BAB I PENDAHULUAN - Kurniasih Dwi Kusuma Wardani BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang

  perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yang saat ini terjadi di negara Indonesia (Hidayat, 2006). Angka kesakitan anak di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Nasional (Susenas) tahun 2010 di daerah perkotaan menurut kelompok usia 0-4 tahun sebesar 25,8%, usia 5-12 tahun sebanyak 14,91%, usia 13-15 tahun sekitar 9,1%, usia 16-21 tahun sebesar 8,13%.

  Angka kesakitan bayi menjadi indikator kedua dalam menentukan derajat kesehatan anak, karena nilai kesehatan merupakan cerminan dari lemahnya daya tahan tubuh bayi dan anak balita. Angka kesakitan tersebut juga dapat dipengaruhi oleh status gizi, jaminan pelayanan kesehatan anak, perlindungan kesehatan anak, faktor sosial anak, dan pendidikan ibu. Salah satu penyakit tersering yang diderita oleh anak adalah penyakit kejang demam (Hidayat, 2006).

  Kejang merupakan suatu gangguan neurologis yang lazim terjadi pada anak dengan frekuensi kejadian 4-6 kasus/1.000 anak (Nelson, 2000).

  Usia kejang demam terbanyak terjadi pada anak antara 3 bulan sampai dengan 5 tahun, 2%-5% anak berada di bawah 5 tahun pernah mengalami

  1 bangkitan kejang demam. Bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Kejadian bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan. Prevalensi kejang demam di Amerika Serikat dan Eropa berkisar 2%-5%. Prevalensi kejang demam di Asia meningkat dua kali lipat bila dibandingkan di Eropa dan di Amerika. Kejadian kejang demam di Jepang berkisar 8,3%-9,9% (Fuadi,2010). Prevalensi kejang demam di Indonesia tahun 2005-2006 mencapai 2-4% (Fadila, 2014).

  Kejang demam dapat menimbulkan bangkitan. Bangkitan kejang demam cukup mengkhawatirkan bagi orang tua. Kejang demam mempunyai prognosis yang baik. Setelah kejang demam pertama, 33% anak akan mengalami satu kali rekuensi dan 9% anak mengalami rekuensi tiga kali atau lebih. Rekuensi kejang demam akan meningkat jika terdapat faktor risiko seperti kejang demam pertama pada usia kurang dari 12 bulan, terdapat riwayat keluarga dengan kejang demam, dan jika kejang pertama pada suhu <40°C, atau terdapat kejang demam kompleks (Dewanti, 2012).

  Setiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda-beda, hal ini tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak. Anak dengan ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38°C, tetapi pada anak dengan ambang kejang yang tinggi kejang baru akan terjadi pada suhu 40°C atau lebih. Kejang demam berulang lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang rendah, sehingga penanganannya perlu memperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita mengalami kejang (Sodikin, 2012).

  Saharso menjelaskan bahwa dampak kejang bisa mengakibatkan cacat fisik, cacat mental, gangguan perilaku, gangguan belajar, epilepsi, bahkan meninggal. Beberapa penyakit yang bisa timbul akibat kejang adalah cerebral palsy atau lumpuh otak, development delay (lambat pertumbuhan) yang meliputi motoric delay (lambat motorik atau gerak),

  

speech delay (lamban bicara) dan cognitive delay (lamban kognitif), terjadi

  kelumpuhan, epilepsi, kelainan perilaku hingga keterlambatan mental (Irdawati, 2009).

  Pada penelitian sebelumnya Bahtera (2009), membuktikan ada hubungan mutasi gen dengan umur, suhu dan riwayat keluarga pernah kejang demam, saat kejang pertama. Sepertiga pasien kejang demam pertama mengalami kejang demam berulang. Riwayat keluarga pernah kejang demam dan mutasi gen merupakan faktor risiko kejang demam berulang. Terdapat hubungan mutasi gen dengan umur, suhu dan riwayat keluarga pernah kejang demam, saat kejang pertama.

  Penelitian Vebriasa (2013), anak dengan riwayat kejang lebih banyak mengalami kejang demam sederhana dibandingkan kejang demam kompleks, meskipun perbedaannya tidak bermakna. Anak dengan riwayat kejang pada keluarga cenderung mengalami kejang demam pertama pada usia yang lebih dini. Riwayat kejang pada keluarga tidak meningkatkan risiko terjadi kejang demam kompleks sebagai tipe kejang demam pertama.

  Hasil studi pendahuluan diperoleh data dari rekam medik Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas, angka kejadian kejang demam selama tahun 2013 jumlah pasien pada rawat inap ada 202 anak dan pada rawat jalan 65 anak. Pada survey ini peneliti mengambil 8 sampel yang terkena kejang demam. Dari anak yang terdiagnosa kejang demam berusia 1-4 tahun dan mempunyai riwayat kejang sebelumnya. Dari 8 sampel 5 berjenis kelamin laki-laki 3 perempuan, Suhu saat terjadi kejang rata-rata ≥38°C. Tipe kejang dari 8 sampel diantaranya 5 dengan kejang demam kompleks dan 3 dengan kejang demam sederhana.

  Berdasarkan survey tersebut perlunya dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi risiko kejang demam berulang pada anak. Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko kejang demam berulang diantaranya suhu pasien saat kejang, usia pertama kali kejang dan tipe kejang (Dewanti, 2012).

  Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko kejang demam berulang pada anak di RSUD Banyumas

  ”.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka permasalahannya adalah “apakah ada faktor-faktor yang mempengaruhi risiko kejang demam berulang pada anak di RSUD Banyumas?

  ”.

  C. Tujuan Penelitian

  1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi risiko kejang demam berulang pada anak.

  2. Tujuan Khusus

  a. Mendiskripsikan usia anak pertama kali kejang demam, jenis kelamin, suhu saat terjadi kejang dan jenis kejang pada anak di RSUD Banyumas.

  b. Mendiskripsikan kejadian kejang demam berulang pada anak di RSUD Banyumas.

  c. Diketahuinya hubungan antara variabel usia pertama kali kejang, jenis kelamin, suhu saat terjadi kejang, dan jenis kejang dengan kejadian kejang demam berulang pada anak di RSUD Banyumas.

  d. Diketahuinya faktor yang paling dominan dengan risiko kejang demam berulang di RSUD Banyumas.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Bagi rumah sakit Penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu bantuan berupa informasi dan masukkan kepada rumah sakit terhadap factor risiko kejang demam berulang.

  2. Bagi peneliti Merupakan suatu pengalaman untuk mengetahui faktor-faktor risiko kejang demam berulang.

E. PenelitianTerkait

  1. Bahtera (2009) Penelitian ini berjudul “Faktor genetik sebagai risiko kejang demam berulang

  ”. Rancangan penelitian menggunakan kohort prospektif. Pengujian hipotesis memakai regresi logistik, dan uji korelasi memakai Rank Sperman corelation. Hasil dari penelitian ada hubungan mutasi gen dengan umur, suhu dan riwayat keluarga pernah kejang demam, saat kejang pertama. (koefisien korelasi berturut-turut - 0,359; -0,339; 0,278). Riwayat keluarga pernah kejang demam dan mutasi gen berisiko 2-3 kali terjadi kejang demam berulang (RR 2.9,

  p <0,05 dan RR 3.556 p>0,05).

  Subyek untuk pemeriksaan DNA diambil dengan nested case control. Pemeriksaan mutasi gen pintu voltase kanal ion Na+ subunit α (SCN IA) diperiksa di kromosom 2q24 exon 26 dan subunit β (SCN

  IB) di kromosom 19q13 exon 3, dikerjakan di Biotek ITB Dilakukan amplifikasi DNA dengan tehnik PCR dan sequencing untuk melihat adanya mutasi gen pintu kanal voltase ion Na+ . Primer yang dipakai adalah, untuk SCN IA Dan IB. Primer untuk SCN IA adalah Forward ( SCN IA 26-

  1Fb ): 5′ gtt tct tgc cga gct gat agg 3′ (dirancang oleh Biotek ITB) dan Reverse ( SCN IA 26-

  1R ): 5′ gcg tag atg aac atg act agg 3′ (sesuai referensi). Untuk Primer untuk (SCN IB) adalah Forward (SCN IB 3 F): 5′ cct tcc cct ccc tgg cta 3′ (sesuai referensi) dan Reverse (SCN IB 3R): 5′ ggc agg cag cac ccg act cac 3′ (sesuai referensi).

  Perbedaan dengan penelitian tersebut yaitu metode dalam penelitian saya menggunakan observasional dengan rancangan kasus kontrol dan pendekatan retrospektif.

  2. Yuana-Iva (2010) Penelitian yang dilakukan berjudul “Korelasi kadar seng serum dan bangkitan kejang demam

  ”. Metode penelitian ini menggunakan kasus kontrol. Data dianalisis dengan uji Chi-square, korelasi Spearman, dan analisis determinan. Rerata kadar seng serum pada bangkitan kejang demam lebih rendah dibanding tanpa kejang demam, namun tidak bermakna. Kadar seng serum bersama faktor genetik, infeksi berulang, penyulit dalam kehamilan maupun persalinan, suhu badan, gangguan perkembangan otak, dan umur dapat digunakan sebagai prediktor bangkitan kejang demam meskipun memiliki peranan kecil.