Dokumen
PRAKTIK BAIK SISTEM PENJAMINAN
MUTU INTERNAL DI PERGURUAN TINGGI
Hambatan atau Kendala yang dihadapi Dalam Menerapkan Sistem
Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi
MENJUNJUNG TINGGI BUDAYA MALU: MEMBONGKAR
HAMBATAN SISTEM PENJAMINAN MUTI INTERNAL DI
PERGURUAN TINGGI
Resa Dandirwalu *
*Universitas Kristen Indonesia Maluku, Ketua Program Studi (Lektor)
Abstract
MENJUNJUNG TINGGI BUDAYA MALU: MEMBONGKAR HAMBATAN SISTEM PENJAMINAN MUTI
INTERNAL DI PERGURUAN TINGGI
RESA DANDIRWALU[1]
PENDAHULUAN
Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam
pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia. Kehadiran Perguruan Tinggi negeri dan swasta
dipandang sebagai salah satu sarana mewujudkan cita-cita dimaksud, sehingga jumlah Perguruan
Tinggi di Indonesia mencapai jumlah sekitar 4000-an. Pemerintah terus berupaya agar setiap
perguruan tinggi di Indonesia memiliki kualitas unggul sehingga berpengaruh pada kompetensi
lulusan, yaitu dapat menciptakan lapangan kerja dan mampu bersaing dalam dunia kerja. Karanenya
pada tahun 2003 pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Tindaklanjut dari hadirnya Undang-Undang tersebut, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi mulai menerapkan Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi secara bertahap.
Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi tersebut bertujuan untuk menjamin mutu penyelenggaraan
pendidikan tinggi oleh Perguruan Tinggi di Indonesia. Terhadap hal itu, setiap Perguruan Tinggi di
Indonesia dituntut untuk menciptakan mutu pendidikannya. Selanjutnya, pada tanggal 16 Mei 2005
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(SNP) yang kemudian diubah dengan PP no. 32 Tahun 2013 dan Perubahan kedua melalui PP no. 13
Tahun 2015 . Di dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan bahwa SNP bertujuan
menjamin mutu pendidikan nasiona. Oleh karena itu, pemenuhan SNP oleh suatu perguruan tinggi
akan berarti bahwa Perguruna Tinggi tersebut menjamin mutu pendidikan tinggi yang
diselenggarakannya, oleh karena itu, SNP dapat disebut pula sebagai standar mutu pendidikan
tinggi di Indonesia yang harus dipenuhi oleh setiap perguruan tinggi. Sedangkan Pasal 92 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang SNP mengamanatkan bahwa Menteri
Pendidikan Nasional mensupervisi dan membantu perguruan tinggi melakukan penjaminan mutu.
Untuk memenuhi amanat tersebut, maka Dirjen Dikti mulai dari tahun 2007 sudah membentuk
Kelompok Keja Nasional, dengan tugas utama merevisi Buku Pedoman Penjaminan Mutu Pendidikan
Tinggi. Revisi perlu dilakukan agar buku pedoman senantiasa sesuai dengan perkembangan
pendidikan tinggi serta perubahan peraturan perundang-undangan dalam bidang pendidikan tinggi
di Indonesia. Misalnya buku pedoman tahun 2003 hanya berisi penjaminan mutu pendidikan yang
dilakukan oleh perguruan tinggi masing-masing yang disebut sebagai penjaminan mutu internal.
Kemudian pada tahun 2007, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi membentuk komisi di bawah
koordinasi Dewan Pendidikan Tinggi dengan tugas merancang kembali penjaminan mutu
pendidikan tinggi sebagai sebuah sistem. Alhasil, pada bulan Agustus 2008 selesai disusun
Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dalam sebuah sistem yang dinamakan Sistem Penjaminan Mutu
Perguruan Tinggi. Sistem ini mengintegrasikan antara penjaminan mutu yang diselenggarakan
masing-masing perguruan tinggi yang disebut Penjaminan Mutu Internal dengan Penjaminan Mutu
Eksternal yang disebut Akreditasi berdasarkan satu basis data dan informasi yang dikelola dalam
Pangkalan Data Perguruan Tinggi. Perkembang selanjutnya dalam dunia pendidikan tinggi adalah
pada tahun 2012, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi. Kehadirannya untuk mengokohkan Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
yang telah dilaksankan sejak tahun 2008 nama baru yaitu Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan
Tinggi sebagai sebuah sistem tetap mengintegrasikan tiga pilar di bawah ini: 1.
Sistem
Penjaminan Mutu Internal yang dilaksanakan oleh setiap Perguruan Tinggi 2.
Sistem Penjaminan
Mutu Eksternal atau Akreditasi yang dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Perguruan Tinggi atau
Lembaga Akreditasi Mandiri 3.
Pangkalan Data Pendidikan Tinggi baik pada aras Perguruan
Tinggi maupun aras Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Untuk meimplementasikan pasal 51-53
UU PT tersebut di atas, maka di tahun 2014 terbitlah beberapa Permendikbud sebagai juklak pasalpasal ini: 1.
Permendikbud no. 87 Tahun 2014 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan
Tinggi 2.
Permendikbud no.85 Tahun 2014 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah di
Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. 3.
Permendikbud no.50 Tahun
2014 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi 4.
Permendikbud no.49 Tahun 2014
tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi dan Lampiran (telah dicabut Permenristekdikti no. 44
Tahun 2015) Dengan pengaturan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (SPM Dikti) di dalam
UU Dikti, semua Perguruan Tinggi berkewajiban menjalankan SPM Dikti tersebut dengan modus
yang paling sesuai dengan sejarah, visi, misi, mandat, ukuran, budaya organisasi Perguruan Tinggi
yang bersangkutan. Juga harus diperhatikan dan disesuaikan dengan Peraturan Menristek tentang
SNPT yang terbaru yaitu Permenristek nomor 44 Tahun 2015 dan Lampiran.[2] Regulasi di atas,
mengharuskan setiap Perguruan Tinggi untuk menyesuaikannya, dengan cara harus menyusunun
dokumen Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi agar terciptanya Perguruan Tinggi
Bermutu. Berdasarkan realitas dan diskusi dengan beberapa teman sejawat dari Perguruan Tinggi
tentang implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi, ditemukan bahwa
sebagian besar Perguruan Tinggi di Indonesia telah memiliki dokumen Sistem Penjaminan Mutu
tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa secara konseptual Perguruan Tinggi di Indonesia sudah
mampu menyusun dan mendesain Perguruan Tinggi untuk bermutu, sehingga mampu menghasilkan
sumber daya manusia Indonesia yang berkompeten. Karena itu, persoalannya bukan pada tataran
konseptual, melainkan pada tataran implementasinya. Budaya malu menjadi solusi untuk
membongkar hambatan implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi.
PEMBAHASAN
Hambatan Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Di Perguruan Tinggi
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bahwa persoalan Sistem Penjaminan Mutu Internal di
Perguruan Tinggi bukanlah pada tataran konseptual, melainkan pada tataran implementasinya.
Karena itu, pada bagian ini penulis akan mengedepankan beberapa hambatan dalam proses
implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi.
1.
Komitmen Pimpinan Perguruan Tinggi
Pimpinan setiap Perguruan Tinggi memiliki idealisme yang tinggi, yaitu: supaya Perguruan Tinggi
yang dipimpimnya itu bermutu, sehingga dapat dipercaya publik dan mampu bersaing dengan
berbagai Perguruan Tinggi baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Idealisme itu
diwujudkan melalui tersedianya dokumen Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tingginya.
Berdasarkan realitas, Sistem Penjaminan Mutu Internal kurang berjalan dengan baik, karena
komitmen pimpinan tidak berbanding lurus dengan implementasinya. Sebagaimana yang
disampaikan Ketua Lembaga Jaminan Mutu Universitas, bahwa: Sistem Penjaminan Mutu Internal
di Universitas tidak akan berhasil apabila tidak ada komitmen pimpinan untuk menjalankannya.
Selain itu, ada juga teman sejawat yang mengatakan bahwa: dokumen Sistem Penjaminan Mutu
Internal tidak akan bermanfaat apabila Pimpinan Perguruan Tinggi kurang menjunjung tinggi
melalui berbagai keputusan yang diambilnya, bahkan tidak ingin dikritik dan dievaluasi berdasarkan
dokumen Sistem Penjaminan Mutu Internal yang sudah disahkan. Akibatnya, dokumen Sistem
Penjaminan Mutu Internal kurang menjadi pedoman dalam seluruh aktivitas di Perguruan Tinggi.
2. Komitmen Civitas Akademika Perguruan Tinggi
Komitmen pimpinan Perguruan Tinggi untuk menerapkan Sistem Penjaminan Mutu Internal di
Perguruan dapat berlangsung dengan baik apabila komitmen yang tinggi juga dimiliki oleh civitas
akademika Perguruan Tinggi. Berdasarkan informasi dari Ketua Jaminan Mutu Universitas, bahwa
Sistem Penjaminan Mutu Internal sulit berhasil, karena dukungan dari civitas akademika
universitas kurang diperlihatkan. Selain itu, informasi dari rekan sejawat bahwa hasil evaluasi dan
monitoring dari Lembaga Jaminan Mutu Universitas kurang mendapat respon dari Pimpinan
Universitas, Pimpinan Fakultas, dan Pimpinan Prodi, serta dosen. Berdasarkan informasi tersebut,
tampak bahwa komitem civitas akademika universitas kurang melihat pentingnya keberadaan
Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi. Padahal, hal tersebut sangat penting, karena
Sistem Penjaminan Mutu Internal sangat berpengaruh pada Sistem Penjaminan Mutu Eksternal.
Hal inilah yang membuat sehingga sebagian besar Perguruan Tinggi masih memiliki nilai Akreditasi
C dari BAN PT.
Budaya Malu Budaya malu adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena
rasa malu adalah kontrol alami manusia agar terhindar dari perbuatan perbuatan yang melanggar
hukum, aturan atau norma norma yang berlaku di kehidupan masyarakat. Karena itu menurut Ruth
Benedict, budaya malu adalah kemampuan seseorang untuk menunaikan atau menjalankan
kewajibannya dengan baik sesuai dengan norma-norma atau pranata-pranata sosial suatu
masyarakat. Selain itu, budaya malu sangat berhubungan dengan kemajuan peradaban suatu
kelompok masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kualitas keberadaban kelompok masyarakat
tersebut. Jelaslah bahwa Sistem Penjaminan Mutu Internal dapat berlangsung dengan baik dan
dapat mengkatkan mutu Perguruan Tinggi, maka budaya malu mestinya menjadi karakter diri setiap
Pimpinan dan civitas akademika Perguruan Tinggi. Pimpinan dan sivitas akademik Perguruan Tinggi
akan merasa malu apabila tidak menjalankan kewajibannya dengan baik dalam
mengimplementasikan dan menjadi contoh/teladan untuk mewujudkan Sistem Penjaminan Mutu
Internal di Perguruan Tinggi dengan baik dan benar. Penulis sangat menyakini bahwa apabila
budaya malu dimiliki oleh pimpinan dan sivitas akademika Perguruan Tinggi, maka implementasi
Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi dapat berlangsung secar kontinyu, sehingga
berdampak pada terciptanya mutu Perguruan Tinggi.
PENUTUP
Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam
pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia. Kehadiran Perguruan Tinggi negeri dan swasta
dipandang sebagai salah satu sarana mewujudkan cita-cita dimaksud, sehingga jumlah Perguruan
Tinggi di Indonesia mencapai jumlah sekitar 4000-an. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi
menjadi nilai penting bagi setiap Perguruan Tinggi, dengan tujuan untuk menjamin mutu
penyelenggaraan pendidikan tinggi. Karena itu setiap Perguruan Tinggi dituntut untuk menciptakan
mutu pendidikannya melalui Sistem dimaksud. Ditemukan bahwa persoalannya implementasi
terhadap Sistem Penjaminan Mutu Internal masih memiliki hambatan. Hambatannya adalah
Komitmen Pimpinan Perguruan Tinggi dan Komitmen Civitas Akademika Perguruan Tinggi.
Menjunjung tinggi Budaya Malu menjadi karakteristik diri untuk membongkar hambatan dimaksud.
Pimpinan dan sivitas akademik Perguruan Tinggi akan merasa malu apabila tidak menjalankan
kewajibannya dengan baik dalam mengimplementasikan dan menjadi contoh/teladan untuk
mewujudkan Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi dengan baik dan benar.
[1] Fakultas Teologi, Universitas Kristen Indonesia Maluku, Ketua Program Studi Filsafat Keilahian.
Hp. 081366323466. Email. [email protected]
[2] http://www.kopertis12.or.id/2016/01/28/sistem-penjaminan-mutu-pendidikan-tinggi-spm-dikti-dari
-tahun...
MUTU INTERNAL DI PERGURUAN TINGGI
Hambatan atau Kendala yang dihadapi Dalam Menerapkan Sistem
Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi
MENJUNJUNG TINGGI BUDAYA MALU: MEMBONGKAR
HAMBATAN SISTEM PENJAMINAN MUTI INTERNAL DI
PERGURUAN TINGGI
Resa Dandirwalu *
*Universitas Kristen Indonesia Maluku, Ketua Program Studi (Lektor)
Abstract
MENJUNJUNG TINGGI BUDAYA MALU: MEMBONGKAR HAMBATAN SISTEM PENJAMINAN MUTI
INTERNAL DI PERGURUAN TINGGI
RESA DANDIRWALU[1]
PENDAHULUAN
Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam
pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia. Kehadiran Perguruan Tinggi negeri dan swasta
dipandang sebagai salah satu sarana mewujudkan cita-cita dimaksud, sehingga jumlah Perguruan
Tinggi di Indonesia mencapai jumlah sekitar 4000-an. Pemerintah terus berupaya agar setiap
perguruan tinggi di Indonesia memiliki kualitas unggul sehingga berpengaruh pada kompetensi
lulusan, yaitu dapat menciptakan lapangan kerja dan mampu bersaing dalam dunia kerja. Karanenya
pada tahun 2003 pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Tindaklanjut dari hadirnya Undang-Undang tersebut, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi mulai menerapkan Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi secara bertahap.
Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi tersebut bertujuan untuk menjamin mutu penyelenggaraan
pendidikan tinggi oleh Perguruan Tinggi di Indonesia. Terhadap hal itu, setiap Perguruan Tinggi di
Indonesia dituntut untuk menciptakan mutu pendidikannya. Selanjutnya, pada tanggal 16 Mei 2005
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(SNP) yang kemudian diubah dengan PP no. 32 Tahun 2013 dan Perubahan kedua melalui PP no. 13
Tahun 2015 . Di dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan bahwa SNP bertujuan
menjamin mutu pendidikan nasiona. Oleh karena itu, pemenuhan SNP oleh suatu perguruan tinggi
akan berarti bahwa Perguruna Tinggi tersebut menjamin mutu pendidikan tinggi yang
diselenggarakannya, oleh karena itu, SNP dapat disebut pula sebagai standar mutu pendidikan
tinggi di Indonesia yang harus dipenuhi oleh setiap perguruan tinggi. Sedangkan Pasal 92 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang SNP mengamanatkan bahwa Menteri
Pendidikan Nasional mensupervisi dan membantu perguruan tinggi melakukan penjaminan mutu.
Untuk memenuhi amanat tersebut, maka Dirjen Dikti mulai dari tahun 2007 sudah membentuk
Kelompok Keja Nasional, dengan tugas utama merevisi Buku Pedoman Penjaminan Mutu Pendidikan
Tinggi. Revisi perlu dilakukan agar buku pedoman senantiasa sesuai dengan perkembangan
pendidikan tinggi serta perubahan peraturan perundang-undangan dalam bidang pendidikan tinggi
di Indonesia. Misalnya buku pedoman tahun 2003 hanya berisi penjaminan mutu pendidikan yang
dilakukan oleh perguruan tinggi masing-masing yang disebut sebagai penjaminan mutu internal.
Kemudian pada tahun 2007, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi membentuk komisi di bawah
koordinasi Dewan Pendidikan Tinggi dengan tugas merancang kembali penjaminan mutu
pendidikan tinggi sebagai sebuah sistem. Alhasil, pada bulan Agustus 2008 selesai disusun
Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dalam sebuah sistem yang dinamakan Sistem Penjaminan Mutu
Perguruan Tinggi. Sistem ini mengintegrasikan antara penjaminan mutu yang diselenggarakan
masing-masing perguruan tinggi yang disebut Penjaminan Mutu Internal dengan Penjaminan Mutu
Eksternal yang disebut Akreditasi berdasarkan satu basis data dan informasi yang dikelola dalam
Pangkalan Data Perguruan Tinggi. Perkembang selanjutnya dalam dunia pendidikan tinggi adalah
pada tahun 2012, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi. Kehadirannya untuk mengokohkan Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
yang telah dilaksankan sejak tahun 2008 nama baru yaitu Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan
Tinggi sebagai sebuah sistem tetap mengintegrasikan tiga pilar di bawah ini: 1.
Sistem
Penjaminan Mutu Internal yang dilaksanakan oleh setiap Perguruan Tinggi 2.
Sistem Penjaminan
Mutu Eksternal atau Akreditasi yang dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Perguruan Tinggi atau
Lembaga Akreditasi Mandiri 3.
Pangkalan Data Pendidikan Tinggi baik pada aras Perguruan
Tinggi maupun aras Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Untuk meimplementasikan pasal 51-53
UU PT tersebut di atas, maka di tahun 2014 terbitlah beberapa Permendikbud sebagai juklak pasalpasal ini: 1.
Permendikbud no. 87 Tahun 2014 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan
Tinggi 2.
Permendikbud no.85 Tahun 2014 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah di
Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. 3.
Permendikbud no.50 Tahun
2014 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi 4.
Permendikbud no.49 Tahun 2014
tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi dan Lampiran (telah dicabut Permenristekdikti no. 44
Tahun 2015) Dengan pengaturan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (SPM Dikti) di dalam
UU Dikti, semua Perguruan Tinggi berkewajiban menjalankan SPM Dikti tersebut dengan modus
yang paling sesuai dengan sejarah, visi, misi, mandat, ukuran, budaya organisasi Perguruan Tinggi
yang bersangkutan. Juga harus diperhatikan dan disesuaikan dengan Peraturan Menristek tentang
SNPT yang terbaru yaitu Permenristek nomor 44 Tahun 2015 dan Lampiran.[2] Regulasi di atas,
mengharuskan setiap Perguruan Tinggi untuk menyesuaikannya, dengan cara harus menyusunun
dokumen Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi agar terciptanya Perguruan Tinggi
Bermutu. Berdasarkan realitas dan diskusi dengan beberapa teman sejawat dari Perguruan Tinggi
tentang implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi, ditemukan bahwa
sebagian besar Perguruan Tinggi di Indonesia telah memiliki dokumen Sistem Penjaminan Mutu
tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa secara konseptual Perguruan Tinggi di Indonesia sudah
mampu menyusun dan mendesain Perguruan Tinggi untuk bermutu, sehingga mampu menghasilkan
sumber daya manusia Indonesia yang berkompeten. Karena itu, persoalannya bukan pada tataran
konseptual, melainkan pada tataran implementasinya. Budaya malu menjadi solusi untuk
membongkar hambatan implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi.
PEMBAHASAN
Hambatan Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Di Perguruan Tinggi
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bahwa persoalan Sistem Penjaminan Mutu Internal di
Perguruan Tinggi bukanlah pada tataran konseptual, melainkan pada tataran implementasinya.
Karena itu, pada bagian ini penulis akan mengedepankan beberapa hambatan dalam proses
implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi.
1.
Komitmen Pimpinan Perguruan Tinggi
Pimpinan setiap Perguruan Tinggi memiliki idealisme yang tinggi, yaitu: supaya Perguruan Tinggi
yang dipimpimnya itu bermutu, sehingga dapat dipercaya publik dan mampu bersaing dengan
berbagai Perguruan Tinggi baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Idealisme itu
diwujudkan melalui tersedianya dokumen Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tingginya.
Berdasarkan realitas, Sistem Penjaminan Mutu Internal kurang berjalan dengan baik, karena
komitmen pimpinan tidak berbanding lurus dengan implementasinya. Sebagaimana yang
disampaikan Ketua Lembaga Jaminan Mutu Universitas, bahwa: Sistem Penjaminan Mutu Internal
di Universitas tidak akan berhasil apabila tidak ada komitmen pimpinan untuk menjalankannya.
Selain itu, ada juga teman sejawat yang mengatakan bahwa: dokumen Sistem Penjaminan Mutu
Internal tidak akan bermanfaat apabila Pimpinan Perguruan Tinggi kurang menjunjung tinggi
melalui berbagai keputusan yang diambilnya, bahkan tidak ingin dikritik dan dievaluasi berdasarkan
dokumen Sistem Penjaminan Mutu Internal yang sudah disahkan. Akibatnya, dokumen Sistem
Penjaminan Mutu Internal kurang menjadi pedoman dalam seluruh aktivitas di Perguruan Tinggi.
2. Komitmen Civitas Akademika Perguruan Tinggi
Komitmen pimpinan Perguruan Tinggi untuk menerapkan Sistem Penjaminan Mutu Internal di
Perguruan dapat berlangsung dengan baik apabila komitmen yang tinggi juga dimiliki oleh civitas
akademika Perguruan Tinggi. Berdasarkan informasi dari Ketua Jaminan Mutu Universitas, bahwa
Sistem Penjaminan Mutu Internal sulit berhasil, karena dukungan dari civitas akademika
universitas kurang diperlihatkan. Selain itu, informasi dari rekan sejawat bahwa hasil evaluasi dan
monitoring dari Lembaga Jaminan Mutu Universitas kurang mendapat respon dari Pimpinan
Universitas, Pimpinan Fakultas, dan Pimpinan Prodi, serta dosen. Berdasarkan informasi tersebut,
tampak bahwa komitem civitas akademika universitas kurang melihat pentingnya keberadaan
Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi. Padahal, hal tersebut sangat penting, karena
Sistem Penjaminan Mutu Internal sangat berpengaruh pada Sistem Penjaminan Mutu Eksternal.
Hal inilah yang membuat sehingga sebagian besar Perguruan Tinggi masih memiliki nilai Akreditasi
C dari BAN PT.
Budaya Malu Budaya malu adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena
rasa malu adalah kontrol alami manusia agar terhindar dari perbuatan perbuatan yang melanggar
hukum, aturan atau norma norma yang berlaku di kehidupan masyarakat. Karena itu menurut Ruth
Benedict, budaya malu adalah kemampuan seseorang untuk menunaikan atau menjalankan
kewajibannya dengan baik sesuai dengan norma-norma atau pranata-pranata sosial suatu
masyarakat. Selain itu, budaya malu sangat berhubungan dengan kemajuan peradaban suatu
kelompok masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kualitas keberadaban kelompok masyarakat
tersebut. Jelaslah bahwa Sistem Penjaminan Mutu Internal dapat berlangsung dengan baik dan
dapat mengkatkan mutu Perguruan Tinggi, maka budaya malu mestinya menjadi karakter diri setiap
Pimpinan dan civitas akademika Perguruan Tinggi. Pimpinan dan sivitas akademik Perguruan Tinggi
akan merasa malu apabila tidak menjalankan kewajibannya dengan baik dalam
mengimplementasikan dan menjadi contoh/teladan untuk mewujudkan Sistem Penjaminan Mutu
Internal di Perguruan Tinggi dengan baik dan benar. Penulis sangat menyakini bahwa apabila
budaya malu dimiliki oleh pimpinan dan sivitas akademika Perguruan Tinggi, maka implementasi
Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi dapat berlangsung secar kontinyu, sehingga
berdampak pada terciptanya mutu Perguruan Tinggi.
PENUTUP
Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam
pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia. Kehadiran Perguruan Tinggi negeri dan swasta
dipandang sebagai salah satu sarana mewujudkan cita-cita dimaksud, sehingga jumlah Perguruan
Tinggi di Indonesia mencapai jumlah sekitar 4000-an. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi
menjadi nilai penting bagi setiap Perguruan Tinggi, dengan tujuan untuk menjamin mutu
penyelenggaraan pendidikan tinggi. Karena itu setiap Perguruan Tinggi dituntut untuk menciptakan
mutu pendidikannya melalui Sistem dimaksud. Ditemukan bahwa persoalannya implementasi
terhadap Sistem Penjaminan Mutu Internal masih memiliki hambatan. Hambatannya adalah
Komitmen Pimpinan Perguruan Tinggi dan Komitmen Civitas Akademika Perguruan Tinggi.
Menjunjung tinggi Budaya Malu menjadi karakteristik diri untuk membongkar hambatan dimaksud.
Pimpinan dan sivitas akademik Perguruan Tinggi akan merasa malu apabila tidak menjalankan
kewajibannya dengan baik dalam mengimplementasikan dan menjadi contoh/teladan untuk
mewujudkan Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi dengan baik dan benar.
[1] Fakultas Teologi, Universitas Kristen Indonesia Maluku, Ketua Program Studi Filsafat Keilahian.
Hp. 081366323466. Email. [email protected]
[2] http://www.kopertis12.or.id/2016/01/28/sistem-penjaminan-mutu-pendidikan-tinggi-spm-dikti-dari
-tahun...