IRMAWAN DWI PRATIKO BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Olahraga, baik yang bersifat olahraga prestasi maupun rekreasi

  merupakan aktivitas yang dapat memberikan manfaat bagi kesehatan fisik maupun mental. Akan tetapi, olahraga yang dilakukan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah kesehatan dapat pula menimbulkan dampak yang merugikan bagi tubuh antara lain berupa cedera olahraga. Cedera olahraga yang terjadi pada atlet olahraga prestasi selain mengganggu kesehatan juga dapat mengurangi kesempatan atlet tersebut untuk berprestasi secara maksimal (Arovah, 2010).

  Cedera olahraga seringkali direspon oleh tubuh dengan tanda radang yang terdiri atas rubor (merah), tumor (bengkak), kalor (panas), dolor (nyeri), dan functiolaesa (penurunan fungsi). Pembuluh darah di lokasi cedera akan melebar (vasodilatasi) dengan maksud untuk mengirim lebih banyak nutrisi dan oksigen dalam rangka mendukung penyembuhan. Pelebaran pembuluh darah ini lah yang mengakibatkan lokasi cedera terlihat lebih merah (rubor).

  Cairan darah yang banyak dikirim di lokasi cedera akan merembes keluar dari kapiler menuju ruang antar sel, dan menyebabkan bengkak (tumor). Dengan dukungan banyak nutrisi dan oksigen, metabolisme di lokasi cedera akan meningkat dengan sisa metabolisme berupa panas. Kondisi inilah yang menyebabkan lokasi cedera akan lebih panas (kalor) dibanding dengan lokasi lain. Tumpukan sisa metabolisme dan zat kimia lain akan merangsang ujung

  1 saraf di lokasi cedera dan menimbulkan nyeri (dolor). Rasa nyeri juga dipicu oleh tertekannya ujung saraf karena pembengkakan yang terjadi di lokasi cedera. Baik rubor, tumor, kalor, maupun dolor akan menurunkan fungsi organ atau sendi di lokasi cedera yang dikenal dengan istilah functiolaesa (Kushartanti, 2012).

  Cedera yang sering terjadi pada atlet adalah sprain yaitu cedera pada sendi yang mengakibatkan robekan pada ligament. Sprain terjadi karena adanya tekanan yang berlebihan dan mendadak pada sendi, atau karena penggunaan berlebihan yang berulang-ulang. Sprain ringan biasanya disertai hematom dengan sebagian serabut ligament putus, sedangkan pada sprain sedang terjadi efusi cairan yang menyebabkan bengkak. Pada sprain berat, seluruh serabut ligamen putus sehingga tidak dapat digerakkan seperti biasa dengan rasa nyeri hebat, pembengkakan, dan adanya darah dalam sendi (Kushartanti, 2012).

  Pada penderita dislokasi sendi, nyeri merupakan masalah yang paling sering dijumpai (Murwani, 2009). Foley (2009) mengumpulkan data sebanyak 85% pasien dislokasi mengeluhkan nyeri. Nyeri dapat dibedakan menjadi dua, yakni nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut datangnya tiba-tiba atau singkat, dapat hilang dengan sendiri, dapat diprediksi, dan merupakan reaksi fisiologi akan sesuatu yang berbahaya (Murwani, 2009).

  Nyeri pada dislokasi bersifat kronis, banyak terapi yang digunakan untuk membantu menghilangkan nyeri pada dislokasi sendi, baik itu terapi farmakologi maupun terapi non farmakologi. Secara farmakologi, pemberian analgetik dapat meringankan nyeri yang dirasakan oleh pasien. Terapi non farmakalogis merupakan terapi modalitas yang digunakan sebagai terapi pendukung untuk kesembuhan pasien tanpa mengabaikan terapi medis yang dapat mengontrol gejala, meningkatkan kualitas hidup dan berkontribusi terhadap penatalaksanaan pasien secara keseluruhan dan merupakan bagian dari terapi komplementer (Suardi, 2011).

  Terapi dingin, digunakan sebagai terapi modalitas yang dapat menyerap suhu jaringan sehingga terjadi penurunan suhu jaringan melewati mekanisme konduksi. Efek pendinginan yang terjadi tergantung jenis aplikasi terapi dingin, lama terapi dan konduktivitas terapi. Pada dasarnya agar terapi dapat efektif, suhu pada cedera lokal harus dapat diturunkan dalam jangka waktu yang mencukupi (Bleakley et al., 2004). Cryotherapy merupakan penggunaan es dan air es dalam pengobatan cedera dan modalitas pengobatan yang umum digunakan dalam pengelolaan cedera jaringan lunak akut (Bleakley et al, 2007).

  Terapi Es (cryotherapy) dapat dipakai dalam beberapa model, seperti penggunaan Es dan Masase Es, Ice Packs, Vacpocoolant Sprays dan Cold

  

Baths / Water Immersion. Aplikasi dingin dapat mengurangi suhu daerah yang

  sakit, membatasi aliran darah dan mencegah cairan masuk ke jaringan di sekitar luka. Hal ini akan mengurangi nyeri dan pembengkakan. Aplikasi dingin dapat mengurangi sensitivitas dari akhiran syaraf yang berakibat terjadinya peningkatan ambang batas rasa nyeri. Aplikasi dingin juga akan mengurangi kerusakan jaringan dengan jalan mengurangi metabolisme lokal sehingga kebutuhan oksigen jaringan menurun. Secara fisiologis es mengurangi aktivitas metabolisme dalam jaringan sehingga mencegah kerusakan jaringan sekunder dan mengurangi nyeri ke sistem saraf pusat (Aroyah, 2012).

  Penelitian yang dilakukan Bleakley et al (2004), tentang penanganan cedera dengan menggunakan es didapatkan hasil bahwa pengobatan menggunakan es terhadap jaringan lunak yang cedera dapat menurunkan nyeri dan menghilangkan pembengkakan. Dari hasil penelitian Adegoke dan Geminiyi (2004) terapi handuk es efektif menurunkan nyeri, meningkatnya ROM, dan meningkatkan fungsional. Baik terapi panas maupun terapi dingin memberikan manfaat berupa pengurangan nyeri secara bermakna pada osteoarthritis lutut ditunjukkan dengan penurunan nyeri VAS (Chandra, 2010).

  Terapi dingin dianjurkan selama satu sampai tiga hari setelah cedera (tergantung pada beratnya) atau pada fase cedera akut. Selama waktu ini, pembuluh darah di sekitar jaringan yang terluka membuka, nutrisi dan cairan masuk kedarah untuk membantu penyembuhan jaringan. Jika pembengkakan dan peradangan tidak dihentikan atau diperlambat, kerusakan jaringan lebih luas dapat terjadi dan cedera mungkin memakan waktu lebih lama untuk penyembuhan (Bleakley et al, 2007).

  Berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan di Universitas Muhammadiyah Purwokerto didapatkan data dari pihak Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bagian olahraga terdapat 40 mahasiswa yang telah terdaftar aktif mengikuti kegiatan latihan futsal. Berdasarkan hasil wawancara terhadap

  5 mahasiswa yang sering mengalami nyeri sendi bagian lutut dan pergelangan kaki, didapatkan data sebanyak 3 mahasiswa menggunakan kompres air panas atau hangat saat mengalami nyeri dan 2 mahasiswa menggunakan krim penghangat untuk mengurangi nyeri.

  Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “Pengaruh Kompres Dingin Terhadap Penurunan Nyeri

  Sendi Pemain Futsal pada Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Purwokerto Tahun 2016”.

B. RUMUSAN MASALAH

  Olahraga merupakan aktivitas yang dapat memberikan manfaat bagi kesehatan fisik maupun mental. Olahrga juga dapat pula menimbulkan dampak yang merugikan bagi tubuh antara lain berupa cedera olahraga. Cedera yang sering terjadi pada atlet adalah sprain yaitu cedera pada sendi yang mengakibatkan robekan pada ligament. Pada sprain berat, seluruh serabut ligamen putus sehingga tidak dapat digerakkan seperti biasa dengan rasa nyeri hebat, pembengkakan, dan adanya darah dalam sendi. Nyeri pada dislokasi bersifat kronis, banyak terapi yang digunakan untuk membantu menghilangkan nyeri pada dislokasi sendi, baik itu terapi farmakologi maupun terapi non farmakologi. Terapi non farmakalogis merupakan terapi modalitas yang digunakan sebagai terapi pendukung untuk kesembuhan pasien tanpa mengabaikan terapi medis yang dapat mengontrol gejala, meningkatkan kualitas hidup dan berkontribusi terhadap penatalaksanaan pasien secara keseluruhan dan merupakan bagian dari terapi komplementer. Terapi dingin, digunakan sebagai terapi modalitas yang dapat menyerap suhu jaringan sehingga terjadi penurunan suhu jaringan melewati mekanisme konduksi. Efek pendinginan yang terjadi tergantung jenis aplikasi terapi dingin, lama terapi dan konduktivitas terapi. Pada dasarnya agar terapi dapat efektif, suhu pada cedera lokal harus dapat diturunkan dalam jangka waktu yang mencukupi.

  Berdasarkan uraian di atas maka muncul pertanyaan peneliti sebagai berikut: “Adakah pengaruh kompres dingin terhadap penurunan nyeri sendi pemain futsal pada mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Purwokerto tahun 2016?”.

C. TUJUAN PENELITIAN

  1. Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh kompres dingin terhadap penurunan nyeri sendi pemain futsal pada mahasiswa di Universitas Muhammadiyah

  Purwokerto tahun 2016.

  2. Tujuan Khusus

  a. Untuk mengetahui karakteristik responden berdasarkan, jenis kelamin, umur dan jenis cedera responden di Universitas Muhammadiyah Purwokerto tahun 2016

  b. Untuk mengetahui nyeri sendi pemain futsal pada mahasiswa sebelum diberikan kompres dingin di Universitas Muhammadiyah Purwokerto tahun 2016. c. Untuk mengetahui nyeri sendi pemain futsal pada mahasiswa sesudah diberikan kompres dingin di Universitas Muhammadiyah Purwokerto tahun 2016.

  d. Untuk mengetahui perbedaan nyeri sendi pemain futsal pada mahasiswa sebelum dan sesudah diberikan kompres dingin di Universitas Muhammadiyah Purwokerto tahun 2016.

D. MANFAAT PENELITIAN

  1. Manfaat Teoritis Diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini dapat membuktikan hasil efektif tentang pengaruh kompres dingin terhadap penurunan nyeri sendi.

  2. Manfaat Praktis

  a. Bagi Akademis Secara akademis penelitian ini berguna untuk menambah informasi bagi perawat tentang pengobatan nyeri sendi pemain futsal dengan kompres dingin.

  b. Bagi Profesi Keperawatan Meningkatkan pengetahuan perawat tentang manfaat kompres dingin dan dapat menjadi bahan masukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan tentang nyeri sendi pemain futsal. c. Bagi Peneliti Dapat menambah wawasan tentang pengaruh kompres dingin terhadap penurunan nyeri sendi pemain futsal.

  d. Bagi Masyarakat Memberikan pengetahuan tentang khasiat kompres dingin dalam kegunaan untuk menurunkan nyeri sendi pemain futsal.

E. KEASLIAN PENELITIAN

  1. Beakley dan Aucley (2006), mengenai aplikasi cryotherapy intermiten dalam mengurangi nyeri dan pembengkakan. Tujuan penelitian ini untuk membandingkan efikasi dari protokol pengobatan cryotherapy intermiten dengan protokol pengobatan cryotherapy standar dalam pengelolaan ankle

  sprain dalam fase akut. Perekrutan sampel dalam penelitian ini dimulai di

  University of Ulster pada Januari 2002 dan telah diperpanjang ke Royal Victoria Hospital, Belfast pada Maret 2002. Subjek dalam penelitian ini dibagi, menjadi kelompok control yang dikontrol secara ketat tanpa mendapat perlakuan apa-apa dan kelompok perlakuan dengan aplikasi es standar (n = 46) atau aplikasi es intermiten (n = 43). Hasil dari penelitian ini didapatkan subyek yang diobati dengan protokol intermiten (selama 10 menit), secara signifikan (p <0,05) nyeri ankle sprain berkurang dibandingkan mereka yang menggunakan protokol standar 20 menit, namun, satu minggu setelah cedera pergelangan kaki, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok dalam hal fungsi, bengkak, atau nyeri saat istirahat.

  2. Thomas, et al (2008), yang meneliti pengaruh stabilitas cryotherapy postural setelah terjadinya lateral ankle sprain. Penelitian dilakukan untuk menentukan efek pada stabilitas postural cryotherapy pada lateral ankle

  

sprain . Penelitian ini menggunakan metode a single-session,, Prosedur yang

  digunakan pada penelitian ini pra dan post. Penilaian pra cryotherapy dilakukan pada kedua kain setelah 20 menit perendaman kaki bagian bawah tanpa cryotherapy dan penilaian post setelah cryotherapy selama 10 dan 20 menit. Kedua kaki diuji sebelum cryotherapy dan setelah cryotherapy. Dari hasil didapatkan sebelum terapi cryotherapy (p = 0.001) dan nilai Post (p = 0.000), Post 10 menit (p = 0.000) dan Post 20 menit (p = 0.003) dengan p < 0.05. Perendaman cryotherapy berpengaruh terhadap lateral ankle sprain.