Pengaruh Kecakapan Manajerial Terhadap Praktik Manajemen Laba Dengan Corporate Governance Sebagai Variabel Pemoderasi (Studi Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2012–2014)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan
Dalam teori ini dijelaskan bahwa terdapat hubungan kerja antara pihak yang memberi
wewenang (principal) yaitu investor/pemegang saham dengan pihak yang menerima wewenang
(agency), yaitu manajer dalam bentuk kontrak kerjasama. Pemilik memberi perintah kepada agen
untuk melakukan suatu jasa atas nama pemilik dan memberi wewenang kepada agen untuk
membuat keputusan yang terbaik (Belkoui, 2001). Jensen dan Meckling (1976), menyatakan
bahwa masalah keagenan dapat terjadi dalam 2 bentuk hubungan, yaitu hubungan antara
pemegang saham dan manajer; dan hubungan antara pemegang saham dan kreditor. Hubungan
ini tidak selalu harmonis, sehingga teori keagenan akan selalu berkaitan dengan konflik agency
atau konflik kepentingan antara agen dan pelaku. Hal ini memiliki implikasi untuk tata kelola
perusahaan dan etika bisnis.
Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori keagenan menggunakan tiga asumsi sifat
manusia yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia
memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), (3)
manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut
manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan
pribadinya.
Ketika keagenan terjadi cenderung menimbulkan biaya keagenan (agency cost), yaitu

biaya yang dikeluarkan dalam rangka untuk mempertahankan hubungan keagenan yang efektif
(misalnya, menawarkan bonus kinerja manajemen untuk mendorong manajer bertindak untuk

8
Universitas Sumatera Utara

kepentingan pemegang saham). Oleh karena itu, teori keagenan telah muncul sebagai model
yang dominan dalam literatur ekonomi keuangan, dan secara luas dibahas dalam konteks etika
bisnis. Biaya keagenan didefinisikan sebagai biaya yang ditanggung oleh pemegang saham untuk
mendorong manajer dalam memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham daripada berperilaku
mementingkan diri sendiri.
Pemegang saham sebagai principal diasumsikan hanya tertarik pada hasil keuangan yang
bertambah atau investasi mereka di perusahaan, sedangkan para agen diasumsikan termotivasi
untuk memaksimalkan kompensasi yang diterima dalam hubungan tersebut (Verawati, 2012),
sehingga hal ini dapat memotivasi manajemen untuk melakukan praktik manajemen laba. Bila
tidak ada pengawasan yang memadai maka manajer atau agent dapat memainkan beberapa
kondisi perusahaan untuk memaksimalkan keuntungan mereka sendiri. Permainan tersebut dapat
terjadi atas prakarsa dari principal atau inisiatif agent sendiri. Dengan kondisi yang demikian,
maka terjadilah creative accounting yang menyalahi aturan.
2.1.2 Manajemen Laba

Para peneliti mempunyai pandangan yang berbeda beda mengenai pengertian manajemen
laba. Menurut Sulistyanto (2008) manajemen laba sebagai upaya manajer perusahaan untuk
mengintervensi atau mempengaruhi informasi akuntansi dalam laporan keuangan dengan tujuan
untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Istilah
intervensi dan mengelabui inilah yang dipakai sebagai dasar sebagian pihak untuk menilai
manajemen laba sebagai kecurangan. Alasannya, intervensi itu dilakukan manajer perusahaan
dalam kerangka standar akuntansi, yaitu masih menggunakan metode dan prosedur akuntansi
yang diterima dan diakui secara umum. Healy dan Wahlen (1999) mengemukakan bahwa
manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan pertimbangan (judgment) dalam pelaporan

9
Universitas Sumatera Utara

keuangan dan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan, dengan tujuan untuk
memanipulasi besaran (magnitude) laba kepada beberapa stakeholders tentang kinerja ekonomi
perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil perjanjian (kontrak) yang tergantung pada angkaangka akuntansi yang dilaporkan.
Scott (2000) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua: Pertama,
melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam
menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs (opportunistic earnings
management).Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting

(efficient earnings management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas
untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak
terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer
dapat mempengaruhi nilai pasar perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan
membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu.
Pada umumnya studi tentang manajemen laba sering mengacu pada sudut opurtunistis
dibandingkan dengan sudut pandang efisiensi. Meutia (2004) berpendapat manajemen laba
merupakan usaha manajemen yang disengaja untuk memanipulasi laporan keuangan dalam
batasan yang diperbolehkan oleh prinsip-prinsip akuntansi. Tujuannya adalah untuk memberikan
informasi yang menyesatkan para pengguna laporan keuangan demi keuntungan pihak manajer.
Pendapat lain yang disampaikan oleh Weil (2009) menyatakan bahwa manajemen laba bukanlah
istilah teknis dalam akuntansi atau keuangan. Namun hal tersebut terjadi ketika manajemen
perusahaan memiliki kesempatan untuk membuat keputusan akuntansi yang mengubah
pendapatan dilaporkan dan memanfaatkan peluang tersebut.

10
Universitas Sumatera Utara

Arfani dan Sasongko (2005) menyatakan bahwa perusahaan yang mengalami kerugian
ataupun yang memperoleh laba, sama-sama melakukan earnings management dan terdapat

perbedaan earnings management yang signifikan antara perusahaan yang mengalami kerugian
dan memperoleh laba. Surifah (2001) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat
indikasi earnings management yang lebih tinggi pada perusahaan publik yang mengalami
kerugian daripada perusahaan publik yang memperoleh laba.
Menurut Scott (2003) beberapa motivasi yang mendorong manajemen melakukan
manajemen laba, antara lain sebagai berikut:
1. Motivasi bonus, yaitu manajer akan berusaha mengatur laba bersih agar dapat
memaksimalkan bonusnya.
2. Motivasi kontrak, berkaitan dengan utang jangka panjang, yaitu manajer menaikkan laba
bersih untuk mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami technical default.
3. Motivasi politik, aspek politis ini tidak dapat dilepaskan dari perusahaan, khususnya
perusahaan besar dan industri strategis karena aktivitasnya melibatkan hajat hidup orang
banyak.
4. Motivasi pajak, pajak merupakan salah satu alasan utama perusahaan mengurangi laba
bersih yang dilaporkan.
5. Pergantian CEO (Chief Executive Officer), banyak motivasi yang timbul berkaitan dengan
CEO, seperti CEO yang mendekati masa pensiun akan meningkatkan bonusnya, CEO yang
kurang berhasil memperbaiki kinerjanya untuk menghindari pemecatannya, CEO baru
untuk menunjukkan kesalahan dari CEO sebelumnya.
6. Penawaran saham perdana (IPO), manajer perusahaan yang going public melakukan

manajemen laba untuk memperoleh harga yang lebih tinggi atas sahamnya dengan harapan

11
Universitas Sumatera Utara

mendapatkan respon pasar yang positif terhadap peramalan laba sebagai sinyal dari nilai
perusahaan.
7.Motivasi pasar modal, misalnya untuk mengungkapkan informasi privat yang dimiliki
perusahaan kepada investor dan kreditor.
Nilai laba dalam laporan keuangan adalah sebuah fakta, tetapi bukan fakta yang 100
persen objektif. Nilai laba dapat ditentukan oleh subjektivitas penyusunnya (Sulistiawan , 2011).
Menurut Sulistyanto (2008), ada beberapa cara yang dipakai perusahaan untuk mempermainkan
besar kecilnya laba,yaitu mencatat pendapatan terlalu cepat, mencatat pendapatan palsu,
mengakui biaya periode berjalan menjadi biaya periode sebelum atau sesudahnya, tidak
mengungkapkan semua kewajiban, mengakui pendapatan periode berjalan menjadi pendapatan
periode sebelumnya, serta mengakui pendapatan masa depan menjadi pendapatan periode
berjalan.
Scott (1997) merangkum pola umum yang banyak dilakukan dalam praktik manajemen
laba, antara lain:
1. Pola taking a bath, pola ini dilakukan dengan cara mengatur laba perusahaan tahun berjalan

menjadi sangat tinggi atau rendah dibandingkan laba periode tahun sebelumnya atau tahun
berikutnya. Pola ini biasa dipakai pada perusahaan yang sedang mengalami masalah
organisasi (organizational stress) atau sedang dalam proses pergantian pimpinan
manajemen perusahaan.
2. Pola income minimization, pola ini dilakukan dengan menjadikan laba periode tahun
berjalan lebih rendah dari laba sebenarnya. Pola ini relatif sering dilakukan dengan
motivasi perpajakan dan politis.

12
Universitas Sumatera Utara

3. Pola income maximization, pola ini merupakan kebalikan dari pola income minimization.
Menurut pola ini, manajemen laba dilakukan dengan cara menjadikan laba tahun berjalan
lebih tinggi dari laba sebenarnya. Teknik yang dilakukan pun beragam. Mulai dari
menunda pelaporan biaya-biaya periode tahun berjalan ke periode mendatang, pemilihan
metode akuntansi yang dapat memaksimalkan laba, sampai dengan meningkatkan jumlah
penjualan dan produksi. Pola ini biasanya banyak digunakan oleh perusahaan go public
dengan tujuan menjaga kinerja saham mereka.
4. Pola income smoothing, pola ini dilakukan dengan mengurangi fluktuasi laba sehingga laba
yang dilaporkan relatif stabil. Untuk investor dan kreditor yang memiliki sifat risk adverse,

kestabilan laba merupakan hal penting dalam mengambil keputusan. Stabilitas laba ini
dapat diperoleh dengan mengombinasikan dua pola tersebut, yaitu meminimalkan laba atau
memaksimalkan laba.
Akuntansi berbasis akrual dipandang lebih rasional dan adil serta informatif dibanding
dengan model dasar kas. Namun akuntansi berbasis akrual dapat membuat munculnya komponen
akrual yang mudah untuk dipermainkan besar kecilnya. Seperti pendapat Koyuimirsa (2011)
yang menyatakan manajemen cenderung memilih kebijakan manajemen laba dengan
mengendalikan transaksi akrual yaitu kebijakan akuntansi yang memberikan keleluasaan pada
manajemen untuk membuat pertimbangan akuntansi yang akan memberi pengaruh pada
pendapatan yang dilaporkan. Peluang ini sering digunakan oleh manajer ketika mereka
menghendaki keuntungan tertentu bagi dirinya.
Menurut Scott (2003) discretionary accruals adalah suatu cara untuk mengurangi
pelaporan laba yang sulit dideteksi melalui manipulasi kebijakan akuntansi yang berkaitan
dengan akrual. Oleh karena itu bentuk akrual dianalisis dalam penelitian ini adalah bentuk

13
Universitas Sumatera Utara

discretionary accruals yang merupakan akrual tidak normal dan merupakan pemilihan kebijakan
manajemen dalam pemilihan metode akuntansi.

2.1.3 Kecakapan Manajerial
Menurut (Rahman, 2011) kecakapan manajerial (Manajerial competency/ability) adalah
suatu keterampilan atau karakteristik personal yang membantu terciptanya kinerja yang tinggi
dalam tugas manajemen. Ada beberapa karakteristik personal dan keterampilan tambahan yang
disarankan oleh The american assembly of collegiate schools of business bagi perguruan tinggi
dalam mengembangkan mahasiswanya untuk meningkatkan kecakapan manajerial tersebut
yakni: leadership, self-objectivity, analytic thinking, behavioral flexibility, oral communication,
written communication, personal impact, resistance to stress dan tolerance for uncertainty.
Isnugrahadi dan kusuma (2009) menyatakan bahwa seorang manajer di katakana cakap
apabila dia memiliki keahlian yang memadai dalam bidang yang menjadi tanggungjawabnya.
Keahlian tersebut bisa berasal dari intelejensi yang dimilikinya serta pendidikan yang telah
ditempuh. Pengalaman yang dimiliki juga merupakan faktor penentu tingkat keahlian seorang
manajer.
Dalam pembuatan laporan keuangan, badan standar akuntansi memperbolehkan manager
menggunakan judgment dalam membuat laporan keuangan dengan tujuan agar laporan tersebut
sesuai dengan kondisi bisnis masing-masing perusahaan. Tujuan dari diperbolehkannya judgment
dalam pembuatan laporan keuangan agar meningkatkan kualitas akuntansi sebagai suatu bentuk
komunikasi. Manajer harus memiliki keahlian yang cukup agar semua judgment yang dilakukan
oleh manajer dapat dilakukan dengan baik.
Kecakapan manajer yang di maksud dalam penelitian ini yaitu kecakapan manajer dalam

bidang keuangan. Kecakapan manajerial dalam bidang keuangan yaitu seberapa efisien sebuah

14
Universitas Sumatera Utara

perusahaan dalam bidang keuangan secara relatif terhadap perusahaan lain dalam industri yang
sama (Rahman, 2011). Tingkat efisiensi relatif

ini dapat dinisbahkan sebagai hasil dari

kecakapan seorang manajer.
2.1.4 Good Corporate Governance
Good corporate governance merupakan salah satu elemen kunci dalam meningkatkan
kinerja manajemen perusahaan, yang meliputi serangkaian hubungan antara pihak manajemen
dengan berbagai pihak, salah satunya investor yang dapat dijelaskan melalui teori keagenan.
Corporate Governance atau tata kelola perusahaan merupakan sistem yang digunakan dalam
mengarahkan dan mengendalikan kegiatan bisnis perusahaan. Corporate governance ini juga
mengandung pengertian mengenai pengaturan atas pembagian tugas dan tanggung jawab
diantara para pihak yang berpartisipasi dan memiliki kepentingan yang berbeda-beda dalam
perusahaan. Para pihak yang berkepentingan atas pengarahan dan pegendalian perusahaan itu

meliputi: dewan direksi, para manajer, para pemegang saham, dan stakeholders lainnya (Ali,
2009).Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2004) mendefinisikan corporate
governance sebagai suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan guna
memberikan nilai tambah pada perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang bagi
pemegang saham, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya berlandaskan
peraturan perundang–undangan dan norma yang berlaku.
Terdapat empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep good corporate
governance, yaitu keadilan, transparansi, akuntabilitas, dan responsibiltas. Keempat hal tersebut
menjadi penting dikarenakan prinsip tersebut secara konsisten dapat meningkatkan kualitas pada
laporankeuangan (Sulistyanto, 2008).

15
Universitas Sumatera Utara

Pandangan teori keagenan dimana terdapat pemisahan antara pihak agen dan principal
yang mengakibatkan munculnya potensi konflik dapat mempengaruhi kualitas laba yang
dilaporkan. Pihak manajemen yang mempunyai kepentingan tertentu akan cenderung menyusun
laporan laba yang sesuai dengan tujuannya dan bukan demi untuk kepentingan prinsipal. Dalam
kondisi seperti ini diperlukan suatu mekanisme pengendalian yang dapat mensejajarkan
perbedaan kepentingan antara kedua belah pihak. Mekanisme corporate governance memiliki

kemampuan dalam kaitannya menghasilkan suatu laporan keuangan yang memiliki kandungan
informasi laba yang berkualitas.
Terdapat beberapa maksud dan tujuan penyusunan Pedomam Good Corporate
Governance Indonesia yang diungkapkan oleh KNKG ( 2006 ) yaitu :
1. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melauipengelolaan yang didasarkan
pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan
kesetaraan.
2. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing masing organ perusahaan, yaitu
Dewan Komisaris, Direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham.
3. Mendorong pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dananggota Direksi agar dalam
membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi
dan kepatuhanterhadap peraturan perundang undangan.
4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap
masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan.
5. Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap memperhatikan
pemangku kepentingan lainnya.

16
Universitas Sumatera Utara

6. Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun internasional, sehingga
meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan
ekonomi nasional yang berkesinambungan.
Komite Nasional Kebijakan Governance ( KNKG ) juga menyusun asas-asas Good
Corporate Governance di dalam Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia tahun
2006, yaitu:
1.

Transparansi ( Transparency )
Untuk menjaga obyektifitas dalam menjalankan bisnis,perusahaan harus menyediakan
informasi yang material danrelevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh
pihakyang

memiliki

kepentingan.

Perusahaan

harus

mengambil

inisiatifuntuk

mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang–
undangan, tetapi juga hal yang pentinguntuk pengambilan keputusan oleh pemegang
saham, kreditur danpemangku kepentingan lainnya.
2.

Akuntabilitas (Accountability)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanyasecara transparan dan wajar.
Untuk itu perusahaan harus dikelolasecara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan
perusahaandengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham danpemangku
kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyaratyang diperlukan untuk mencapai
kinerja yang berkesinambungan.

3.

Responsibilitas (Responsibility)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang–undanganserta melakukan tanggung
jwab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan
usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.

17
Universitas Sumatera Utara

4.

Independensi (Independency)
Untuk melancarkan pelaksanaan asasGood Corporate Governance, perusahaan harus
dikelola secara independen sehingga masing – masing organ perusahaan tidak saling
mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

5.

Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Dalam

melaksanakan

kegiatannya,

perusahaan

harus

senantiasa

memperhatikan

kepentingan pemegang saham dan pemangku kepengingan lainnya berdasarkan asas
kewajaran dan kesetaraan .
Short, dkk. (1999) menyatakan bahwa mekanisme kunci dari kerangka corporate
governance meliputi struktur dewan direksi, kompensasi direksi dan kepemilikan manajerial,
pemegang saham institusional, auditor, auditing, informasi akuntansi, serta pasar untuk
pengendalian perusahaan. Indikator good corporate governance yang akan diangkat dalam
penelitian ini ada tiga. Indikator mekanisme good corporate governance tersebutdalam
penelitian ini adalah : (1) proporsi dewan komisaris independen, (2) kepemilikan institusional,
(3) kepemilikan manajerial.
2.1.4.1 Dewan Komisaris Independen
Komite Nasional Kebijakan Governance (2004) mengungkapkan, “Komisaris independen
adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan
komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau
hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau
bertindak semata -mata demi kepentingan perusahaan.”
Komisaris independen diharapkan mampu memperhatikan kepentingan pihak-pihak yang
mungkin sering terabaikan, misalnya pemegang saham minoritas serta para stakeholder

18
Universitas Sumatera Utara

lainnya.Selain itu dalam menjalankan fungsinya, dewan komisaris independen juga harus
membebaskan diri dari kepentingan pihak–pihak lain yang berpotensi memunculkan konflik
kepentingan.
Proporsi dewan komisaris independen diukur dengan menggunakan indikator persentase
anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dari seluruh ukuran anggota dewan
komisaris perusahaan. Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (good
corporate governance), BEI dalam Surat Edaran BEI No. SE-008/BEJ/12-2001 mewajibkan
perusahaaan tercatat wajib memiliki komisaris independen dan komite audit.
2.1.4.2 Kepemilikan Institusional
Kepemilikan Institusional adalah persentase saham yang dimiliki oleh institusi dari
keseluruhan saham perusahaan yang beredar. Kepemilikan institusional menurut Chen & Steiner
(1999), akan mengurangi masalah keagenan karena pemegang saham institusional akan
membantu mengawasi perusahaan sehingga manajemen tidak akan bertindak merugikan
pemegang saham. Adanya kepemilikan oleh investor institusional akan mendorong peningkatan
pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen, karena kepemilikan saham
mewakili suatu sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya
terhadap kinerja manajemen. Tingkatkepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan
usaha
pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehinggadapat mengurangi
perilaku oportunistik manajer.
2.1.4.3 Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial adalah situasi dimana manajer sekaligus sebagai pemegang
saham perusahaan. Kepemilikan manajerial dapat diukur denagn proporsi kepemilikan saham

19
Universitas Sumatera Utara

yang dimiliki manajer, direksi,komisaris, mapupun pihak lain yang secara aktif ikut dalam
pengambilan keputusan perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976). Kepemilkan manajerial dapat
dihitung dengan membagi saham yang dimiliki manajemen dengan seluruh jumlah saham
perusahaan. Jika suatu perusahaan memiliki kepemilikan manajerial yang tinggi, manajer jauh
lebih peduli tentang kepentingan pemegang saham dan opsi saham akan memiliki insentif untuk
kontribusi perusahaan. Dengan demikian, struktur modal dengan kepemilikan manajerial yang
tinggi mampu menurunkan biaya keagenan (Saputri, 2010). Jensen dan Meckling (1976)
menyatakan bahwa untuk meminimalkan konflikkeagenan adalah dengan memperbesar
kepemilikan manajerial dalam perusahaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa kepemilikan
manajerial merupakan salah satu mekanisme corporate governance yang dapat diterapkan untuk
meminimalisir konflik keagenan yang berakibat pada munculnya tindakan earnings management
oleh manajer.
2.1.5 DEA (Data Envelopment Analysis)
DEA (Data Envelopment Analysis) biasanya dinyatakan dalam Decision Making Unit
atau Unit Kegiatan Ekonomi (UKE). DEA merupakan alat yang digunakan untuk mengukur
efisiensi relatif suatu organisasi. Efisiensi UKE dapat diketahui dengan membandingkan efisiensi
UKE suatu perusahaan dengan UKE dari perusahaan lainnya dalah suatu satuan populasi atau
sempel. Namun terdapat syarat bahwa jenis input dan outputnya sama.UKE dinilai efisien
apabila rasio perbandingan input/output sama dengan 1 atau 100%. Maksudnya adalah UKE
tersebut mampu memanfaatkan inputnya secara maksimal untuk menghasilkan output tertentu
dan tidak lagi melakukan pemborosan sehingga mampu mencapai titik yang efisien. Sedangkan
UKE yang tidak efisien apabila rasio perbandingan antara input/output adalah ≤antara 0
input/output < 1 atau nilainya kurang dari 100%. Menurut Karsinah (dalam Isnugrahadi, 2009)

20
Universitas Sumatera Utara

hal tersebut berarti perusahaan belum mampu mengelola input-input yang dimilikinya untuk
menghasilkan output yang optimal atau masih melakukan pemborosan dalam menggunakan
inputnya.
2.2 Penelitian Terdahulu
Demerjian, dkk. (2006) meneliti hubungan antara kecakapanmanajerial dan manajemen
laba. Secara khusus penelitian ini menemukan bahwa manajer yang cakap berhubungan dengan
penyajian kembali yang lebih rendah, laba yang lebih tinggi, ketekunan akrual, kesalahan lebih
rendah, penyediaan liabilitas yang buruk, dan kualitas estimasi akrual yang lebih tinggi.
Demerijan, dkk. Memperkenalkan pengukuran kecakapan manajerial dibidang keuangan
menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA).
Isnugrahadi dan Kusuma (2009) meneliti tentang pengaruh kecakapan manajerial
terhadap menajemen laba, dalam penelitian ini kualitas auditor digunakan sebagai variabel
moderasi, kualitas auditor digunakan untuk mengurangi tingkat asimetri informasi antara pemilik
dengan manajemen. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kecakapan manajerial memiliki
pengaruh signifikan terhadap manajemen laba, namun kualitas auditor tidak memberikan
pengaruh dalam hubungan antara kecakapan manajerial dengan manajemen laba.
Wicaksono (2013) meneliti tentang pengaruh kecakapan manajerial terhadap manajemen
laba, dalam penelitian ini Corporate governance digunakan sebagai variable pemoderasi Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa kecakapan manajerial berpengaruh signifikan terhadap
praktik manajemen laba. Penelitian ini juga menemukan proporsi dewan komisaris independen,
kepemilikan saham institusional, dan kepemilikan saham manajerial tidak mampu memoderasi
pengaruh kecakapan manajerial terhadap praktik manajemen laba.

21
Universitas Sumatera Utara

Midiastuty dan Machfoedz (2003) meneliti hubungan mekanisme corporate governance
seperti kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan jumlah dewan direksi terhadap
praktik manajemen laba oleh manajer dan kualitas laba. Dalam penelitian tersebut ditemukan
bahwa kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba dan berpengaruh positif terhadap kualitas laba. Sementara itu jumlah dewan
direksi berpengaruh positif terhadap manajemen laba.
Ujiyantho dan Pramuka (2007) mencari hubungan mekanisme corporate governance dan
manajemen laba terhadap kualitas laba yang dilaporkan perusahaan. Variabel independen yang
digunakan antara lain kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris independen, dan ukuran
dewan komisaris. Dari penelitian ini ditemukan bahwa kepemilikan institusional dan jumlah
dewan komisaris tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba tetapi kepemilikan
manjerial berpengaruh negatif terhadap manajemen laba, sedangkan proporsi dewan komisaris
justru berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba. Namun demikian penelitian ini
menemukan bahwa secara bersama–sama mekanisme corporate governance teruji signifikan
terhadap manajemen laba.
Carcello , (2008) meneliti hubungan antara keahlian keuangan komite audit dengan
mekanisme tata kelola perusahaan terhadap manajemen laba. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa tidak terdapat asosiasi antara keahlian keuangan dengan manajemen laba.
Penelitian ini menyarankan bahwa alternatif pendekatan tata kelola sama–sama efektif dalam
meningkatkan kualitas pelaporan keuangan.
Nasution dan Setiawan (2007) meneliti pengaruh dari corporate governance yang
diproksikan dengan dewan komisaris, ukuran dewan komisaris, keberadaan komite audit, dan
ukuran perusahaan terhadap manajemen laba pada 20 bank umum yang terdaftar di BEI selama

22
Universitas Sumatera Utara

periode waktu 2000–2004. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa komposisi dewan
komisaris berpengaruh negatif terhadap manajemen laba perusahaan perbankan, ukuran dewan
komisarisberpengaruh positif terhadap manajemen laba perusahaan perbankan, keberadaan
komite audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba, ukuran perusahaan tidak
berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.
Tabel 2.1.
Penelitian Terdahulu
No
1

Peneliti
(Tahun)
Demerjian,Le
wis,lev dan
Mc
Vay
(2006 )

2

Isnugrahadi
dan Kusuma
( 2009 ).

3

Annas Budi
Wicaksono
(2013)

4

Midiastuty
dan
Machfoedz
(2003)

Judul
Manajerial
Ability and
Earnings
Mangement.
Pengaruh
Kecakapan
Manajerial
terhadap
manajemen
laba, dengan
kualitas
auditor sebagai
variabel
pemoderasi.
Pengaruh
Kecakapan
Manajerial
Terhadap Praktik
Manajemen
Laba Dengan
Corporate
Governance
Sebagai Variabel
Pemoderasi
Pengaruh
mekanisme
corporate
governance
terhadap
praktik

Variabel

Hasil

Dependen :
Earnings
Management.
Independen :
Manajerial Ability
Dependen :
Manajemen laba.
Independen :
Kecakapan
Manajerial.
Moderasi :
Kualitas Auditor

Kecakapan Manajerial
berpengaruh terhadap
manajemen laba.

Dependen :
Manajemen Laba
VariabelPemodera
si: Struktur
Coporate
Governance
Independen :
Kecakapan
Manajerial

kecakapan manajerial
berpengaruh
signifikan terhadap
praktik manajemen
laba. Struktur
Coporate Governance
tidak berpengaruh
secara signifikan

Dependen :
Earnings
Mangement dan
Kualitas laba
Independen :
Corporate

1.Menemukan bahwa
kepemilikan
manajerial
dankepemilikan
institusional
berhubungan negatif

Kecakapan manjerial
berpengaruh terhadap
intensitas manajemen
laba, kualitas auditor
tidak berpengaruh
secara signifikan.

23
Universitas Sumatera Utara

manajemen
laba dan
kualitas laba

5

Ujiyantho
dan Pramuka
( 2007 )

Mekanisme
Corporate
Governance,
Manajmen
Laba dan
Kinerja
Keuangan

6

Carcello,
(2008 )

7

Nasution dan
setiawan
(2007 )

Pengaruh
Hubungan
antara keahlian
keuangan
komite audit
dengan
mekanisme
tata kelola
perusahaan
terhadap
manajemen
laba
Pengaruh
corporate
governance
terhadap

Governance
(kepemilikan
manajerial,
kepemilikan
institusional, dan
ukuran dewan
direksi)

dengan
manajemen
laba
2. Ukuran dewan
direksi berhubungan
positif dengan
manajemen laba
3. Kepemilikan
manajerial dan
kepemilikan
institusional
berhubungan negatif
dengan kualitas laba.
Dependen :
1. Kepemilikan
institusional
dan
Kepemilikan
institusional,
jumlah
dewan komisaris tidak
kepemilikan
berpengaruh
manajerial,
signifikan
proporsi dewan
terhadap manajemen
komisaris
laba
independen,
2. Kepemilikan
ukuran
manajerial
dewan komisaris
berpengaruh
independen,
negatif terhadap
ukuran
dewan komisaris manajemen laba
3. Proporsi dewan
Independen :
manajemen laba
dan kinerja
keuangan
Dependen :
manajemen laba
Independen :
Keahlian
keuangan
komite audit

Tidak
terdapat
asosiasi
antara keahlian
keuangan dengan
manajemen laba.

Dependen :
manajemen laba
Independen :
Corporate

1. komposisi dewan
komisaris
berpengaruh
negatif terhadap

24
Universitas Sumatera Utara

manajemen
laba

Governance
(dewan komisaris,
ukuran dewan
komisaris,
keberadaan
komite
audit, dan ukuran
perusahaan)

manajemen laba
perusahaan perbankan
2.ukuran dewan
komisaris
berpengaruh
positif terhadap
manajemen laba
perusahaan perbankan
3.keberadaan komite
audit berpengaruh
negatif terhadap
manajemen laba
4.ukuran perusahaan
tidak berpengaruh
signifikan terhadap
manajemen laba

2.3 Kerangka Pemikiran
Manajemen laba merupakan upaya yang dilakukan oleh manajemen perusahaan untuk
mengatur laba. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi upaya manajemen laba yang dilakukan
manajemen. Salah satunya adalah kecakapan manajerial. Kecakapan manajemen dapat
mendorong manajemen perusahaan untuk melakukan praktik manajemen laba. Hal ini
disebabkan karena manajer yang cakap memiliki kemampuan lebih untuk mengolah informasi
yang dimilikinya, sehingga manajer yang memiliki kecakapan yang lebih akan lebih mudah
memanipulasi data dengan melakukan manajemen laba.Banyaknya kasus manipulasi laba yang
terjadi mendorong perusahaan mencari sistem atau mekanisme yang mampu meminimalisir
praktik manipulasi tersebut. Salah satu mekanisme yang digunakan adalah penerapan good
corporate governance.
Penelitian ini ingin mengetahui pengaruh dari kecakapan manajerial terhadap praktik
manajemen laba dengan struktur corporate governance sebagai variabel pemoderasi. Dalam

25
Universitas Sumatera Utara

penelitian ini struktur corporate governance yang digunakan adalah proksi dewan komisaris
independen, kepemilikan institusional, dan kepemilikan manajerial.
Dari uraian diatas maka kaitan antara variabel-variabel dalam penelitian ini, dapat dilihat
melalui gambar berikut ini :

VARIBEL PEMODERASI :
Struktur Coporate Governance

• Proporsi Komisaris Independen
• Kepemilikan Institusional
• Kepemilikan Manajerial

VARIABEL
INDEPENDEN :

Variabel
Dependen :

KecakapanManajerial

Manajemen Laba

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.4 Hipotesis Penelitian
2.4.1 Pengaruh Kecakapan Manajerial Terhadap Manajemen Laba
Dalam penelitiannya Isnugrahadi dan Kusuma (2009) membuktikan pengaruh kecakapan
manajerial terhadap manajemen laba. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecakapan manajerial
26
Universitas Sumatera Utara

berpengaruh positif dan signifikan terhadap prilaku manajemen laba. Penelitian ini mengungkapkan
bahwa hal tersebut di sebabkan karena tidak adanya kultur organisasi yang mendukung pengambilan
keputusan yang etis srta tidak adanya motivator bagi manajemen untuk bertindak jujur. Manajer

yang cakap adalah manajer yang memiliki tingkat intelegensia dan pendidikan yang cukup tinggi
serta pengalaman sehingga mampu membuat keputusan yang tepat, yaitu dapat memberi nilai
tambah bagi perusahaan. Setiap keputusan manajer akan berdampak pada perusahaan. Adanya
keputusan-keputusan tersebut dapat menunjukkan seberapa cakap seorang manajer.
Terdapat standar yang memperbolehkan manajer untuk memilih motode-metode
akuntansi yang tersedia. Namun, sulit untuk mengesampingkan kepentingan pribadi dalam
memilih suatu metode akuntansi karena manajer bersikap oportunistik. Hal tersebut sesuai
dengan dasar teori keagenan yang disampaikan oleh Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori
keagenan menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu manusia pada umumnya mementingkan
diri sendiri (self interest), manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa
mendatang (bounded rationality), dan manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Adanya
wewenang untuk memilih standar dan sikap oportunistik dapat dimanfaatkan oleh manajer yang
cakap untuk melakukan manajemen laba.
Selain itu, sebagai pengelola perusahaan, manajer memiliki tanggung jawab untuk
menyampaikan kinerjanya kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan
yang disusun secara periodik. Namun, terdapat ketidakseimbangan penguasaan informasi dapat
menjadi pemicu munculnya suatu kondisi yang disebut asimetri informasi. Asimetri informasi
terjadi ketika manajer sebagai pihak pengelola perusahaan memiliki informasi yang tidak sama
dengan pemegang saham (Halim dkk, 2005). Manajer memiliki informasi yang lebih banyak
dibandingkan pemiliki atau pemegang saham. Pemilik tidak dapat memantau kegiatan manajer

27
Universitas Sumatera Utara

secara terus menerus. Hal inilah yang dapat dimanfaatkan manajer, terutama manajer yang cakap
untuk melakukan praktek manajemen laba.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
H1 : Kecakapan manajerial berpengaruh positif terhadap manajemen laba.

2.4.2Peran Proporsi Dewan Komisaris Independen Dalam Memoderasi Pengaruh
Kecakapan Manajerial Terhadap Manajemen Laba
Isnugrahadi dan Kusuma ( 2009 ) menyatakan bahwa semakincakap seorang manajer
maka semakin tinggi tingkat intensitas manajemenlaba yang dilakukannya. Hal tersebut terjadi
karena terdapat beberapakondisi dalam perusahaan yang tidak mendukung manajemen
untukbertindak jujur dalam melaporkan laba yang mencerminkan realitasekonomi. Kondisi
perusahaan yang dapat mendukung manajemenbertindak jujur dalam melaporkan realitas
ekonomis yaitu ketika terdapatkultur organisasional yang mendukung pengambilan keputusan
yang etisdan terdapat pemotivator untuk selalu bertindak jujur.
Keberadaan dewan komisaris independen mampu memberikanpengaruh terhadap
pengendalian dan pengawasan aktivitas pengelolaperusahaan, termasuk perilaku oportunistik
seperti tindakan manajemenlaba yang memanfaatkan kecakapan dan wewenang yang dimiliki
manajer.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
H2 : Proporsi dewan komisaris independen memoderasi pengaruh kecakapan manajerial
terhadap manajemen laba
2.4.3 Peran Kepemilikan Institusional Dalam Memoderasi Pengaruh Kecakapan
Manajerial Terhadap Manajemen Laba

28
Universitas Sumatera Utara

Perusahaan membutuhkan suatu solusi yang bertujuan untukmenghambat manajer
melakukan tindakan manajemen laba. Corporate governance yang kuat dalam sebuah
perusahaan akanmenjadi penghambat bagi manajer untuk menyembunyikan, mengubah,atau
menunda informasi yang seharusnya diketahui oleh publik berkepentingan (Sulistyanto, 2008).
Kepemilikan instituisonal sebagai salah satu struktur corporate governance memiliki
kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemenmelalui proses monitoring secara
efektif.Adanya kepemilikan oleh investor institusional akan mendorong peningkatan pengawasan
yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen, karena kepemilikan saham mewakili suatu
sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung kinerja manajemen. Investor
institusional diasumsikan sebagai investor yangberpengalaman dan dapat melakukan analisa
yang lebih baik sehinggatidak mudah diperdaya oleh manipulasi manajer yang cakap.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut :
H3 : Kepemilikan institusional memoderasi pengaruh kecakapan manajerial terhadap
manajemen laba
2.4.4 Peran Kepemilikan Manajerial Dalam Memoderasi PengaruhKecakapan
Manajerial Terhadap Manajemen Laba
Kepemilikan manajerial dapat menjadi menjadi mekanisme untuk mengurangi
masalahkeagenan dengan menyelaraskan kepentingan–kepentingan manajer dengan pemegang
saham.Jensen dan Meckling (1976) menemukan bahwakepentingan manajer dengan pemegang
saham eksternal dapat disatukanjika kepemilikan saham oleh manajer diperbesar sehingga
manajer tidak akan memanipulasi laba untuk kepentingannya.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut:

29
Universitas Sumatera Utara

H4 : Kepemilikan manjerial memoderasi pengaruh kecakapanmanajerial terhadap
manajemen laba.

30
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

PENGARUH KECAKAPAN MANAJERIAL TERHADAP MANAJEMEN LABA DENGAN KEPEMILIKAN MANAJERIAL SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI

2 19 58

PENGARUH KECAKAPAN MANAJERIAL TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI

0 5 76

Pengaruh Kecakapan Manajerial Terhadap Praktik Manajemen Laba Dengan Corporate Governance Sebagai Variabel Pemoderasi (Studi Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2012–2014)

0 4 98

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di BEI).

0 0 15

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA Pengaruh Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba(Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bei) Tahun 2008-2010.

0 0 14

Pengaruh Kecakapan Manajerial Terhadap Praktik Manajemen Laba Dengan Corporate Governance Sebagai Variabel Pemoderasi (Studi Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2012–2014)

0 0 13

Pengaruh Kecakapan Manajerial Terhadap Praktik Manajemen Laba Dengan Corporate Governance Sebagai Variabel Pemoderasi (Studi Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2012–2014)

0 0 2

Pengaruh Kecakapan Manajerial Terhadap Praktik Manajemen Laba Dengan Corporate Governance Sebagai Variabel Pemoderasi (Studi Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2012–2014)

1 3 7

Pengaruh Kecakapan Manajerial Terhadap Praktik Manajemen Laba Dengan Corporate Governance Sebagai Variabel Pemoderasi (Studi Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2012–2014)

0 0 3

Pengaruh Kecakapan Manajerial Terhadap Praktik Manajemen Laba Dengan Corporate Governance Sebagai Variabel Pemoderasi (Studi Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2012–2014)

0 0 11