SOCIAL FORESTRY oleh Dr. Hadi S. Pasaribu, M.Sc., Kabadan Litbang Kehutanan.

SOCIAL FORESTRY
oleh
Dr. Hadi S. Pasaribu, M.Sc.
Kepala Badan Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan
Social Forestry bukan hal baru bagi negara kita. Sudah ada sejak abad 18 sekian, di mana pada waktu
itu pemerintah Belanda dalam melaksanakan pengelolaan hutan jati dilakukan dengan sistem tumpang
sari. Pada waktu itu orientasinya hanya antara labour, berdasarkan pada dinamika persoalan sosial yang
ada di bidang kehutanan. Kita menganggap bahwa social forestry adalah pada prinsipnya bagaimana kita
memberikan akses melalui pendekatan pengelolaan hutan pada masyarakat. Ini sangat mendasar.
Mainstreamnya bagaimana pemerintah bisa memberikan akses pada masyarakat dalam mengelola
hutan. Jadi pengertian social forestry saat ini merupakan suatu pendekatan pengelolaan hutan yang bisa
masuk ke mana-mana. Tujuannya kita ingin membangun struktur dan sistem pengelolaan sumber daya
hutan, sesuai dengan tipologi sosial, tipologi fungsi hutan dan tipologi fungsi wilayah. Jadi tidak bisa
diterapkan secara generalisasi, tapi sifatnya local specific.
Tujuannya :
1. Mensejahterakan masyarakat, terutama masyarakat yang ada di dalam atau sekitar hutan.
2. Menerapkan atau mewujudkan prinsip-prinsip pengelolaan PHL.
Kedua tujuan ini harus dicapai dalam waktu yang bersamaan. Dengan demikian social forestry tidak bisa
digeneralisasi, dan merupakan pendekatan pengelolaan hutan, merupakan mainstream dari pengelolaan
hutan.
Pasal 70 UU 41/99 mengatur bagaimana masyarakat ikut dalam mengelola hutan. Bagaimana

pemerintah ikut mendorong partisipasi masyarakat. Bagaimana partisipasi masyarakat bisa
dirangkum/ditriger dalam suatu forum yaitu forum pemerhati kehutanan. Jadi seperti diamanatkan UU
41/1999 hal ini tidak hanya menjadi concern Dephut tetapi concern semua warga negara Indonesia
karena ini UU.
Asas penyelenggaraan kehutanan ada beberapa hal :
1. Mampu memberdayakan masyarakat.
2. Ada wilayah, masyarakat diberi hak pengelolaan, bagaimana kita memberikan akses kepada
masyarakat.
3. Penetapan tujuan, bahwa aplikasi social forestry di hutan produksi. social forestry di hutan
lindung dan social forestry di hutan wisata formatnya akan beda. Tinggal bagaimana kita
meletakkan fungsi sesuai tujuannya.
4. Merupakan cost sharing, masyarakat merupakan modal yang cukup besar. Kewajiban
pemerintah menata financial dan physical systemnya bagaimana.
5. Asas penyelenggaraan menggunakan asas pendekatan DAS, artinya dalam suatu DAS terdapat
hubungan hulu & hilir. Karena jika bicara hutan kita tidak bicara on site benefit tetapi bicara off
side effect. Karena hutan lindung bisa berpengaruh terhadap down stream terutama dari fungsi
lindungnya.
Strategi kebijaksanaan nasional kita, prinsip yang kita anut bagaimana UU 41/99 yang diamanatkan itu
bisa kita jabarkan ke dalam pasal 70 dan yang penting kenapa kita ingin forum ini dibutuhkan, karena kita
ingin forum ini bisa berperan di semua level manajemen administrasi kenegaraan. Jika forum ini bisa

berjalan, persoalan-persoalan di kabupaten tidak perlu sampai ke pemerintah pusat. Hal ini penting
sehingga kita bisa terkonsentrasi bagaimana kita membangun sistem ini mulai dari tingkat desa sampai
dengan tingkat pusat. Karena ini pengertian social forestry cukup besar, cukup luas dan tidak saja
menyangkut institusi kehutanan tetapi juga institusi lain terutama berkaitan dengan UU No. 22/99.
Sasaran pertama adalah bagaimana konsep social forestry diadopsi oleh masyarakat luas. Itu jangka
panjang. Social forestry ini merupakan suatu alat pendekatan bagaimana kita bisa menyelesaikan konflikkonflik yang ada di daerah. Konflik yang ada di masyarakat saat ini adanya kalim masyarakat adat. Oleh
karena program social forestry kepada masyarakat luas difokuskan kepada masyarakat adat. Hal ini
penting karena dalam UU No. 41/99 diatur bagaimana kita bisa memberdayakan masyarakat adat.
Diakomodasikan kepentingan-kepentingan masyarakat adat dan bagaimana kita mengaplikasikan prinsip
asas-asas social forestry ini ke dalam masyarakat adat.
Kondisi hutan di Indonesia di luar Jawa banyak pengaruh masyarakat adat, di Jawa sudah privatisasi di
mana ada hutan rakyat, tetapi prinsip social forestry juga jalan. Misalnya PHBM di Perhutani merupakan
salah satu social forestry. Masih ada bentuk lain, PHOM di Sanggau di mana pemerintah menyerahkan

hal pengelolaan kepada masyarakat. Contoh lain di Krui, dan Gn. Betung di Lampung dan di Rinjani. Di
sini dicoba bagaimana lembaga/entity ekonomi bisa bermitra dengan masyarakat, pemerintah hanya
mengatur (ini yang kedua), agar masyarakat bermitra dengan lembaga ekonomi.
Saat ini untuk bentuk yang luas masih dalam konteks pengembangan model. Seperti di Sanggau ada
SFDP, Krui memberikan hak kepada masyarakat dengan tujuan khusus dengan pengembangan hasil
hutan non kayu, Gn. Betung masyarakat penebang liar dibentuk dengan proses 2 tahun sekarang

mereka mampu mengelola hutannya sendiri. Di Rinjani dan Bali masyarakat memanfaatkan hutan
lindung dengan tidak menebang.
Karena social forestry merupaka local specific maka dalam pengembangannya harus hati-hati, artinya
harus melihat tipologi yang ada (sosial, fungsi hutan dan tipologi wilayah pengembangannya). Ke depan
tim social forestry dari departemen Kehutanan sedang memformulasikan bentuk pendekatan social
forestry yang cocok bagi HPHTI yang baru dicabut. Sedang dicari format bagaimana menerapkan social
forestry dalam konteks ini. Karena jika tidak dikhawatirkan hutan ini menjadi lahan tak bertuan, sehingga
setiap orang mempunyai akses. Di beberapa lokasi HTI ada masyarakatnya, sedangkan sumber daya
sudah dibentuk sehingga harus dipikirkan bagaimana memberikan akses ini kepada masyarakat tapi
harus dilihat dulu kemampuan institusinya. Ini penting, karena jika hanya memberikan pada masyarakat
tetapi masyarakat tidak mampu mengelolanya sehingga peluang ini ijinnya diberikan kepada yang lain,
pada akhirnya masyarakat sama sekali tidak mendapatkan keuntungan.
Yang penting komitmen, baik pemerintah maupun masyarakat. Ini sebenarnya yang disebut building
proses. Hal ini membutuhkan waktu sehingga social forestry ini tidak datang dengan tiba-tiba tetapi harus
dipersiapkan dengan baik. Yang penting adalah komitmen antara masyarakat, pemerintah pusat dan juga
pemerintah daerah. Jangan sampai akses ini juga digunakan oleh Pemda untuk hal-hal lain. pengalaman
menunjukkan banyak Pemda menggunakan konsep social forestry bukan untuk masyarakat tapi untuk
kelompok-kelompok tertentu. Hal ini menunjukkan tidak ada komitmen untuk menyelenggarakan prinsip
asas social forestry.
Dampak yang diinginan adalah masyarakat sejahtera. Selama ini masyarakat menjadi masyarakat yang

disingkirkan. Banyak illegal logging, mengapa masyarakat diam saja. Karena mereka tidak merasakan
buat apa sumber daya hutan itu tidak ada efeknya bagi mereka. Oleh karena itu diharapkan masyarakat
harus mampu mengelola hutan. Mereka mampu melaksanakan prinsip pengelolaan hutan lestari dan
juga mampu bersaing. ini tanggung jawab kita semua.
Sumber : Majalah Kehutanan Indonesia Edisi Juni 2003