbanan dan menyisakan kenangan. Gereja
Dame adalah salah satu gereja kecil yang pertama kali didirikannya ketika menginjakkan
kakinya di daerah Silindung, Tarutung. Tercatat pula bahwa sejak tahun 1861 telah berdiri
gereja-gereja kecil di Sipirok dan Bunga Bondar atas misi zending sebelumnya. Kemudian
pada 1862 di Parau Sorat, Pangaloan, Sigompulon; 1864 di Pearaja; 1867 di Pansur Napitu;
1870 di Sipoholon, Sibolga, Aek Pasir; 1875 di Simorangkir; 1876 di Bahal Batu; 1881 di
Balige; 1882 di Sipahutar, Lintong ni Huta; 1883 di Muara; 1884 di Laguboti, 1888 di
Hutabarat, Sipiongot; 1890 di Sigumpar, Narumonda, Parsambilan, Parparean; 1893 di
Nainggolan; 1894 di Silaitlait; 1897 di Simanosor Batangtoru; 1898 di Palipi; 1899 di
Lumban na Bolon, 1900 di Tampahan, Butar; 1901 di Sitorang; 1902 di Lumban Lobu,
Silamosik, Nahornop; 1903 di Paranginan, Pematang Raya; 1904 di Dolok Sanggul; 1905 di
Parmonangan, Sipiak; 1906 di Parsoburan; 1907 di Pematang Siantar; 1908 di Sidikalang;

1909 di Bonan Dolok, Tukka; 1910 di Purbasaribu; 1911 di Barus; 1912 di Medan; 1914 di
Ambarita dan 1922 di Jakarta. Misi pekabaran Injil yang dilakukan Nommensen adalah misi
zending inkulturatif yaitu misi pekabaran Injil yang tidak melupakan keaslian budaya
setempat dalam pelaksanaan rutinitas ibadah. Atas jasanya itu, RMG kemudian mengangkat
Nommensen menjadai Ephorus (Pimpinan tertinggi Jemaat HKBP) pada 1881 hingga akhir
hayatnya wafat pada 23 Mei 1918.

Dari Kanibalisme ke Humanisme
Kanibalisme merupakan sebuah fenomena di mana satu makhluk hidup makan makhluk
sejenisnya. Misalkan anjing yang memakan anjing atau manusia yang memakan manusia.
Kadang-kadang fenomena ini disebut anthropophagus (Bahasa Yunani anthrôpos, “manusia”
dan phagein, "makan").
Dalam The History of Sumatera, William Marsden mengutip catatan penjelajah Barat
yang pernah berpetualang ke tanah Batak pada abad k-18. Di daerah yang sekarang bernama
Tapanuli Selatan, ia menjumpai orang yang memakan manusia. Kanibalisme ini terjadi ketika
upacara tanda penaklukan terhadap musuh. Jadi, apabila terjadi peperangan, maka pihak yang
menang memakan tubuh musuhnya sebagai simbol kemenangan. Samuel Munson dan Henry
Lyman, dua misionaris utusan Gereja Amerika pada Juli 1834 terbunuh dan mayat mereka di
pertontonkan di sebuah pekan di Lobupining, tidak jauh dari Sisangkak, sebagai tanda
kemenangan. Mayat kedua misionaris itu dimakan hingga tinggal kerangka. Nommensen juga
pernah hendak dibunuh. Waktu itu sedang berlangsung ritual penyembahan kepada Sombaon
Siatas Barita, ialah roh alam yang disembah orang Batak. Kerbau pun disembelih. Akan
tetapi, pemimpin ritual (Sibaso) tidak menyukai Nommensen dan menyuruh pengikutnya
untuk membunuh dia. Lalu, kata Nommensen kepada mereka, “Roh yang berbicara kepada
Sibaso bukanlah roh Siatas Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan. Nenek moyangmu
tidak mungkin menuntut darah salah satu keturunannya.” Sibaso jatuh tersungkur dan
mereka tidak mengganggunya lagi.
Kampung Batak di masa lampau, Ambarita, dikelilingi bebatuan berduri sebagai
perlindungan dari serangan musuh. Masyarakat Ambarita dulu sering berperang dan
memasung musuh yang tertangkap. Lalu, melalui kalender Batak, raja akan menentukan hari
untuk menyidangkan tawanan di taman kecil di tengah desa. Jika hukuman mati ditetapkan,
tawanan direbahkan dibatu datar, mirip meja makan, di belakang desa. Karena biasanya

tawanan dianggap memiliki ilmu hitam, seorang pemancung berpakaian adat lengkap, mulamula akan menyayat lengan tawanan dengan pisau kecil dan menyiramnya dengan perasan
air limau. Saat tawanan menjerit-jerit kesakitan, ini diartikan segala ilmunya telah hilang.
setelah itu, tawanan dibedah hidup- hidup, diiringi sorak-sorai. Perutnya di belah, diambil
isinya dan dibagikan kepada penduduk untuk segera dimakan.
Dengan perut menganga dan hampir mati, tawanan dipapah menuju batu pancungan.
Dalam satu kali ayunan parang, kepala tawanan harus putus. Kalau gagal, kepala
sipemancung yang akan dipenggal. Itu sebabnya sipemancung harus berpengalaman dan
parangnya harus tajam. Kepala tawanan dan daging dari mayatnya dicincang dan dimasak
dengan daging kerbau, lalu dihidangkan diatas meja eksekusi untuk disantap oleh Raja.
Darahnya digunakan sebagai pencuci mulut, sedangkan tulang belulangnya dibuang ke danau
Toba. Eksekusi terakhir terjadi kira-kira tahun 1860, sebelum kedatangan misionaris Ingwer
Ludwig Nommensen, yang berhasil memahami adat serta bahasa setempat dan merubah
masyarakat Batak termasuk di Ambarita, menjadi penganut Kristen Protestan yang taat dan
menghapus ritual kanibalisme ini. Sebelumnya, misionaris lainnya selalu gagal dan justru
berakhir di batu eksekusi.
Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang
bertujuan untuk memperkuat tondi (jiwa) si pemakan daging manusia tersebut. Secara
khusus, darah, jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi. Dalam
memoir Marco Polo yang sempat datang berekspedisi dipesisir timur Sumatera dari AprilSeptember 1292, ia menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan orang yang menceritakan akan
adanya masyarakyat pedalaman yang disebut sebagai "pemakan manusia". Dari sumbersumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat
"Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi
langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa menceritakan
ritual tersebut. Niccolò Da Conti (1395-1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian
besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia
Tenggara (1414-1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi
singkat tentang penduduk Batak: "Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup
berperang terus-menerus kepada tetangga mereka ". Thomas Stamford Raffles pada 1820
mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi daging
manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan. Raffles menyatakan
bahwa: "Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu

tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu seorang penjahat akan dimakan hidup-hidup,
daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi". Para dokter
Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada tahun
1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia
sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan
lapar, ia tiba di sebuah desa yang penduduknya sangat ramah. Makanan yang ditawarkan oleh
tuan rumahnya ternyata adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari
sebelumnya. Oscar von Kessel mengunjungi Silindung di tahun 1840-an, dan pada tahun
1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu
pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden
untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang
Batak sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang
sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe
merah, dan lemon harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka
menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam. Ida Pfeiffer mengunjungi
Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia
diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi
darah secara hati-hati diawe