Hubungan Antara Academic Self efficacy Dengan Intensi Wirausaha Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:35:39 2017 / +0000 GMT

Hubungan Antara Academic Self-efficacy Dengan Intensi Wirausaha Pada
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana
LINK DOWNLOAD [136.84 KB]
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Menurut Badan Pusat Statisitk jumlah angkatan kerja yang menganggur hingga Agustus 2009 mencapai 113,89 juta orang.
Bertambah 90.000 orang dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja Februari 2009 sebesar 113,74 juta orang atau bertambah 1,88
juta orang dibandingkan dengan Agustus 2008 sebesar 111,95 juta orang. Jumlah ini diprediksi akan semakin meningkat apabila
tidak disediakan lapangan kerja baru. Sementara jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada Agustus 2009 mencapai 104,87
juta orang, bertambah 380.000 orang dibandingkan dengan keadaan pada Februari 2009 sebesar 104,49 juta orang atau bertambah
2,32 juta orang dibandingkan dengan Agustus 2008 sebesar 102,55 juta orang (http://www.bps.go.id/?news=733).
Melihat kenyataan di atas maka perlu satu alternatif jitu yang dapat mengurangi jumlah pengangguran di mana alternatif tersebut
tidak selalu harus bekerja di perusahaan. Pemikiran harus bekerja di perusahaan dikarenakan beberapa faktor misalnya, pendidikan
di Indonesia membentuk peserta didik menjadi karyawan atau bekerja di perusahaan, namun tidak mendidik untuk menjadi pencipta
lapangan pekerjaan yang baik. Dalam keluarga, sebagian besar orang tua akan lebih bahagia dan merasa berhasil mendidik
anak-anaknya, apabila anak menjadi pegawai pemerintah ataupun karyawan swasta yang jumlah penghasilannya jelas dan kontinyu
setiap bulannya (Kasmir, 2006). Hal itu serupa dengan hasil penelitian Scott dan Twomey (dalam Indarti & Rostiani, 2008) faktor

seperti pengaruh orang tua dan pengalaman kerja yang akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu usaha dan sikap orang
tersebut terhadap keinginannya untuk menjadi karyawan atau wirausaha. Masyarakat Indonesia cenderung lebih percaya diri bekerja
pada orang lain dari pada memulai suatu usaha. Selain itu adanya kecenderungan menghindari resiko gagal dan pendapatan yang
tidak tetap (Wijaya, 2007).
Hal-hal di atas inilah yang membuat banyak orang takut dan tidak mau untuk berwirausaha apalagi ditambah modal yang terbatas,
sehingga mereka cenderung memilih pekerjaan sebagai pegawai negeri ataupun pegawai swasta. Namun pada jaman sekarang ini
persaingan untuk mendapatkan pekerjaan semakin sulit dan terbatasnya lapangan pekerjaan. Kedua hal tersebut ditambah lagi
dengan lulusan yang tidak siap kerja, tidak masuknya standar IPK dan seleksi awal perusahaan (psikotest, wawancara, dan masa
training) untuk syarat masuk ke dalam perusahaan-perusahaan yang ada akan meningkatkan jumlah pengangguran setiap tahunnya.
Jika melihat kenyataan seperti ini maka berwirausaha merupakan salah satu pilihan yang rasional mengingat sifatnya yang mandiri,
sehingga tidak bergantung pada lapangan kerja yang semakin sedikit (Wijaya, 2007).
Salah satu faktor pendukung wirausaha adalah adanya keinginan dan keinginan ini oleh Fishbein dan Ajzen (dalam Wijaya, 2007),
disebut sebagai intensi yaitu komponen dalam diri individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu.
Hal tersebut seperti yang dinyatakan oleh Krueger dan Carsrud (dalam Indarti & Rostiani, 2008), intensi telah terbukti menjadi
prediktor yang terbaik bagi perilaku kewirausahaan. Oleh karena itu, intensi dapat dijadikan sebagai pendekatan dasar yang masuk
akal untuk memahami siapa-siapa yang akan menjadi wirausaha (Choo dan Wong dalam Indarti & Rostiani, 2008). Penelitian
Indarti & Rostiani (2008) menunjukkan tingkat intensi kewirausahaan mahasiswa Indonesia signifikan lebih tinggi dibandingkan
mahasiswa Jepang dan Norwegia.
Wirausaha ternyata memiliki banyak keuntungan baik terhadap pelaku wirausaha, orang lain dan negara itu sendiri. Menurut Hendro
& Chandra (2006), wirausaha dapat meningkatkan taraf hidup seseorang di masa yang akan datang. Kewirausahaan perlu

diupayakan dalam mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, serta meningkatkan kesejahteraan suatu negara. Jika setiap
komponen memiliki kemampuan kewirausahaan yang baik maka dapat menghasilkan efek domino bagi transformasi ekonomi sosial
(Ciputra dan Ciputra Enterpreneurship Centre dalam Kurniawan, 2009). McClelland (dalam Wijaya, 2008) juga mengungkapkan
suatu negara akan maju jika terdapat wirausaha sedikitnya sebanyak 2% dari jumlah penduduk. Menurut laporan yang dilansir
Global Entrepreneurship Monitor, pada tahun 2005, Negara Singapura memiliki Wirausaha sebanyak 7,2% dari jumlah penduduk.
Sedangkan Indonesia hanya memiliki wirausaha 0,18% dari jumlah penduduk. Tidak heran jika pendapatan perkapita Singapura
puluhan kali lebih tinggi dari Indonesia.
Secara garis besar penelitian seputar intensi kewirausahaan dilakukan dengan melihat tiga hal secara berbeda-beda: karakteristik
kepribadian; karakteristik demografis; dan karakteristik lingkungan. Beberapa peneliti terdahulu membuktikan bahwa faktor
kepribadian seperti kebutuhan akan prestasi (McClelland, Sengupta dan Debnath dalam Indarti & Rostiani, 2008) dan self efficacy
(Gilles dan Rea dalam Indarti & Rostiani, 2008) merupakan prediktor signifikan intensi kewirausahaan. Kristiansen (dalam Indarti &

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 1/21 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:35:39 2017 / +0000 GMT

Rostiani, 2008) menyebut bahwa faktor lingkungan seperti hubungan sosial, infrastruktur fisik dan institusional serta faktor budaya

dapat mempengaruhi intensi kewirausahaan. Faktor demografi seperti umur, jenis kelamin, latar belakang pendidikan dan
pengalaman bekerja seseorang diperhitungkan sebagai penentu bagi intensi kewirausahaan.
Menurut Sadino (dalam Hamdani, 2010) di sebuah forum mahasiswa Universitas Indonesia pernah mengatakan, "Siapa yang ingin
menjadi wirausaha, keluarlah dari kampus setelah acara ini dan jangan kembali kesini lagi." "Kalo mau jadi wirausaha mulailah dari
sekarang. Jangan berencana mulai setelah lulus kuliah. Apalagi, kalau Anda berusaha lulus dengan indeks prestasi tinggi, besar
kemungkinan muncul harapan dan iming-iming untuk jadi pegawai. "
Menurut peneliti sendiri jika melihat dari fenomena yang ada, memang benar yang di katakan Sadino (dalam Hamdani, 2010)
dimana mereka yang memiliki indeks prestasi tinggi akan sangat cenderung untuk bekerja di perusahaan ternama dan mereka yang
memiliki indeks prestasi yang rendah sehingga tidak masuknya standart IPK dan tidak siap kerja cenderung pada akhirnya untuk
berwirausaha, namun hal ini bukanlah karena intensi wirausaha yang ada, namun dikarenakan desakan situasional.
Dalam masalah ini tinggi rendahnya prestasi tinggi pada saat kuliah juga dipengaruhi oleh academic self-efficacy yang dimiliki
setiap mahasiswa di mana tentunya berpengaruh terhadap prestasi belajar. Academic self-efficacy menunjuk pada seseorang yang
memiliki keyakinan bahwa mereka dapat berhasil dalam mencapai prestasi pada bidang akademik atau mencapai specific academic
goal (Bandura; Eccles & Wigfield; Elias & Loomis; Gresham; Linnenbrink & Pintrich; Schunk & Pajares dalam McGrew, 2008).
Academic self-efficacy berdasar pada self-efficacy Bandura (dalam Golightly, 2007). Miner menyatakan (Luthans dalam Riyanti,
2007) bahwa individu yang memiliki high self-efficacy memiliki harapan-harapan yang kuat mengenai kemampuan diri untuk
menunjukkan prestasi secara sukses dalam situasi yang sama sekali baru. Hal baru menurut Miner (Luthans dalam Riyanti, 2007)
tersebut peneliti hubungkan dengan wirausaha, di mana mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW selama menempuh pendidikan di
bangku kuliah tentunya memiliki academic self-efficacy yaitu dalam pendidikan psikologi dan mendapati bidang baru yaitu
wirausaha.

Karena melihat fenomena yang ada, pentingnya wirausaha, serta latar belakang pendidikan S1 Psikologi terhadap intensi
berwirausaha, peneliti tertarik untuk melihat apakah ada hubungan yang positif antara academic self-efficacy dengan intensi
wirausaha pada mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW.
Masalah Penelitian
Apakah terdapat adanya hubungan yang positif dan signifikan antara academic self-efficacy dengan intensi wirausaha pada
mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang dilakukan peneliti adalah untuk mengetahui adanya hubungan yang positif dan signifikan antara
academic self-sfficacy dengan intensi wirausaha pada mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW.
Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pengetahuan dan bahan referensi penelitian yang akan datang,
khususnya dalam bidang Psikologi Wirausaha mengenai pentingnya wirausaha.
Manfaat Praktis
Bagi Fakultas Psikologi UKSW (Staff Pengajar) menjadi masukan dan umpan balik:
Dapat melihat academic self-efficacy mahasiswa Fakultas psikologi secara umum dan dapat menangani dengan bijak.
Dengan mengetahui adanya intensi wirausaha pada mahasiswa Psikologi sehingga lebih memperhatikan pentingnya wirausaha,
sehingga Psikologi Wirausaha lebih diperhatikan terutama dalam memotivasi, pengajaran, dan pengaplikasian pada mahasiswa agar
tidak takut berwirausaha.
Untuk mengembangkan program pendidikan yang tepat terutama dalam bidang Psikologi Wirausaha dalam mendorong semangat

kewirausahaan mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW.
Bagi Mahasiswa Psikologi:
UKSW menjadi pengetahuan tentang pentingnya wirausaha sehingga dapat menjadi masukan dan motivasi agar tidak takut dan mau
untuk berwirausaha
Agar lebih berusaha keras dan bersungguh-sungguh dalam menempuh pendidikan di bangku kuliah, sehingga mendapatkan prestasi
akademik yang baik, mengingat persaingan dunia kerja yang sangat ketat.
BAB II
LANDASAN TEORI
Intensi Wirausaha

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 2/21 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:35:39 2017 / +0000 GMT

Pengertian Intesi Wirausaha
Bandura (dalam Wijaya, 2007) menyatakan bahwa intensi merupakan suatu kebulatan tekad untuk melakukan aktivitas tertentu atau
menghasilkan suatu keadaan tertentu di masa depan. Intensi menurutnya adalah bagian vital dari self regulation individu yang

dilatarbelakangi oleh motivasi seseorang untuk bertindak.
Intensi menurut Fishbein & Ajzen (dalam Wijaya, 2007) merupakan komponen dalam diri individu yang mengacu pada keinginan
untuk melakukan tingkah laku tertentu. Intensi didefinisikan sebagai dimensi probabilitas subjektif individu dalam kaitan antara diri
dan perilaku.
Sukardi (dalam Riyanti, 2007) menyatakan wirausaha adalah seseorang yang dapat memanfaatkan, mengatur, mengarahkan,
sumberdaya, tenaga kerja, alat produksi, untuk menciptakan sesuatu prodak tertentu, di mana produk untuk meciptakan sesuatu
dijual dalam penghasilan untuk kelangsungan hidupnya.
Pekerti (dalam Wijaya, 2007) menjelaskan bahwa wirausaha adalah individu yang mendirikan, mengelola, mengembangkan dan
melembagakan perusahaan miliknya sendiri dan individu yang dapat menciptakan kerja bagi orang lain dengan berswadaya.
Intensi wirausahaan dapat diartikan sebagai proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembentukan
suatu usaha (Katz dan Gartner dalam Indarti & Rostiani, 2008). Seseorang dengan intensi untuk memulai usaha akan memiliki
kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dalam usaha yang dijalankan dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk memulai usaha.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa intensi wirausahaan adalah suatu kebulatan tekat atau keinginan untuk mendirikan,
mengelola, mengembangkan sumber daya, tenaga kerja, alat produksi, untuk menciptakan suatu produk tertentu, dimana produk itu
dijual untuk kelangsungan hidupnya. Dari situ juga individu yang menjalankan dapat menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.
Aspek-aspek Intensi Wirausaha
Aspek intensi merupakan aspek-aspek yang mendorong niat individu berperilaku seperti keyakinan dan pengendalian diri.
Terbentuknya perilaku dapat diterangkan dengan teori tindakan beralasan yang mengasumsikan manusia selalu mempunyai tujuan
dalam berperilaku (Fisbein & Ajzen dalam Riyanti, 2007). Dalam teorinya mengenai intensi, Shapero & Sokol (dalam Riyanti,
2007) mengadaptasi teori Planned behavior dari Fishbein & Ajzen (dalam Riyanti, 2007) dan mengaplikasikan secara khusus dalam

dunia wirausaha menjadi teori entrepreneurial event. Dimana menurut Shapero & Sokol entrepreneurial event memiliki tiga dimensi:
Perceived desirability adalah bias personal seseorang yang memandang penciptaan usaha baru sebagai sesuatu yang menarik dan
diinginkan. Bias ini tumbuh dari pandangan atas konsekuensi personal pengalaman kewirausahaan (misalnya baik atau buruk), dan
tingkat dukungan dari lingkungan (keluarga, teman, kerabat, sejawat, dsb.) Variabel ini merefleksikan afeksi individu terhadap
kewirausahaan.
Perceived feasibility, elemen ini menunjukkan derajat kepercayaan di mana seseorang memandang dirinya mempunyai kemampuan
untuk mengumpulkan sumber daya-sumber daya (manusia, sosial, finansial) untuk membangun usaha baru.
Propensity to act menunjukkan dorongan dalam diri seseorang untuk bertingkah laku dan intensitasnya sangat bervariasi bagi tiap
individu. Determinan ini tidak hanya mempunyai pengaruh langsung terhadap intensi tetapi juga mempunyai pengaruh tidak
langsung. Ketika propensity to act individu rendah, intensi untuk berwirausaha mempunyai kemungkinan yang kecil untuk
berkembang, dan perceived desirability menjadi prediktor satu-satunya intensi. Tetapi, jika propensity to act individu tinggi,
kuantitas pengalaman berwirausaha sebelumnya sebagai tambahan pada perceived feasibility dan desirability secara langsung
mempengaruhi intensi (Krueger dalam Riyanti, 2007).
Berdasarkan dari teori di atas maka peneiliti menyimpulkan aspek intensi wirausaha merupakan hal yang penting untuk memulai
suatu usaha atau suatu perilaku yang bertujuan (berwirausaha). Ada tiga dimensi intensi wirausaha yaitu pandangan bahwa
wirausaha itu menyenangkan dan sesuatu yang menarik dan diinginkan di mana hal tersebut berdasarkan pada pengalaman
kewirausahaan dan tingkat dukungan dari lingkungan sosial. Kemudian adalah kepercaan diri individu terhadap kemampuan
mengumpulkan sumber daya yang ada untuk berwirausaha. Kemudian yang terakhir sangat penting yaitu dorongan dalam diri
individu untuk berwirausaha dan hal ini memberika pengaruh secara langsung maupun tidak langsung. Ketika dorongan ini rendah
maka intensi wirausaha menjadi rendah, dan kepercayaan diri individu terhadap dimensi kemampuan mengumpulkan

sumber-sumber wirausaha menjadi dimensi satu-satunya. Namun jika dorongan ini besar maka secara langsung mempengaruhi dua
dimensi sebelumnya.
Faktor-faktor Penentu Intensi Kewirausahaan
Faktor-faktor penentu intensi kewirausahaan dengan menggabungkan tiga pendekatan (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008), yaitu
1) faktor kepribadian: kebutuhan akan prestasi dan self-efficacy; 2) faktor lingkungan yang dilihat dari tiga elemen konstektual:
askes kepada modal, informasi dan jaringan sosial; 3) faktor demografis: jender, umur, latar belakang pendidikan dan pengalaman
kerja. :

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 3/21 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:35:39 2017 / +0000 GMT

Faktor kepribadian
Dalam faktor kepribadian dibagi menjadi dua, yaitu need of achievement dan self efficacy:
Kebutuhan akan prestasi
McClelland (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) telah memperkenalkan konsep kebutuhan akan prestasi sebagai salah satu motif
psikologis. Lee mengungkapkan (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) kebutuhan akan prestasi dapat diartikan sebagai suatu

kesatuan watak yang memotivasi seseorang untuk menghadapi tantangan untuk mencapai kesuksesan dan keunggulan. Lebih lanjut,
McClelland (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) menegaskan bahwa kebutuhan akan prestasi sebagai salah satu karakteristik
kepribadian seseorang yang akan mendorong seseorang untuk memiliki intensi kewirausahaan.
Menurutnya, ada tiga atribut yang melekat pada seseorang yang mempunyai kebutuhan akan prestasi yang tinggi, yaitu:
Menyukai tanggung jawab pribadi dalam mengambil keputusan;
Mau mengambil resiko sesuai dengan kemampuannya;
Memiliki minat untuk selalu belajar dari keputusan yang telah diambil.
Hasil penelitian dari Scapinello (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) menunjukkan bahwa seseorang dengan tingkat kebutuhan
akan prestasi yang tinggi kurang dapat menerima kegagalan daripada mereka dengan kebutuhan akan prestasi rendah. Dengan kata
lain, kebutuhan akan prestasi berpengaruh pada atribut kesuksesan dan kegagalan. Sejalan dengan hal tersebut, Sengupta dan
Debnath (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) dalam penelitiannya di India menemukan bahwa kebutuhan akan prestasi
berpengaruh besar dalam tingkat kesuksesan seorang wirausaha. Lebih spesifik, kebutuhan akan prestasi juga dapat mendorong
kemampuan pengambilan keputusan dan kecenderungan untuk mengambil resiko seorang wirausaha. Semakin tinggi kebutuhan
akan prestasi seorang wirausaha, semakin banyak keputusan tepat yang akan diambil. Wirausaha dengan kebutuhan akan prestasi
tinggi adalah pengambil resiko yang moderat dan menyukai hal-hal yang menyediakan balikan yang tepat dan cepat.
Self-efficacy
Bandura (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) mendefinisikan efikasi diri sebagai kepercayaan seseorang atas kemampuan
dirinya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Atau dengan kata lain, kondisi motivasi seseorang yang lebih didasarkan pada apa
yang mereka percaya daripada apa yang secara objektif benar. Persepsi pribadi seperti ini memegang peranan penting dalam
pengembangan intensi seseorang. Senada dengan hal tersebut, Cromie (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) menjelaskan bahwa

efikasi diri mempengaruhi kepercayaan seseorang pada tercapai atau tidaknya tujuan yang sudah ditetapkan.
Lebih rinci, Bandura (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) menjelaskan empat cara untuk mencapai efikasi diri, yaitu:
Pengalaman sukses yang terjadi berulang-ulang. Cara ini dipandang sebagai cara yang sangat efektif untuk mengembangkan rasa
yang kuat pada efikasi diri.
Pembelajaran melalui pengamatan secara langsung. Dengan cara ini, seseorang akan memperkirakan keahlian dan perilaku yang
relevan untuk dijadikan contoh dalam mengerjakan sebuah tugas. Penilaian atas keahlian yang dimilikinya juga dilakukan, untuk
mengetahui besar usaha yang harus dikeluarkan dalam rangka mencapai keahlian yang dibutuhkan.
Persuasi sosial seperti diskusi yang persuasif dan balikan kinerja yang spesifik. Dengan metode ini, memungkinkan untuk
menyajikan informasi terkait dengan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.
Penilaian terhadap status psikologis yang dimiliki. Hal ini berarti bahwa seseorang sudah seharusnya meningkatkan kemampuan
emosional dan fisik serta mengurangi tingkat stress. Di sisi lain, banyak peneliti percaya bahwa efikasi diri terkait erat dengan
pengembangan karir. Merujuk Betz dan Hacket (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008), efikasi diri akan karir seseorang adalah
domain yang menggambarkan pendapat pribadi seseorang dalam hubungannya dengan proses pemilihan dan penyesuaian karir.
Dengan demikian, efikasi diri akan karir seseorang dapat menjadi faktor penting dalam penentuan apakah intensi kewirausahaan
seseorang sudah terbentuk pada tahapan awal seseorang memulai karirnya.
Lebih lanjut, Betz dan Hacket (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat efikasi diri
seseorang pada kewirausahaan di masa-masa awal seseorang dalam berkarir, semakin kuat intensi kewirausahaan yang dimilikinya.
Selain itu, Gilles dan Rea (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) membuktikan pentingnya efikasi diri dalam proses pengambilan
keputusan terkait dengan karir seseorang. Efikasi diri terbukti signifikan menjadi penentu intensi seseorang.
Faktor Lingkungan

Tiga faktor lingkungan yang dipercaya mempengaruhi wirausaha yaitu akses mereka kepada modal, informasi dan kualitas jaringan
sosial yang dimiliki, yang kemudian disebut kesiapan instrumen (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008).
Akses kepada modal
Jelas, akses kepada modal merupakan hambatan klasik terutama dalam memulai usaha-usaha baru, setidaknya terjadi di
negara-negara berkembang dengan dukungan lembaga-lembaga penyedia keuangan yang tidak begitu kuat (Indarti dalam Indarti &

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 4/21 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:35:39 2017 / +0000 GMT

Rostiani, 2008). Studi empiris terdahulu menyebutkan bahwa kesulitan dalam mendapatkan akses modal, skema kredit dan kendala
sistem keuangan dipandang sebagai hambatan utama dalam kesuksesan usaha menurut calon-calon wirausaha di negara-negara
berkembang (Marsden; Meier dan Pilgrim; Steel; Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008).
Di negara-negara maju di mana infrastruktur keuangan sangat efisien, akses kepada modal juga dipersepsikan sebagai hambatan
untuk menjadi pilihan wirausaha karena tingginya hambatan masuk untuk mendapatkan modal yang besar terhadap rasio tenaga
kerja di banyak industri yang ada. Penelitian relatif baru menyebutkan bahwa akses kepada modal menjadi salah satu penentu
kesuksesan suatu usaha (Kristiansen et al.; Indarti; Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008).
2.2. Ketersediaan informasi
Ketersediaan informasi usaha merupakan faktor penting yang mendorong keinginan seseorang untuk membuka usaha baru (Indarti
dalam Indarti & Rostiani, 2008) dan faktor kritikal bagi pertumbuhan dan keberlangsungan usaha (Duh; Kristiansen; Mead &
Liedholm; Swierczek dan Ha; Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Krishna (Indarti
dalam Indarti & Rostiani, 2008) di India membuktikan bahwa keinginan yang kuat untuk memperoleh informasi adalah salah satu
karakter utama seorang wirausaha.
Pencarian informasi mengacu pada frekuensi kontak yang dibuat oleh seseorang dengan berbagai sumber informasi. Hasil dari
aktivitas tersebut sering tergantung pada ketersediaan informasi, baik melalui usaha sendiri atau sebagai bagian dari sumber daya
sosial dan jaringan. Ketersediaan informasi baru akan tergantung pada karakteristik seseorang, seperti tingkat pendidikan dan
kualitas infrastruktur, meliputi cakupan media dan sistem telekomunikasi (Kristiansen; Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008).
Jaringan sosial
Mazzarol et al. (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) menyebutkan bahwa jaringan sosial mempengaruhi intense kewirausahaan.
Jaringan sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua orang yang mencakup komunikasi atau penyampaian informasi dari satu
pihak ke pihak lain, pertukaran barang dan jasa dari dua belah pihak; dan muatan normatif atau ekspektasi yang dimiliki oleh
seseorang terhadap orang lain karena karakter-karakter atau atribut khusus yang ada.
Bagi wirausaha, jaringan merupakan alat mengurangi resiko dan biaya transaksi serta memperbaiki akses terhadap ide-ide bisnis,
informasi dan modal (Aldrich dan Zimmer; Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008). Hal senada diungkap oleh Kristiansen (Indarti
dalam Indarti & Rostiani, 2008) yang menjelaskan bahwa jaringan sosial terdiri dari hubungan formal dan informal antara pelaku
utama dan pendukung dalam satu lingkaran terkait dan menggambarkan jalur bagi wirausaha untuk mendapatkan akses kepada
sumber daya yang diperlukan dalam pendirian, perkembangan dan kesuksesan usaha.
Faktor demografis (jender, umur, latar belakang pendidikan dan pengalaman bekerja) berpengaruh terhadap keinginannya untuk
menjadi seorang wirausaha (Mazzarol et al.; Tkachev dan Kolvereid; Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008).
Jender
Pengaruh jender atau jenis kelamin terhadap intensi seseorang menjadi wirausaha telah banyak diteliti (Mazzarol et al.; Kolvereid;
Matthews dan Moser; Schiller dan Crewson; Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008). Seperti yang sudah diduga, bahwa mahasiswa
laki-laki memiliki intensi yang lebih kuat dibandingkan mahasiswa perempuan. Secara umum, sektor wiraswasta adalah sektor yang
didominasi oleh kaum laki-laki. Mazzarol et al., (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) membuktikan bahwa perempuan cenderung
kurang menyukai untuk membuka usaha baru dibandingkan kaum laki-laki. Temuan serupa juga disampaikan oleh Kolvereid
(Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008), laki-laki terbukti mempunyai intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Matthews dan Moser (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) pada lulusan master di
Amerika dengan menggunakan studi longitudinal menemukan bahwa minat laki-laki untuk berwirausaha konsisten dibandingkan
minat perempuan yang berubah menurut waktu. Schiller dan Crawson (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) menemukan adanya
perbedaan yang signifikan dalam hal kesuksesan usaha dan kesuksesan dalam berwirausaha antara perempuan dan laki-laki.
Umur
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinha (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) di India, menunjukkan bahwa hampir sebagian
besar wirausaha yang sukses adalah mereka yang berusia relatif muda. Hal ini senada dengan Reynolds et al., (Indarti dalam Indarti
& Rostiani, 2008) yang menyatakan bahwa seseorang berusia 25-44 tahun adalah usia-usia paling aktif untuk berwirausaha di
negara-negara barat. Hasil penelitian terbaru terhadap wirausaha warnet di Indonesia membuktikan bahwa usia wirausaha
berkorelasi signifikan terhadap kesuksesan usaha yang dijalankan (Kristiansen et al.; Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008). Senada
dengan hal itu, Dalton dan Holloway (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) membuktikan bahwa banyak calon wirausaha yang
telah mendapat tanggung jawab besar pada saat berusia muda, bahkan layaknya seperti menjalankan usaha baru.
Latar Belakang Pendidikan
Latar belakang pendidikan seseorang terutama yang terkait dengan bidang usaha, seperti bisnis dan manajemen atau ekonomi

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 5/21 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:35:39 2017 / +0000 GMT

dipercaya akan mempengaruhi keinginan dan minatnya untuk memulai usaha baru di masa mendatang. Sebuah studi dari India
membuktikan bahwa latar belakang pendidikan menjadi salah satu penentu penting intensi kewirausahaan dan kesuksesan usaha
yang dijalankan (Sinha; Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008). Penelitian lain, Lee (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) yang
mengkaji perempuan wirausaha menemukan bahwa perempuan berpendidikan universitas mempunyai kebutuhan akan prestasi yang
tinggi untuk menjadi wirausaha.
Pengalaman Kerja
Kolvereid (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) menemukan bahwa seseorang yang memiliki pengalaman bekerja mempunyai
intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak pernah bekerja sebelumnya. Sebaliknya, secara lebih
spesifik, penelitian yang dilakukan oleh Mazzarol et al., (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) membuktikan bahwa seseorang
yang pernah bekerja di sektor pemerintahan cenderung kurang sukses untuk memulai usaha.
Namun, Mazzarol et al., (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) tidak menganalisis hubungan antara pengalaman kerja di sektor
swasta terhadap intensi kewirausahaan. Scott dan Twomey (Indarti dalam Indarti & Rostiani, 2008) meneliti beberapa faktor seperti
pengaruh orang tua dan pengalaman kerja yang akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu usaha dan sikap orang
tersebut terhadap keinginannya untuk menjadi karyawan atau wirausaha.
Lebih lanjut, mereka menyebutkan bahwa jika kondisi lingkungan sosial seseorang pada saat dia berusia muda kondusif untuk
kewirausahaan dan seseorang tersebut memiliki pengalaman yang positif terhadap sebuah usaha, maka dapat dipastikan orang
tersebut mempunyai gambaran yang baik tentang kewirausahaan.
Tinjauan Tentang Academic Self-efficacy (ASE)
Pengertian Academic Self-efficacy (ASE)
ASE menjelaskan sejauh mana kepercayaan individu dalam memutuskan perilaku yang dibutuhkan untuk mendapatkan kesuksesan
secara akademis (Smith; Downs dalam Golightly, 2007). Menurut definisi ini, ASE adalah derajat kepercayaan seseorang untuk
dapat memutuskan perilaku akademis yang bertujuan pada kesuksesan akademis.
ASE menjelaskan kepercayaan individu tentang kemampuannya memutuskan perilaku yang ditunjukkan, bukan tentang tindakan
sesungguhnya dari perilaku tersebut. Dengan kata lain, ASE menjelaskan kepercayaan akan kemampuan untuk menuntaskan proses
dalam bersekolah dengan sukses.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ASE adalah tingkat kepercayaan idividu dalam mencapai kesuksesan dalam bidang
akademik. Kepercayaan tersebut memutuskan perilaku yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan dalam bidang akademik.
Komponen Academic Self-Efficacy (ASE)
Bandura (dalam Golightly, 2007) menerangkan harapan terhadap efficacy ?berasal dari empat prinsip sumber informasi: past
sucsses, modeling, verbal persuasion dan emotional arousal. Bandura menyarankan pengukuran terhadap kontribusi dari ke empat
komponen tersebut akan membantu menjelaskan self-efficacy secara global dan harapan terhadap hasil terapi.
Past sucsses adalah pengalaman individu terhadap kesuksesan mereka akan melakukan suatu tugas di masa lampau, mereka akan
mempercayai keputusan mereka berbuah sukses untuk kasus yang serupa.
Modeling adalah pengalaman individu terhadap individiu lain yang serupa dengan mereka yang berhasil dalam suatu bidang, akan
menimbulkan keyakinan bahwa mereka juga mampu dalam bidang tersebut.
Verbal persuasion, adalah komponen yang membangun self-efficacy individu saat mereka mendapatkan pengukuran persuasif dari
orang-orang terdekat mereka yang meyakinkan dirinya akan kemampuan mereka menyelesaikan suatu tugas dalam bidang tertentu.
Orang-orang terdekat ini dapat merupakan orang tua, anggota keluarga lain atau orang lain yang dekat dengan individu dan memiliki
pengaruh terhadap individu
Emotional arousal didefinisikan sebagai tingkat pembangkitan emosi individu ketika mengalami berbagai tingkatan kecemasan.
Kesuksesan pemenuhan tugas seringkali tidak terjadi saat individu berada pada level kecemasan tinggi.
Berdasarkan dari teori diatas maka peneliti menyimpulkan empat komponen ASE merupakan hal yang penting dan pasti dimiliki
oleh mereka yang mengenyam pendidikan. Kemudian hal ini tergantung dari bagaimana individu menyikapinya.
Self-efficacy secara parsimoni dapat didefinisikan sebagai kemampuan sesorang untuk dapat berhasil dalam menuntaskan tugas.
Bandura (dalam Golightly, 2007) pertama kali menyatakan self efficacy sebagai konstruk, yang membantu memahami perilaku dan
motivasi. Definisi menurut Bandura adalah ?Penilaian individu terhadap kemampuan mereka untuk mengorganisasikan dan
memutuskan courses aksi yang dibutuhkan untuk mencapai jenis performa yang diinginkan mereka?. Ia menggaris bawahi
pentingnya konstruk ini sebagai berikut ?pengharapan efficacy menentukan berapa banyak usaha yang akan dilakukan individu dan
berapa lama mereka akan ulet menghadapai rintangan pengalaman aversif?
Bandura (dalam Golightly, 2007) juga mengatakan bahwa self-efficacy berlaku secara umum untuk setiap tindakan dan perilaku

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 6/21 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:35:39 2017 / +0000 GMT

manusia di semua bidang di mana. Berbagai studi menunjukkan individu dengan self-efficacy yang kuat pada area tertentu akan
memiliki performa yang baik pada bidang tersebut, contohnya adalah career self efficacy (Betz; Betz, Borgen & Harmon dalam
Golightly, 2007) dan academic self efficacy (DeWitz & Walsh dalam Golightly, 2007), academic self efficacy dan study skills
acquisition (Zytowski & Luzzo dalam Golightly, 2007), math dan science self efficacy (Lapan, Boggs, & Morril dalam Golightly,
2007), job seeking self efficacy (Barlow et al. dalam Golightly, 2007). Bandura sendiri menguji efek dari isi secara spesifik
keberfungsian akademik dan self-efficacy (kepercayaan diri seseorang akan kapabilitas mereka untuk sukses dan menyelesaikan
tugas-tugas akademik). Penulis memakai referensi ini dalam membangun konstruk mengenai self-efficacy akademik.
Hubungan Academic self-efficay Terhadap Intensi Wirausaha Pada Mahasiswa
Intensi kewirausahaan dapat diartikan sebagai proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan
pembentukan suatu usaha (Katz dan Gartner dalam Indarti & Rostiani, 2008). Seseorang dengan intensi untuk memulai usaha akan
memiliki kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dalam usaha yang dijalankan dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk memulai
usaha. Seperti yang dinyatakan oleh Krueger dan Carsrud (dalam Indarti & Rostiani, 2008), intensi telah terbukti menjadi prediktor
yang terbaik bagi perilaku kewirausahaan. Oleh karena itu, intensi dapat dijadikan sebagai pendekatan dasar yang masuk akal untuk
memahami siapa-siapa yang akan menjadi wirausaha (Choo dan Wong dalam Indarti & Rostiani, 2008).
Academic self-efficacy menunjuk pada seseorang yang memiliki keyakinan bahwa mereka dapat berhasil dalam mencapai prestasi
pada bidang akademik atau mencapai specific academic goal (Bandura; Eccles & Wigfield; Elias & Loomis; Gresham; Linnenbrink
& Pintrich; Schunk & Pajares dalam McGrew, 2008).
Menurut Sadino (dalam Hamdani, 2010) di sebuah forum mahasiswa Universitas Indonesia pernah mengatakan, "Siapa yang ingin
menjadi wirausaha, keluarlah dari kampus setelah acara ini dan jangan kembali ke sini lagi." "Kalo mau jadi wirausaha mulailah dari
sekarang. Jangan berencana mulai setelah lulus kuliah. Apalagi, kalau Anda berusaha lulus dengan indeks prestasi tinggi, besar
kemungkinan muncul harapan dan iming-iming untuk jadi pegawai. "
Menurut peneliti sendiri jika melihat dari fenomena yang ada memang benar yang di katakan Sadino (dalam Hamdani, 2010) dimana
mereka yang memiliki indeks prestasi tinggi akan sangat cenderung untuk bekerja di perusahaan ternama dan mereka yang memiliki
indeks prestasi yang rendah sehingga tidak masuknya standart IPK dan tidak siap kerja cenderung pada akhirnya untuk
berwirausaha, namun hal ini bukanlah karena intensi wirausaha yang ada, namun dikarenakan desakan situasional.
Academic self-efficacy berdasar pada self-efficacy Bandura (dalam Golightly, 2007). Miner menyatakan (Luthans dalam Riyanti,
2007) bahwa individu yang memiliki high self-efficacy memiliki harapan-harapan yang kuat mengenai kemampuan diri untuk
menunjukkan prestasi secara sukses dalam situasi yang sama sekali baru. Hal baru menurut Miner (dalam Luthans dalam Riyanti,
2007) tersebut peneliti hubungkan dengan wirausaha, di mana mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW selama menempuh pendidikan
di bangku kuliah tentunya memiliki academic self-efficacy yaitu dalam pendidikan psikologi dan mendapati bidang baru yaitu
wirausaha.
Berdasarkan konsep-konsep diatas peneliti menghubungkan mahasiswa yang memiliki academic self-efficacy yang tinggi
mempunyai perasaan yang tenang dalam mendapati atau menghadapi tugas yang sulit dibidang akademik dan memiliki keyakinan
bahwa mereka akan berhasil dalam mencapai prestasi akademik yang baik. Mahasiswa yang memiliki keyakinan berhasil dibidang
akademik, hal tersebut akan membantunya untuk menjadi yakin mencapai keberhasilan dalam melakukan wirausaha sehingga
memiliki intensi yang tinggi untuk berwirausaha.
Mahasiswa yang memiliki academic self-efficacy yang rendah menunjukkan perasaan bahwa tugas tersebut lebih sulit dari
kenyataan sehingga menciptakan perasaan stress, cemas, dan pemikiran yang dangkal untuk menyelesaikan suatu tugas, sehingga
mereka memiliki keyakinan akan gagal dalam mencapai prestasi akademik yang baik. Mahasiswa yang memiliki keyakinan yang
rendah dalam mencapai prestasi akademik yang baik hal tersebut akan mempengaruhi keyakinan dalam melakukan wirausaha
sehingga memiliki intensi yang rendah untuk berwirausaha.
Hipotesis
Hipotesis Empirik
Berdasarkan pendapat, penelitian dan teori-teori di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis bahwa ada hubungan positif dan
signifikan antara academic self-efficacy dengan intensi wirausaha pada mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW. Semakin tinggi
tingkat academic self-efficacy maka semakin tinggi tingkat intensi berwirausaha, sebaliknya semakin rendah tingkat academic
self-efficacy maka semakin rendah intensi berwirausaha pada mahasiswa.
Hipotesis Statistik
tidak ada hubungan posotif dan signifikan antara academic self-efficacy dengan intensi wirausaha pada mahasiswa Fakultas
Psikologi UKSW.

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 7/21 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:35:39 2017 / +0000 GMT

ada hubungan positif dan signifikan antara academic self-efficacy dengan intensi wirausaha pada mahasiswa Fakultas Psikologi
UKSW.
BAB III
METODE PENELITIAN
Identifikasi Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel utama yang akan diteliti yaitu intensi wirausaha sebagai variabel terikat dan ¬¬academic
self-efficacy (ASE) sebagai variabel bebas.
Definisi Operasional Variabel Penelitian
Academic Self-efficacy (ASE)
Academic self-efficacy adalah keyakinan bahwa dirinya mampu melakukan tugas tertentu atau dapat dimaknai dengan keyakinan
individu bahwa mereka dapat mengatur, melaksanakan, dan mengatur sikap untuk memecahkan dan menyelesaikan suatu tugas
dalam bidang akademik yang mungkin dapat membuat mereka malu dan gagal atau sukses. Pengukuran academic self-efficacy
peneliti menggunakan skala yang di adopsi dari skala yang digunakan oleh Golightly (2007), yang menggunakan komponen
self-efficacy menurut Bandura (dalam Golightly, 2007) yaitu past success, modeling, verbal persuasion, dan emotional arousal. Past
success diukur dengan menggunakan GPA (Grade Point Average) saja. Sedangkan standardized achievement tests (IOWA Tests of
Educational Development) sebagai pengukuran masa lalu tidak peneliti gunakan karena alat tes tersebut hanya di keluarkan oleh
IOWA University. Modeling diukur dengan The People I Know (untuk mengetahui tingkat paparan terhadap model akademik yang
sesuai). Verbal Persuasion diukur dengan menggunakan Career-Related Parental Support Scale-Verbal Encouragement scale
(CRPSS-VE), emotional arousal diukur dengan menggunakan My feelings about School (untuk mengetahui tingkat pembangkitan
emosi yang berpusat pada sekolah), namun untuk angket yang peneliti gunakan setting sekolah pada item nomor 3, 4, 6, 15, 18, 25,
27 di ubah menjadi seting kuliah dan pada item nomor 26 guru diubah menjadi dosen, karena setting yang digunakan adalah kuliah.
Selanjutnya untuk pengolahan data item GPA sebagai dependent variabel akan dikorelasikan dengan aspek The People I Know,
CRPSS-VE, My Feelings About School, di mana ketiga aspek tersebut menjadi variabel independent.
Keempat komponen itu setelah diuji oleh Golightly (2007) melalui analisa regresi dapat menjadi prediktor terhadap SIS dan AHS.
Hasilnya mengindikasikan GPA, IOWA rangking skor persentil, CRPSS-VE dan my feelings about school merupakan prediktor
signifikan terhadap total skor SIS secara regresi. The people I know dan my feeling about school merupakan prediktor yang
signifikan terhadap total skor AHS secara regresi.
Jadi dengan kata lain semakin tinggi GPA, IOWA rangking skor persentil, CRPSS-VE dan my feeling about school maka semakin
tinggi pula SIS, begitu pula sebaliknya. Semakin tinggi skor yang didapat dari indikator The people I know dan My feeling about
school maka semakin tinggi pula AHS, begitu juga sebaliknya. Sehingga semakin tinggi SIS dan AHS maka semakin tinggi pula
academic self-efficacy dan begitu juga sebaliknya.
Tabel 3.1
Tabel Alir Academic Self-Efficacy
Intensi wirausaha
Intensi wirausaha adalah komponen dalam diri individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tindakan berwirausaha.
Intensi wirausaha diukur dengan angket intensi akademik yang dikemukakan oleh aspek-aspek intensi wirausaha yang berdasarkan
pada teori intensi oleh Shapero & Sokol (dalam Riyanti, 2007) mengadaptasi teori Planned Behavior dari Fishbein & Ajzen (dalam
Riyanti, 2007) dan mengaplikasikan secara khusus dalam dunia wirausaha dengan nama teori Entrepreneurial Event. Semakin tinggi
skor yang diperoleh maka semakin tinggi pula intensi wirausaha, semakin rendah skor maka semakin rendah pula intensi wirausaha.
Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi
Populasi adalah keseluruhan unit atau individu dalam ruang lingkup yang ingin diteliti (Sugiarto, 2003). Populasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana yang sedang dalam proses pembuatan
skripsi dengan pertimbangan karena mahasiswa yang sedang mengikuti proses skripsi diperkirakan sudah memiliki gambaran
tentang apa yang akan mereka lakukan setelah lulus dan sudah mengetahui gambaran pekerjaan yang akan dijalani.
Berdasarkan data yang diambil dari daftar mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana yang lolos ujian
proposal pada tanggal 24 November 2009 ? 14 Desember 2010 terdapat jumlah total populasi sebanyak 114 mahasiswa yang terdiri
dari angkatan 2004 - 2010.
Sampel
Sampel adalah sebagian dari anggota populasi yang dipilih dengan menggunakan prosedur tertentu sehingga diharapkan dapat

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 8/21 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:35:39 2017 / +0000 GMT

mewakili populasinya (Sugiarto, 2003). Dalam penelitian ini, teknik sampling yang dipakai adalah perpaduan antara sampel jenuh,
yaitu teknik pengambilan sampel yang menggunakan semua anggota populasi.
Tabel 3.2
Tabel Jumlah Populasi dan Sampel
Angkatan Jumlah Mahasiswa Jumlah Sampel
2004 3 3
2005 17 17
2006 56 56
2007 36 36
2008 1 1
2009 - 2010 (Readmisi) 1 1
Total 114 114
Metode dan Alat Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan angket berisi skala Likert yang terdiri
dari 2 bentuk, yaitu angket academic self-efficacy dan angket intensi wirausaha. Untuk angket academic self efficacy peneliti
mengadopsi angket yang digunakan oleh Golightly (2007) dan untuk angket intesi wirausaha peneliti menggunakan angket yang
dibuat oleh peneliti sendiri.
Angket academic self efficacy (ASE)
Untuk mengukur ASE, dalam disertasi yang digunakan oleh Golightly (2007) menggunakan teori dari Bandura yang terdiri atas past
succes, modeling, verbal persuasion dan emotional arousal.
Kemudian untuk skor The People I Know, CRPSS-VE, My Feelings About School peneliti memodifikasinya menjadi 4 pilihan
tanggapan yang diberikan subjek yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS). Skor tertinggi
untuk pernyataan favorable adalah 4 pada pilihan sangat setuju (SS), 3 pada pilihan setuju (S), 2 pada pilihan tidak setuju (TS) dan 1
pada pilihan sangat tidak setuju (STS), sedangkan skor tertinggi untuk pernyataan unfavorable adalah 4 pada pilihan sangat tidak
setuju (STS), 3 pada pilihan tidak setuju (TS), 2 untuk pilihan setuju (S) dan 1 untuk pilihan sangat setuju (SS).
Rancangan blue print angket academic self-efficacy adalah sebagai berikut:
Tabel 3.3
No. ASPEK Alat Ukur Item Proporsi
1 Past success GPA 1 1
No. ASPEK Alat Ukur Item Fav. Proporsi
2 Modeling The People I Know 2
11
20 5
14
22 8
17
24 9
3 Verbal persuasion Career-Related Parental Support Scale-Verbal Encouragement scale (CRPSS-VE) 3
12 6
15 9
18 6
4 Emotional arousal My feelings about School 4
13
21
26 7
16
23
27 10
19

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 9/21 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:35:39 2017 / +0000 GMT

25 11
Total 27
Angket intensi wirausaha
Angket ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu item favorable dan item unfavorable. Item favorable adalah item yang mendukung
atau searah dengan variabel dan item favorable adalah item yang tidak searah atau yang tidak mendukung variabel. Angket tersebut
memberikan 4 pilihan tanggapan yang diberikan subjek yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju
(STS). Skor tertinggi untuk pernyataan favorable adalah 4 pada pilihan sangat setuju (SS), 3 pada pilihan setuju (S), 2 pada pilihan
tidak setuju (TS) dan 1 pada pilihan sangat tidak setuju (STS), sedangkan skor tertinggi untuk pernyataan unfavorable adalah 4 pada
pilihan sangat tidak setuju (STS), 3 pada pilihan tidak setuju (TS), 2 untuk pilihan setuju (S) dan 1 untuk pilihan sangat setuju (SS).
Rancangan blue print angket intensi wirausaha adalah sebagai berikut:
Tabel 3.4
No ASPEK Indikator Item Proporsi
Favorable Unfavorable
1. Perceived desirability Wirausaha sebagi sesuatu yang menarik dan di ingikan.
Pengalaman personal terhadap wirausaha (baik atau buruk)
Tingkat dukungan dari lingkungan (keluarga, teman, kerabat, sejawat) 1, 7, 13, 19 4, 10, 16, 22 8
2. Perceived feasibility. Derajat kepercayaan di mana seseorang memandang dirinya mempunyai kemampuan untuk mengumpulkan
sumberdaya-sumberdaya (manusia, sosial, finansial) untuk membangun usaha baru. 5, 11, 17, 21, 23 2, 8, 14, 20, 24 10
3. Propensity to act Dorongan dalam diri seseorang untuk bertingkah laku 3, 9, 15 6, 12, 18 6
Total 24
Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
Uji Validitas
Validitas merupakan syarat untuk mengetahui bahwa kita mengukur apa yang hendak kita ukur (Janda, 1997). Pengujian validitas ini
dengan menggunakan perhitungan statistik korelasi Product Moment dari Person (Arikunto, 2002). Pengujiannya dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
Rit = Koefisisen korelasi antara butir soal
= Jumlah skor butir total.
= Jumlah skor total
= Jumlah hasil kali
= Jumlah kuadrat skor butir soal
= Jumlah kuadrat skor butir soal
N = Jumlah Subyek
Uji Reliabilitas
Menurut Azwar (2008) reliabilitas adalah indeks yang menunjukan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya dan pada prinsipnya
pengukuran itu dapat memberikan hasil pengukuran kembali terhadap subyek yang sama.
Reliabilitas pada penelitian ini diketahui dengan mencari koefisien Alpha Cronbach dari data hasil pengukuran setiap variabel yang
digunakan dalam penelitian dengan menggunakan SPSS windows versi 12.00.
Adapun rumus yang digunakan adalah :
Keterangan :
? : Koefisien Alpha Cronbach
N : Jumlah item
: Varians dari seluruh skor (skor total)
: Varians dari setiap item
Adapun standar reliabilitas yang digunakan adalah (Azwar, 2000):
? < 0,7 : Tidak Reliabel
0,7 ? ? < 0,8 : Cukup
0,8 ? ? < 0,9 : Baik
0.9 ? ? ? 0,9 : Sangat Reliabel
Teknik Analisa Data

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 10/21 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 18:35:39 2017 / +0000 GMT

Untuk menganalisis antara Academic Self-Efficacy (ASE) dengan intensi wirausaha, digunakan analisa korelasi. Metode analisa
yang digunakan adalah korelasi product moment.
Teknik perhitungan korelasi product moment dari Pearson yang digunakan adalah sebagai berikut (Sugiono, 2006):
Keterangan:
rxy = Koefisisen korelasi antara X dan Y.
x = Skor butir.
y = Skor Total
x2 = Jumlah kuadrat nilai X
y2 = Jumlah kuadrat nilai Y
N = Jumlah Subyek
Perhitungan korelasi dilakukan dengan menggunakan program SPSS 12.0 for windows.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kancah Penelitian
Pelaksanaan dilaksanakan di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana pada tanggal 17 Maret - 5 April 2011. Penelitian
ini dilakukan terhadap seluruh populasi dimana terdapat 114 mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW yang lolos ujian proposal pada
tanggal 24 November 2009 - 14 Desember 2010 yang terbagi menjadi tujuh angkatan dan dimulai dari mahasiswa angkatan 2004
sebanyak 3 orang, mahasiswa angkatan 2005 sebanyak 17 orang, mahasiswa angkatan 2006 sebanyak 56 orang, mahasiswa angkatan
2007 sebanyak 36 orang, mahasiswa angkatan 2008 sebanyak 1 orang, mahasiswa angkatan 2009 tidak ada yang ujian proposal
sehingga dipastikan tidak ada yang mengambil skripsi, mahasiswa angkatan 2010 (readmisi) sebanyak 1 orang. Dasar pertimbangan
yang digunakan untuk pengambilan populasi dalam penelitian ini adalah:
Penelitian tentang hubungan academic self-efficacy dengan intensi wirausaha pada mahasiswa belum pernah dilakukan di Fakultas
Psikologi UKSW.
Populasi memenuhi syarat untuk dilakukannya penelitian.
Persiapan Penelitian
Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahap yang dimulai dari tahap persiapan meliputi pencarian teori dan jurnal tentang penelitian
sebelumnya, pembuatan skala kemudian tahap pengumpulan data dan penganalisaan data.
Perijinan Penelitian
Perijinan penelitian agar dapat dilakukannya penelitian ini dengan meminta ijin kepada Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga, pada tanggal 16 Maret 2011 Dengan nomor surat 022/PU-F.Psi/III/2011.
Penyusunan Alat Ukur
Alat ukur dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan angket. Angket yang digunakan ada dua macam, yaitu angket Academic
Self-Efficacy dan angket intensi wirausaha. Rincian penyusunan alat ukur peneliti jelaskan sebagai berikut:
Academic self-efficacy (ASE)
Alat ukur academic self-efficacy dengan mengadopsi skala likert dengan item favorable seperti yang digunakan Golightly (2007)
dengan menggunakan komponen academic self-efficacy yang berdasar pada teori self-efficac