Keanekaragaman Ikan Di Sungai Sembahe, Kabupaten Deli Serdang

3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Perairan Sungai (Lotik)
Sungai memiliki beberapa ciri antara lain: memiliki arus, resident time (waktu
tinggal air), organisme yang ada memiliki adaptasi biota khusus, substrat
umumnya berupa batuan, kerikil, pasir dan lumpur, tidak terdapat stratifikasi suhu
dan oksigen, serta sangat mudah mengalami pencemaran dan mudah pula
menghilangkannya (Odum, 1996).
Ekosistem lotik atau sungai dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan
zona krenal (mata air) yang umunya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi
menjadi rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat
pada tebing-tebing yang curam, limnokreanal yaitu mata air yang membentuk
genangan air yang selanjutnya membentuk aliran sungai yang kecil dan
helokrenal yaitu mata air yang membentuk rawa-rawa. Selanjutnya aliran dari
beberapa mata air akan membentuk aliran sungai di daerah pegunungan yang
disebut zona rithral ditandai dengan relief aliran sungai yang terjal (Barus, 2004).
Secara ekologis menurut Odum (1996) sungai memiliki dua zona utama
yaitu:

1. Zona air deras
Daerah yang dangkal dimana kecepatan arus cukup tinggi untuk
menyebabkan dasar sungai bersih dari endapan dan materi lain yang lepas,
sehingga dasarnya padat. Zona ini dihuni oleh bentos yang beradaptasi khusus
yang dapat melekat atau berpegang dengan kuat pada dasar yang padat dan oleh
ikan yang kuat berenang.
2. Zona air tenang
Bagian air yang dalam, kecepatan arusnya sudah berkurang sehingga
lumpur dan materi lepas cenderung mengendap di dasar, sehingga dasarnya lunak,
tidak sesuai untuk bentos permukaan tetapi cocok untuk nekton penggali dan pada
beberapa plankton.

Universitas Sumatera Utara

4

2.2 Karakteristik Ikan
Ikan merupakan biota akuatik yang bersifat mobile atau nekton yang hidup di
perairan baik sungai, danau, ataupun lautan. Hewan ini sudah lama menjadi salah
satu sumber daya pangan yang dimanfaatkan oleh manusia karena mempunyai

nilai ekonomis yang besar. Dengan sifatnya yang mobile, dalam batas tertentu
ikan dapat memilih bagian perairan yang layak bagi kehidupannya. Ikan-ikan
tertentu akan menghindarkan diri dari kondisi perairan yang mengalami
perubahan lingkungan yang mengganggu kehidupannya, misalnya terjadi
pencemaran asam atau sulfida, tetapi tidak menghindar pada perairan yang
mengandung amonia atau tembaga. Akan tetapi, ikan mempunyai kemampuan
terbatas untuk memilih daerah yang aman bagi kehidupannya (Fujaya, 2002).
Ikan merupakan vertebrata akuatik dan bernafas dengan insang. Beberapa
jenis ikan bernafas melalui alat tambahan berupa modifikasi gelembung renang
atau gelembung udara. Otak ikan dibungkus dalam kranium (tulang kepala) dan
berupa kartilago (tulang rawan). Bagian kepala ikan terdiri atas sepasang mata,
mulut yang disokong oleh rahang, telinga yang hanya terdiri dari telinga dalam
dan berupa saluran-saluran semi sirkular sebagai organ keseimbangan. Ikan
memiliki jantung yang berkembang dengan baik. Sirkulasinya menyangkut aliran
seluruh darah dari jantung melalui insang lain ke seluruh bagian tubuh lain.
(Brotowidjoyo, 1995).
Menurut Eschmeyer (1998) ikan terbagi atas 6 kelas, yaitu:
1.

Kelas Myxini


Kelas ini memiliki morfologi seperti ular, tidak mempunyai tulang belakang
(vertebra), tidak mempunyai rahang, mata rudimenter. Tidak ada sirip
berpasangan dan tidak ada sirip dorsal, bertulang rawan. Narest pada bagian
kepala, sungut tiga pasang, nostril di bagian depan kepala. Terdapat 5 – 15
kantung insang pada setiap sisi. Sistem garis sisi mengalami degenerasi. Usus
tidak bersilia. Memiliki ukuran telur yang besar.
Semua anggota Kelas Myxini membenamkan diri ke dasar perairan untuk
mencari hewan avertebrata yang lunak sebagai makanan hidup di laut. Sebagian
besar hidup di zona intertidal pada dasar berlumpur lunak dan berpasir.

Universitas Sumatera Utara

5

2.

Kelas Cephalaspidomorphi

Kelas ini memiliki morfologi seperti ular, vertebrae terdiri atas tulang rawan. Ikan

ini tidak mempunyai rahang, mata berkembang baik, tidak memiliki sungut,
nostril di bagian atas kepala.
Tidak ada lengkung insang sejati untuk menyokong dan melindungi
insang, dan sebagai gantinya terdapat suatu kantung yang terletak di luar insang;
arteri insang dan saraf insang terletak di dalamnya. Memiliki satu lubang hidung.
Sirip berpasangan tidak ada. Sirip dorsal satu atau dua, usus bersilia. Telur kecil
dengan kait. Ikan ini termasuk parasit atau predator. Ia mengisap darah dan cairan
tubuh ikan lain, seperti vampir. Kontradiksi dengan ikan dewasa, larva
(ammocoete) hidup membenamkan diri di lumpur sungai. Di sini ia akan
menyaring alga dan detritus. Dua pola hidup yang berbeda ini merupakan aspek
yang sangat menarik. Jumlah anggota kelas ini tercatat mendekati 40 spesies.
Empat spesies ditemukan di daerah iklim sedang di belahan bumi selatan, dan
selebihnya ada di belahan bumi utara.

3.

Kelas Holocephali

Ikan ini umum disebur sebagai ratfish karena ekornya yang ramping dan
memanjang serta kepala yang meruncing memberikan gambaran seperti tikus.

Rahang atas menyatu dengan kranium. Jumlah insang ada empat pasang dan celah
insang satu pasang. Tanpa sisik pada ikan dewasa. Tidak punya spirakel dan tidak
ada kloaka. Ikan yang jantan mempunyai alat penyalur sperma disebut tenakulum,
yang terletak di kepala bagian depan. Kelas Holocephali hanya terdiri atas satu
ordo, yaitu Chimaeriformes.

4.

Kelas Elasmobranchii

Vertebra terdiri atas tulang rawan (dengan sedikit pengapuran tetapi tidak
terjadi osifikasi). Ikan ini mempunyai rahang. Jumlah insang dan celah insang
berkisar antara 5 - 7 pasang, yang setiap pasangnya mempunyai sekat pelat
insang. Lengkung insang berupa tulang rawan, yang di dalamnya terdapat arteri
insang dan saraf insang. Spirakel terletak di depan celah insang. Ikan mempunyai
sirip yang berpasangan. Terdapat sepasang nostril (dirhinous).

Universitas Sumatera Utara

6


Bersisik plakoid atau tidak bersisik. Ikan jantan biasanya mempunyai alat
penyalur sperma yang dinamakan klasper (miksopterigium). Bentuk sirip ekor
tidak simetris (heteroserkal).

5.

Kelas Sarcopterygii

Sebagian dari kelas ini sudah punah dan tinggal fosil. Dari antara anggota kelas
ini ada satu spesies yang menorehkan catatan penting dalam sejarah iktiologi.
Spesies ini adalah coelacanth yang berupa fosil dan diperhitungkan hidup pada
kurun waktu antara masa pertengahan Devonian (350 juta tahun yang lalu) sampai
akhir Cretaceous (66 juta tahun yang lalu).
Dunia terkejut ketika tepat sebelum Natal tahun 1938 seekor coelacanth
hidup tertangkap oleh pukat tarik (trawl) pada kedalaman 70 meter di pantai timur
Afrika Selatan. Perhatian dunia tersedot dan takjub, karena sebelumnya ikan ini
hanya dikenal dari fosilnya

6.


Kelas Actinopterygii

Kelas Actinopterygii merupakan kelas yang dominan di bumi. Nelson (2006)
menegaskan bahwa kelas ini mencakup 44 ordo yang memiliki 26.891 spesies.
Sekitar 44% dari jumlah spesies tersebut adalah ikan air tawar. Kelas ini
mempunyai ciri antara lain, notokorda seperti rangkaian manik, atau seperti
manik-manik yang terpisah, mempunyai rahang (maksila dan premaksila), rangka
terdiri atas tulang sejati, lengkung insang merupakan tulang sejati, yang terletak di
bagian tengah insang, mengandung arteri dan saraf, mempunyai sirip yang
berpasangan (sirip dada dan sirip perut), mempunyai sepasang lubang hidung,
mempunyai sisik yang umumnya bertipe sikloid dan stenoid, tetapi ada juga yang
bersisik tipe ganoid dan beberapa kelompok tanpa sisik, biasanya mempunyai
gelembung gas, tidak memiliki kloaka.

2.3 Faktor Fisik Kimia Perairan
2.3.1 Temperatur (ºC)
Suhu merupakan faktor lingkungan yang sering kali beroperasi sebagai faktor
pembatas.Suhu mempengaruhi termoregulasi tubuh ikan dalam lingkungan yang
berbeda dan aktivitas reproduksi ikan dalam pembentukan gonad. Perubahan suhu


Universitas Sumatera Utara

7

di bawah 20°C atau di atas 30°C menyebabkan ikan mengalami stres yang
biasanya diikuti oleh menurunnya daya cerna ikan (Ardiyana, 2010).
Semua jenis ikan mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan
suhu apalagi yang drastis. Kisaran suhu yang baik untuk ikan adalah antara 25-320
C. Kisaran suhu ini umumnya terjadi di daerah yang beriklim tropis seperti
Indonesia. Dengan terjadinya kenaikan suhu pada ekosisten perairan akan
meningkatkan laju metabolisme ikan dan hewan air lainnya (Anwar et al., 1984).
Laju metabolisme yang meningkat akan menyebabkan konsumsi oksigen
meningkat, sehingga akan mengakibatkan kelarutan oksigen dalam air menjadi
berkurang. Hal ini menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk
melakukan respirasi (Barus, 2004).

2.3.2 pH (potential of Hydrogen)
Potential of Hydrogen (pH) merupakan derajat keasaman yang menyatakan
keasaman atau kebasaan dalam suatu larutan. Pembuangan limbah dari penduduk

dapat menaikkan atau menurunkan pH air di Sungai. Nilai pH air sangatlah
penting sebagai faktor lingkungan di Sungai Sembahe, karena berpengaruh
terhadap keanekaragam jenis ikan di sungai tersebut. Nilai pH ideal untuk ikan
hidup berkisar 7-8,5 (Effendi, 2003).
Nilai pH merupakan suatu ekspresi dari konsentrasi ion hydrogen (H+) di
dalam air. Biasanya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H, pH
sangat penting sebagai parameter kualitas air, karena pH mengontrol tipe dan laju
kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Selain itu ikan makhluk-makhluk
akuatik lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahui nilai
pH maka kita akan tahu apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang
kehidupan organism air (Rifai & Nasution, 1993).
Menurut Barus (2004), organisme air dapat hidup dalam suatu perairan
yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah
sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada
umumnya terdapat pada kisaran 7. Sementara reproduksi atau perkembangbiakan
ikan biasanya akan naik pada pH 6,5, walaupun itu tergantung juga kepada jenis
ikannya (Lesmana dan Dermawan, 2001).

Universitas Sumatera Utara


8

2.3.3 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut merupakan salah satu parameter dalam menentukan kualitas air.
Nilai DO yang semakin besar pada air, mengindikasikan air tersebut memiliki
kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah, dapat diketahui bahwa air
tersebut telah tercemar. Pengukuran DO juga bertujuan melihat sejauh mana
badan air mampu menampung biota air seperti ikan dan mikroorganisme. Oksigen
terlarut pada air yang ideal ikan adalah 5-7 ppm, jika kurang dari itu maka resiko
kematian akan semakin tinggi (Nurudin, 2013).
Pada permukaan sungai kadar oksigen cenderung lebih tinggi karena
adanya difusi dari udara bebas dan fotosintesis dibandingkan dengan dasar sungai
yang proses fotosintesis berkurang akibat kekurangan intesitas cahaya (Odum
1996).
Oksigen diperlukan oleh ikan-ikan untuk menghasilkan energi yang sangat
penting bagi pencernaan dan asimilasi makanan, pemeliharaan keseimbangan
osmotik dan aktivitas lainnya. Jika persediaan oksigen di perairan sungai sedikit
maka perairan tersebut tidak baik bagi ikan dan makhluk hidup lainnya yang
hidup di air, karena akan mempengaruhi kecepatan makan dan pertumbuhan ikan
(Wardana, 2001).


2.3.4 BOD (Biochemical Oxygen Demand)
Nilai BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
aerob dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada temperature
20oC. Dalam proses oksidasi secara biologis ini tentu saja dibutuhkan waktu yang
lebih lama jika dibandingkan dengan proses oksidasi secara kimia. Pengukuran
BOD didasarkan kepada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan
senyawa organik, artinya hanya terhadap senyawa yang mudah diuraikan secara
biologis seperti senyawa yang umumnya terdapat dalam limbah rumah tangga.
Untuk produk-produk kimia seperti senyawa minyak dan buangan kimia lainnya
akan sangat sulit atau bahkan tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme (Barus,
2004).
Biochemical Oxygen Demand merupakan ukuran jumlah zat organik yang
dapat dioksidasi oleh bakteri aerob/jumlah oksigen yang digunakan untuk
mengoksidasi sejumlah tertentu zat organik dalam keadaan aerob. BOD5

Universitas Sumatera Utara

9

merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu perairan. Perairan
dengan nilai BOD5 tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh
bahan organik. Bahan organik akan distabilkan secara biologik dengan melibatkan
mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Oksidasi aerobik dapat
menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan sampai pada
tingkat terendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerobik yang dapat
mengakibatkan kematian ikan (Wardana, 2001).

2.3.5 COD (Chemical Oxygen Demand)
COD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi
kimia yang dinyatakan dalam O2 mg/L. Dengan mengukur COD akan diperoleh
nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi
terhadap total senyawa organik baik 15 yang mudah diuraikan secara biologis
maupun terhadap yang sukar atau tidak bisa diuraikan secara biologis (Salmin,
2005).

2.3.6 Penetrasi Cahaya
Penetrasi cahaya merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman berapa
cahaya matahari dapat menembus lapisan suatu ekosistem perairan. Nilai ini
sangat penting dalam kaitannya dengan laju fotosintesis. Besar nilai penetrasi
cahaya ini dapat diidentifikasikan dengan kedalaman air yang memungkinkan
masih berlangsungnya proses fotosintesis. Nilai penetrasi cahaya sangat
dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, kekeruhan air serta kepadatan
plankton (Barus, 2001).
Menurut Nybakken (1992), fotosintesis hanya dapat berlangsung bila
intensitas cahaya yang sampai kesatu sel alga lebih besar dari pada suatu
intensitas tertentu. Besarnya nilai penetrasi cahaya ini dapat diidentifikasikan
dengan kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya proses
fotosintesis. Nilai penetrasi cahaya sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya
matahari, kekeruhan air serta kepadatan plankton suatu perairan.
Kemampuan penetrasi cahaya sampai dengan kedalaman tertentu juga
akan mempengaruhi distribusi dan intensitas fotosintesis tumbuhan air di badan

Universitas Sumatera Utara

10

perairan, sehingga akan meningkatkan jumlah ketersediaan oksigen di perairan
akan meningkat untuk digunakan oleh ikan dan mahkluk hidup lainnya yang
hidup di air (Brower, 1990).

2.3.7 Intensitas Cahaya
Faktor cahaya matahari yang masuk ke badan air akan mempengaruhi sifat optis
dari air. Sebagai cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagai lagi akan
dipantulkan keluar dari permukaan, dengan bertambahnya kedalaman lapisan air,
maka intesitas cahaya akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara
kualitatif maupun secara kualitatif (Barus, 2004).
Cahaya merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan ikan dan
berperan secara langsung maupun tidak langsung. Cahaya dibutuhkan ikan untuk
mengejar mangsa, menghindarkan diri dari predator. Hanya beberapa spesies ikan
yang beradaptasi untuk hidup ditempat yang dalam kondisi gelap. Secara tidak
langsung peranan cahaya matahari bagi kehidupan ikan adalah melalui rantai
makanan.

Selain penting dalam membantu penglihatan, cahaya juga penting

dalam metabolisme ikan dan pematangan gonad (Goldman and Horne, 1983).

2.3.8 Nitrat dan Fosfat
Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan
nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat nitrogen sangat mudah
larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi
sempurna senyawa nitrogen di perairan. Perairan oligotropik memiliki kadar nitrat
antara 0-1 mh/l. Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit
dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung pada
kondisi (Effendi, 2003).
Seperti halnya nitrogen, fosfor merupakan unsur penting dalam suatu
ekosistem air. Zat-zat organik terutama protein mengandung gugus fosfor,
misalnya ATP, yang terdapat di dalam sel mahluk hidup dan berperan penting
dalam penyediaan energi. Dalam ekosistem fosfor terdapat dalam tiga bentuk
yaitu senyawa fosfor anorganik seperti ortofosfat, senyawa organik dalam
protoplasma dan sebagai senyawa organik terlarut yang terbentuk dari proses

Universitas Sumatera Utara

11

penguraian tubuh organism. Fosfor bersama dengan nitrogen sangat berperan
dalam proses terjadinya eutrofikasi di suatu ekosistem air. Seperti diketahui
bahwa fitoplankton dan tumbuhan air lainnya membutuhkan nitrogen dan fosfor
sebagai sumber nutrisi utama bagi pertumbuhannya. Dengan demikian maka
peningkatan unsur fosfor dalam air dapat meningkatkan populasi alga secara
massal yang dapat menimbulkan eutrofikasi dalam ekosistem air (Barus, 2004).

Universitas Sumatera Utara