71 BAB IV PEMBAHASAN - FILE 7 BAB IV

BAB IV PEMBAHASAN Ayat-ayat tentang perbuatan manusia sangat banyak disebutkan dalam al- Qur’an dengan berbagai kata yang memiliki arti perbuatan, bahkan perbuatan itu

  memiliki arti pelaku yang tidak hanya manusia. Dalam aliran Jabariyah dan Qadariyah, keduanya memiliki gagasan tersendiri mengenai perbuatan manusia. Dalam pembahasan kali ini peneliti mendeskripsikan pemikiran al-Razi tentang perbuatan manusia berdasarkan penafsiran al-Razi terhadap ayat-ayat yang dipakai kedua aliran tersebut dalam tafsir Mafatih al-Ghaib. Kemudian diperoleh pemikiran al-Razi dan pengaruhnya terhadap ilmu Teologi.

A. Ayat tentang Perbuatan Manusia, Al-Qur’an membicarakan konsep Perbuatan Manusia.

  Sebelum diuraikan lebih lanjut sejauhnya perbuatan manusia itu timbul, maka akan lebih lengkap jika terlebih dahulu diuraikan disini tentang beberapa kata yang merujuk pada ayat Al-

  Qur’an Tentang Perbuatan Manusia. Terdapat beberapa kata dalam al-

  Qur’an yang memiliki arti perbuatan, diantaranya :

1. Penggunaan Kasaba

  Ada beberapa ayat dalam al- Qur’an yang menjelaskan tentang arti perbuatan diantaranya adalah: Al-Baqarah ayat 281, ayat ini sangat luas pengertiannya hingga pengertian perbuatan yang dimaksudkan adalah perbuatan yang baik maupun perbuatan yang buruk. Allah menegaskan bahwa setiap diri akan diberi balasan di hari kemudian sesuai dengan apa yang dipertbuatnya di dunia.

  Kalau demikian maka memperbuat semua itu dengan sendirinya termasuk perbuatan manusia yang akan diberi imbalan yang adil bahkan termasuk pula memperbuat kebaikan diri akan mendapatkan imbalan. Al Baqarah ayat 286, keluasan ayat ini ditandai dengan kata nafasa Perbuatan diungkapkan dengan dua bentuk bentuk pertama kasaba yang berarti perbuatan baik dan perbuatan kedua dengan iktasaba yang dimaksudkan dengan perbuatan yang tidak baik.

  Penegasan Allah bahwa perbuatan baik menjadi pahala dan perbuatan buruk menjadi beban, dikemukakannya setelah kewajiban itu sesuai dengan kemampuan manusia, sehingga perbuatan tersebut dapat dikaitkan dengan kewajiban. Maraghi dalam kitab tafsir Al- Maraghi menyebutkan bahwa kewajiban itu adalah ketaatan dan

  1 penerimaan atas apa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad .

  Penafsiran itu nampaknya mengaitkan perbuatan itu dengan ayat sebelumnya yang menyebutkan bahwa Rasul Muhammad menerima baik apa yang diturunkan kepadanya dan orang-orang mukmin pun demikian, menerima baik apa yang diturunkan, yakni ketaatan, adalah pemenuhan kewajiban. Berbuat demikian merupakan kebaikan dan berbuat sebaliknya merupakan kejelekan. Kedua- duanya termasuk perbuatan manusia .

                 

  Artinya :

  Bagaimanakah nanti kalau kami kumpulkan mereka

  dihari yang tiada keraguan adanya; setiap diri diberi balasan apa yang diperbuatnya tanpa aniaya.

  ” (QS. Ali Imran: 25). Perbuatan diayat ini mencakup yang baik dan yang buruk. Yang terungkap bukan hanya kaum Yahudi sebagaimana di awal ayat, melainkan mencakup pula perbuatan setiap manusia. Namun bentuk perbuatan itu dapat dikaitkan dengan tingkah orang Yahudi yang mendapat kitab Taurat atau perjanjian lama. Ketika diseru untuk menetapkan hukum dengan kitab Allah, maka sebagian orang Yahudi berpaling dan membelakangi kebenbaran: mereka menyebut dirinya tidak akan tersentuh oleh api neraka kecuali beberapa hari

  2 saja; mereka terperdaya oleh keyakinan yang diada-adakan itu .

  Itulah beberapa ayat yang menjelaskan dan menggunakan kata al- kasbuu (perbuatan manusia). Selain dari al-kasbuu ada beberapa kata yang semakna dengan al-kasbuu yaitu: 2.

   Al-Fi‟l

  Kata

  fi‟l melibatkan pelaku yang bermacam-macam. Tuhan sendiri menggunakan kata itu sewaktu memberikan peringatan.

  Surat Al Fajr ayat 6, ayat ini menjelaskan tentang perbuatan yang dilakukan oleh Alah terhdap kaum A’ad. Kata fa‟ala disini menunjukkan daya kekuasan Allah yang dapat membinasakan suatau kaum yang tidak ta

  ’at terhadap perintah-perintah Allah.

3. Al-A‟mal

  „amala

  Ungkapan Qur’an yang mengungkapkan menggunakan berbagai pelaku. Salah satu diantaranya adalah Tuhan sendiri. Dalam QS Yasin: 71, Tuhan menyebutkan bahwa penciptaan binatang-binatang adalah sebagian dari perbuatan (

  „amala) tangan-

  tangan-Nya. Ia menceritkan hal itu kepada manusia agar mereka berterima kasih, malah mereka menyembah selain mereka.

  Pelaku lain adalah Malaikat. Hal itu dapat dilihat dalam QS Thaha:27, Zamachsari Menyebutkan bahwa ayat tersebut ditunjukkan pada keluarga

  Khuza‟ah yang menyebut malaikat itu

  sebagai putra-putri Allah. Allah membantahnya dan menyebutkan bahwa malaikat itu hamba yang mulia, mereka patuh terhadap apa

  3 yang diperintahkan tanpa Tanya dan diskusi .

  Di ayat yang lain jin sebagai pelaku kata

  „amala. Hal itu

  dapat dilihat dalam QS Saba’:12-13. tuhan menerangkan bahwa Nabi 2 Sulaiaman menguasai jin. Mereka memperbuat apa yang

  Jalaluddin Rahmad, Konsep Perbuatan Manusia Dalam Al- Qur‟an, Suatu Kajian Tafsir

  Tematik, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm. 18 3 diperintahkan kepadanya. Misalnya membuat gedung tinggi, patung, piring besar dan priuk. Selain itu dijumpai pelaku lain yaitu setan. Hal ini dapat ditemukan dalam QS Thaha:82 yang menyebutkan bahwa setan itu menyelam kedasar laut sesuai dengan perintah Nabi Sulaiaman. Bahkan mereka memperbuat selain itu.

  Pelaku lain kata

  „amala adalah manusia. Dalam al-Qur’an

  pelaku ini banyak dipakai. Dari 319 ayat, dijumpai 312 ayat yang melibatkan pelaku manusia. Perbuatan-perbuatan itu mencakup kebaikan dan kejahatan, perbuatan baik yang dianjurkan disebutnya dengan al-Salih. Perbuatan jelek yang dianjurkan untuk dijauhi di sebut al-

  Shu‟ 4.

  Al-Sa‟yu (berusaha) Ungkapan-ungkapan al-

  Qur’an yang memakai kata itu melibatkan berbagai pelaku (

  fa‟il). Salah satu pelaku adalah binatang

  atau yang diserupakan dengannya. Dalam QS Thaha:20 disebutkan bahwa tongkat nabi Musa yang menjadi ular dapat melata cepat dan dapat memangsa ular-ular tiruan.

  Pelaku lain kata itu adalah cahaya (nur). Dalam QS al- Hadid:12 Allah menggambar keadaan orang

  • –orang mukmin yang mendapat keberuntungan disurga. Di ayat lain QS at-Tahrim ayat 66 disebutkan bahwa di surga cahaya Nabi dan orang-orang mukmin yang menyertainya memancar di hadapan mereka. Pelaku lain kata tersebut adalah manusia. Pemakaian kata itu khusus buat manusia sebanyak 23 kali dalam 21 ayat.

  Perbuatan-perbuatan manusia yang diungkapkan, pada dasarnya mencakup hal-hal yang baik dan yang buruk. Perbuatan baik meliputi berbagai hal, misalnya: berusaha dengan sungguh- sungguh yang berlandaskan tidak saja pada kehidupan dunia, melainkan pada kehidupan akhirat pula (QS. al-Isra

  ’ :19). Pada ayat- ayat berikutnya disebutkan berbagai tingkah laku positif seperti memberi hak kepada keluarga dekat, orang-orang miskin, dan

  4 mereka yang pantas .

  Dalam pada itu, berbagai usaha manusia yang tidak baik dijumpai pula dalam beberapa ayat. Dalam QS al-Baqarah 114 disebutkan bahwa usaha meruntuhkan masjid adalah suatau perbuatan dzalim; karena itu ia mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mendapat siksa.

5. Al-Shan‟u (berbuat)

  Ungkapan-ungkapan al- Qur’an yang memakai kata-kata itu mengenai dua pelaku dalam QS Thaha: 41 dan Naml:28, Allah menyebut dirinya sebagai pelaku. Dalam ayat pertama, Allah mengingatkan Nabi Musa bahwa Dialah yang memilihnya sebagai Rasul-Nya. Allah juga membagi pelaku ketika disebutkan gunung- gunung akan berjalan seperti awan sebagai tanda hari kiamat; perbuatan (al- shun‟u) Allah membuat kokoh setiap sesuatu.

  Sedangkan ayat lainya melibatkan manusia sebagai pelaku. Perbuatan manusia yang diungkapkan meliputi kebaikan dan keburukan serta yang berkenaan dengan daya cipta atau inovasi.

  Perbuatan manusia mengenai kemampuan daya cipta dapat dilihat pada berbagai ayat misalnya: Firaun dan kaumnya membuat bangunan istana (QS. al-A

  ’raf:137) tipu daya tukang sihir Firaun (QS. Thaha:69), Nabi Daud membuat baju besi (QS. Al-

  Anbiya’: 80) Kaum Nabi Hud membuat Benteng (QS Asy-

  Syu’ara:129) Nabi Nuh membuat Perahu (QS Hud:37). Ayat

  • –ayat tersebut memuat daya cipta manusia, tetapi Allah memberi pula keterangan-keterangan tambahan.

  Bangunan Firaun disertai dengan Dammarnà (kami hancurkan). Tipu daya tukang sihir di barengi dengan la yuflih (tidak akan menang). Membuat baju besi diterangkan dengan

  „allamā (kami mengajarkan). Pembuatan perahu disertai dengan bia‟yuninā (pengawasan kami). Keterangan-keterangan demikian itu

  mengundang kontroversi dikalangan ulama. Apakah manusia mempunyai kemampuan daya cipta tersendiri atau tidak.

  Tetapi yang penting dalam ayat-ayat tersebut, Allah menyebut manusia mampu berbuat (

  shun‟u) dengan daya ciptanya.

  Di sisi lain dia juga menyebutkan keterangan-keterangan tambahan yang memuat keperkasanya. Untuk itu amat tidak tepat kalau Allah dan manusia. Dalam soal seperti ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan pakar Islam dengan latar belakanbg golongannya masing- masing, misalnya golongan Asy’ariyah memandang bahwa manusia tidak berpengaruh aktif terhadap perbuatnya karena perbuatan itu ciptaan Tuhan. Muktazilah memandang bahwa manusia hanya bergantung pada hukum alam (sunnatullah) yang diciptakan Tuhan dan tidak mengalami perubahan.

  Yang pasti semua itu hasil ijtihad yang merupakan hazanah umat Islam dipertentangkan karena tidak berada pada satu kategori (khaliq dan makhluq). Alah dan manusia hendaknya tidak dipandang saling bersaing dalam dunia ini, tetapi manusi sebagai khalifah. Al-

  Qur’an menggunakan kata shun‟ dan kata-kata jadinya dengan melibatkan dua pelaku, Alah dan manusia. Jadi hanya Allah dan manusia mampu ber

  shun‟ (berbuat yang melibatkan daya cipta dalam peran masing-masing).

6. Al-Iqtiraf (mengerjakan)

  Kata-kata itu melibatkan hanya dua pelaku. Salah satu diantaranya adalah setan jin. Dalam QS Al- An’am:113, disebutkan apa yang mereka (setan-setan) kerjakan (muqtarifun). Rasyid Ridha menyebutkan apa yang dikerjakan mereka adalah dosa dan

  5 kedurhakaan . Pelaku lain adalah manusia pada ayat yang sama pula. Seperti halnya musuh-musuh para nabi, musuh-musuh Nabi Muhammad SAW yang terdiri atas jin dan manusia membisikkan kata-kata yang indah kepada yang lain agar tertipu dan hati orang yang tidak percaya pada hari akhirat tertarik pada bisikan itu.

  Dengan demikian, al- Qur’an dalam pemakaian kata al-iqtiraf

  (pekerjaan atau perbuatan), melibatkan dua pelaku, yakni setan jin dan manusia. Dengan kata lain setan jin dan manusia saja yang melakukan al-iqtiraf. Hal itu sekaligus menunjukkan kekhususan pemakaian kata tersebut karena keterbatasan pihak yang terkait dengannya. Disamping itu kata tersebut digunakan Qur’an sangat terbatas jumlahnya.

7. Al-Jarah (pekerjaan)

  Salah satu kata yang digunakan al- Qur’an dalam mengungkapkan pekerjaan manusia adalah kata al-jaraha. Dalam

  QS al- An’am:60, Allah menyebutkan bahwa dia menidurkan kalian manusia di malam hari dan dia mengetahui apa yang kalian kerjakan di siang hari.... Rasyid Ridha menguraikan bahwa ma jarahtum menunjuk secara luas pada perbuatan manusia dengan anggota

  6

  badan . Pendapat tersebut sejalan dengan uraian dalam buku lisan al- arab yang menyebutkan bahwa kata jaraha benar-benar berarti perbuatan.

B. Al-Razi menafsirkan Ayat-ayat Perbuatan Manusia dalam tafsir Mafatih al-Ghaib

  Perdebatan mengenai perbuatan manusia antara paham

  Jabāriyah dan Qadāriyah yang memiliki dalil masing-masing sebagai dasar atau hujjah

  mereka tidak akan menemui titik tengah, mereka tetap berpegang pada pendapat masing-masing sebagaimana peneliti sebutkan dalam bab dua. Semenjak Rasulullah wafat, pemikiran-pemikiran tentang kalam mulai bermunculan, khususnya dalam pembahasan

  qadha‟ dan qadar. Hal ini yang

  menimbulkan perpecahan aliran pemikiran dalam Islam. Orang-orang yang berpendapat bahwa segala sesuatu awal dan akhirnya atas kekuasaan Allah, dan hamba-hambanya diberikan hak untuk memilih dalam melakukan

  7 perbuatan mereka, merupakan golongan yang menafikkan qadar .

  Sementara dilain pihak bahwa semua perbuatan manusia itu sudah ditentukan oleh Allah semenjak azali dan manusia tidak memiliki daya apapun yang kemudian disebut aliran Jabāriyah.

  Dalam paham

  Jabāriyah, seorang hamba itu dipaksa mengerjakan

  perbuatannya dan tidak mempunyai andil sama sekali dalam perwujudan perbuatan itu sendiri, karena semua perbuatannya itu terjadi karena adanya kehendak dan pilihan Allah Azza Wajalla semata. Dalam hal itu mereka melakukan suatu hal yang berlebih- lebihan, dimana mereka berkata, “ semua perbuatan yang dilakukan seorang hamba itu adalah perbuatan Allah itu sendiri. sedangkan hamba itu sendiri tidak mempunyai campur tangan kecuali hanya metaphora belaka. Dan Allah

  subhanahu wata‟ala, masih

  menurut mereka, menghinakan seorang hamba, menyiksa, dan mengekalkannya di dalam neraka atas suatu perbuatan yang sama sekali

  8 tidak ia kerjakan .

7 Ja’far Su’bani, al-Milal wa al-Nihal, Trj, Hasan Musawa, Pekalongan, Al-Hadi, 1997,

  hlm. 110 8

  Paham

  Jabāriyah mengemukakan keyakinan akan adanya paksaan pada diri manusia itu merupakan suatu keharusan untuk kesahihan tauhid.

  Pemahaman tauhid tidak akan pernah lurus kecuali dengan berpegang pada- Nya. Karena jika kita tidak menyatakan adanya paksaan dari Allah pada diri manusia, berarti kita telah menetapkan adanya pelaku lain selain Allah yang bersekutu dengannya, jika berkehendak, ia akan melakukannya dan jika tidak, tidak akan melakukannya. Dan yang demikian itu sudah jelas merupakan suatu bentuk kemusyrikan. Dan tidak akan selamat dari kemusyrikan itu kecuali dengan adanya paksaan pada diri manusia dari

9 Allah .Dalam teologi aliran ini disebut aliran fatalism yang menganggap

  manusia adalah makhluk yang sangat lemah, tidak berdaya dan tidak

  10 memiliki kebebasan dalam kehendak dan perbuatannya .

  Beberapa ayat yang menjadi dasar Jabāriyah antara lain :

      

  Artinya : “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".(Q.S. al-Shaffat ayat 96)

            

  Artinya: Allah menciptakan segala sesuatu dan dia memelihara segala sesuatu. (QS. Al-Zumar ayat 62) Pendapat lain mengatakan bahwa Allah

  Subhanahu wata‟ala telah

  memberikan manusia qudrah, iradah, dan dengan keduanya itu dia menyerahkan kepadanya mau berbuat atau tidak serta membiarkannya bertindak sesuka hati. Menurut mereka, manusia itu berbuat dan tidak berbuat berdasarkan qudrah dan iradah yang diserahkan kepadanya. 9 10 Ibid, hlm. 341

  Maqdurnya maunsia itu adalah maqdur Allah itu sendiri, dengan syarat mausia itu harus mengerjakannya jika Tuhan tidak mengerjakannya. Yang demikian ini merupakan mazhab mayoritas dari penganut paham Qadāriyah.

  Peganut paham

  Qadāriyah yang dalam hal ini menampakkan diri

  dalam aliran

  mu‟tazilah percaya pada kekuatan akal manusia, menganggap

  manusia mempunyai kesanggupan mewujudkan perbuatannya dengan daya- daya yang ada didalam dirinya dan mempunyai kebebasan dalam

  11 menentukan kehendak dan kemauannya .

  Mereka mengatakan, bahwa Allah telah menisbatkan aneka ragam perbuatan kepada hamba-hambanya dengan berbagai macam penisbatan, baik yang bersifat umum maupun khusus. Terkadang Dia menisbatkan perbuatan itu kepada mereka dengan menggunakan kata istitha‟ah (kemampuan),

  masyi‟ah (kehendak), iradah (keinginan), al-Fi‟l, al-„amal,

  12 dan al-Kasb .

  Dalam pandangan

  mu‟tazilah tentang keadilan Tuhan bertitik tolak

  pada sudut rasio, kebebasan dan kepentingan manusia.Berdasarkan tendensi serupa itu mereka menjelaskan bahwa keadilan sangat erat hubungannya dengan hak. Oleh karena itu keadilan diberi arti dengan memberi seseorang

  13

  akan haknya . Dan menurut mereka, semua keadilan Tuhan haruslah sesuai dengan kepentingan manusia. Dalam hal ini manusia memiliki hak dalam melakukan perbuatannya.

  Diantara kedua pendapat tersebut, kelompok lain berpendapat sebenarnya semua perbuatan manusia itu adalah perbuatan Tuhan itu sendiri, sedangkan perbuatan manusia itu hanya bersifat majazi (kiasan). Hal itu merupakan salah satu pendapat yang dikemukakan oleh al- Asy’ari. Kelompok lain, yang diantaranya terdapat al-Qalanisah dan Abu Ishak dalam beberapa bukunya mengatakan, bahwa perbuatan manusia itu adalah 11 12 Ibid

  perbuatan Allah dan perbuatan manusia itu sendiri juga. Bukan dengan pengertian bahwa dia yang melakukan perbuatan itu, tetapi dalam

  14 pengertian bahwa perbuatan itu merupakan kasb bagi-Nya .

  Dalam hal keadilan Tuhan yang dikemukakan

  mu‟tazilah, asy‟ariyah

  justru berpendapat sebaliknya bahwa yang harus bersikap adil adalah manusia, bahwa manusia harus bersikap adil kepada Tuhannya yang berarti menempatkan suatu pada tempatnya. Tuhan adalah pencipta alam semesta dan dengan demikian adalah pemilik mutlak alam semesta dan isinya, termasuk manusia. Sebagai pemilik mutlak Tuhan berhak beruat apa saja

  15

  terhadap makhluk-Nya . Dengan demikian manusia tidak memiliki kebebasan dalam berkehendak dan perbuatan. Kehendak dan perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan.

  Diantara perdebatan mengenai perbuatan manusia tersebut, dimanakah posisi pemikiran al-Razi tentang perbuatan manusia? Al-Razi yang merupakan seorang

  Asy‟ariah dalam pendapatnya lebih dekat kepada

Asy‟ariah, namun bukan berarti al-Razi mengamini pendapat Asy‟ariah

  tersebut.

  Tidak ada ayat yang secara jelas menyebut posisi perbuatan manusia atas daya manusia sendiri atau oleh Allah

  subhanahu wata‟ala. Beberapa

  ayat dalam al- Qur’an memberikan penjelasan tentang perbuatan manusia meskipun jika dilihat sekilas seolah bersifat ambigu. Beberapa ayat memberikan penjelasan megenai penciptaan perbuatan manusia itu sendiri, seperti yang dikemukakan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, beberapa ayat yang menunjukkan penciptaan perbuatan manusia, dalam surah al-Shaffat ayat 95-96 :

           

  14 Artinya :

  Ibrahim berkata: "Apakah kamu menyembah patung-patung yang

  kamu pahat itu ?Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".

  Jika kata maa dalam ayat tersebut didudukkan sebagai masdariyah, sebagaimana yang ditegaskan sebagian penafsir, maka Istidlal (penggunaan dalil) itu sudah cukup jelas dan tidak begitu kuat, dimana tidak terdapat kesesuaian antara penolakan Allah terhadap penyembahan apa yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri, dengan pemberitahuaan yang disampaikannya kepada mereka bahwa Dialah pencipta perbuatan mereka yang berupa penyembahan berhala-berhala, pembuatannya dan lain

  16 sebagainya .

  Yang lebih tepat adalah pedapat yang menyatakan bahwa maa tersebut maushulah.Artinya, bahwa Allah meciptakan kalian dan menciptakan behala-berhala yang kalian buat dengan tangan kalian sendiri.berhala-berhala tersebut makhluk ciptaannya dan bukan Tuhan yang menjadi sekutu bagi-Nya. Dengan demikian, Dia memberitahukan bahwa Dia telah menciptakan

  ma‟mul (yang dibuat) mereka untuk kesesuaian

  17 dengan apa yang mereka perbuat dan pahat .

  Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, al-Razi menjelaskan bahwa Allah adalah dzat yang menciptakan kalian (manusia) dan menciptakan perbuatan kalian. Allah menghinakan penyembah berhala karena Allahlah yang menciptakan mereka dan berhala-berhala yang mereka sembah, sedangkan zat yang paling berhak disembah adalah zat yang menciptakan bukannya yang diciptakan, ketika mereka tidak menyembah Allah, justru menyembah berhala-berhala yang diciptakan Allah maka mereka berdosa karena

  18 kesalahan yang fatal ini .

  16 17 Ibnu Qayyum al-Jauziyah, Op. Cit, hlm. 152

  Dalam menanggapi ayat yang digunakan oleh golongan

  Jabāriyah,

  al-Razi menjelaskan :

            

  Artinya : “Allah menciptakan segala sesuatu dan dia memelihara segala sesuatu.

  ” (QS. Al-Zumar ayat 62) Menurut al-Razi, Allah adalah pencipta segala pekerjaan hamba, segala sesuatunya dipelihara oleh-Nya. Dia adalah dzat yang maha berdiri sendiri dalam menjaga dan mengatur segala sesuatu tanpa perselisihan dan persekutuan,. Dan ini juga menunjukkan bahwa pekerjaan hamba adalah ciptaan Allah, karena adanya pekerjaan hamba pasti karena adanya penciptaan hamba, dan pekerjaan hamba tanpa dipeihara Allah, maka Allah

  19 bukan dzat yang maha memelihara dan itu ditolak ayat-ayat secara umum .

  Ayat ini mejelaskan bahwa semua perbuatan hamba adalah ciptaan Allah, dengan ayat ini Allah memuji zat-Nya sendiri yakni dengan redaksi ayat All

  āhu Khāliqu Kulli Syai‟. Penciptaan Allah terhadap peilaku-perilaku

  kufur, tercela dan perilaku-perilaku jelek lainnya tidak masuk dalam kategori kajian sehingga tidak diperkenankan berhujjah dengan menggunakan perselisihan ini. Perbedaan pendapat yang terjadi hanyalah diantara golongan-golongan yang berbeda pendapat dalam memahami perilaku hamba, yakni antara orang majusi dan zindiq didalam penciptaan

  20 sakit, binatang busa, dan lain sebagainya .

  Kemudian Allah menjelaskan bahwa semuanya itu adalah ciptaan Allah. Lafad Kullun dalam ayat ini bukan berarti menunjukkan makna umum karena ada perbandingan ayat

  wauthiyat min kulli syai‟in. keterangan

  ini sebagaimana dijelaskan oleh al- Ka’bi dalam tafsirnya. Kemudian al-

  Juba’I berkata, Allah menciptakan segala sesuatu selain perilaku 19 makhluknya yang didalamnya terkandung perintah dan larangan karena

  21 didalam perintah dan larangan mengandung pahala dan siksa .

  Makna

  „ala kulli syai‟in wakīl adalah segala sesuatu berada dalam

  penjagaan dan pengaturan Allah tanpa ada yang menentang. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan hamba adalah ciptaan hamba maka perbuatan itu bukan atas penjagaan dan pengaturan Allah. Dari penjelasan al-Razi tersebut dapat dipahami bahwa sebenarnya perbuatan manusia merupakan hal yang telah diciptakan dan dipelihara oleh Allah dengan adanya perintah dan larangan yang memiliki nilai pahala dan siksa sebagai akibat dari menjalankan perintah dan larangan tersebut, danayat ini tidak bisa dijadikan hujjah atas pemikiran bahwa perbuatan buruk manusia sudah ditentukan oleh Allah,

  Beberapa ayat al- Qur’an menjelaskan mengenai ketetapan Allah atas manusia semenjak azali. Saeperti dalam surah al-Baqarah ayat 6 :

             

  Artinya :

  “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu

  beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga

  akan beriman.”

  Al-Razi mengatakan bahwa ayat ini menjadi dalil bagi Ahlussunnah mengenai konsep bahwa manusia dapat dibebani dengan sesuatu yang berada di luar kemampuannya. Ini merupakan salah satu dari teori

  

Asy‟āriah. Ayat ini merupakan pemberitaan dari Allah bahwa seseorang

  telah ditentukan untuk tidak beriman. Jika seandainya orang yang telah ditentukan tidak beriman menjadi beriman, maka akan terjadi perubahan dalam ilmu Allah dan kesalahan dalam pemberitaan tersebut. Perubahan dan kesalahan tersebut merupakan hal yang mustahil bagi Allah. Maka orang yang telah ditentukan tidak beriman tidak mungkin akan menjadi beriman.

  Pembebanan dalam hal ini merupakan pembebanan (taklîf) dengan sesuatu yang mustahil. Dengan kata lain orang kafir dituntut melakukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukannya dikarenakan mereka telah ditentukan tidak beriman. Hal ini berkaitan dengan ilmu Allah yang mustahil mengalami perubahan. Al-Razi mengatakan jika ilmu Allah mengalami perubahan maka sama saja pengetahuan itu akan berubah menjadi ketidaktahuan atau kebodohan. Keimanan pada seseorang mustahil terjadi jika pengetahuan Allah menetapkannya sebagai kafir. Ilmu Allah merupakan hal yang pokok. Segala kejadian mesti sesuai dengan pengetahuan Allah yang azali. Begitu pula dengan keimanan atau kekufuran seseorang. Semua terjadi berdasarkan ilmu Allah, sebagaimana yang terjadi

  22 pada Abu Lahab .

  Al-Razi mengatakan bahwa menurut Mu‟tazilah ayat ini mengandung pengertian bahwa ilmu (pengetahuan) Allah dan pemberitaan Allah tentang kekafiran seseorang tidak boleh menghalangi seseorang dari keimanan.

  

Mu‟tazilah berargumen bahwa al-Quran dipenuhi dengan ayat-ayat yang

menunjukkan bahwa Allah tidak menghalangi seseorang untuk beriman.

  Merupakan kelemahan terbesar jika Allah menghalangi seseorang untuk beriman. Diutusnya para rasul sebagai pemberi peringatan dan ancaman merupakan hal yang menghalangi hujjah orang-orang kafir atas kekafiran mereka. Terdapat ayat-ayat yang mengatakan bahwa orang-orang kafir berdalih bahwa hati mereka telah tertutup dan jika hal ini benar bahwa ilmu dan pemberitaan Allah menghalangi seseorang untuk beriman maka dalih orang-orang kafir itu menjadi benar, padahal tidak demikian. Diturunkannya ayat-ayat al-Quran merupakan hujjah bagi Allah dan rasul-Nya, bukan sebaliknya menjadi dalih bagi orang-orang kafir atas kekafirannya. Menurut mereka ayat ini bertujuan untuk membuat hati orang-orang kafir menjadi

  23 sedih dan menyesal .

  22

  Seandainya ilmu Allah tentang ketiadaan keimanan pada seseorang menjadi penghalang untuk seseorang menjadi beriman maka sama saja Allah memerintahkan orang kafir untuk beriman, tetapi mereka tidak akan beriman.

  Mu‟tazilah ingin menjelaskan bahwa keimanan seseorang

  merupakan sesuatu yang masih dapat diubah, meskipun Allah mengetahui segala sesuatu dengan pengetahuan-Nya yang bersifat azali. Tidak mungkin Tuhan memerintah tetapi Dia pula yang menutup hati manusia untuk menjalankan perintah-Nya. Iman merupakan sesuatu yang tidak tertutup bagi siapa saja yang berkehendak kepadanya.

  Mu‟tazilah dengan

  argumentasi tersebut ingin me-Mahasucikan Allah dari segala sifat

  24 kelemahan. Allah tidak membebani manusia melebihi kemampuannya .

  Mengenai ilmu Allah Mu‟tazilah terpecah menjadi dua pendapat. Pertama, pendapat Abu Ali, Abu Hasyim, dan al-Qadhi Abd al-Jabbar yang memilih diam diantara pendapat yang mengatakan terjadinya perubahan pada ilmu Allah atau tidak. Kedua, pendapat al-Ka

  ’bi dan Abu al-Hushain al-Bashri yang mengatakan bahwa ilmu Allah mengikuti apa yang diketahui. Jika seseorang beriman maka berarti keimanan itu yang merupakan ilmu Allah. Sebaliknya jika seseorang menjadi kufur maka berarti kekufuran itulah yang merupakan ilmu Allah sebagai ganti dari keimanan. Hal ini berarti dapat terjadi perubahan pada ilmu Allah sebagai

  25 pengganti dari ilmu lainnya antara keimanan dan kekufuran .

  Bertentangan dengan pendapat

  Mu‟tazilah tersebut Jabariah

  mengatakan bahwa ilmu Allah tentang ketiadaan iman pada diri seseorang akan menjadi penghalang baginya untuk beriman. Demikian juga hal ini bertujuan untuk menyucikan Allah bahwa ilmu-Nya bersifat azali dan tidak berubah. Di samping kedua pendapat tersebut ada juga pendapat yang berbeda dari Hisyam bin al-Hakam bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu sampai sesuatu itu terjadi. Menanggapi berbagai pendapat di atas al-Razi

  24 mengatakan bahwa pendapat

  Mu‟tazilah yang mengatakan bahwa ilmu

  Allah dapat berubah adalah tidak benar. Menurut al-Razi ilmu Allah tentang keimanan atau kekufuran seseorang akan terjadi sesuai dengan ilmu tersebut sejak azali. Apa yang ada pada pengetahuan Allah itu terjadi dan hadir pada

  26 saat ini .

  Kemudian dalam surah al-Baqarah ayat 26 : 

  

           

         

          

         

  Artinya :

  “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa

  nyamuk atau yang lebih rendah dari itu adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan Ini untuk perumpamaan?." dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-

  orang yang fasik,”

  Persoalan yang menjadi pokok dalam ayat ini ialah pada kalimat “Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk, dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik

  .” Al- Razi mengatakan bahwa ijma umat menegaskan ayat ini tidak boleh diartikan secara harfiah. Allah tidak mengajak kepada kekufuran, melainkan membencinya bahkan melarang kepada kekufuran serta mengancam balasan akan kekufuran. Jabariah dan Mu‟tazilah masing-masing menyikapi hal ini. Jabariah mengatakan bahwa Allahlah yang menciptakan kesesatan dan kekufuran pada orang kafir, karena hakikat pengertian secara bahasa menunjukkan demikian. Kata “menyesatkan” dalam hal ini berarti menjadikan sesuatu sesat sebagaimana digunakan dalam pengertian memasukkan atau mengeluarkan yang berarti menjadikan sesuatu itu masuk atau keluar. Penafsiran seperti ini menurut

  Mu‟tazilah tidak dibolehkan baik

  secara bahasa ataupun penjelasan secara aqliah. Menurut

  Mu‟tazilah tidak

  sah secara bahasa jika dikatakan bahwa seseorang menyesatkan orang lain secara paksa bahwa dia yang membuatnya sesat. Tetapi yang lebih tepat ialah bahwa orang itu menghalangi dari petunjuk sehingga membuat orang lain itu sesat. Jadi menurut

  Mu‟tazilah dalam ayat ini Allah tidak

  menyesatkan seseorang, melainkan menghalanginya dari petunjuk sehingga orang itu menjadi sesat atau kafir. Di dalam al-Quran Allah menerangkan bahwa Firaun dan iblis telah menyesatkan orang-orang, akan tetapi mereka bukanlah pencipta dari kesesatan atau kekafiran dari orang-orang yang menerima ajakan mereka. Maksud

  Mu‟tazilah di sini ialah bahwa kata

  “menyesatkan” tidak dapat diartikan dengan menjadikan sesat, melainkan

  

27

memalingkan seseorang dari petunjuk .

  Mu‟tazilah melanjutkan penjelasan secara akal bahwa sekiranya

  Allah menciptakan kesesatan pada hamba-Nya kemudian memerintahkan mereka untuk beriman sama saja Allah membebani mereka dengan keduanya, dan itu merupakan kebodohan dan kezaliman. Allah sama sekali tidak zalim terhadap hambanya. Jika Allah telah menciptakan kesesatan pada hamba-Nya, maka diturunkannya kitab-kitab dan para rasul menjadi hal yang sia-sia. Kekafiran seseorang tidak lain disebabkan karena mereka sendiri yang mengingkari syariat yang dibawa oleh para rasul tersebut sebagaimana pada akhir ayat dikatakan bahwa tidak ada yang disesatkan kecuali mereka yang fasik. Dalam ayat-ayat lainnya justru Allah mengajarkan manusia untuk berlindung kepada-Nya dari iblis dan seterunya yang mengajak kepada kesesatan. Pendapat Jabariah di atas menurut

  

Mu‟tazilah bertentangan dengan ayat-ayat yang mengatakan bahwa Allah

tidak menghalangi umat untuk beriman jika datang kepada mereka hidayah.

  Jika Allah menyesatkan hamba-Nya sebagaimana iblis mengajak kepada kesesatan maka Allah akan mendapatkan kebencian serupa, sedangkan yang

  28 terjadi adalah tidak demikian .

  Argumen lain yang dikemukakan

  Mu‟tazilah ialah bahwa apabila

  seseorang telah melakukan kesesatan yang disebabkan oleh suatu faktor maka akan dikatakan bahwa faktor itulah yang menyebabkannya sesat. Dalam ayat ini Allah menyandarkan kesesatan dan petunjuk dengan zat-Nya setelah menyandarkan keduanya karena perbuatan mereka masing-masing. Padahal penyandaran terhadap Allah di sini ditujukan sebagai ujian. Dengan kata lain mereka menjadi sesat atau mendapat petunjuk disebabkan perbuatan mereka sendiri dengan pengujian terhadap suatu perumpamaan dalam hal ini penciptaan nyamuk apakah mereka menjadi sesat atau mendapat petunjuk. Penyandaran seperti ini juga berlaku pada kebiasaan sebagaimana misalnya jika seseorang mengatakan bahwa ia sakit karena memakan sesuatu. Makna dari kalimat ini bahwa sebenarnya dialah yang menjadi penyebab sakitnya, bukan makanan. Dengan makna seperti inilah penyandaran kepada Allah menjadi sah bahwa orang-orang kafir menjadi sesat dikarenakan ayat-ayat Allah yang berupa ujian sebagaimana terdapat

  29 dalam ayat ini .

  Mu‟tazilah berpendapat bahwa manusia sendiri yang berbuat

  kesesatan atas dirinya. Dalam kasus ayat ini mesti dilihat kalimat selanjutnya yang masih berkaitan dan memiliki peran yang signifikan. Dalam kalimat selanjutnya dikatakan bahwa Allah sama sekali tidak menyesatkan dengan perumpamaan tersebut kecuali mereka yang fasik. Jadi

  28 dapat ditarik kesimpulan bahwa kefasikan merekalah yang membuat mereka

  30 menjadi sesat .

  Al-Razi tidak sependapat dengan

  Mu‟tazilah dengan mengemukakan

  konsepnya tentang al-

  da‟i (faktor kausal). Bahwa ilmu Allah yang tidak

  berubah tidak akan menjadikan suatu yang berlawanan seperti ilmu dan kebodohan atau petunjuk dan kesesatan berlaku kecuali dengan apa yang telah ditetapkan pada pengetahuan Allah sejak azali. Perbuatan seseorang bergantung pada konsep yang telah ada pada ilmu Allah sehingga manusia tidak berkuasa atas kehendak yang berada di luar kemampuannya. Seseorang tidak akan mencari sesuatu yang tidak terbersit dalam pikirannya. Dalam hal kesesatan dan petunjuk seseorang tidak akan mencapai satu diantara keduanya tanpa didahului oleh faktor kausal tersebut. Jadi al-Razi mengatakan bahwa kesesatan atau petunjuk kembali kepada penyebab

  31 terakhir dari segala sebab, yakni Allah .

  Subhanahu wata‟ala

  Selanjutnya ayat ini juga berhubungan dengan konsep petunjuk (hud

  ā). Adapun hidayah yang secara etimologi berarti petunjuk

  menghasilkan dua kemungkinan, yakni apakah seseorang akan mengikutinya atau menginkarinya.

  Mu‟tazilah mengatakan bahwa hidayah

  telah datang baik kepada orang Mukmin maupun kafir, tetapi terdapat perbedaan terhadap keduanya dalam hal penerimaan. Orang Mukmin menerima hidayah tersebut yang dapat saja berupa bisikan hati maupun apa yang tertera dalam al-Quran yang berisi petunjuk dan ajakan untuk mengikutinya. Sedangkan orang-orang kafir memilih untuk tidak mengikuti petunjuk tersebut, bahkan mereka menolak dan menginkarinya. Hidayah dapat juga didefinisikan sebagai ajakan, apakah ajakan kepada kesesatan atau petunjuk itu sendiri. Di samping itu hidayah bisa dikatakan sebagai taufik dari Allah yang mengajak kepada keimanan dan diberikan kepada orang-orang yang beriman sebagai ganjaran atas keimanan mereka dan

  30 pertolongan Allah sehingga menghasilkan bertambahnya keimanan tersebut. Hidayah ini tidak diberikan kepada orang-orang yang berbuat zalim dikarenakan terlebih dahulu telah datang kepada mereka penjelasan melalui

  32 ayat-ayat al-Quran .

  Jabariyah memiliki definisi yang berbeda dengan apa yang telah dikemukakan

  Mu‟tazilah. Menurut mereka yang dimaksud hidayah ialah

  menciptakan petunjuk dan ilmu (pengetahuan). Kaum Qadariyah mengkritik pendapat tersebut dengan argument bahwa secara kaidah bahasa tidak sah jika perbuatan yang dilakukan dengan ketidaksenangan dan keterpaksaan merupakan perbuatan yang diberi hidayah. Jika terjadi demikian maka batallah segala perintah dan larangan serta ganjaran dan balasan. Qadariyah mengatakan bahwa hidayah bukanlah ciptaan Allah,

  33 melainkan perbuatan manusia .

  Al-Razi kemudian mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan hidayah, tetapi hidayah ialah merupakan perbuatan manusia. Pertama al-Razi berargumen bahwa terjadinya pergerakan (perbuatan) ini adakalanya dengan penciptaan Allah dan adakalanya tidak. Jika merupakan penciptaan Allah maka ketika Allah menciptakannya mustahil bagi seorang hamba untuk menolaknya. Jika Allah tidak menciptakan perbuatan itu maka mustahil bagi seseorang untuk melakukannya. Sebaliknya jika Allah telah menciptakan suatu perbuatan maka mustahil bagi manusia untuk menolaknya atau tidak melakukan perbuatan tersebut. Al-Razi mengatakan bahwa terdapat beberapa kesulitan dalam permasalahan ini. Jika dikatakan bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan seseorang melainkan seseorang menciptakan perbuatannya sendiri, maka yang demikian itu merupakan pendapat kaum

  Mu‟tazilah

  34 yang dibantah al-Razi dalam argumen berikutnya .

  32 33 Ibid

  Argumen kedua al-Razi jika dikatakan bahwa penciptaan itu bagi Allah dan perbuatan itu bagi manusia, maka hal ini tidak akan keluar dari salah satu diantara tiga perkara. Pertama, adakalanya Allah menciptakan atau tidak menciptakan suatu perbuatan kemudian seseorang melakukan perbuatan tersebut. Kedua, seseorang melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan kemudian Allah menciptakan perbuatan tersebut. Ketiga, kedua hal tersebut terjadi secara bersamaan. Jika yang terjadi ialah perkara pertama, maka keadaan makhluk itu terpaksa (majb

  ūr) dan inilah yang

  menjadi kelaziman; jika yang terjadi perkara kedua, maka Allah terpaksa (majb

  ūr) terhadap makhluk-Nya; dan jika terjadi bersamaan maka suatu

  perbuatan akan terjadi apabila telah terjadi kesepakatan antara Allah dan makhluk-Nya dan kesepakatan itu merupakan hal yang tidak diketahui, maka kesepakatan itu tidak akan terjadi. Dengan argumen ini al-Razi mengatakan bahwa pencipta dari perbuatan manusia ialah Allah, apakah

  35 dengan perantara ataupun tidak .

  Berbeda dengan penafsiran Quraish Shihab bahwa kefasikan merupakan suatu sifat yang membuat manusia keluar dan menjauh dari jalan kebenaran dan keadilan. Kefasikan yang dilakukan manusia ialah atas dasar kemauannya sendiri yang menyebabkannya keluar dari jalan hidayah. Atau dapat juga bermakna dikarenakan mereka berbuat fasik maka mereka akan mudah untuk dikeluarkan dari jalan kebenaran yang sebelumnya melekat

  36 pada diri mereka .

  Kemudian dalam menanggapi ayat yang dijadikan argument oleh golongan

  Qadāriyah tentang kehendak dan perbuatan manusia al-Razi

  menjelaskan :

  35 36 Ibid, hlm 161

  Dalam surat Fussilat ayat 40:

  

              

              

  Artinya ;

   Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat kami,

  mereka tidak tersembunyi dari kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat?perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

  

  Ayat yang digunakan argument

  Qadāriyah adalah potongan ayat

  yang bermakna “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki. Dalam hal ini al- Razi menjelaskan bahwa sebenarnya ayat ini bukanlah perintah dalam arti yang sebenanya, melainkan perintah yang memiliki tujuan untuk menakut- nakuti atau mengancam dimana dalam perintah tersebut mengandung makna ancaman akan siksaan yang amat pedih atas apa yang akan diperbuat oleh hamba jika mereka berbuat semaunya tanpa memperhatikan hukum-hukum

37 Allah .

  Kemudian surat al-Kahfi Ayat 29, yang mengisyaratkan adanya kehendak dan ikhtiar manusia :