MENGENAL PATOFISIOLOGI DAN PENANGANANNYA

ANCAMAN OSTEOPOROSIS PADA KAUM LAKI- LAKI MENGENAL PATOFISIOLOGI DAN PENANGANANNYA

  Oleh : Dr. Hening Laswati, dr., Sp.KFR-K

Ancaman Osteoporosis Pada Kaum Laki-Laki Mengenal Patofisiologi dan Penanganannya

  Penulis : Dr. Hening Laswati, dr., Sp.KFR-K © 2016 Diterbitkan Oleh:

  

Jl. Taman Pondok Jati J 3, Taman Sidoarjo

Telp/fax : 031-7871090 Email : zifatama@gmail.com Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Zifatama Publisher,

  Anggota IKAPI No. 149/JTI/2014 Cetakan Pertama, Maret 2016

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Hak Cipta, Bab XII Ketentuan Pidana, Pasal

fotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit.

atau seluruh isi buku ke dalam bentuk apapun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk

Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian

  ISBN : 978-602-6930-04-0 72, Ayat (1), (2), dan (6)

K ATA P ENGANTAR

  Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas kekuatan dan

kemudahan yang diberikan kepada penulis sehingga buku ke dua

dengan judul “Ancaman osteoporosis pada kaum laki-laki. Mengenal

patofisiologi dan penanganannya” dapat diselesaikan. Buku ini

merupakan lanjutan dari buku yang pertama yang membahas tentang

osteoporosis pada populasi perempuan. Kesadaran masyarakat

terhadap risiko osteoporosis pada laki-laki sangat rendah, karena

selama ini osteoporosis dikenal sebagai penyakit pada populasi

perempuan. Berbagai publikasi ilmiah dan publikasi umum membahas

osteoporosis dan hampir seluruhnya membahas osteoporosis pada

populasi perempuan dan hanya sebagian kecil saja yang membahas

osteoporosis pada populasi laki-laki. Sedangkan perubahan

pola hidup dan berbagai penyakit berpengaruh terhadap risiko

osteoporosis, tidak hanya pada populasi perempuan tetapi juga pada

populasi laki-laki. Kesadaran untuk deteksi dini osteoporosis pada

laki-laki dari masyarakat dan kalangan medis masih rendah, serta

masih belum ada konsensus untuk pedoman diagnosis osteoporosis

pada laki-laki menyebabkan penanganan osteoporosis pada laki-laki

mengalami kendala. Buku ini diperuntukkan untuk semua kalangan

baik masyarakat awam maupun kalangan akademisi yang mempunyai

minat untuk mengetahui masalah osteoporosis pada populasi laki-

laki, sehingga pencegahan dan penaganan osteoporosis pada populasi

laki-laki dapat diketahui oleh semua kalangan.

  Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua

pihak yang telah membantu hingga tersusunnya buku ini. Kritik dan

saran sangat penulis harapkan untuk menyempurnakan isi buku ini. Surabaya, Januari 2016 Hening Laswati

  D AFTAR

I SI Kata Pengantar

  ii

  Daftar Isi

  iii

  1 Bab 2 Homeostasis tulang pada laki-laki

  7 Metabolisme tulang pada laki-laki

  7 Peran androgen dan estrogen dalam homeostasis tulang pada laki-laki

  10 Peran vitamin D dalam homeostasis tulang

  17 Bab 3 Osteoporosis pada laki-laki

  23 Osteoporosis primer pada laki-laki

  23 Osteoporosis sekunder pada laki-laki

  28 Bab 4 Mekanisme molekular homeostasis tulang

  47 Peran reseptor androgen dan reseptor estrogen

  47 Cross talk antara fungsi testis dan fungsi tulang

  50 Regulasi fungsi osteoblas oleh INSL3

  53 Bab 5 Penatalaksanaan osteoporosis pada laki-laki

  57 Diagnosis osteoporosis pada laki-laki

  57 Program pencegahan

  59 Pengobatan osteoporosis pada laki-laki

  60 Index

  67

BAB 1 P ENDAHULUAN Osteoporosis merupakan penyakit metabolik tulang

  yang paling sering dijumpai, ditandai dengan penurunan densitas mineral tulang (bone mineral density atau BMD), dan peningkatan risiko patah tulang. Saat ini osteoporosis menjadi masalah kesehatan masyarakat tidak hanya terbatas pada populasi perempuan tetapi juga populasi laki-laki. Pada laki-laki osteoporosis dapat dijumpai pada usia lanjut, terjadi fase aselerasi kehilangan masa tulang setelah usia 70 tahun. Penurunan masa tulang pada laki-laki tidak secepat seperti pada perempuan pascamenopause, tetapi morbiditas dan mortalitas pada patah tulang pangkal paha (hip) akibat osteoporosis lebih tinggi pada pasien laki-laki daripada pasien perempuan. Risiko meninggal dunia akibat patah tulang pangkal paha pada pasien laki-laki mencapai dua sampai tiga kali lebih tinggi daripada pasien perempuan. Kondisi ini menyebabkan 50% pasien laki- laki dengan patah tulang pangkal paha kehilangan fungsi dan memerlukan perawatan institusional dan biaya pengobatan yang tinggi.

  Pasien laki-laki dengan osteoporosis hanya mempunyai risiko patah tulang sepertiga daripada perempuan, karena usia harapan hidup lebih pendek daripada kaum perempuan, serta masa tulang puncak lebih tinggi. Walaupun demikian di Amerika dan Eropa dari tahun ke tahun terdapat kecenderungan risiko patah tulang pada laki-laki meningkat sedangkan pada perempuan tetap atau tidak berubah. Studi epidemiologi di Amerika melaporkan bahwa 1,5 juta laki-laki usia lebih dari 65 tahun menderita osteoporosis dan 8-13 juta menderita osteopenia. Risiko patah tulang 13,5% pada laki-laki dan mencapai 25,6% pada usia 60 tahun. Di Indonesia, prevalensi pasien osteoporosis dan patah tulang akibat osteoporosis pada laki-laki belum diketahui. Terdapat kesamaan faktor yang menimbulkan patah tulang dengan pasien perempuan seperti masa tulang puncak yang rendah dan faktor risiko jatuh. Faktor yang berpengaruh terhadap masa tulang juga sama dengan pada perempuan seperti faktor genetik, aktivitas fisik dan kekuatan otot. Data mengenai berbagai masalah osteoporosis pada laki-laki hingga kini belum banyak tersedia. Di dunia 39% patah tulang terjadi pada kaum laki-laki, dan 1 dari 8 pasien dengan patah tulang adalah pasien dengan usia lebih dari 50 tahun. Patah tulang belakang (vertebra) sering terjadi pada laki- laki usia lanjut yang menyebabkan penurunan tinggi badan, gangguan fungsi respirasi, dan handicap sehingga disamping biaya pengobatan yang tinggi juga terjadi penurunan kualitas hidup. Pada usia lanjut lebih dari 65 tahun patah tulang belakang (vertebra) pada laki-laki mencapai separuh dari patah tulang belakang pada perempuan. Risiko patah tulang pada osteoporosis tidak hanya ditentukan oleh faktor skeletal tetapi juga oleh kondisi medis ekstraskeletal seperti gangguan visus, gangguan keseimbangan, koordinasi, dementia dan kelainan neurologis lainnya, pemakaian obat serta kondisi lingkungan sekitar yang memungkinkan pasien jatuh. Studi meta-analisis tahun 2012 mengenai faktor risiko osteoporosis yang berhubungan dengan dengan patah tulang pangkal paha (hip) pada laki-laki menunjukkan bahwa peningkatan usia, body miss index (BMI) yang rendah, komsumsi alkohol yang

berlebihan, perokok, pemakaian kortikosteroid jangka panjang, riwayat patah tulang sebelumnya, riwayat jatuh dalam satu tahun terakhir, hipogonadisme, stroke dan diabetes berhubungan secara bermakna dengan peningkatan risiko patah tulang pada laki-laki.

  Metabolisme tulang pada laki-laki berbeda dengan pada perempuan. Pada masa kanak-kanak tulang pada laki-laki lebih besar dan korteks lebih tebal. Pada usia lanjut terjadi penipisan dan penurunan jumlah trabekula, densitas tulang korteks menurun karena terjadi peningkatan resorpsi tulang di korteks. Peran hormon seks dalam metabolisme tulang pada perempuan sudah terbukti, tetapi studi mengenai hormon steroid seks dan fungsi gonadal pada laki-laki masih sangat sedikit dan masih fokus pada androgen. Terdapat korelasi yang bermakna antara hilangnya masa tulang dan penurunan kadar androgen. Reseptor androgen (RA) dijumpai lebih banyak di korteks dibandingkan tulang trabekula. Terjadi penipisan trabekula tetapi jumlah trabekula tetap sehingga risiko patah tulang lebih rendah dibandingkan pada pasien perempuan. Demikian pula studi peran testosteron dan estrogen pada densitas tulang laki-laki masih belum banyak dilaporkan. Suatu studi kasus melaporkan bahwa estrogen berperan pada penutupan epifisis dan masa tulang puncak pada laki-laki. Pada laki-laki usia 65 tahun keatas, penurunan densitas tulang lebih sering terjadi akibat defisiensi testosteron dan estrogen. Kadar testosteron sampai usia 55-60 tahun stabil dan baru setelah usia 60 tahun terjadi penurunan yang berarti. Testosteron bebas, dehydroepiandrosterone (DHEA) dan dehydroepiandrosterone sulphate (DHEA-S) kadarnya turun seiring dengan peningkatan usia. Meskipun kadar testosteron darah turun, keluhan tidak segera muncul dan secara fisik laki- laki menunjukkan kemampuan melakukan aktifitas yang prima. Etiologi osteoporosis pada laki-laki bisa primer dan sekunder. Osteoprosis primer termasuk disini adalah osteoporosis karena usia lanjut (lebih dari 70 tahun) dan osteoporosis idiopatik ( terjadi patah tulang satu atau lebih, dan BMD yang rendah pada usia sebelum 65-70 tahun). Etiologi osteoporosis idiopatik disebabkan karena faktor genetik, terdapat riwayat keluarga dengan osteoporosis. Disamping karena usia lanjut, lebih kurang 50% osteoporosis pada laki- laki adalah osteoporosis sekunder. Etiologi osteoporosis sekunder pada laki-laki terbanyak disebabkan penggunaan glukokortikoid jangka panjang, konsumsi alkohol berlebihan, perokok, dan hipogandism. Pencegahan dan deteksi dini faktor risiko ini diperlukan untuk mencegah osteoporosis. Baik pada perempuan dan laki-laki terdapat faktor risiko yang bisa dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi meliputi komsumsi alkohol, perokok, BMI yang rendah, menopause dan histerektomi, malnutrisi, gangguan menelan, aktifitas fisik yang rendah, asupan kalsium yang rendah, defisiensi vitamin D. Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi faktor usia, etnis, jenis kelamin dan riwayat keluarga yang mengalami patah tulang, status hormonal, terapi glukokortikoid jangka panjang, hipogonadisme primer dan sekunder pada laki-laki.

  Masih terdapat pemahaman dikalangan awam bahwa osteoporosis hanya terjadi pada perempuan, dan kalangan medis juga masih belum menyadari masalah osteoporosis pada laki-laki, ditambah dengan belum ada kesepakatan konsensus mengenai pedoman deteksi osteoporosis pada laki-laki menyebabkan peningkatan risiko patah tulang. Pada laki-laki kurang mendapat pencegahan primer, sekunder dan tersier sehingga jika terjadi patah tulang pangkal paha menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada pada perempuan dengan kata lain “underdiagnosed” dan “undertreated”. Pemahaman etiologi dan mekanisme osteoporosis pada laki-laki perlu diketahui oleh semua kalangan sehingga dapat dilakukan pencegahan dan terapi lebih awal. Pemeriksaan teliti untuk menentukan osteoporosis sekunder dan etiologinya perlu untuk mendapat perhatian. Disamping itu identifikasi faktor genetik akan menentukan patofisiologi osteoporosis, yang memberikan implikasi potensial terhadap kesehatan masyarakat, klinis dan terapeutis. Manajemen osteoporosis pada laki-laki mencakup edukasi dan memerlukan protokol standar untuk diagnosis dan terapi.

  Rujukan

  Audran M. Bone health is also for men. Medicographia 2010; 32(4): 417-421

  Barrett-Connor E, Mueller JE, von Muhlen DG, Laughlin GA, Schneider DL and Sartoris DJ. Low levels of estradiol are associated with vertebral fractures in older men, but not women: The Rancho Bernardo Study. J Clin Endocrinol Metab 2000; 85: 219-223.

  Baziad A. Menopause dan Andropause.2003. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : 196-205

  Dy CJ, LaMont LE, Ton QV and Lane JM. Sex and Gender Considerations in Male patients with Osteoporosis. Clin Orthop Relat Res 2011.; 469: 1906-1912

  Ebeling PR. Osteoporosis in Men. N Engl J Med 2008; 358: 1474-82 Frost M, Wraae K, Abrahamsen B, Horberg M, Hagen C et al.

  Osteoporosis and vertebral fractures in men aged 60-74 years. Age Ageing 2012; 41: 171-7 Genari L,and Bilezikian JP. Osteoporosis in Men. Endocrinol Metab Clin N Am 2007; 36: 399-419 Johnell O and Kanis JA. An estimate of the worldwide prevalence and disability associated with osteoporotic fractures. Osteoporos Int 2006; 1726-33

  Laurent M, Antonio L, Sinnesael M, Dubois V, Gielen E, Classens F and Vanderschueren D. Androgens and estrogens in skeletal sexual dimorphism. Asian Journal of Andrology 2014;16: 213-222

  Laurent M, Gielen E, Claessens F, Boonen S, Vanderschueren

  D. Osteoporosis in older men: recent advances in pathophysiology and treatment. Best Pract Res Clin Endocrinol Metab 2013; 27: 527-39

  Prelevic GM. Osteoporosis in Men. J R Soc Med 2001: 94:620- 623

  Sim I-W and Ebeling PR. Treatment of osteoporosis in men with bisphosphonates: rationale and latest evidence. Ther Adv Musculoskel Dis 2013; 5(5):259-267

  Slemenda CW, Longcope C, Zhou L, Hui SL, Peacock M and Johnston CC. Sex Steroids and Bone Mass in Older Men.

  J.Clin.Invest 1997;100(7):1755-1759 Vanderschueren D, Vandenput L, Boonen S, Lindberg MK,

  Bouillon R et al. Androgen and bone. Endocr Rev 2004; 25: 389-425

  Waring AC, Harrison S, Fink HA, Samuels MH, Cawthon PM et al. Osteoporotic fractures in Men (MrOS) Study. J Bone Miner Res 2013; 28 : 472-9

  Willson T, Nelson SD, Newbold J, Nelson RE and LaFleur J. The clinical epidemiology of male oseteoporosis: a review of the recent literature. Clinical epidemiology 2015; 7: 65-76

BAB 2 H OMEOSTASIS T ULANG PADA L AKI- L AKI Metabolisme tulang pada laki-laki Pada masa anak-anak, perkembangan tulang dipengaruhi

  oleh hormon seks dan tingkat aktivitas fisik. Laki-laki masa pubertas terjadi lebih lambat daripada perempuan, tetapi masa pubertasnya berlangsung lebih lama, sehingga terjadi perbedaan anatomis pada laki-laki dan perempuan. Laki-laki mempunyai tulang lebih panjang daripada perempuan karena fusi epifisis lebih akhir daripada perempuan. Pada masa pubertas testosteron (T) menstimulasi perkembangan besar tulang dan mencegah resorpsi tulang melalui konversi testosteron menjadi estrogen. Estrogen mencegah resorpsi tulang sehingga berperan untuk mempertahankan masa tulang. Seperti pada perempuan, densitas tulang kortikal dan trabekular bertambah secara bermakna selama masa pubertas sebagai respon testosteron dan estradiol (E ). Testosteron diproduksi oleh sel Leydig 2 di testis sedangkan E dihasilkan dari aromatisasi androgen 2 melalui enzim aromatase suatu enzim cytochrome P450 yang disandi oleh gen CYP19A1. Enzim aromatase ini mengkatalisir 4 konversi -androstenedion menjadi estron dan T menjadi E . 2 Aromatase terdapat di jaringan testis (sel Sertoli dan Leydig), ovarium (sel granulosa dan korpus luteum), jaringan otak termasuk hipotalamus, plasenta, folikel rambut, kulit, endotel, fibroblas jaringan lemak dan sel tulang. Estradiol pada laki-laki diproduksi terutama oleh testis dan disamping oleh jaringan lemak.

  Pada laki-laki seperti pada perempuan, steroid seks penting untuk pertumbuhan selama masa pertumbuhan dan mempertahankan peak bone masa (PBM) atau masa tulang puncak. Masa tulang puncak pada laki-laki dicapai pada usia 33 tahun dan pada perempuan pada usia 40 tahun. Pertumbuhan tulang panjang terjadi di lempeng pertumbuhan (growth plate ) yang terletak antara epifisis dan metafisis. Lempeng ini terdiri dari lapisan yang statik (stem cell-like), khondrosit proliferatif dan hipertropik. Steroid seks akan menstimulasi pertumbuhan dan maturasi epifisis selama pubertas, baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Anak laki-laki memiliki tulang yang lebih panjang, besar dan lebar, tulang korteks lebih tebal tetapi pola trabekularnya sama dengan anak perempuan pada akhir masa remaja. Morfologi tulang pada laki-laki menunjukkan bahwa diameter tulang lebih besar, sehingga moment of inertia lebih tinggi yang merupakan determinan untuk torque strength. Masa otot pada laki-laki lebih besar sehingga lebih kuat dan tangkas, selain itu dapat berperan sebagai protektor untuk mencegah patah tulang waktu jatuh. Penutupan epifisis yang menentukan panjang tulang atau tinggi badan di modulasi oleh estrogen dan testosteron melalui aromatisasi. Kecepatan pertumbuhan tulang dipengaruhi oleh androgen yang tidak mengalami aromatisasi melalui reseptor androgen (RA) di khondrosit dan sinyal IGF-1 lokal di epifisis. Terdapat perbedaan pada jumlah sel osteoprogenitor, respon dan regulasi hormon pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Estrogen (konsenrasi rendah) pada masa awal pubertas berperan untuk pertumbuhan panjang tulang, sedangkan pada akhir pubertas (konsentrasi tinggi) berperan untuk maturasi tulang, pencapaian PBM, fusi epifisis dan penghentian pertumbuhan, sedangkan pada masa dewasa untuk mempertahankan masa tulang serta mencegah kehilangan masa tulang pada usia lanjut. Pada awal pubertas estrogen menstimulasi khondrosit di lempeng pertumbuhan (growth plate) yang menyebabkan aselerasi pertumbuhan panjang tulang. Estrogen yang melebihi 20 pg/ml diperlukan untuk fusi kartilago epifisis dengan menurunkan jumlah sel khondrosit dan sel progenitor. Terdapat reseptor estrogen α (REα), reseptor estrogen β (RE β) dan membranous-G-protein-coupled estrogen receptor (GPR30) pada sel khondrosit di epifisis. Aromatase juga diekspresikan di khondrosit, sehingga dapat disimpulkan baik estrogen di sirkulasi maupun lokal berpengaruh di lempeng pertumbuhan. Dalam kondisi konsentrasi estrogen tinggi di sirkulasi ekspresi GPR30 menurun, dan REβ lebih berperan untuk induksi fusi lempeng pertumbuhan. Growth hormone(GH) dan Insulin-like growth factor-1 (IGF-1) mempunyai efek anabolik pada tulang terutama untuk pertumbuhan longitudinal tulang dan percepatan pertumbuhan secara tidak langsung melalui stimulasi sekresi GH dan IGF-1 oleh estrogen.

  Penurunan densitas tulang dimulai setelah PBM tercapai. Studi longitudinal menunjukkan pada laki-laki terjadi aselerasi kecepatan penurunan densitas tulang setelah usia 70 tahun. Pada usia lanjut, biomarker pembentukan tulang tetap stabil atau sedikit menurun, tetapi biomarker resorpsi tulang meningkat terutama setelah usia 70 tahun. Peningkatan biomarker resorpsi tulang berhubungan dengan kadar estrogen dan testosteron yang rendah. Tulang merupakan jaringan endokrin yang mengekspresikan reseptor androgen (RA), REα dan REβ, yang sensitif terhadap androgen dan estrogen. Reseptor ini diekspresikan di sel osteoblas, osteoklas, osteosit dan khondrosit pada epifisis. Berbeda dengan osteoporosis pada pascamenopause, penurunan densitas tulang pada laki-laki tidak secepat pada perempuan. Pada pascamenopause terjadi penipisan trabekula dan peningkatan ruang trabekula oleh karena penurunan pembentukan tulang pada tiap basic multicellular unit disebabkan peningkatan proses remodeling tulang, dan ketidakseimbangan proses resorpsi dan pembentukan tulang. Pada laki-laki penurunan masa tulang lebih disebabkan karena penurunan pembentukan tulang daripada resorpsi, terjadi penipisan trabekula tetapi perforasi trabekula tidak berat dan tidak terputus-putus, hal ini yang menyebabkan risiko patah tulang pada laki-laki lebih rendah daripada pada perempuan. Masa tulang tulang kortikal perempuan menurun pada pertengahan usia, sedangkan pada laki laki terjadi setelah usia 75 tahun. Pada laki-laki dan perempuan penurunan masa tulang trabekula mulai segera setelah masa tulang puncak dicapai. Penurunan 42% trabekula terjadi sebelum usia 50 tahun dan setelah usia 50 tahun tulang kortikal berkurang hingga 85%. Pada usia lanjut penurunan IGF-1 sebagai inhibitor sintesis sex-hormone binding globulin (SHBG) akan mempengaruhi metabolisme dan mikroarsitektur tulang.

  

Peran androgen dan estrogen dalam homeostasis tulang

pada laki-laki

  Testosteron (T) adalah androgen dalam sirkulasi terpenting pada laki-laki, disekersi 95% oleh testis dan sisanya oleh adrenal. Androgen yang tidak terlalu aktif disekresi oleh korteks adrenal. Testosteron diikat oleh sex hormone binding globuline (SHBG ) dan albumin. Ikatan dengan albumin lemah sedangkan dengan SHBG kuat. Ikatan yang kuat dengan SHBG menyebabkan hambatan T masuk ke sel target. Bioaktivitas hormon tersebut dimodulasi oleh SHBG dan konversi lokal di jaringan tulang. Lebih kurang 45% hormon testosteron terikat pada SHBG dan yang tidak terikat mengindikasikan yang aktif. Testosteron dikonversi oleh 5α-reductase enzymes menjadi 5α-dihydrotestosterone (DHT) yang akan berikatan dengan reseptor androgen (RA) . Testosteron dikatalisasi oleh aromatase cytochrome P450 produk gen CYP19 menjadi 17β-estradiol (E ), yang dapat mengikat dan mengaktifkan reseptor estrogen 2 alpha (REα) dan beta (REβ) menjadi estradiol. Aromatase terdapat di sel tulang seperti di osteoblas, osteosit, khondrosit dan adiposit dekat trabekula, tetapi tidak dapat ditemukan di sel osteoklas. Ekspresi terbanyak di osteoblas dan khondrosit, sehingga aromatase lokal mempunyai peran penting untuk menghasilkan E . Jaringan lain juga mengekspresikan aromatase 2 yaitu di testis, ovarium, jaringan lemak dan otak. Sumber biosintesis E eksternal gonadal dari kelenjar adrenal adalah 2 dehydroepiandrosterone (DHEA) dan dehydroepiandrosterone sulphate (DHEAS). Pada awalnya DHEA di sirkulasi harus dikonversi menjadi androstenedion sebelum proses aromatisasi. Dengan demikian T dan androstenedion di sirkulasi sangat penting sebagai sumber biosintesis E . Lebih kurang 20% E 2 2 berasal dari produksi langsung dari testis, 60% E di sirkulasi 2 dari proses aromatisasi testosteron dan 20% dari konversi estron. Estron merupakan hasil dari aromatisasi androstenedion dan sebagian langsung dari produk adrenal. Produksi estradiol dari testis lebih besar daripada dari kelenjar adrenal. Hanya sekitar 2% E , 2% T serta kurang dari 1% dihydrotestosterone (DHT) 2 bebas dalam sirkulasi pada laki-laki, yang menentukan bioaktif dari hormon tersebut. Testosteron dan DHT berikatan dengan

reseptor androgen (RA). Baik RA dan RE terlibat dalam proses remodeling tulang skeletal yang membuktikan pada tulang laki-laki terdapat dua cara aktivasi T secara langsung pada RA dan tidak langsung pada RE melalui aromatisasi.

  Baik testosteron dan estrogen keduanya diperlukan untuk pertumbuhan dan mempertahankan integritas tulang skeletal. Androgen pada studi in vitro meningkatkan proliferasi dan menurunkan apoptosis osteoblas melalui regulasi protein kinase B. Androgen juga mencegah PTH induksi pembentukan osteoklas dan menurunkan aktivasi osteoklas untuk resorpsi tulang melalui deaktivasi enzim lysosom. Androgen menghambat produksi IL-1 dan prostaglandin E-2 (PGE-2). Estrogen berperan menurunkan apoptosis ostoblas, menurunkan stres oksidatif dan nuclear factor kappa B (NF-κB). Sintesis hormon steroid seks ini dibawah kontrol umpan balik hypothalamic-pituitary melalui gonadotropin follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). Penelitian cohort di Amerika Serikat menunjukkan bahwa laki-laki usia lanjut yang mempunyai kadar estradiol yang rendah dan kadar SHBG yang tinggi mempunyai risiko fraktur. e

Gambar 1. Biosintesis estrogen pada laki-laki melalui aktivitas enzim

aromatase

  

Keterangan: DHEA: dehydroepiandrosterone; DHEA-S : dehydroepiandrosterone-

sulphate; 17β-HSD: 17β-hydroxy steroid dehydrogenase; 5α-red:

5α-reductase; DHT: dihydrotestosterone, AR: androgen receptor; ER:

estrogen receptor

  Peningkatan produksi steroid seks terjadi pada awal masa pubertas berhubungan dengan peningkatan mineralisasi tulang yang membedakan tulang pada jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Pada masa pertengahan pubertas, anak laki- laki menunjukkan perimeter periosteal lebih besar daripada anak perempuan, dimana anak perempuan menunjukkan aposisi endokortikal lebih besar. Pada laki-laki, besar masa tulang lebih cepat tercapai selama masa pertumbuhan dan pada usia tua kehilangan masa tulang lebih sedikit daripada perempuan. Androgen melalui jaras RA efektif menstimulasi tulang trabekula, dengan meningkatkan dan mempertahankan jumlah trabekula melalui supresi resorpsi trabekula. Percobaan pada tikus dan mencit mutasi gen RA atau manipulasi gen RA untuk menurunkan ekspresi RA, menunjukkan aposisi tulang periosteal berkurang dan resorpsi tulang trabekula meningkat. Peran testosteron penting dalam maturasi pada akhir pubertas untuk mencapai masa tulang puncak dan pada masa dewasa untuk mempertahankan masa tulang. Pada dekade akhir ini fakta menunjukkan bahwa pada laki-laki yang mengalami mutasi gen yang menyandi enzim cytochrome P450 19A1 menunjukkan osteopenia berat dan epifisis terbuka walau kadar testosteron normal atau meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peran testosteron yang bergantung pada aromatisasi menjadi estrogen untuk pertumbuhan periosteal dan tulang korteks. Peran testosteron dan estrogen pada metabolism tulang pada laki-laki masih kontroversial. Beberapa studi pada laki- laki usia lanjut menunjukkan bahwa BMD sangat berkorelasi terhadap kadar estrogen dibandingkan dengan kadar testosteron.

  Suatu studi pada kelompok laki-laki usia lebih dari 65 tahun menunjukkan terdapat korelasi positif yang bermakna antara densitas tulang dan konsentrasi 17β-estradiol (E ), 2 tetapi terdapat korelasi tidak bermakna antara testosteron serum dan BMD, sedangkan SHBG menunjukkan korelasi negatif yang bermakna dengan BMD. Suatu studi melaporkan bahwa pada laki-laki dengan defek reseptor estrogen (RE) dan pada kasus lain dengan defisiensi aromatase menunjukkan osteopenia. Walaupun demikian testosteron tetap berperan dalam mempertahankan integritas tulang pada laki-laki dengan hipogonadisme yang mempunyai faktor risiko osteoporosis. Pada laki-laki dengan hipogonadisme yang mendapat terapi testosteron menunjukkan perbaikan BMD, lebih berhubungan dengan penurunan kecepatan remodeling tulang daripada peningkatan pembentukan tulang. Hal ini menunjukkan peran testosteron dalam mekanisme antiresorpsi, seperti halnya pada terapi sulih hormon estrogen pada perempuan. Prevalensi hipogonadisme pada laki-laki dengan osteoporosis tidak diketahui tetapi 20% laki-laki mengalami patah tulang belakang (vertebra ) dan 50% mengalami patah tulang pangkal paha. Testosteron meningkatkan masa dan kekuatan tulang yang merupakan dasar dari tulang sehat. Pada perempuan peran androgen pada metabolism tulang belum diketahui dengan jelas. Studi pada kelompok laki-laki sehat usia diatas 70 tahun menunjukkan bahwa BMD yang rendah pada leher tulang paha (collum femoris), secara bermakna berhubungan dengan berat badan yang rendah dan masa lemak yang rendah. Baik pada perempuan dan laki- laki, pada usia lanjut menunjukkan penurunan kadar estrogen. Porositas tulang kortikal setelah usia 50 tahun pada laki-laki sama dengan perempuan. Penurunan BMD tulang kortikal pada laki-laki terjadi setelah usia 75 tahun, sedangkan hilangnya tulang trabekular dimulai setelah mencapai PBM.

  Regulasi osteoblas dan osteoklas sangat penting dalam remodeling tulang. Gangguan keseimbangan proses remodeling tulang menyebabkan osteoporosis, ditandai penurunan densitas tulang dan risiko patah tulang. Pada osteoporosis pascamenopause (osteoporosis tipe I) resorpsi tulang berlebihan, sedangkan pada senile osteoporosis (osteoporosis tipe II) formasi tulang menurun tetapi resorpsi tulang tetap stabil. Hubungan estrogen dan patah tulang pada perempuan sudah dibuktikan. Beberapa studi juga telah membuktikan peran estrogen pada metabolism tulang pada laki-laki. Studi cross–sectional menunjukkan terdapat hubungan positif dan bermakna antara konsentrasi E dan BMD pada populasi laki-laki 2 usia lanjut (Caucasian). Aromatisasi androgen ekstraglandular di sirkulasi merupakan sumber terbesar estrogen pada laki-laki. Aktivitas aromatase dan produksi estrogen diperlukan pada laki-laki untuk pertumbuhan longitudinal tulang, percepatan pertumbuhan masa pubertas, penutupan epifisis, remodeling tulang dan pencapaian PBM. Disamping itu, juga diperlukan untuk mempertahankan masa tulang dan mencegah penurunan masa tulang pada usia lanjut. Sumber utama estrogen pada laki- laki adalah aromatisasi androgen ekstragonadal di sirkulasi (85%) sedangkan dari testis hanya 15%. Aktivitas aromatase adalah regulasi konsentrasi estrogen yang memberikan efek endokrin, parakrin, dan autokrin pada jaringan target termasuk tulang. Aromatase berperan baik pada laki-laki muda maupun usia lanjut. Kelainan genetik pada aromatase mengakibatkan penurunan masa tulang. Pada studi cross-sectional, konsentrasi estrogen yang tinggi dan bukan testosteron berhubungan secara bermakna dengan BMD pada tulang belakang (vertebra) dan leher tulang paha (collum femoris) baik pada kelompok perempuan dan laki-laki usia muda dan usia lanjut. Kehilangan masa tulang pada laki-laki terutama lebih berhubungan dengan defisiensi estrogen. Secara biomolekular estrogen menginhibisi apoptosis osteosit baik di tulang trabekular maupun korteks, inhibisisi apoptosis osteoblas dan stimulasi diferensiasi osteoblas, inhibisi diferensiasi osteoklas dan stimulasi apoptosis osteoklas, melakukan regulasi remodeling tulang. Jadi kehilangan masa tulang pada laki-laki terutama lebih berhubungan dengan defisiensi estrogen, sedangkan peran androgen lebih kecil, hal ini telah dibuktikan dengan beberapa studi. Studi telah membuktikan bahwa E merupakan prediktor 2 homeostasis tulang laki-laki daripada tetstosteron. Pada usia lanjut terjadi penurunan testosteron yang juga mengakibatkan penurunan estrogen. Studi longitudinal menunjukkan terjadi relatif defisensi estrogen pada laki-laki dengan testosteron yang rendah.

  Pada laki-laki resorpsi endokortikal lebih kecil daripada perempuan usia lanjut. Penurunan BMD berhubungan dengan penipisan tulang trabula, bukan karena penurunan jumlah tulang trabekula seperti pada perempuan. Penurunan masa otot akibat penurunan androgen lebih memperburuk nilai BMD dan meningkatkan risiko jatuh pada laki-laki usia lanjut. Masa tulang puncak dan tulang pada kondisi usia lanjut keduanya selain dipengaruhi oleh estrogen dan androgen juga oleh TGF-β, IGF-1, IGF-1 binding protein, PTH, vitamin D, hormon tiroid, faktor imun, CRP, RANK/RANKL/OPG, stres oksidatif, dan jaras klasik proses penuaan. Cathecol-O-methyl- transferase (COMT) suatu enzim katabolik untuk degradasi estrogen dan uridine diphosphate glucuronosyltransferase 2B7 yang menginaktifkan androgen dan estrogen juga berpengaruh terhadap tulang laki-laki usia muda.

  Peran vitamin D dalam homeostasis tulang

  Vitamin D merupakan faktor kunci regulasi mineralisasi dan homeostasis kalsium baik pada perempuan dan laki- laki. Untuk fungsi aktif biologis, vitamin D harus dikonversi menjadi bentuk aktif 1,25-dihydroxyvitamin D melalui 2 tahap 3 hidroksilasi yang berurutan yang dikatalisir oleh 25-hydroxylase dan 1α-hydroxylase. Enzim 25-hydroxylase disandi oleh gen CYP2R1 dan ekspresi CYP2R1 mRNA relatif tinggi di testis. Mutasi gen CYP2R1 menyebabkan defisiensi 25-hydroxyvitamin

  D, defek homeostasis kalsium dan Ricket. Testikulopati oleh karena bermacam-macam sebab akan menyebabkan gangguan aktivitas 25-hydroxylase dan defisiensi vitamin D. Seperti halnya enzim cytochrome P450, CYP2R1 distimulasi di sel Leydig oleh LH dan human chorionic gonadotropin (hCG). Studi akhir- akhir ini melaporkan hubungan konsentrasi plasma testosteron dan 25-hydroxyvitmamin D. Satu studi membuktikan bahwa suplementasi vitamin D meningkatkan konsentrasi testosteron. Diduga reseptor vitamin D memediasi efek pada sel Leydig atau efek pada glandula pituitary, oleh karena itu terapi sulih testosteron pada laki-laki hipogonadisme dan osteoporosis tidak cukup untuk memperbaiki BMD.

  Rujukan

  Amin S, Zhang Y, Sawn CT, Evans SR, Hannan MT, Kiel DP, Wilson PW and Felson DT. Association of hypogonadism and estradiol levels with bone mineral density in elderly men from the Framingham study. Ann Inter Med 2000; 133(12) : 951-963

  Almeida M, Han L, Martin-Millan M, Plotkin Li, Stewart SA et al. Skeletal involution by age-associated oxidative stress and its acceleration by loss of sex steroids. J Biol Chem 2007; 282: 27285-97

  Audran M. Bone health is also for men. Medicographia 2010; 32(4): 417-421

  Barrett-Connor E, Mueller JE, von Muhlen DG, Laughlin GA, Schneider DL and Sartoris DJ. Low levels of estradiol are associated with vertebral fractures in older men, but not women: The Rancho Bernardo Study. J Clin Endocrinol Metab 2000; 85: 219-223.

  Bellido T, Jilka RL, Boyce BF, Girasole G, Broxmeyer H, et al.

  Regulation of interleukin-6, osteoclastogenesis, and bone mass by androgens. The role of the androgen receptor. J Clin Invest 1995; 95: 2886-95

  Caldwell JD and Jirikowski GF. Sex hormone binding globuline and aging. Horm Metab Res 2009; 41: 173-82. Callewaert F, Boonen S, Vanderschueren D. Sex steroids and the male skeleton: a tale of two hormones. Trends Endocrinol

  Metab 2010; 21: 89-95 Carani C, Qin K, Simoni M, Faustini-Fustini M, Serpente S et al. Effect of testosterone and estradiol in a man with aromatase deficiency. N Engl J Med 1997; 337: 91-5

  Chin K-Y and Ima-Nirwana S. Sex Steroids and Bone Health Status in Men. International Journal of Endocrinology 2012; Article ID 208719

  Clarke BL and Khosla S. Androgen and Bone. Steroids 2009; 74(3):296-305

  De Ronde W, Pols HAP, van Leeuwen JPTM and de Jong FH. The importance of oestrogens in males. Clinical Endocrinology 2003; 58: 529-542

  Dy CJ, LaMont LE, Ton QV and Lane JM. Sex and Gender Considerations in Male patients with Osteoporosis. Clin Orthop Relat Res 2011.; 469: 1906-1912 Enmark E and Gustafsson. Oestrogen receptors-an overview.

  Journal of Internal Medicine 1999; 246(2): 133-138 Falahati NA, Rigg BL, Atkinson EJ, OFallon WM, Eastell R,and

  Khosla S. Relative contributions of testosterone and estrogen in regulating bone resorption and formation in normal elderly men. J Clin Invest 2000; 106 (12): 1553- 1560

  Faustini-Fustini M, Rochira V and Carani C. Oestrogen deficiency in men : where are we today ? Europian Journal of Endocrinology 1999;140(2): 111-129

  Ferlin A, Selice R, Carraro U and Foresta C. Testicular function and bone metabolism-beyond testosterone. Nat.Rev.

  Endocrinol 2013; 8: 548-554 Gennari L, Nuti R dan Bilezikian JP. Aromatase activity and

  Bone Homeostasis in Men. The Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism 2004; 89(12): 5898-5907

  Heinlein CA and Chang E. Androgen receptor (AR) coregulator an overview. Endocrinol.Rev 2002; 23: 175-200 Ho-Pham LT, Nguyen ND and Nguyen TV. Quantification of relative contribution of estrogen to bone mineral density in men and and women. BMC Musculoskeletal Disorder 2013; 14-366

  Kang H-Y, Shyr C-R, Huang C-K, Tsai M-Y, Orimo H, Lin P-C, Chang C and Huang K-E. Altered TNSALP Expression and Phosphate Regulation Contribute to Reduced Mineralization in Mice Lacking Androgen Receptor. Molecular and Cellular Biology 2008; 28(24) : 7354-7367

  Khosla S. Update on estrogens and the skeleton. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 2010; 95(8): 3569-3577

  Khosla S, Melton LJ, Atkinson EJ, and OFallon WM. Relationship of serum sex steroid levels to longitudinal changes in bone density in young versus elderly men. J Clin Endocrinol Metab 2001; 86(8): 3555-3561

  Laurent M, Antonio L, Sinnesael M, Dubois V, Gielen E, Classens F and Vanderschueren D. Androgens and estrogens in skeletal sexual dimorphism. Asian Journal of Andrology 2014;16: 213-222

  Manolagas SC. From estrogen-centric to aging and oxidative stress: a revised perspective of the pathogenesis of osteoporosis. Endocr Rev 2010; 31: 266-300 Manolagas SC, Konsteni S and Jilka RL. Sex steroids and bone. Recent Prog. Horm Res 2002; 57: 385- 409

  Manolagas SC, O’Brien CA and Almeida M. The role of estrogen and androgen receptors in bone health and disease.

  Nature Reviews Endocrinology 2013; 9(12): 699-712 Mellstrom D, Vandenput L, Mallmin et al. Older men with low serum estradiol and high serum SHBG have an increased risk of fractures. Journal of Bone and Mineral Research 2008; 23(10): 1552-1560

  Merlotti D, Gennari L, Stolakis K and Nuti R. Aromatase activity and bone loss in men. J Osteoporosis 2011; 2011:230671

  Ohlsson C and Vandenput L. The role of estrogens for male bone health. European Journal of Endocrinology 2009;

  160: 883-889 Prelevic GM. Osteoporosis in Men. J R Soc Med 2001: 94:620-

  623 Rochira V, Granata ARM, Madeo B, Zirilli I, Rossi G and Carani

  . Estrogens in males : what have we learned in the last 10 years? Asian Journal of Andrology 2005; 7(1): 3-20. Rochira V, Kara E and Carani C. The Endocrine Role of Estrogens on Human Male Skeleton.International Journal of

  Endocrinology 2015; article ID 165215 Sanyal A, Hoey KA, Modder UI, Lamsam JL, MCCready LK, Peterson JM, Achenbach SJ, Oursler MJ and Khosla S.

  Regulation of Bone Turnover by Sex Steroids in Men. J Bone Miner Res 2008; 23:705-714. Simpson ER and Davis SR. Aromatase and the Regulation of Estrogen Biosynthesis-Some New Perspectives.

  Endocrinology 2001; 142(11): 4589-4594 Sim Ie-Wen and Ebeling PR. Treatment of osteoporosis in men with bisphosphonates: rationale and latest evidence. Ther

  Adv Musculoskel Dis 2013; 5(5):259-267 Sinnesael M, Boonen S, Claessens F, Gielen E and Vanderschueren

  D. Testosterone and the Male Skeleton: A Dual Mode of Action. Journal of Osteoporosis 2011; Article ID 240328

  Slemenda CW, Longcope C, Zhou L, Hui SL, Peacock M and Johnston CC. Sex Steroids and Bone Mass in Older Men.

  J.Clin.Invest 1997;100(7):1755-1759 Sun L, Peng Y, Sharrow AC, Iqbal J, Zhang Z et al. FSH directly regulates bone mass. Cell 2006; 125:247-60 Vanderschueren D, Laurent MR, Claessens F et al. Sex steroid actions in male bone. Endocrine reviews 2014 Vanderschueren DL, Vandenput S, Boonen M K, Lindberg R, Bomillon and Ohlsson C. Androgen and Bone.

  Endocrinol Rev 2004; 25: 389-425

BAB 3 O STEOPOROSIS PADA L AKI- L AKI Osteoporosis primer pada laki-laki Proses osteoporosis ditandai dengan ketidakseimbangan

  remodeling tulang. Beberapa penyakit menyebabkan ketidakseimbangan pembentukan tulang oleh osteoblas dan resorpsi tulang oleh osteoklas yang meningkatkan risiko patah tulang. Lebih kurang 20-40% osteoporosis pada perempuan adalah osteoporosis sekunder, tetapi pada laki-laki lebih tinggi yaitu sekitar 65% adalah osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer pada laki-laki dapat disebabkan perubahan fungsi hormonal dan disfungsi osteoblas akibat proses penuaan dan osteoporosis idiopatik. Faktor genetik, hormonal, biokimiawi dan faktor lingkungan menjadi dasar dari patofisiologinya.

  Penurunan masa tulang karena proses penuaan merupakan proses yang kompleks. Proses penuaan berhubungan dengan peningkatan reactive oxygen species (ROS) yang berpengaruh terhadap pembentukan dan lama hidup sel osteoblas, osteoklas dan osteosit. Pada usia lanjut terjadi pengalihan dari osteoblastogenesis menjadi predominan adipogenesis di sumsum tulang belakang. Kondisi ini memberikan efek lipotoksik yang mempengaruhi pembentukan matriks tulang dan mineralisasi. Diferensiasi mesenchymal stem cell (MSC) menjadi osteoblas membutuhkan banyak faktor dan proses seperti pengerahan MSC, pelepasan faktor pertumbuhan, aktivasi faktor transkripsi, oxygen tension yang cukup, suplai aliran darah dalam sumsum tulang. Proses penuaan akan mempengaruhi faktor tersebut yang memfasilitasi MSC menjadi adiposit. Pada proses penuaan ekspresi peroxisome proliferator- activator gamma 2 (PPARγ2) untuk adipogenesis lebih dominan daripada faktor transkripsi runt-related transcription factor2 (Runx2), sehingga terjadi penurunan diferensiasi osteoblas. Telah dibuktikan bahwa PPARγ2 juga berperan sebagai regulator untuk osteoklastogenesis. Terdapat intermediate filament protein yaitu lamin A/C suatu protein nuclear envelope yang penting untuk regulasi diferensiasi osteoblas yang berperan untuk regulasi diferensiasi osteogenik MSC. Dengan bertambahnya usia ekspresi lamin A di osteoblas menurun sehingga terjadi penurunan proses pembentukan tulang.

  Pada proses penuaan terjadi penurunan kadar testosteron akibat degenerasi sel Leydig dan peningkatan SHBG. Degenerasi sel Leydig akibat kegagalan barier terhadap stres oksidatif yang menyebabkan supresi cAMP dan kerusakan enzim untuk menghasilkan T. Kondisi ini menyebabkan penurunan respon terhadap stimulasi LH dan penurunan produksi T. Hipogonadisme pada laki-laki mengakibatkan terjadi osteopenia atau osteoporosis. Pada usia lanjut terjadi penurunan sekresi growth hormone (GH) dari hipofisis anterior (anterior pituitary), terjadi penurunan GH 14-15% per dekade yang mengakibatkan penurunan produksi IGF -1 dan IGF-2 dari hepar. Peningkatan SHBG berhubungan dengan penurunan GH dan IGF-1 Penurunan IGF-1 dan IGF-2 sistemik dan lokal mengakibatkan penurunan masa tulang, demikian pula jika terjadi peningkatan IGF-binding protein serum (IGFBP-2).

  

Gambar 2. Diferensiasi mesenchymal stem cell

Keterangan: MSC : mesenchymal stem cell, PPARγ2 : peroxisome proliferator-

activator gamma 2 , Runx2: runt related transcription factor2

  Peningkatan glukokortikoid endogenous dan eksogenous menurunkan fungsi osteoblas. Pada usia lanjut ekspresi enzim 11 beta-hydroxysteroid dehydrogenase isoenzyme mengakibatkan konversi kortison menjadi kortisol aktif dan kondisi ini menyebabkan terjadi hiperkortikolisme relatif dan penurunan masa tulang. Penurunan kekuatan otot pada usia lanjut disertai penurunan BMD menyebabkan osteoporosis dan peningkatan risiko patah tulang. Usia lanjut berhubungan dengan penurunan aktifitas fisik dan pembebanan mekanik. Penurunan pembebanan mekanik menyebabkan penurunan fungsi osteoblas, penurunan sekresi OPG dan peningkatan ekspresi dan sekresi RANKL, IL-1, IL-6, IL-11 dan TNFα. Proses ikatan RANKL ke RANK memfasilitasi osteoklastogenesis.

  Proses penuaan disertai faktor intrinsik dan ekstrinsik berpengaruh terhadap penurunan masa tulang. Faktor intrinsik seperti faktor genetik, PBM, kelainan komponen selular tulang, faktor hormonal, biokimiawi dan status vaskularisasi. Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi nutrisi, aktifitas fisik, kondisi medis komorbid, dan pemakaian obat-obatan. Setelah dekade ke empat dari kehidupan terjadi penurunan pembentukan tulang periosteal dan pada saat yang bersamaan terjadi peningkatan jumlah unit remodeling di tulang endosteal yang menigkatkan resorpsi tulang endosteal sehingga hasil akhir dari proses ini adalah penipisan tulang kortikal, peningkatan porositas kortikal, penipisan dan hilangnya hubungan antar tulang trabekula, dengan akibat kualitas dan kekuatan tulang menurun. Pada laki-laki pembentukan tulang periosteal lebih besar dan tidak bergantung pada resorpsi tulang endosteal, sehingga penurunan masa tulang kortikal pada laki-laki lebih kecil daripada perempuan. Studi cross-sectional dan observasional pada laki- laki usia lanjut menunjukkan bahwa korelasi estrogen dan BMD lebih kuat daripada korelasi testosteron dan BMD dan defisiensi estrogen lebih berperan untuk terjadinya penurunan masa tulang daripada defisiensi testosteron. Beberapa studi telah dibuktikan penurunan estradiol meningkatkan risiko patah tulang.

  Hipovitaminosis D meningkat dengan bertambahnya usia, akibat perubahan pola hidup dan penurunan sintesis kutaneus. Lebih dari 80% vitamin D berasal dari sintesis di kulit, cholecalciferol dikonversi menjadi bentuk aktif 1,25-dihydroxyvitamin D3 atau 1,25(OH)D3 di hepar dan ginjal. Di sel organ ginjal terjadi hidroksilasi vitamin D dengan enzim 1- α hydroxylase dibawah regulasi PTH. Bentuk aktif vitamin D ini berikatan dengan reseptor nuklear vitamin D (VDR), dan di sel intestin atau usus kecil aktivasi VDR akan meningkatkan absorpsi kalsium dan mempertahankan kadar kalsium sehingga dapat memperbaiki mineralsisasi tulang. Penurunan asupan kalsium meningkatkan PTH dan lebih banyak vitamin D dikonversi menjadi 1,25(OH)D3 yang akan mestimulasi aktivitas osteoklas untuk resorpsi, sehingga kalsium dan fosfor darah akan meningkat.

  Pada usia lanjut osteoblas memodifikasi lingkungan dengan stimulasi peningkatan sitokin pro-inflamasi, faktor pertumbuhan dan protease yang meningkatkan aktifitas osteoklas. Fungsi osteosit juga menurun pada proses penuaan, sehingga fungsi osteosit sebagai mekanosensor untuk deteksi perubahan aliran cairan interstisial dalam kanalikuli akibat pembebanan mekanik dan deteksi perubahan kadar hormon pembebanan mekanik mengalami penurunan. Osteosit mensekresi sclerostin (SOST) glikoprotein, inhibitor poten osteoblastogenesis. Pada proses penuaan terjadi peningkatan sekresi SOST yang mengikat ko-reseptor LRP5 dan LRP6 yang akan mencegah ko lokalisasi frizzled protein dan sinyal Wnt, sehingga osteoblastogenesis menurun. Selain itu SOST juga berperan untuk regulasi efek latihan fisik.

  Osteoporosis idiopatik terjadi pada usia muda, sampai saat ini patogenesisnya belum diketahui dengan jelas tetapi faktor genetik berperan. Akhir-akhir ini para ahli menyadari bahwa osteoporosis merupakan kelainan multifaktorial yang kompleks disebabkan interaksi faktor lingkungan dan faktor genetik. Contoh faktor genetik yang menyebabkan osteoporosis diantaranya mutasi gen aromatase, gen RE, gen RA, gen VDR , gen reseptor PTH, gen IL-6, TGF-β dan IGF-1, gen lipoprotein receptor-related protein 5 (LRP5), gen RANK, gen protein matrik tulang (Col1A1). Pada osteoporosis idiopatik ditandai dengan keterlambatan masa pubertas, yang menunjukkan bahwa waktu pubertas merupakan determinan PBM yang dapat memprediksi densitas tulang pada kehidupan berikutnya. Osteoporosis idiopatik terjadi pada 50% kasus osteoporosis pada laki-laki, ditandai dengan hilangnya fungsi osteoblas, konsentrasi IGF- 1 dan IGFBP-3 yang rendah. Disamping itu juga ditemukan defisiensi parsial atau relatif hormon estrogen. Jika terjadi terjadi defek ekspresi RE, terjadi gangguan respon pada sel osteoblas.

  Osteoporosis Sekunder pada Laki-Laki

  Lebih dari 50% kasus osteoporosis pada laki-laki adalah osteoporosis sekunder. Tiga penyebab terbesar osteoporosis sekunder adalah : pemakaian glukokortikoid jangka panjang; hipogonadisme ( sering terjadi pada terapi supresif hormon dengan gonadotropin-releasing hormone atau GnRH pada kanker prostat ) dan asupan alkohol berlebihan. Tabel 1 menunjukkan beberapa etiologi osteoporosis sekunder pada laki-laki yang merupakan faktor risiko tinggi terjadinya patah tulang.

  Tabel 1. Penyebab osteoporosis sekunder pada laki-laki

  Terapi glukokortikoid jangka panjang (>5mg/hari selama > 3 bulan)