Social Forestry_Pokok-Pokok Pikiran oleh Yetty Rusli, Staf Ahli Menhut II Bidang Pembangunan Kehutanan.

"SOCIAL FORESTRY" POKOK-POKOK PIKIRAN
oleh
Yetty Rusli, Staf Ahli Menhut II Bidang Pembangunan Kehutanan
PENDAHULUAN
Semangat menata ulang pemikiran pembangunan bangsa ditandai dengan era reformasi, termasuk
sektor kehutanan. Kesepakatan titik berangkat langkah-langkah baru sangat beragam tergantung sudut
pandang dan background yang melatar belakanginya. Perbedaan ini dapat dipahami. Adanya perbedaan
tersebut antara lain disebabkan oleh hal-hal spesifik yang didalami dan memperkaya pemikiran setiap
individu. Tidak sedikit kenyataan bahwa awal masa reformasi malah menambah laju kerusakan hutan.
Peraturan baru diartikan oleh sebagian sesuai dengan kepentingan sesaat. Benturan pemikiran dan
bahkan pertarungan strategi muncul di mana-mana. Hampir 5 tahun berlalu.
Terlepas dari di mana seseorang berkarir, pemikiran murni dan suara hati seorang rimbawanlah yang
dapat menyatukan dan menyelamatkan hutan kita. Dugaan saling berseberangan pendapat,
berseberangan strategi dan tindakan hendaknya sudah dapat diakhiri. Para rimbawan, kita meyakini dan
menyadari kebijakan, langkah-langkah yang yang kita rintis pada tempat kita masing-masing baik di
pemerintahan, dunia usaha, dunia akademis, dan kalangan profeisonal lainnya telah menyatu. Topiktopik yang diangkat dalam sarasehan kali ini merupakan bukti yang menunjukkan keterpaduan pemikiran
para profesional rimbawan, salah satunya Perhutanan Sosial atau Society Forestry.
POKOK-POKOK PIKIRAN SOCIAL FORESTRY
Hubungan saling ketergantungan manusia dan hutan dalam suatu interaksi dalam sistem kehidupan
merupakan dalil yang tidak bisa disangkal. Hutan Indonesia setelah mendapat beban demikian lama dan
berat sebagai penggerak perekonomian bangsa, telah sampai pada titik di mana berakumulasinya

masalah sosial, ekonomi, budaya dan ekologi. Jika tekanan terhadap hutan terus terjadi maka hutan
akan semakin berkurang dan bencana berupa dampak ekologi akan berantai ke sektor-sektor lain, dan
pada gilirannya akan berdampak pada kehidupan masyarakat luas.
Social Forestry memang bukan suatu hal yang baru, namun momen peletakan kebijakan baik pada
tatanan awal maupun pada tatanan pengembangan sangat menentukan tingkat manfaatnya. Mengalirnya
kebijakan pemerintah dengan disampaikannya pesan oleh Presiden Republik Indonesia pada sidang
ITTO di Bali pada tanggal 23 Mei 2002, bahwa pada masa 10 - 20 tahun ke depan hutan perlu diberi
waktu bernapas, yang kemudian dapat kita terjemahkan sebagai era rehabilitasi dan konservasi. Lima
kebijakan prioritas sektor kehutanan sebagai langkah konkrit upaya menata kembali pembangunan
kehutanan dan menghentikan laju kerusakan hutan.
Langkah menata kembali (restrukturisasi) pembangunan kehutanan merupakan titik start yang tepat
untuk mengangkat, mengembangkan, atau memulai kembali pembangunan Social Forestry secara nyata.
Menteri Kehutanan pada Rakernas Kehutanan tahun 2002 telah menyatakan bahwa Social Forestry
merupakan payung pembangunan kehutanan ke depan.
Dalam jangka pendek dan menengah, Social Forestry merupakan pilar penyangga lima kebijakan
prioritas kehutanan.
Kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat semakin nyata setelah krisis ekonomi yang berkelanjutan.
Sektor kehutanan mempunyai kemampuan berpartisipasi nyata dalam pemerataan yang berekadilan
terutama bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajak
masyarakat di dalam dan sekitar hutan bangkit merajut ekonomi berbasis kelola kawasan hutan oleh

masyarakat.
Pada saatnya, kemampuan masyarakat dapat ditingkatkan secara nyata dengan membangun mitra
usaha kelola kawasan namun tetap menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama.
Social Forestry menempatkan masyarakat di dalam dan sekitar hutan sebagai pelaku utama dengan
maksud meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan di lingkungannya. Sasaran
antara Social Forestry yaitu :
1. Membangkitkan kegiatan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan
2. Mempercepat rehabilitasi hutan dengan menyatukan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah.
Sistem pengelolaan hutan dalam Social Forestry meliputi seluruh kegiatan pengelolaan secara
komprehensif meliputi menanam, memelihara dan memanfaatkan. Untuk terlaksananya pengelolaan

yang komprehensif perlu penguatan kelembagaan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan
pemerintah. Di samping kelembagaan kemitraan, penguatan sistem pengelolaan dan sistem usaha
berbasis masyarakat sangat menentukan keberhasilan Social Forestry. Kemampuan wirausaha
masyarakat merupakan hal yang perlu diperkuat oleh berbagai sektor, yaitu menumbuhkan kemampuan
masyarakat sebagai produsen (jangka pendek dapat diisi dengan berbagai komoditi, sedangkan jangka
panjang menuju hutan lestari sesuai fungsi hutan).
Kelembagaan Social Forestry merupakan legitimasi terhadap pencadangan kawasan, serta struktur
menajemen dan usaha. Secara sangat jelas kebijakan pencadangan kawasan bukanlah untuk merubah
status dan fungsi kawasan, dan juga bukan untuk memberikan kepemilikan atas kawasan. Pencadangan

kawasan untuk pembangunan Social Forestry dapat menjamin dilakukan kegiatan menajemen dan usaha
menuju tercapainya sasaran Social Forestry yaitu meningkatkan ekonomi masyarakat di dalam dan
sekitar hutan, dan mewujudkan kelestarian hutan yang kedua-duanya diibaratkan sebagai dua sisi mata
uang. Dalam kelembagaan tersebut melekat tugas, tanggung jawab dan hak masing-masing mitra.
Pengembangan kelembagaan merupakan proses transformasi dari sistem yang ada dan dilakukan
secara bertahap sesuai kesepakatan kebijakan pusat, daerah dan masyarakat. Dengan demikian Social
Forestry merupakan program jangka panjang melengkapi dan memperkuat pengalaman kegiatan
pengelolaan hutan dengan masyarakat.
Bentuk kemitraan dengan menempatkan masyarakat di dalam dan sekitar hutan sebagai pelaku utama
sekaligus berarti memfungsikan Pemerintah Desa dalam pengelolaan hutan dan ini merupakan
perwujudan nyata desentralisasi pengelolaan hutan. Untuk itu dan sebagai keonsekuensi reformasi
pembangunan, maka dukungan seluruh jajaran pemerintah (pusat, propinsi, kabupaten/kota, dan desa),
antar sektor baik usaha serta para pihak kehutanan lainnya sangat diperlukan.
Strategi pokok Social Forestry yaitu kelola kawasan dan sumber daya hutan, pengembangan kemitraan
dan pengembangan usaha. Dalam pelaksanaannya, Social Foresry dapat diintegrasikan dengan program
nasional strategis lainnya seperti ketahanan pangan, ketenagakerjaan, peningkatan kemampuan usaha
berbasis masyarakat dan sebagainya.
Pada dasarnya butir-butir yang disajikan di atas adalah butir-butir jabaran perubahan paradigma
pemberdayaan masyarakat sektor kehutanan. Mengingat hal yang sangat prinsip ini, maka konsep yang
kuat dan kecermatan langkah tidak perlu menjadi perhatian sebagaimana diingatkan oleh para pakar.

Paradigma Social Forestry dan beberapa butir penting dikutip/dikembangkan dari Sanafri Awang,
Fahutan UGM dalam makalah masukan untuk Departemen Kehutanan pada diskusi Social Forestry, 24
Februari 2003 antara lain :
"Fokus kegiatan pengelolaan hutan pada upaya perlindungan, konservasi dan ekonomi baik di lahan milik
maupun hutan negara secara lestari"
"Aktor utama pengelola hutan adalah rakyat/masyarakat"
"Pemerintah sebagai fasilitator, regulator dan pengawas"
"Pelaksanaan di lapangan sesuai dengan kebutuhan wilayah masing-masing sehingga tidak ada "cetak
Biru" /keseragaman/uniformitas dari Jakarta. Pemerintah pusat hanya perlu membuat bingkai atau frame.
Perlu ditambahkan bahwa pada lokasi terbatas perlu dicari bentuk eksperimental frame di lapangan
secara bersama oleh pemerintah lintas sektor, pusat, propinsi, kabupaten/kota, masyarakat. Ini perlu
dilakukan untuk menjaga konsistensi policy frame yang disepakati terlaksana di lapangan, dan sampai
terbentuknya aturan pendukung sebagai landasan pengembangan ke depan.
Beberapa butir penting hasil sementara Lokakarya Nasional Social Forestry tanggal 9-12 September
2002 di Cimacan (inisiatif berbagai pihak, NGO Nasional dan Internasional) :
"Lokakarya merupakan tanggapan dan sekaligus dukungan kepada Menteri Kehutanan yang
menetapkan Social Forestry sebagai "payung" dari lima kebijakan prioritas Departemen Kehutanan."
"Kebijakan harus mudah diimplementasikan dan dipantau, dikembangkan mekanisme konsultasi dan
komunikasi"
"Departemen Kehutanan lebih berperan sebagai inisiator dalam pengembangan simpul belajar."

Sumbangan pemikiran dan saran konstruktif seperti di atas perlu untuk mempercepat keberhasilan di
lapangan.

Agenda Kerja Social Forestry
Rangkaian agenda kerja dimulai dengan menyatukan persepsi, sinergitas dengan sektor lain,
membangun komitmen bersama daerah, dan mengidentifikasi lokasi potensi prioritas implementacy
policy. Berdasarkan kesepakatan dengan daerah dilakukan implementasi kerangka policy di lokasi
prioritas. Implementasi pada lokasi prioritas dimaksudkan untuk mencermati proses serta bentuk yang
tepat di lapangan sebagai dasar untuk replikasi pada lokasi pengembangan. Hasil lapangan dari lokasi
prioritas juga digunakan untuk merancang peraturan baik di tingkat pusat, propinsi maupun
kabupaten/kota sebagai legalitas pelaksanaan Social Foresry. Lokasi prioritas dibedakan dalam
tipologi/model yaitu pada areal eks HPH, eks HTI, HPH aktif, BUMN (Perhutani, Inhutani), areal binaan
program-progran pemberdayaan masyarakat, kawasan konservasi, areal inisiatif lokal dan areal hutan
rakyat.
Untuk persiapan lapangan, langkah pertama adalah menyepakati bersama dengan pemerintah daerah
(Propinsi dan Kabupaten/Kota) tentang arahan areal unit pengelolaan Social Forestry (UPSF) sebagai
entity kelola dan merupakan langkah awal menuju terbentuknya Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi/Lindung/Konservasi. Penyusunan rencana Teknik Social Forestry (RTSF) secara partisipatif
dilakukan di lokasi bersama masyarakat yang dipandu oleh fasilitator. Evaluasi terhadap rencana dan
hasil akan dilakukan pada looping rencana berikutnya dan dilakukan secara partisipatif.

PENUTUP
Komitmen yang tulus dari berbagai pihak terkait untuk memberikan kesempatan bangkitnya ekonomi
masyarakat melalui kesempatan mengelola kawasan hutan merupakan upaya jangka panjang yang perlu
dilakukan secara konsisten. Rangkaian kebijakan mulai dari restrukturisasi kehutanan sampai Social
Forestry menunjukkan keseriusan pembenahan sistem pembangunan kehutanan. Keberhasilan
meletakkan policy frame Social Forestry pada tataran implementasi di lokasi prioritas (experimental
frame) merupakan penentu keberhasilan program ke depan. Dukungan dari berbagai pihak sangat
diperlukan agar momentum yang tepat ini dapat dimanfaatkan guna benar-benar merealisasikan
peningkatan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan melalui kelola kawasan hutan secara
lestari di wilayahnya.
Sumber : Majalah Kehutanan Indonesia Edisi Juni 2003