BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian - DICO BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Berdasarkan sejarah penggunaannya, narkotika pada awalnya hanya

  digunakan sebagai alat bagi upacara-upacara ritual keagamaan dan di samping itu juga dipergunakan untuk pengobatan. Saat ini perkembangan penggunaan narkotika semakin meningkat dengan pesat dan tidak untuk tujuan pengobatan atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, melainkan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang sangat besar, yaitu dengan melakukan perdagangan narkotika secara ilegal ke berbagai Negara (Koesno, 2014).

  Kebijakan penanggulan bahaya dan penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah dimulai sejak berlakunya ordonansi obat bius (verdoo vende

  middelen ordonnantie, stbl. 1927 No.278 J0. No 536) . Ordonasi ini kemudian

  diganti dengan UU No 9 th 1976 tentang Narkotika yang dinyatakan berlaku sejak 26 Juli 1976. dalam perkembangan terakhir, UU No 9/76 inipun kemudian diganti dengan UU No 22/97. sementara itu, untuk menanggulangi penyalahgunaan obat atau zat psikotropika telah pula dikeluarkan UU No 5/97 tentang Psikotropika. Lahirnya kedua UU itu didahului dengan keluarnya UU No 8/96 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971 dan UU No 7/97 tentang Pengesahan Konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 (Zainal, 2013).

  Penggunaan narkotika untuk kepentingan pengobatan diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, jadi tidak setiap orang atau badan hukum dapat menyimpan atau menjual narkotika jenis obat, dan narkotika yang dapat digunakan untuk pengobatan hanya jenis sintetis.

  Permasalahan penyalahgunaan psikotropika berdasarkan mukadimah konvensi psikotropika ialah akan memberikan dampak kepada permasalahan kesehatan dan kesejahteraan umat manusia serta permasalahan sosial lainnya. Dengan semakin pesatnya kemajuan dalam bidang transportasi dan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika menunjukkan gejala yang semakin meluas dan berdimensi internasional yang melewati batas terotorial masing-masing Negara (Sunarso, 2011).

  Penyalahgunaan narkotika tak lagi memandang usia, mulai dari anak- anak, remaja, orang dewasa hingga orang tua sekalipun tak luput dari jeratan penyalahgunaan narkotika ini. Diperkirakan sekitar 1,5 persen dari total penduduk Indonesia adalah korban dari penyalahgunaan narkotika tersebut.

  Masalah peredaran narkotika ini juga tak kalah mengkhawatirkan,karena tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja juga merambah ke pelosok Indonesia. Mayoritas pengguna narkoba ini adalah anak, karena sifat mereka yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan juga rasa ingin memiliki juga tinggi.

  Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi serta penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis serta mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, juga seimbang. Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai.

  Oleh karena itu ketentuan mengenai penyelengaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus (Makaro, 2013).

  Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi dibidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku Anak. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, antara lain, disebabkan oleh faktor di luar diri Anak tersebut. Data Anak yang berhadapan dengan hukum dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukkan bahwa tingkat kriminalitas serta pengaruh negatif penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif terhadap anak semakin meningkat.

  Indonesia dalam melakukan perlindungan terhadap anak haruslah sesuai dengan Prinsip pelindungan hukum terhadap Anak dalam Konvensi Hak-hak anak (Convention on the Rights of the Child) sebagaimana telah di ratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak) yang mengatur prinsip bahwa perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Disamping itu, konvensi internasional PBB yang dihasilkan Majelis Umum PBB tanggal 29 November 1985 menjamin perlindungan anak dalam proses hukum. Jam inan tersebut dipertegas lagi dalam “United Nations Standard

  

Minimum Rules for The Administration of juvenille justice” yang dikenal

  dengan nama “The Beijing Rules”. Ditegaskan bahwa pembinaan terhadap anak yang diduga berkonflik dengan hukum perlu dilakukan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan anak sebagai generasi penerus bangsa di masa depan (Makaro, 2013).

  Anak merupakan subjek hukum dan aset bangsa yang harus tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang berpotensi, berperan dan turut menikmati pembangunan nasional, menuju tercapainya tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam alinea ke IV Pembukaan Undang-undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh sebab itu negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap anak, yang dalam tumbuh kembangnya masih dalam taraf mencari bentuk jati dirinya, terlebih lagi ketika mereka berhadapan atau mengalami konflik dengan hukum. Serta dalam rangka ketertiban sosial diperlukan sistem peradilan pidana anak yang mampu memberikan perlindungan dan rasa keadilan terhadap anak sehingga mereka masih memiliki harapan untuk menatap masa depan mereka, tanpa harus terhambat dengan penderitaan trauma masa lalunya yang pernah mengalami tindakan hukum berlebihan di peradilan.

  Menurut Nasrihana anak merupakan bagian dari generasi muda, sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita- cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, yang memiliki peran strategis serta mempunyai ciri dan sifat khusus, sehingga anak memerlukan pembinaan dan perlindungan yang khusus (Nasrihana, 2011).

  Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap anak, perkara anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili, pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui pendekatan Keadilan Restoratif (Manan, 2000).

  Kusumaningrum (2015) berpendapat bahwa putusan Pengadilan Anak menjatuhkan vonis bersalah pada si pelaku anak dengan pidana di bawah ancaman minimum Undang-undang Perlindungan Anak, mengingat menurut Undang-undang itu pula dinyatakan bahwa pemidanaan hendaknya dijadikan sebagai upaya terakhir jika upaya lain tidak lagi dirasakan efektif memberikan rasa keadilan.

  Terkait upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, sistem peradilan pidana anak (UU SPPA) harus dimaknai secara luas, ia tidak hanya dimaknai hanya sekedar penanganan anak yang berhadapan dengan hukum semata. Namun sistem peradilan pidana anak harus juga dimaknai mencakup akar permasalahan (root causes) mengapa anak melakukan tindak pidana dan upaya pencegahannya. Lebih jauh, ruang lingkup sistem peradilan pidana anak mencakup banyak ragam dan kompleksitas isu mulai dari anak melakukan kontak pertama dengan polisi, proses peradilan, kondisi tahanan, dan reintegrasi sosial, termasuk pelaku- pelaku dalam proses tersebut. Dengan demikian, istilah sistem peradilan pidana anak merujuk pada legislasi, norma dan standar, prosedur, mekanisme dan ketentuan, institusi dan badan yang secara khusus diterapkan terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

  Mengacu pada proses ini, maka terdapat 3 (tiga) tahap peradilan anak, tahap pertama, mencakup pencegahan anak dari tindak pidana. Tahap ini meliputi implementasi tujuan kebijakan sosial yang memungkinkan anak dalam pertumbuhannya sesuai dengan kepentingan terbaiknya. Tahap kedua, ditandai anak bersentuhan dengan prosedur formal sistem peradilan pidana. Tahap ini merupakan bentuk tanggung jawab anak melalui proses peradilan pidana. Tahap ketiga, resosialisasi diawali dari proses isolasi di lembaga pemasyarakatan sampai pembebasan anak.

  Anak yang berhadapan dengan dalam hal ini anak sebagai pelaku dihadapkan pada situasi yang sulit dimana ketika mereka bermasalah dengan hukum dengan kertebatasan sebagai seorang anak untuk bisa mempertanggungjawabkan perbuatan mereka yang melawan hukum. Adanya ketakutan pada diri si anak dan situasi tertekan membuat anak-anak yang bermasalah dengan hukum kehilangan waktu mereka untuk bisa dengan bebas melakukan interaksi dengan orang lain ketika mereka diproses dalam kasus yang dihadapinya. Untuk itulah peran seorang penasehat hukum diperlukan untuk menetralisir keadaan terutama perkembangan pribadi anak agar dalam pemeriksaan tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak oleh pihak penyidik sampai pada putusan pengadilan (Gultom, 2010).

  Putusan seorang hakim akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang seorang anak yang bermasalah dengan hukum, oleh karena hal tersebut ketika seorang anak akan diberikan putusan dari hakim maka diperlukan seorang yang memberikan alternatif pertimbangan bagi hakim untuk memberikan putusan yang tepat terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Peran tersebut dalam Undang-undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tertuang dalam Pasal 33 dan 34.

  Kurangnya pemahaman mengenai konsep diversi secara merata oleh kepolisian, walaupun ada kepolisian yang mengetahui tentang konsep diversi namun tidak diterapkan. Anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika tidak hanya semata-mata sebagai pelaku tindak pidana, tetapi juga sebagai korban, bahwa anak yang menyalahgunakan narkotika adalah juga korban, maka upaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang menyalahgunakan narkotika juga menjadi prioritas.

  Berdasarkan uraian di atas, Penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian yang berjudul “Perlindungan Hukum terhadap Anak Pelaku

  

Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Nomor: 18/Pid.Sud-

Anak/2017/PN.Bks) ”.

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan penjelasan pada latar belakang penelitian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah putusan majelis hakim terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika dalam putusan nomor: 18/Pid.Sud- Anak/2017/PN.Bks?

  2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika?

  C. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu:

  1. Untuk mengetahui putusan majelis hakim terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika dalam putusan nomor: 18/Pid.Sud- Anak/2017/PN.Bks.

  2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika.

D. Manfaat Penelitian

  Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

  1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, dan untuk menambah pengetahuan dalam hal perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika di dalam sistem peradilan pidana. Serta, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang akan melakukan penelitian dengan permasalahan yang serupa, sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan perbandingan dan pedoman dalam penulisan yang bersifat ilmiah

  2. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi kepada aparat penegak hukum, pembuat kebijakan dan masyarakat. Bagi aparat penegak hukum dan para pembuat kebijakan, diharapkan hasil penelitian ini sebagai bahan atau sumber data dalam membuat suatu kebijakan maupun dalam melaksanakan suatu kebijakan yang berkaitan dengan anak pelaku tindak pidana narkotika. Sedangkan bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk melindungi hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum guna memberikan solusi penyelesaian tindak pidana dengan menggunakan pendekatan Restorative Justice yang diharapkan dapat memberikan keadilan kepada masyarakat.