Hubungan Academic self efficay Terhadap Intensi Wirausaha Pada Mahasiswa

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:43:16 2017 / +0000 GMT

Hubungan Academic self-efficay Terhadap Intensi Wirausaha Pada Mahasiswa
LINK DOWNLOAD [40.75 KB]
Latar Belakang Masalah
Menurut Badan Pusat Statisitk jumlah angkatan kerja yang menganggur hingga Agustus 2009 mencapai 113,89 juta orang.
Bertambah 90.000 orang dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja Februari 2009 sebesar 113,74 juta orang atau bertambah 1,88
juta orang dibandingkan dengan Agustus 2008 sebesar 111,95 juta orang. Jumlah ini diprediksi akan semakin meningkat apabila
tidak disediakan lapangan kerja baru. Sementara jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada Agustus 2009 mencapai 104,87
juta orang, bertambah 380.000 orang dibandingkan dengan keadaan pada Februari 2009 sebesar 104,49 juta orang atau bertambah
2,32 juta orang dibandingkan dengan Agustus 2008 sebesar 102,55 juta orang (http://www.bps.go.id/?news=733).
Melihat kenyataan di atas maka perlu satu alternatif jitu yang dapat mengurangi jumlah pengangguran di mana alternatif tersebut
tidak selalu harus bekerja di perusahaan. Pemikiran harus bekerja di perusahaan dikarenakan beberapa faktor misalnya, pendidikan
di Indonesia membentuk peserta didik menjadi karyawan atau bekerja di perusahaan, namun tidak mendidik untuk menjadi pencipta
lapangan pekerjaan yang baik. Dalam keluarga, sebagian besar orang tua akan lebih bahagia dan merasa berhasil mendidik
anak-anaknya, apabila anak menjadi pegawai pemerintah ataupun karyawan swasta yang jumlah penghasilannya jelas dan kontinyu
setiap bulannya (Kasmir, 2006). Hal itu serupa dengan hasil penelitian Scott dan Twomey (dalam Indarti & Rostiani, 2008) faktor
seperti pengaruh orang tua dan pengalaman kerja yang akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu usaha dan sikap orang
tersebut terhadap keinginannya untuk menjadi karyawan atau wirausaha. Masyarakat Indonesia cenderung lebih percaya diri bekerja
pada orang lain dari pada memulai suatu usaha. Selain itu adanya kecenderungan menghindari resiko gagal dan pendapatan yang

tidak tetap (Wijaya, 2007).
Hal-hal di atas inilah yang membuat banyak orang takut dan tidak mau untuk berwirausaha apalagi ditambah modal yang terbatas,
sehingga mereka cenderung memilih pekerjaan sebagai pegawai negeri ataupun pegawai swasta. Namun pada jaman sekarang ini
persaingan untuk mendapatkan pekerjaan semakin sulit dan terbatasnya lapangan pekerjaan. Kedua hal tersebut ditambah lagi
dengan lulusan yang tidak siap kerja, tidak masuknya standar IPK dan seleksi awal perusahaan (psikotest, wawancara, dan masa
training) untuk syarat masuk ke dalam perusahaan-perusahaan yang ada akan meningkatkan jumlah pengangguran setiap tahunnya.
Jika melihat kenyataan seperti ini maka berwirausaha merupakan salah satu pilihan yang rasional mengingat sifatnya yang mandiri,
sehingga tidak bergantung pada lapangan kerja yang semakin sedikit (Wijaya, 2007).
Salah satu faktor pendukung wirausaha adalah adanya keinginan dan keinginan ini oleh Fishbein dan Ajzen (dalam Wijaya, 2007),
disebut sebagai intensi yaitu komponen dalam diri individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu.
Hal tersebut seperti yang dinyatakan oleh Krueger dan Carsrud (dalam Indarti & Rostiani, 2008), intensi telah terbukti menjadi
prediktor yang terbaik bagi perilaku kewirausahaan. Oleh karena itu, intensi dapat dijadikan sebagai pendekatan dasar yang masuk
akal untuk memahami siapa-siapa yang akan menjadi wirausaha (Choo dan Wong dalam Indarti & Rostiani, 2008). Penelitian
Indarti & Rostiani (2008) menunjukkan tingkat intensi kewirausahaan mahasiswa Indonesia signifikan lebih tinggi dibandingkan
mahasiswa Jepang dan Norwegia.
Wirausaha ternyata memiliki banyak keuntungan baik terhadap pelaku wirausaha, orang lain dan negara itu sendiri. Menurut Hendro
& Chandra (2006), wirausaha dapat meningkatkan taraf hidup seseorang di masa yang akan datang. Kewirausahaan perlu
diupayakan dalam mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, serta meningkatkan kesejahteraan suatu negara. Jika setiap
komponen memiliki kemampuan kewirausahaan yang baik maka dapat menghasilkan efek domino bagi transformasi ekonomi sosial
(Ciputra dan Ciputra Enterpreneurship Centre dalam Kurniawan, 2009). McClelland (dalam Wijaya, 2008) juga mengungkapkan

suatu negara akan maju jika terdapat wirausaha sedikitnya sebanyak 2% dari jumlah penduduk. Menurut laporan yang dilansir
Global Entrepreneurship Monitor, pada tahun 2005, Negara Singapura memiliki Wirausaha sebanyak 7,2% dari jumlah penduduk.
Sedangkan Indonesia hanya memiliki wirausaha 0,18% dari jumlah penduduk. Tidak heran jika pendapatan perkapita Singapura
puluhan kali lebih tinggi dari Indonesia.
Secara garis besar penelitian seputar intensi kewirausahaan dilakukan dengan melihat tiga hal secara berbeda-beda: karakteristik
kepribadian; karakteristik demografis; dan karakteristik lingkungan. Beberapa peneliti terdahulu membuktikan bahwa faktor
kepribadian seperti kebutuhan akan prestasi (McClelland, Sengupta dan Debnath dalam Indarti & Rostiani, 2008) dan self efficacy
(Gilles dan Rea dalam Indarti & Rostiani, 2008) merupakan prediktor signifikan intensi kewirausahaan. Kristiansen (dalam Indarti &
Rostiani, 2008) menyebut bahwa faktor lingkungan seperti hubungan sosial, infrastruktur fisik dan institusional serta faktor budaya

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 1/9 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:43:16 2017 / +0000 GMT

dapat mempengaruhi intensi kewirausahaan. Faktor demografi seperti umur, jenis kelamin, latar belakang pendidikan dan
pengalaman bekerja seseorang diperhitungkan sebagai penentu bagi intensi kewirausahaan.
Menurut Sadino (dalam Hamdani, 2010) di sebuah forum mahasiswa Universitas Indonesia pernah mengatakan, "Siapa yang ingin

menjadi wirausaha, keluarlah dari kampus setelah acara ini dan jangan kembali kesini lagi." "Kalo mau jadi wirausaha mulailah dari
sekarang. Jangan berencana mulai setelah lulus kuliah. Apalagi, kalau Anda berusaha lulus dengan indeks prestasi tinggi, besar
kemungkinan muncul harapan dan iming-iming untuk jadi pegawai. "
Menurut peneliti sendiri jika melihat dari fenomena yang ada, memang benar yang di katakan Sadino (dalam Hamdani, 2010)
dimana mereka yang memiliki indeks prestasi tinggi akan sangat cenderung untuk bekerja di perusahaan ternama dan mereka yang
memiliki indeks prestasi yang rendah sehingga tidak masuknya standart IPK dan tidak siap kerja cenderung pada akhirnya untuk
berwirausaha, namun hal ini bukanlah karena intensi wirausaha yang ada, namun dikarenakan desakan situasional.
Dalam masalah ini tinggi rendahnya prestasi tinggi pada saat kuliah juga dipengaruhi oleh academic self-efficacy yang dimiliki
setiap mahasiswa di mana tentunya berpengaruh terhadap prestasi belajar. Academic self-efficacy menunjuk pada seseorang yang
memiliki keyakinan bahwa mereka dapat berhasil dalam mencapai prestasi pada bidang akademik atau mencapai specific academic
goal (Bandura; Eccles & Wigfield; Elias & Loomis; Gresham; Linnenbrink & Pintrich; Schunk & Pajares dalam McGrew, 2008).
Academic self-efficacy berdasar pada self-efficacy Bandura (dalam Golightly, 2007). Miner menyatakan (Luthans dalam Riyanti,
2007) bahwa individu yang memiliki high self-efficacy memiliki harapan-harapan yang kuat mengenai kemampuan diri untuk
menunjukkan prestasi secara sukses dalam situasi yang sama sekali baru. Hal baru menurut Miner (Luthans dalam Riyanti, 2007)
tersebut peneliti hubungkan dengan wirausaha, di mana mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW selama menempuh pendidikan di
bangku kuliah tentunya memiliki academic self-efficacy yaitu dalam pendidikan psikologi dan mendapati bidang baru yaitu
wirausaha.
Intensi Wirausaha

Pengertian Intesi Wirausaha

Bandura (dalam Wijaya, 2007) menyatakan bahwa intensi merupakan suatu kebulatan tekad untuk melakukan aktivitas tertentu atau
menghasilkan suatu keadaan tertentu di masa depan. Intensi menurutnya adalah bagian vital dari self regulation individu yang
dilatarbelakangi oleh motivasi seseorang untuk bertindak.
Intensi menurut Fishbein & Ajzen (dalam Wijaya, 2007) merupakan komponen dalam diri individu yang mengacu pada keinginan
untuk melakukan tingkah laku tertentu. Intensi didefinisikan sebagai dimensi probabilitas subjektif individu dalam kaitan antara diri
dan perilaku.
Sukardi (dalam Riyanti, 2007) menyatakan wirausaha adalah seseorang yang dapat memanfaatkan, mengatur, mengarahkan,
sumberdaya, tenaga kerja, alat produksi, untuk menciptakan sesuatu prodak tertentu, di mana produk untuk meciptakan sesuatu
dijual dalam penghasilan untuk kelangsungan hidupnya.
Pekerti (dalam Wijaya, 2007) menjelaskan bahwa wirausaha adalah individu yang mendirikan, mengelola, mengembangkan dan
melembagakan perusahaan miliknya sendiri dan individu yang dapat menciptakan kerja bagi orang lain dengan berswadaya.
Intensi wirausahaan dapat diartikan sebagai proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembentukan
suatu usaha (Katz dan Gartner dalam Indarti & Rostiani, 2008). Seseorang dengan intensi untuk memulai usaha akan memiliki
kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dalam usaha yang dijalankan dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk memulai usaha.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa intensi wirausahaan adalah suatu kebulatan tekat atau keinginan untuk mendirikan,
mengelola, mengembangkan sumber daya, tenaga kerja, alat produksi, untuk menciptakan suatu produk tertentu, dimana produk itu
dijual untuk kelangsungan hidupnya. Dari situ juga individu yang menjalankan dapat menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.

Aspek-aspek Intensi Wirausaha
Aspek intensi merupakan aspek-aspek yang mendorong niat individu berperilaku seperti keyakinan dan pengendalian diri.

Terbentuknya perilaku dapat diterangkan dengan teori tindakan beralasan yang mengasumsikan manusia selalu mempunyai tujuan
dalam berperilaku (Fisbein & Ajzen dalam Riyanti, 2007). Dalam teorinya mengenai intensi, Shapero & Sokol (dalam Riyanti,
2007) mengadaptasi teori Planned behavior dari Fishbein & Ajzen (dalam Riyanti, 2007) dan mengaplikasikan secara khusus dalam

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 2/9 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:43:16 2017 / +0000 GMT

dunia wirausaha menjadi teori entrepreneurial event. Dimana menurut Shapero & Sokol entrepreneurial event memiliki tiga
dimensi:

Perceived desirability adalah bias personal seseorang yang memandang penciptaan usaha baru sebagai sesuatu yang menarik dan
diinginkan. Bias ini tumbuh dari pandangan atas konsekuensi personal pengalaman kewirausahaan (misalnya baik atau buruk), dan
tingkat dukungan dari lingkungan (keluarga, teman, kerabat, sejawat, dsb.) Variabel ini merefleksikan afeksi individu terhadap
kewirausahaan.
Perceived feasibility, elemen ini menunjukkan derajat kepercayaan di mana seseorang memandang dirinya mempunyai kemampuan
untuk mengumpulkan sumber daya-sumber daya (manusia, sosial, finansial) untuk membangun usaha baru.

Propensity to act menunjukkan dorongan dalam diri seseorang untuk bertingkah laku dan intensitasnya sangat bervariasi bagi tiap
individu. Determinan ini tidak hanya mempunyai pengaruh langsung terhadap intensi tetapi juga mempunyai pengaruh tidak
langsung. Ketika propensity to act individu rendah, intensi untuk berwirausaha mempunyai kemungkinan yang kecil untuk
berkembang, dan perceived desirability menjadi prediktor satu-satunya intensi. Tetapi, jika propensity to act individu tinggi,
kuantitas pengalaman berwirausaha sebelumnya sebagai tambahan pada perceived feasibility dan desirability secara langsung
mempengaruhi intensi (Krueger dalam Riyanti, 2007).
Berdasarkan dari teori di atas maka peneiliti menyimpulkan aspek intensi wirausaha merupakan hal yang penting untuk memulai
suatu usaha atau suatu perilaku yang bertujuan (berwirausaha). Ada tiga dimensi intensi wirausaha yaitu pandangan bahwa
wirausaha itu menyenangkan dan sesuatu yang menarik dan diinginkan di mana hal tersebut berdasarkan pada pengalaman
kewirausahaan dan tingkat dukungan dari lingkungan sosial. Kemudian adalah kepercaan diri individu terhadap kemampuan
mengumpulkan sumber daya yang ada untuk berwirausaha. Kemudian yang terakhir sangat penting yaitu dorongan dalam diri
individu untuk berwirausaha dan hal ini memberika pengaruh secara langsung maupun tidak langsung. Ketika dorongan ini rendah
maka intensi wirausaha menjadi rendah, dan kepercayaan diri individu terhadap dimensi kemampuan mengumpulkan
sumber-sumber wirausaha menjadi dimensi satu-satunya. Namun jika dorongan ini besar maka secara langsung mempengaruhi dua
dimensi sebelumnya.

Faktor-faktor Penentu Intensi Kewirausahaan
Faktor-faktor penentu intensi kewirausahaan dengan menggabungkan tiga pendekatan (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008), yaitu
1) faktor kepribadian: kebutuhan akan prestasi dan self-efficacy; 2) faktor lingkungan yang dilihat dari tiga elemen konstektual:
askes kepada modal, informasi dan jaringan sosial; 3) faktor demografis: jender, umur, latar belakang pendidikan dan pengalaman

kerja. :

- Faktor kepribadian
Dalam faktor kepribadian dibagi menjadi dua, yaitu need of achievement dan self efficacy:

- Kebutuhan akan prestasi
McClelland (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) telah memperkenalkan konsep kebutuhan akan prestasi sebagai salah satu motif
psikologis. Lee mengungkapkan (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) kebutuhan akan prestasi dapat diartikan sebagai suatu
kesatuan watak yang memotivasi seseorang untuk menghadapi tantangan untuk mencapai kesuksesan dan keunggulan. Lebih lanjut,
McClelland (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) menegaskan bahwa kebutuhan akan prestasi sebagai salah satu karakteristik
kepribadianseseorang yang akan mendorong seseorang untuk memiliki intensi kewirausahaan.
Menurutnya, ada tiga atribut yang melekat pada seseorang yang mempunyai kebutuhan akan prestasi yang tinggi, yaitu:

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 3/9 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:43:16 2017 / +0000 GMT


- Menyukai tanggung jawab pribadi dalam mengambil keputusan;
- Mau mengambil resiko sesuai dengan kemampuannya;
- Memiliki minat untuk selalu belajar dari keputusan yang telah diambil.
Hasil penelitian dari Scapinello (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) menunjukkan bahwa seseorang dengan tingkat
kebutuhan akan prestasi yang tinggi kurang dapat menerima kegagalan daripada mereka dengan kebutuhan akan prestasi rendah.
Dengan kata lain, kebutuhan akan prestasi berpengaruh pada atribut kesuksesan dan kegagalan. Sejalan dengan hal tersebut,
Sengupta dan Debnath (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) dalam penelitiannya di India menemukan bahwa kebutuhan akan
prestasi berpengaruh besar dalam tingkat kesuksesan seorang wirausaha. Lebih spesifik, kebutuhan akan prestasi juga dapat
mendorong kemampuan pengambilan keputusan dan kecenderungan untuk mengambil resiko seorang wirausaha. Semakin tinggi
kebutuhan akan prestasi seorang wirausaha, semakin banyak keputusan tepat yang akan diambil. Wirausaha dengan kebutuhan akan
prestasi tinggi adalah pengambil resiko yang moderat dan menyukai hal-hal yang menyediakan balikan yang tepat dan cepat.

Self-efficacy
Bandura (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) mendefinisikan efikasi diri sebagai kepercayaan seseorang atas
kemampuan dirinya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Atau dengan kata lain, kondisi motivasi seseorang yang lebih didasarkan
pada apa yang mereka percaya daripada apa yang secara objektif benar. Persepsi pribadi seperti ini memegang peranan penting
dalam pengembangan intensi seseorang. Senada dengan hal tersebut, Cromie (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) menjelaskan
bahwa efikasi diri mempengaruhi kepercayaan seseorang pada tercapai atau tidaknya tujuan yang sudah ditetapkan.
Lebih rinci, Bandura (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) menjelaskan empat cara untuk mencapai efikasi diri, yaitu:


- Pengalaman sukses yang terjadi berulang-ulang. Cara ini dipandang sebagai cara yang sangat efektif untuk mengembangkan
rasa yang kuat pada efikasi diri.
- Pembelajaran melalui pengamatan secara langsung. Dengan cara ini, seseorang akan memperkirakan keahlian dan perilaku
yang relevan untuk dijadikan contoh dalam mengerjakan sebuah tugas. Penilaian atas keahlian yang dimilikinya juga
dilakukan, untuk mengetahui besar usaha yang harus dikeluarkan dalam rangka mencapai keahlian yang dibutuhkan.
- Persuasi sosial seperti diskusi yang persuasif dan balikan kinerja yang spesifik. Dengan metode ini, memungkinkan untuk
menyajikan informasi terkait dengan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.
- Penilaian terhadap status psikologis yang dimiliki. Hal ini berarti bahwa seseorang sudah seharusnya meningkatkan
kemampuan emosional dan fisik serta mengurangi tingkat stress. Di sisi lain, banyak peneliti percaya bahwa efikasi diri
terkait erat dengan pengembangan karir. Merujuk Betz dan Hacket (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008), efikasi diri akan
karir seseorang adalah domain yang menggambarkan pendapat pribadi seseorang dalam hubungannya dengan proses
pemilihan dan penyesuaian karir. Dengan demikian, efikasi diri akan karir seseorang dapat menjadi faktor penting dalam
penentuan apakah intensi kewirausahaan seseorang sudah terbentuk pada tahapan awal seseorang memulai karirnya.
Lebih lanjut, Betz dan Hacket (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat efikasi
diri seseorang pada kewirausahaan di masa-masa awal seseorang dalam berkarir, semakin kuat intensi kewirausahaan yang
dimilikinya. Selain itu, Gilles dan Rea (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) membuktikan pentingnya efikasi diri dalam proses
pengambilan keputusan terkait dengan karir seseorang. Efikasi diri terbukti signifikan menjadi penentu intensi seseorang.

- Faktor Lingkungan
Tiga faktor lingkungan yang dipercaya mempengaruhi wirausaha yaitu akses mereka kepada modal, informasi dan kualitas jaringan

sosial yang dimiliki, yang kemudian disebut kesiapan instrumen (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008).

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 4/9 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:43:16 2017 / +0000 GMT

- Akses kepada modal
Jelas, akses kepada modal merupakan hambatan klasik terutama dalam memulai usaha-usaha baru, setidaknya terjadi di
negara-negara berkembang dengan dukungan lembaga-lembaga penyedia keuangan yang tidak begitu kuat (Indarti dalam Indarti &
Rostiani, 2008). Studi empiris terdahulu menyebutkan bahwa kesulitan dalam mendapatkan akses modal, skema kredit dan kendala
sistem keuangan dipandang sebagai hambatan utama dalam kesuksesan usaha menurut calon-calon wirausaha di negara-negara
berkembang (Marsden; Meier dan Pilgrim; Steel; Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008).
Di negara-negara maju di mana infrastruktur keuangan sangat efisien, akses kepada modal juga dipersepsikan sebagai hambatan
untuk menjadi pilihan wirausaha karena tingginya hambatan masuk untuk mendapatkan modal yang besar terhadap rasio tenaga
kerja di banyak industri yang ada. Penelitian relatif baru menyebutkan bahwa akses kepada modal menjadi salah satu penentu
kesuksesan suatu usaha (Kristiansen et al.; Indarti; Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008).
2.2. Ketersediaan informasi

Ketersediaan informasi usaha merupakan faktor penting yang mendorong keinginan seseorang untuk membuka usaha baru (Indarti
dalam Indarti & Rostiani, 2008) dan faktor kritikal bagi pertumbuhan dan keberlangsungan usaha (Duh; Kristiansen; Mead &
Liedholm; Swierczek dan Ha; Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Krishna (Indarti
dalam Indarti & Rostiani, 2008) di India membuktikan bahwa keinginan yang kuat untuk memperoleh informasi adalah salah satu
karakter utama seorang wirausaha.
Pencarian informasi mengacu pada frekuensi kontak yang dibuat oleh seseorang dengan berbagai sumber informasi. Hasil dari
aktivitas tersebut sering tergantung pada ketersediaan informasi, baik melalui usaha sendiri atau sebagai bagian dari sumber daya
sosial dan jaringan. Ketersediaan informasi baru akan tergantung pada karakteristik seseorang, seperti tingkat pendidikan dan
kualitas infrastruktur, meliputi cakupan media dan sistem telekomunikasi (Kristiansen; Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008).

- Jaringan sosial
Mazzarol et al. (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) menyebutkan bahwa jaringan sosial mempengaruhi intense kewirausahaan.
Jaringan sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua orang yang mencakup komunikasi atau penyampaian informasi dari satu
pihak ke pihak lain, pertukaran barang dan jasa dari dua belah pihak; dan muatan normatif atau ekspektasi yang dimiliki oleh
seseorang terhadap orang lain karena karakter-karakter atau atribut khusus yang ada.
Bagi wirausaha, jaringan merupakan alat mengurangi resiko dan biaya transaksi serta memperbaiki akses terhadap ide-ide bisnis,
informasi dan modal (Aldrich dan Zimmer; Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008). Hal senada diungkap oleh Kristiansen (Indarti
dalam Indarti & Rostiani, 2008) yang menjelaskan bahwa jaringan sosial terdiri dari hubungan formal dan informal antara pelaku
utama dan pendukung dalam satu lingkaran terkait dan menggambarkan jalur bagi wirausaha untuk mendapatkan akses kepada
sumber daya yang diperlukan dalam pendirian, perkembangan dan kesuksesan usaha.

Faktor demografis (jender, umur, latar belakang pendidikan dan pengalaman bekerja) berpengaruh terhadap keinginannya untuk
menjadi seorang wirausaha (Mazzarol et al.; Tkachev dan Kolvereid; Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008).

- Jender
Pengaruh jender atau jenis kelamin terhadap intensi seseorang menjadi wirausaha telah banyak diteliti (Mazzarol et al.; Kolvereid;
Matthews dan Moser; Schiller dan Crewson; Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008). Seperti yang sudah diduga, bahwa mahasiswa
laki-laki memiliki intensi yang lebih kuat dibandingkan mahasiswa perempuan. Secara umum, sektor wiraswasta adalah sektor yang
didominasi oleh kaum laki-laki. Mazzarol et al., (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) membuktikan bahwa perempuan cenderung
kurang menyukai untuk membuka usaha baru dibandingkan kaum laki-laki. Temuan serupa juga disampaikan oleh Kolvereid
(Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008), laki-laki terbukti mempunyai intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Matthews dan Moser (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) pada lulusan master di

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 5/9 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:43:16 2017 / +0000 GMT

Amerika dengan menggunakan studi longitudinal menemukan bahwa minat laki-laki untuk berwirausaha konsisten dibandingkan
minat perempuan yang berubah menurut waktu. Schiller dan Crawson (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) menemukan adanya
perbedaan yang signifikan dalam hal kesuksesan usaha dan kesuksesan dalam berwirausaha antara perempuan dan laki-laki.

- Umur
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinha (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) di India, menunjukkan bahwa hampir sebagian
besar wirausaha yang sukses adalah mereka yang berusia relatif muda. Hal ini senada dengan Reynolds et al., (Indarti dalam Indarti
& Rostiani, 2008) yang menyatakan bahwa seseorang berusia 25-44 tahun adalah usia-usia paling aktif untuk berwirausaha di
negara-negara barat. Hasil penelitian terbaru terhadap wirausaha warnet di Indonesia membuktikan bahwa usia wirausaha
berkorelasi signifikan terhadap kesuksesan usaha yang dijalankan (Kristiansen et al.; Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008). Senada
dengan hal itu, Dalton dan Holloway (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) membuktikan bahwa banyak calon wirausaha yang
telah mendapat tanggung jawab besar pada saat berusia muda, bahkan layaknya seperti menjalankan usaha baru.

- Latar Belakang Pendidikan
Latar belakang pendidikan seseorang terutama yang terkait dengan bidang usaha, seperti bisnis dan manajemen atau ekonomi
dipercaya akan mempengaruhi keinginan dan minatnya untuk memulai usaha baru di masa mendatang. Sebuah studi dari India
membuktikan bahwa latar belakang pendidikan menjadi salah satu penentu penting intensi kewirausahaan dan kesuksesan usaha
yang dijalankan (Sinha; Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008). Penelitian lain, Lee (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) yang
mengkaji perempuan wirausaha menemukan bahwa perempuan berpendidikan universitas mempunyai kebutuhan akan prestasi yang
tinggi untuk menjadi wirausaha.

- Pengalaman Kerja
Kolvereid (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) menemukan bahwa seseorang yang memiliki pengalaman bekerja mempunyai
intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak pernah bekerja sebelumnya. Sebaliknya, secara lebih
spesifik, penelitian yang dilakukan oleh Mazzarol et al., (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) membuktikan bahwa seseorang
yang pernah bekerja di sektor pemerintahan cenderung kurang sukses untuk memulai usaha.
Namun, Mazzarol et al., (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) tidak menganalisis hubungan antara pengalaman kerja di sektor
swasta terhadap intensi kewirausahaan. Scott dan Twomey (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) meneliti beberapa faktor seperti
pengaruh orang tua dan pengalaman kerja yang akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu usaha dan sikap orang
tersebut terhadap keinginannya untuk menjadi karyawan atau wirausaha.
Lebih lanjut, mereka menyebutkan bahwa jika kondisi lingkungan sosial seseorang pada saat dia berusia muda kondusif untuk
kewirausahaan dan seseorang tersebut memiliki pengalaman yang positif terhadap sebuah usaha, maka dapat dipastikan orang
tersebut mempunyai gambaran yang baik tentang kewirausahaan.
Tinjauan Tentang Academic Self-efficacy (ASE)
Pengertian Academic Self-efficacy (ASE)
ASE menjelaskan sejauh mana kepercayaan individu dalam memutuskan perilaku yang dibutuhkan untuk mendapatkan kesuksesan
secara akademis (Smith; Downs dalam Golightly, 2007). Menurut definisi ini, ASE adalah derajat kepercayaan seseorang untuk
dapat memutuskan perilaku akademis yang bertujuan pada kesuksesan akademis.
ASE menjelaskan kepercayaan individu tentang kemampuannya memutuskan perilaku yang ditunjukkan, bukan tentang tindakan
sesungguhnya dari perilaku tersebut. Dengan kata lain, ASE menjelaskan kepercayaan akan kemampuan untuk menuntaskan proses
dalam bersekolah dengan sukses.

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 6/9 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:43:16 2017 / +0000 GMT

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ASE adalah tingkat kepercayaan idividu dalam mencapai kesuksesan dalam bidang
akademik. Kepercayaan tersebut memutuskan perilaku yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan dalam bidang akademik.

Komponen Academic Self-Efficacy (ASE)
Bandura (dalam Golightly, 2007) menerangkan harapan terhadap efficacy ?berasal dari empat prinsip sumber informasi: past
sucsses, modeling, verbal persuasion dan emotional arousal. Bandura menyarankan pengukuran terhadap kontribusi dari ke empat
komponen tersebut akan membantu menjelaskan self-efficacy secara global dan harapan terhadap hasil terapi.
Past sucsses adalah pengalaman individu terhadap kesuksesan mereka akan melakukan suatu tugas di masa lampau, mereka akan
mempercayai keputusan mereka berbuah sukses untuk kasus yang serupa.
Modeling adalah pengalaman individu terhadap individiu lain yang serupa dengan mereka yang berhasil dalam suatu bidang, akan
menimbulkan keyakinan bahwa mereka juga mampu dalam bidang tersebut.
Verbal persuasion, adalah komponen yang membangun self-efficacy individu saat mereka mendapatkan pengukuran persuasif dari
orang-orang terdekat mereka yang meyakinkan dirinya akan kemampuan mereka menyelesaikan suatu tugas dalam bidang tertentu.
Orang-orang terdekat ini dapat merupakan orang tua, anggota keluarga lain atau orang lain yang dekat dengan individu dan memiliki
pengaruh terhadap individu
Emotional arousal didefinisikan sebagai tingkat pembangkitan emosi individu ketika mengalami berbagai tingkatan kecemasan.
Kesuksesan pemenuhan tugas seringkali tidak terjadi saat individu berada pada level kecemasan tinggi.
Berdasarkan dari teori diatas maka peneliti menyimpulkan empat komponen ASE merupakan hal yang penting dan pasti dimiliki
oleh mereka yang mengenyam pendidikan. Kemudian hal ini tergantung dari bagaimana individu menyikapinya.
Self-efficacy secara parsimoni dapat didefinisikan sebagai kemampuan sesorang untuk dapat berhasil dalam menuntaskan tugas.
Bandura (dalam Golightly, 2007) pertama kali menyatakan self efficacy sebagai konstruk, yang membantu memahami perilaku dan
motivasi. Definisi menurut Bandura adalah ?Penilaian individu terhadap kemampuan mereka untuk mengorganisasikan dan
memutuskan courses aksi yang dibutuhkan untuk mencapai jenis performa yang diinginkan mereka?. Ia menggaris bawahi
pentingnya konstruk ini sebagai berikut ?pengharapan efficacy menentukan berapa banyak usaha yang akan dilakukan individu dan
berapa lama mereka akan ulet menghadapai rintangan pengalaman aversif?
Bandura (dalam Golightly, 2007) juga mengatakan bahwa self-efficacy berlaku secara umum untuk setiap tindakan dan perilaku
manusia di semua bidang di mana. Berbagai studi menunjukkan individu dengan self-efficacy yang kuat pada area tertentu akan
memiliki performa yang baik pada bidang tersebut, contohnya adalah career self efficacy (Betz; Betz, Borgen & Harmon dalam
Golightly, 2007) dan academic self efficacy (DeWitz & Walsh dalam Golightly, 2007), academic self efficacy dan study skills
acquisition (Zytowski & Luzzo dalam Golightly, 2007), math dan science self efficacy (Lapan, Boggs, & Morril dalam Golightly,
2007), job seeking self efficacy (Barlow et al. dalam Golightly, 2007). Bandura sendiri menguji efek dari isi secara spesifik
keberfungsian akademik dan self-efficacy (kepercayaan diri seseorang akan kapabilitas mereka untuk sukses dan menyelesaikan
tugas-tugas akademik). Penulis memakai referensi ini dalam membangun konstruk mengenai self-efficacy akademik.

Hubungan Academic self-efficay Terhadap Intensi Wirausaha Pada Mahasiswa
Intensi kewirausahaan dapat diartikan sebagai proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan
pembentukan suatu usaha (Katz dan Gartner dalam Indarti & Rostiani, 2008). Seseorang dengan intensi untuk memulai usaha akan
memiliki kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dalam usaha yang dijalankan dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk memulai
usaha. Seperti yang dinyatakan oleh Krueger dan Carsrud (dalam Indarti & Rostiani, 2008), intensi telah terbukti menjadi prediktor
yang terbaik bagi perilaku kewirausahaan. Oleh karena itu, intensi dapat dijadikan sebagai pendekatan dasar yang masuk akal untuk
memahami siapa-siapa yang akan menjadi wirausaha (Choo dan Wong dalam Indarti & Rostiani, 2008).
Academic self-efficacy menunjuk pada seseorang yang memiliki keyakinan bahwa mereka dapat berhasil dalam mencapai prestasi
pada bidang akademik atau mencapai specific academic goal (Bandura; Eccles & Wigfield; Elias & Loomis; Gresham; Linnenbrink
& Pintrich; Schunk & Pajares dalam McGrew, 2008).
Menurut Sadino (dalam Hamdani, 2010) di sebuah forum mahasiswa Universitas Indonesia pernah mengatakan, "Siapa yang ingin
menjadi wirausaha, keluarlah dari kampus setelah acara ini dan jangan kembali ke sini lagi." "Kalo mau jadi wirausaha mulailah dari

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 7/9 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:43:16 2017 / +0000 GMT

sekarang. Jangan berencana mulai setelah lulus kuliah. Apalagi, kalau Anda berusaha lulus dengan indeks prestasi tinggi, besar
kemungkinan muncul harapan dan iming-iming untuk jadi pegawai. "
Menurut peneliti sendiri jika melihat dari fenomena yang ada memang benar yang di katakan Sadino (dalam Hamdani, 2010) dimana
mereka yang memiliki indeks prestasi tinggi akan sangat cenderung untuk bekerja di perusahaan ternama dan mereka yang memiliki
indeks prestasi yang rendah sehingga tidak masuknya standart IPK dan tidak siap kerja cenderung pada akhirnya untuk
berwirausaha, namun hal ini bukanlah karena intensi wirausaha yang ada, namun dikarenakan desakan situasional.
Academic self-efficacy berdasar pada self-efficacy Bandura (dalam Golightly, 2007). Miner menyatakan (Luthans dalam Riyanti,
2007) bahwa individu yang memiliki high self-efficacy memiliki harapan-harapan yang kuat mengenai kemampuan diri untuk
menunjukkan prestasi secara sukses dalam situasi yang sama sekali baru. Hal baru menurut Miner (dalam Luthans dalam Riyanti,
2007) tersebut peneliti hubungkan dengan wirausaha, di mana mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW selama menempuh pendidikan
di bangku kuliah tentunya memiliki academic self-efficacy yaitu dalam pendidikan psikologi dan mendapati bidang baru yaitu
wirausaha.
Berdasarkan konsep-konsep diatas peneliti menghubungkan mahasiswa yang memiliki academic self-efficacy yang tinggi
mempunyai perasaan yang tenang dalam mendapati atau menghadapi tugas yang sulit dibidang akademik dan memiliki keyakinan
bahwa mereka akan berhasil dalam mencapai prestasi akademik yang baik. Mahasiswa yang memiliki keyakinan berhasil dibidang
akademik, hal tersebut akan membantunya untuk menjadi yakin mencapai keberhasilan dalam melakukan wirausaha sehingga
memiliki intensi yang tinggi untuk berwirausaha.
Mahasiswa yang memiliki academic self-efficacy yang rendah menunjukkan perasaan bahwa tugas tersebut lebih sulit dari
kenyataan sehingga menciptakan perasaan stress, cemas, dan pemikiran yang dangkal untuk menyelesaikan suatu tugas, sehingga
mereka memiliki keyakinan akan gagal dalam mencapai prestasi akademik yang baik. Mahasiswa yang memiliki keyakinan yang
rendah dalam mencapai prestasi akademik yang baik hal tersebut akan mempengaruhi keyakinan dalam melakukan wirausaha
sehingga memiliki intensi yang rendah untuk berwirausaha.
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta: Rineka Cipta.
Azwar, S. (2000). Reliabilitas dan Validitas. Edisi kelima. Yogjakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Azwar, Saifudin. (2008). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Golightly. (2007). DEFINING THE COMPONENTS OF ACADEMIC SELF-EFFICACY IN NAVAJO AMERICAN INDIAN
HIGH SCHOOL STUDENTS. Department of Counseling Psychology and Special Education Brigham Young University
(http://contentdm.lib.byu.edu/ETD/image/etd1592.pdf).
Hamdani. (2010). Entrepreneurship Kiat Melihat & Memberdayakan Potensi Bisnis. Star Books. Yogyakarta.
Hendro, Chandra. (2006). Be a Smart and Good Enterpreneur. Argo Media Pustaka. Jakarta Barat.
Indarti, Rostiani. (2008). Intensi Kewirausahaan Mahasiswa: Studi Perbandingan Antara Indonesia, Jepang dan Norwegia. Jurnal
Ekonomika dan Bisnis Indonesia, Vol. 23, No. 4, Oktober 2008.
(http://nurulindarti.files.wordpress.com/2009/03/indarti-rostiani-jebi-2008.pdf).
Janda, L. (1997). Psychological Testing: Theory and Application. Massachusetss : Allyn & Bacon.
Kasmir. (2006). Kewirausahaan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Kuriawan Ellya. (2009). Perbedaan Karakter Wirausaha Remaja Ditinjau Dari Pola Asuh Orang Tua. Proceeding Temu Ilmiah
Nasional: Presentasi Makalah / Poster Towards The Health Of Mind, Body, and Soul and Workshop Souldrama. Fakultas Psikologi

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 8/9 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:43:16 2017 / +0000 GMT

UKSW. Salatiga.
McGrew. (2008). Academic Self-Efficacy: Definition and Conceptual Background.
(http://www.iapsych.com/acmcewok/Academicself-efficacy.html)
Riyanti, (2007). Metode Experiential Learning Berbasis Pada Peningkatan Rasa Diri Mampu, Kreatif & Berani Beresiko dalam
Mata Pelajaran Kewirausahaan untuk SMK. Jurnal Fakultas Psikologi Unika Atmajaya Jakarta. Jakarta
(http://puslitjaknov.org/data/file/2008/makalah_peserta/47_Benedicta%20Prihatin%20Dwi%20Riyanti_Metode%20experiential%20
Learning%20Pelajaran%20Kewirausahaan.pdf)
Sugiarto. (2003). Teknik Sampling. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Sugiyono.(2006). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Wijaya. (2007). Hubungan Adversity Intelligence dengan Intensi Berwirausaha (Studi Empiris pada Siswa SMKN 7 Yogyakarta).
JURNAL MANAJEMEN DAN KEWIRAUSAHAAN, VOL.10, NO. 2, SEPTEMBER 2008: 93-104.
(http://directory.umm.ac.id/Wirausaha/MAN07090204.pdf)
Wijaya. (2008). Kajian Model Empiris Perilaku Berwirausaha UKM DIY dan Jawa Tengah. JURNAL MANAJEMEN DAN
KEWIRAUSAHAAN, VOL.10, NO. 2, SEPTEMBER 2008: 93-104.
(http://www.google.co.id/search?q=4.%09Kajian+Model+Empiris+Perilaku+Berwirausaha+UKM+DIY+dan+Jawa+Tengah&ie=utf
-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a).
http://www.bps.go.id/?news=733
http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2010/12/01/brk,20101201-295916,id.html

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 9/9 |