BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Rahmat Dwi Yanto BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang memiliki keunikan tersendiri dalam

  perjalanan hidup manusia. Fenomena perilaku remaja yang bersifat negatif banyak ditemukan di lingkungan masyarakat. Pemberitaan di media massa hampir setiap saat memuat dan menayangkan kasus-kasus mengenai perilaku negatif remaja. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional, sebagian besar korban penyalahgunaan narkoba berusia 15-25 tahun. Data lain mengungkap bahwa jumlah pengidap HIV di kalangan pengguna narkoba suntik berusia muda yakni dibawah 20 tahun. Salah satu penyebab perilaku negatif tersebut karena remaja tidak mampu mengontrol emosi (Rumini & Sundari, 2004).

  Menurut Goleman (2000) adanya kecenderungan yang sama, yaitu generasi sekarang lebih banyak mengalami kesulitan emosi daripada generasi sebelumnya, seperti : lebih kesepian, pemurung, kurang menghargai sopan santun, lebih gugup, mudah cemas, lebih impulsif, dan Agresiff.

  Kemerosotan emosi tampak pada semakin parahnya masalah spesifik seperti : nakal, Agresiff, bergaul dengan anak-anak bermasalah, menipu, sering bertengkar, bersikap kasar pada orang lain, membandel di sekolah maupun di rumah, keras kepala, suasana hatinya sering berubah-ubah, terlalu banyak bicara, sering mengolok-olok, serta bertemperamen tinggi.

  1 Munculnya bentuk-bentuk perilaku yang negatif tersebut, menurut Goleman (2000), merupakan gambaran adanya emosi-emosi yang tidak terkendalikan, mencerminkan semakin meningkatnya ketidakseimbangan emosi. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa individu gagal dalam memahami, mengelola, dan mengendalikan emosinya. Berdasarkan hal itu, dapat dikatakan bahwa individu tersebut kurang memiliki kecerdasan emosi.

  Menurut Stenberg dan Salovey (1997) dalam Shapiro (2008) kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri sewaktu perasaan atau emosi itu muncul dan individu tersebut memiliki kepekaan yang tinggi atas perasaan yang sesungguhnya sehingga mampu mengenali emosinya sendiri dan kemudian mengambil keputuan- keputusan secara mantap. Goleman (2000) juga menyebutkan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosional yang baik dan akan lebih mudah untuk menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya.

  Perilaku negatif tersebut juga sejatinya adalah ekspresi atas kecerdasan emosional remaja. Jika kecerdasan emosional tersebut tidak dapat dipenuhi dengan baik maka remaja akan cenderung berperilaku menyimpang (Sukmadinata, 2003). Stimulasi untuk membantu perkembangan emosional anak yang dapat dilakukan adalah memberikan perhatian dan kasih sayang untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak sejak dini karena itu merupakan hal yang dibutuhkan, memberikan pujian yang positif untuk usaha dan perilaku baik yang anak lakukan (Wilopo, 2010).

  Menurut sobur (2003), persepsi dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas adalah pandangan atau pengertian bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. De Vito (dalam Sobur, 2003) mengatakan persepsi adalah proses ketika kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra kita.

  Brehm dan Kassin (Mahasari, 2004), mengatakan bahwa stres merupakan pengalaman universal. Stres tidak memandang usia, dan setiap rentang perkembangan baik bayi, anak-anak, dewasa, dan lanjut usia pernah mengalami yang namanya stres. Bahkan stres dapat juga dialami oleh orang- orang dari berbagai bidang pekerjaan, baik pekerjaan kantor, tukang pos, pelajar, mahasiswa, bahkan mungkin saja seorang pelawak dapat juga mengalami stres. Pelajar dan mahasiswa masih dapat digolongkan sebagai remaja, dimana masa remaja merupakan periode yang dipenuhi tekanan dalam hidup dan dipenuhi oleh situasi stres yang berasal dari perpanjangan stres di masa yang akan dating (Kisher, dalam Maharsari, 2004).

  Pelajar termasuk salah satu kelompok yang rentan dengan kondisi stres, baik yang berhubungan dengan kehidupan pribadi seperti masalah uang saku, masalah keluarga dan juga konflik antar teman dan juga kehidupan belajar seperti tugas-tugas dan juga ujian nasional.

  Adapun gejala-gejala yang menunjukan bahwa seseorang mengalami stres dibagi menjadi 2, yaitu gejala fisik, misalnya : serangan sesak nafas, rasa mabuk, rasa mual, selera makan tidak sebagaimana mestinya, sering menderita gangguan pencernaan, mengalami gangguan tidur, merasa sering lelah, gelisah, pegal-pegal punggung, kesemutan, keringat dingin, pusing kepala, dan jantung berdebar-debar, dan juga gejala mental, dengan tanda-tanda merasa marah sepanjang waktu, tidak dapat mengambil keputusan, merasa tidak mampu menghadapi masalah, merasa menjadi orang gagal, merasa tidak diperhatikan, tidak menyukai orang lain, dan diri sendiri, sering merasa khawatir, merasa tidak dapat berkonsentrasi dan sulit menyelesaikan tugas, kesulitan berkomunikasi dengan orang lain, dan kehilangan rasa humor.

  Seperti yang dipaparkan oleh Prawatasari (Oktasela, 2001) dalam penelitiannya yang mengungkapkan ada kaitan antara gejala emosi terutama saat stres dengan aktivitas saraf dan kekebalan tubuh. Secara empirik, terutama hasil penelitian dengan binatang mencoba membuktikan bahwa dalam keadaan stres, imunitas dapat menurun. Ia menyarankan penggunaan kecerdasan emosi saat menghadapi stres.

  Menurut Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat- sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah, maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stres. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.

  Dalam Lisa Puspitasari (2010), dalam hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa persepsi dapat mempengaruhi pola asuh orang tua terhadap anak. Dalam penelitian ini juga disebutkan bahwa persepsi remaja dapat mempengaruhi kecerdasan emosional pada remaja. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa persepsi remaja mempunyai hubungan positif dengan pola asuh orang tua yang akan mengakibatkan perubahan pada kecerdasan emosional individu.

  Di Amerika Serikat, tahun 2013 penahanan kaum remaja karena tindak kejahatan dengan kekerasan telah mengalami laju paling tinggi, penahanan kaum remaja karena terlibat kasus perkosaan meningkat menjadi dua kali lipat, laju pembunuhan anak muda meningkat menjadi empat kali lipat, sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya penembakan. Hal ini membuktikan tingginya luapan emosi remaja sehingga terjadi perilaku- prilaku negatif (Goleman, 2007).

  Di Indonesia aksi-aksi kekerasan dapat terjadi di mana saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah, di kompleks-kompleks perumahan, bahkan di pedesaan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki) maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, dll). Pada kalangan remaja aksi yang biasa dikenal sebagai tawuran pelajar/masal merupakan hal yang sudah terlalu sering kita saksikan, bahkan cenderung dianggap biasa. Pelaku-pelaku tindakan aksi ini bahkan sudah mulai dilakukan oleh siswa- siswa di tingkat SLTP/SMP. Hal ini sangatlah memprihatinkan bagi kita semua. Aksi-aksi kekerasan yang sering dilakukan remaja sebenarnya adalah prilaku Agresif dari diri individu atau kelompok (Hasbalah, 2003).

  Menurut Purwaningsih, (2007) kekerasan remaja mencapai tahap mengkhawatirkan karena sudah dianggap biasa. Riset Purwaningsih merupakan manifestasi kekhawatiran terhadap kekerasan yang terjadi di Indonesia. Penelitian dengan judul Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Agresiff pada Remaja ini mengambil responden sebanyak 107 siswa remaja putra dan putri berusia lima belas sampai delapan belas tahun di sekolah SMUN 1 Bawang Banjarnegara. Metode skala digunakan Purwaningsih untuk mencari korelasi antara kecerdasan emosi dengan perilaku Agresiff remaja.

  Dari hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat korelasi antara perilaku Agresiff dengan kecerdasan emosi . Kecerdasan emosi sangat mempengaruhi cara berpikir mereka. Pengelolaan kecerdasan emosi diperlukan oleh remaja, sebab agresifvitas sering muncul secara spontan, agresiff, oleh penulis, diartikan sebagai sebuah tingkah laku kekerasan secara fisik, seperti penganiayaan, atau pun secara verbal melalui umpatan-umpatan atau pun Semua ini bukan tanpa sebab, remaja yang sedang mengalami transisi perubahan fisik dan psikologi yang dialami akan mempengaruhi kondisi emosinya. Emosi, menurut peneliti, merupakan suatu wilayah perasaan dari lubuk hati, naluri tersembunyi, dan sensasi emosi.

  Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan terhadap 10 siswa kelas XII SMA Negeri 1 Bawang didapatkan hasil bahwa sebanyak 8 (80%) siswa mengatakan bahwa kecerdasan emosional yang dapat dipengaruhi oleh emosi, lingkungan, keluarga yang kesemuanya itu dapat mempengaruhi proses penerimaan pelajaran. Serta didapatkan juga sebanyak 10 (100%) siswa mengatakan mengalami kecemasan (stres) karena akan menghadapi Ujian Nasional (UN). Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa kecerdasan emosional sangat penting bagi siswa dalam menerima materi pelajaran. Selain itu siswa mengeluhkan nilai standar kelulusan cukup tinggi yang dapat mengakibatkan kecemasan (stres). Dengan adanya stres siswa akan merasa kesulitan dalam menangkap meteri pelajaran yang diajarkan oleh guru sehingga dapat mempengaruhi kecerdasan emosional.

  Berdasarkan fenomena diatas, peneliti tertarik untuk meneliti “Bagaimana hubungan antara persepsi dan stres remaja terhadap kecerdasan emosional di SMA Negeri 1 Bawang?”.

B. Perumusan Masalah

  Kecerdasan emosional sangat penting bagi siswa dalam menerima materi pelajaran. Selain itu siswa mengeluhkan nilai standar kelulusan cukup tinggi yang dapat mengakibatkan kecemasan (stres). Dengan adanya stres siswa akan merasa kesulitan dalam menangkap meteri pelajaran yang diajarkan oleh guru sehingga dapat mempengaruhi kecerdasan emosional.

  Berdasarkan uraian di atas maka peneliti mengadakan penelitian tentang hubungan antara persepsi dan stres remaja terhadap kecerdasan emosional. Rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:”bagaimana hubungan persepsi remaja dan stres dengan kecerdasan emosional remaja di SMA Negeri 1 Bawang Banjarnegara? ”.

C. Tujuan Penelitian

  1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan persepsi remaja dan stres dengan kecerdasan emosional remaja di SMA Negeri 1 Bawang Banjarnegara.

  2. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah :

  a. Mendeskripsi karakteristik responden meliputi umur dan jenis kelamin.

  b. Mendeskripsikan persepsi remaja, stres remaja dan kecerdasan emosional pada remaja di SMA N 1 Bawang Banjarnegara.

  c. Menghubungkan persepsi remaja dengan kecerdasan emosional pada remaja di SMA N 1 Bawang Banjarnegara.

  d. Menghubungkan stres remaja dengan kecerdasan emosional pada remaja di SMA N 1 Bawang Banjarnegara.

D. Manfaat Penelitian

  1. Bagi peneliti : Merangsang peneliti untuk menambah wawasan dalam melaksanakan penelitian dan mengadakan serta mengembangkan penelitian yang lebih luas dimasa yang akan datang.

  2. Bagi responden : Peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi responden untuk mengetahui seberapa besar tingkat stres dalam setiap tuntutan beban atas dirinya dan kecerdasan emosional dalam memehami dan berhubungan dengan orang lain agar bertindak bijaksana.

  3. Bagi Profesi Keperawatan : Menambah pengetahuan perawat dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan kepada klien baik individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.

  4. Bagi Ilmu Pengetahuan : Sebagai bahan masukan untuk perkembangan ilmu keperawatan khususnya bidang keperawatan keluarga yang berkaitan dengan remaja khususnya tingkat stres, dan emosionalnya dan untuk memajukan riset keperawatan yang merupakan dasar penelitian lebih tentang topik terkait.

E. PENELITIAN TERKAIT

  1. Yunita Anggaraningtya (2013) Dengan judul Hubungan antara Koping Stres dan Persepsi Pola Asuh Otoriter dengan Kecenderungan Perilaku Agresif pada Remaja yang dimodernisasi oleh Konformitas Teman Sebaya pada Siswa Kelas XI SMK Muhammadiyah 4 Boyolali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara koping stres dan persepsi pola asuh otoriter dengan kecenderungan perilaku agresif pada remaja yang dimodernisasi oleh konformitas teman sebaya pada siswa kelas XI di SMK Muhammadiyah 4 Boyolali. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMK Muhammadiyah 4 Boyolali. Alat ukur dalam penelitian ini menggunakan empat skala, yaitu skala kecenderungan perilaku agresif, skala koping stres, skala persepsi pola asuh otoriter dan skala konformitas teman sebaya. Analisis data menggunakan metode analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai F-test = 9,108, p 0,05, dan nilai R = 0,395. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini dapat diterima, yaitu ada hubungan yang signifikan antara koping stres dan persepsi pola asuh otoriter dengan kecenderungan perilaku Agresif pada remaja yang dimodernisasi oleh konformitas teman sebaya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa nilai F-test sesudah dimodernisasi lebih besar dari nilai F-test sebelum dimodernisasi (9,108 > 8,411). Ini berarti bahwa konformitas teman sebaya sebagai variabel moderasi memperkuat hubungan koping stres dan persepsi pola asuh otoriter dengan kecenderungan perilaku agresif. Kontribusi koping stres, persepsi pola asuh otoriter terhadap kecendrungan perilaku agresif sebesar 15,6%.

  Persamaan dengan penelitian saya adalah neneliti tentang stres pada anak remaja di sekolah menengah Perbedaan dengan penelitian saya adalah jurnal ini meneliti tentang persepsi pola asuh otoriter dengan kecenderungan perilaku agresif pada remaja yang dimodernisasi oleh konformitas teman sebaya pada anak remaja.

2. Lisa Puspitasari (2010)

  Dengan judul Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Asuh Orangtua Otoritatif Dengan Kecerdasan Emosional Pada Remaja Madya di SMA Negeri 2 Kudus Kelas X dan XI. Jumlah sampel penelitian sebanyak 203 orang, diambil dengan menggunakan teknik simple random sampling.

  Metode pengumpulan data menggunakan dua buah skala psikologi yaitu Skala Kecerdasan Emosional dan Skala Persepsi terhadap Pola Asuh Orangtua Otoritatif. Skala Kecerdasan Emosional 33 aitem ( α=0,908) dan Skala Persepsi terhadap Pola Asuh Orangtua Otoritatif 30 ait em (α=0,916).

Analisis data dilakukan dengan metode analisis regresi sederhana.

  Hasil analisis data menunjukkan koefisien korelasi rxy=0,506 dengan p=0,000 (p<0,05), yang berarti ada hubungan positif antara persepsi terhadap pola asuh orangtua otoritatif dengan kecerdasan emosional. Semakin tinggi persepsi terhadap pola asuh orangtua otoritatif maka semakin tinggi kecerdasan emosional. Efektivitas regresi penelitian ini sebesar 25,6%, artinya kecerdasan emosional remaja madya sebesar 25,6% ditentukan oleh persepsi terhadap pola asuh orangtua otoritatif.

  Persamaan dengan penelitian saya adalah meneliti tentang persepsi terhadap kecerdasan emosional yang terjadi pada anak remaja.

  Perbedaan dengan penelitian saya adalah meneliti tentang pola asuh orangtua otoritatif pada remaja.