BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS - SIFAT KEPRIBADIAN DAN TIME PRESSURE SEBAGAI PEMODERASI HUBUNGAN STRES KERJA DAN PERILAKU DISFUNGSIONAL AUDIT (Studi Kasus Pada KAP Di Yogyakarta) - UMBY repository

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1.1 Teori Atribusi (Attribution Theory)

  Setiap perilaku seseorang tentunya didasari atas berbagai penyebab atau motif yang melandasi terjadinya perilaku tersebut. Berbagai penjelasan mengenai penyebab atau motif ini dijelaskan menggunakan Teori Atribusi (Gibson et al. 2011). Teori ini mengacu pada bagaimana seseorang menjelaskan penyebab perilaku oranglain atau dirinya sendiri (Ardiansah, 2014), yang ditentukan apakah dari internal atau eksternal (Robbin, 2010) maka akan terlihat pengaruhnya terhadap individu.

  Penyebab perilaku tersebut dalam persepsi social lebih dikenal dengan istilah dispositional attributions (Penyebab Internal) dan situational attributions (Penyebab Eksternal) (Robbin, 2010). Penyebab internal cenderung mengacu pada aspek perilaku individual, sesuatu yang telah ada dalam diri seseorang seperti sifat pribadi, persepsi diri, kemampuan, dan motivasi. Sedangkan penyebab eksternal lebih mengacu pada lingkungan yang mempengaruhi perilaku seseorang, seperti kondisi social, nilai sosial, dan pandangan masyarakat. Teori ini juga menunjukan bahwa kinerja yang diharapkan dimasa mendatang disebabkan oleh penyebab Kesuksesan maupun kegagalan pada pelaksanaan tugas sebelumnya. Teori ini digunakan untuk menilai atribusi perilaku eksternal auditor dalam kaitannya dengan stress kerja, dan sifat kepribadian seorang auditor. (Gabrielle, 2007).

2.1.2 Teori Kepribadian (Personality Theory)

  Sebagai suatu cabang dari ilmu psikologi, teori kepribadian membahas mengenai hubungan sifat dan karakteristik individu, proses perkembangan psikologis seseorang, dan menjelaskan berbagai perbedaan individu yang satu dan individu lainnya, serta menjabarkan sifat manusia dalam berperilaku (Lindrianasari et al. 2012). Pada penelitian ini, teori kepribadian digunakan untuk menjelaskan pengaruh sifat kepribadian dan

  

locus of control pada hubungan stres kerja dan perilaku disfungsional audit.

  Penelitian atas sifat kepribadian sering digunakan sebagai prediktor kinerja dan perilaku seseorang. Sifat merupakan pondasi dasar kepribadian individu yang melandasi pemikiran, perasaan, dan perilaku seseorang (Barrick dan Mount, 2011). Konsep sifat kepribadian yang sering digunakan adalah The Big Five Personality atau The Big Five Inventory. Model ini menggambarkan karakteristik individu yang menonjolkan ciri-ciri suatu kepribadian (Barrick dan Mount, 2011), diterapkan pada budaya yang berbeda serta dari waktu ke waktu (Hampson dan Goldberg, 2006). Konsep ini membagi kepribadian menjadi lima dimensi, yaitu :

1. Extraversion (E)

  Faktor pertama adalah extraversion, atau bisa juga disebut faktor dominan-patuh (dominance-submissiveness). Faktor ini merupakan dimensi yang penting dalam kepribadian, dimana extraversion ini dapat memprediksi banyak tingkah laku sosial. Menurut (Beehr 2009), seseorang yang memiliki faktor extraversion yang tinggi, akan mengingat semua interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih banyak orang dibandingan dengan seseorang dengan tingkat extraversion lebih rendah. Dalam berinteraksi, mereka juga akan lebih banyak memegang kontrol dan keintiman. Per grop mereka juga dianggap sebagai orang-orang yang ramah, fun-loving, affectionate, dan talkative.

  Extraversion dicirikan dengan efek positif seperti memiliki

  antusiasme yang tinggi, senang bergaul, memiliki emosi yang positif, energik, tertarik dengan banyak hal, ambisius, workaholic juga ramah terhadap orang lain. Extraversion memiliki tingkat motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama dan juga dominan dalam lingkungannya Extraversion dapat memprediksi perkembangan dari hubungan sosial. Seseorang yang memiliki tingkat extraversion yang tinggi dapat lebih cepat berteman daripada seseorang yang memiliki tingkat

  

extraversion yang rendah.Extraversion mudah termotivasi oleh perubahan,

  variasi dalam hidup, tantangan dan mudah bosan. Sedangkan orang-orang

  Seorang auditor yang memiliki sifat kepribadian extraversion atau kepribadian “E” yang tinggi akan cenderung memiliki sifat banyak bicara, energik, semangat, memiliki emosi yang positif, menyukai tantangan, mudah bergaul, serta cepat beradaptasi dengan lingkungan sekitar (Judge et al,. 2012). Sifat kepribadian ini sangat mendukung profesi akuntan publik karena dewasa ini profesi auditor dituntut untuk mampu berinteraksi dan berkomunikasi secara personal personal dengan tim kerja selama melakukan penugasan audit (Briggs et al., 2007).

  2. Agreeableness (A) Agreeableness dapat disebut juga social adaptibility atau likability

  yang mengindikasikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Berdasarkan value survey, seseorang yang memiliki skor agreeableness yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki value suka membantu, forgiving, dan penyayang. Namun, ditemukan pula sedikit konflik pada hubungan interpersonal orang yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi, dimana ketika berhadapan dengan konflik, self esteem mereka akan cenderung menurun (Goldberg, 2010). Selain itu, menghindar dari usaha langsung dalam menyatakan kekuatan sebagai usaha untuk memutuskan konflik dengan orang lain merupakan salah satu ciri dari seseorang yang memiliki tingkat

  Pria yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi dengan penggunaan power yang rendah, akan lebih menunjukan kekuatan jika dibandingkan dengan wanita. Sedangkan, orang-orang dengan tingkat

  

agreeableness yang rendah cenderung untuk lebih agresif dan kurang

  kooperatif. Pelajar yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi interaksi yang lebih tinggi dengan keluarga dan jarang memiliki konflik dengan teman yang berjenis kelamin berlawanan.

  Sifat kepribadian agreeableness atau kepribadian “A” digambarkan sebagai pribadi yang menyenangkan, memiliki rasa toleransi dan memaafkan yang tinggi, perhatian, serta kooperatif (Goldberg, 2010).

  

Agreeableness identik dengan penciptaan hubungan baik dengan

  meminimalkan konflik interpersonal, memelihara kerjasama, dan melakukan negosiasi untuk menyelesaikan konflik. Hasil penelitian Skyrme et el. (2005) menunjukan bahwa kepribadian ini berpengaruh negatif pada kinerja auditor. Dalam penelitian ini, peneliti menduga bahwa auditor yang berkepribadian “A” lebih kooperatif dalam melaksanakan penugasan meskipun mengalami stres kerja yang tinggi. Selain itu, kemungkinan auditor untuk melakukan penyimpanganperilaku sangat kecil, mengingat auditor tidak menginginkan terjadinya konflik baik dengan rekan kerja, atasan, maupun klien.

  3. Neuroticism (N) Neuroticism adalah dimensi kepribadian yang menilai kemampuan

  seseorang dalam menahan tekanan atau stress. Karakteristik Positif dari

  

Neuroticism disebut dengan Emotional Stability (Stabilitas Emosional),

  Individu dengan Emosional yang stabil cenderang Tenang saat menghadapi masalah, percaya diri, memiliki pendirian yang teguh. Sedangkan karakteristik kepribadian Neuroticism (karakteristik Negatif) adalah mudah gugup, depresi, tidak percaya diri dan mudah berubah pikiran (Hampson 2006).

  Oleh karena itu, Dimensi Kepribadian Neuroticism atau Neurotisme yang pada dasarnya merupakan sisi negatif ini sering disebut juga dengan dimensi Emotional Stability (Stabilitas Emosional) sebagai sisi positifnya, ada juga yang menyebut Dimensi ini sebagai Natural Reactions (Reaksi Alami). Seseorang yang memiliki kepribadian ini cenderung kaku atas tanggung jawab terhadap partner kerja ketika ingin mencapai suatu tujuan serta keinginan untuk mendominasi (Denissen dan Panke, 2008). Penelitian ini menduga bahwa auditor yang memiliki kepribadian Neuroticism yang tinggi lebih cepat merasakan ketegangan, kecermasan, dan depresi apabila mengalami stres kerja yang tinggi sehingga menimbulkan pemikiran negatif yang mengarah pada penyimpangan perilaku audit.

4. Oppenners (O)

  Dimensi Kepribadian Opennes to Experience ini mengelompokan individu berdasarkan ketertarikannya terhadap hal-hal baru dan keinginan untuk mengetahui serta mempelajari sesuatu yang baru. Karakteristik positif pada Individu yang memiliki dimensi ini cenderung lebih kreatif, Imajinatif, Intelektual, penasaran dan berpikiran luas. Sifat kebalikan dari “Openness” ini adalah individu yang cenderung konvensional dan nyaman terhadap hal- hal yang telah ada serta akan menimbulkan kegelisahan jika diberikan tugas-tugas baru.

  Sifat kepribadian Opennes atau kepribadian “O” memiliki sifat ingin tahu, berwawasan luas, imajinatif, terbuka dengan berbagai cara-cara baru (Goldberg, 2010). Kepribadian ini mampu mengatasi masalah dalam waktu yang singkat, informasi terbatas dan ketidakpastian yang tinggi yang disebabkan mempunyai ide cemerlang (McAdams dan Pals, 2006). Meskipun demikian, Griffin dan Hesketh (2008) menyatakan bahwa kepribadian ini berpengaruh pada prestasi kerja hanya dalam kondisi tertentu. Jaffar et al. (2011) menemukan bahwa kepribadian ini berpengaruh pada kemampuan untuk mendeteksi kecurangan, serta berpengaruh negatif pada kinerja

  . Peneliti menduga bahwa auditor dengan kepribadian “O” yang tinggi akan mampu mengatasi stres kerja dikarenakan auditor memiliki inovasi, kecerdasan, dan teknik-teknik baru memecahkan masalah, sehingga

5. Conscientiousness (C)

  Individu yang memiliki Dimensi Kepribadian Conscientiousness ini cenderung lebih berhati-hati dalam melakukan suatu tindakan ataupun penuh pertimbangan dalam mengambil sebuah keputusan, mereka juga memiliki disiplin diri yang tinggi dan dapat dipercaya. Karakteristik Positif pada dimensi adalah dapat diandalkan, bertanggung jawab, tekun dan berorientasi pada pencapain. Sifat kebalikan dari Conscientiousness adalah individu yang cendurung kurang bertanggung jawab, terburu-buru, tidak teratur dan kurang dapat diandalkan dalam melakukan suatu pekerjaan.

  Sifat kepribadian conscientiousness ata u kepribadian “C” ditandai oleh sifat-sifat seperti dapat diandalkan, rajin, disiplin, memiliki kompetensi dan tanggung jawab (Goldbreg, 2010). Auditor dengan kepribadian “C” yang tinggi memiliki motivasi kuat untuk bekerja (Zimmerman, 2008), berorientasi pada tugas, dan berorientasi pada karir jangka panjang. Studi menunjukan conscientiousness berhubungan negatif dengan perilaku menyimpang dalam organisasi (Farhadi et al., 2011). Hasil berbeda ditunjukan Robertson et al. (2012) yang menunjukan bahwa kepribadian “C” tidak berpengaruh terhadap kinerja dan kemampuan untuk mendeteksi kecurangan atas karakteristik yang melekat pada kepribadian “C” tersebut,

  Peneliti menduga bahwa auditor memiliki tanggung jawab dan kedisiplinan yang tinggi dalam melaksanakan tugas meskipun mengalami stes pekerjaan, serta mempertimbangkan untuk tidak melakukan perilaku menyimpang karena berorientasi pada keberhasilan karir untuk jangka panjang.

2.1.3 Time Preassure

  Anggaran waktu merupakan hal yang penting bagi semua KAP karena menyediakan dasar untuk memperkirakan biaya audit, pengalokasian staf ke dalam pekerjaan audit, dan sebagai dasar untuk mengevaluasi kinerja auditor (Basuki et al 2006) serta sangat diperlukan bagi auditor untuk melaksanakan tugasnya agar dapat memenuhi permintaan klien secara tepat waktu dan menjadi kunci keberhasilan karir auditor dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, selalu ada tekanan bagi auditor untuk menyelesaikan audit dalam waktu yang telah dianggarkan. Auditor yang menyelesaikan tugas melebihi waktu yang telah dianggarkan cenderung dinilai memiliki kinerja yang buruk oleh atasannya atau sulit mendapatkan promosi. Kriteria untuk memperoleh peringkat yang baik adalah pencapaian anggran waktu. Akhir-akhir ini tuntutan tersebut semakin besar dan menimbulkan time pressure.

  Time Preassure memiliki dua dimensi yaitu time budget preassure

  (keadaan dimana auditor dituntuk untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran waktu yang telah disusun, atau terdapat pembatasan waktu dalam anggaran yang sangat ketat) dan time deadline preassure (kondisi dimana auditor dituntut untuk menyelesaikan tugas audit tepat pada waktunya)

  Fungsi anggaran dalam Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah sebagai dasar estimsi biaya audit. Alokasi staf ke masing-masing pekerjaan dan evaluasi kinerja staf auditor (Suryanita, et al 2007). Time Preassure yang diberikan oleh KAP kepada auditornya bertujuan untuk mengurangi biaya audit. Semakin cepat waktu pengerjaan audit, maka biaya pengerjaan audit akan semakin kecil. Keberadaan time preassure ini memaksa auditor untuk menyelesaikan tugas secepatnya atau sesuai dengan anggaran waktu yang telah ditetapkan. Pelaksanaan prosedur audit seperti ini tentu saja tidak akan sama hasilnya bila prosedur audit dilakukan dalam kondisi tanpa time

  

preassure . Agar menepati anggran waktu yang telah ditetapkan, ada

  kemungkinan bagi auditor untuk melakukan pengabaian terhadap prosedur audit bahkan melakukan disfungsional audit seperti perilaku

  Underreporting of Time (URT).

  Perilaku Underreporting of Time (URT) merupakan tindakan auditor dengan memanipulasi laporan waktu audit yang digunakan untuk pelaksanaan tugas audit tertentu. Perilaku URT terjadi ketika auditor tidak melaporkan dan membebankan seluruh waktu audit yang digunaka untuk menyelesaikan tugas audit yang dibebankan KAP (Chelven Chengabroyan, 2011). Perilaku URT terutama dimotivasi oleh keinginan auditor menyelesaikan tugas audit dalam batas anggaran waktu audit dalam usaha mendapatkan evaluasi kinerja personal yang tinggi. dilakukan melalui tindakan seprti; mengerjakan audit dengan menggunakan waktu personal (misalnya bekerja pada jam istirahat), mengalihkan waktu audit yang digunakan untuk pelaksanaan tugas audit tertentu pada tugas lain pengerjaannya dilakukan pada waktu yang bersamaan, dan tidak melaporkan waktu lembur yang digunakan dalam mengerjakan prosedur atau tugas audit tertentu (Chelven Chengabroyan, 2011).

2.1.4 Stres Kerja

  Stres adalah pengalaman yang bersifat internal yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis dalam diri seseorang sebagai akibat dari faktor lingkungan eksternal, organisasi atau orang lain.

  Menurut Robbins (2010), Stress adalah suatu kondisi dinamis dimana seorang individu dihadapkan pada peluang, tuntutan, atau sumber daya yang terkait dengan apa yang dihasratkan oleh individu itu dan yang hasilnya dipandang tidak pasti. Menurut Lawrense (2007) menyatakan bahwa stres hanya berhubungan dengan kejadian-kejadian disekitar lingkungan kerja yang merupakan bahaya atau ancaman bahwa perasaan-perasaan yang terutama relevan mencakup rasa takut, cemas, rasa bersalah, marah, sedih, putus asa dan bosan.Menurut Beehr dan Newman dalam Luthans (2009) menyatakan kondisi yang muncul dari interaksi antar manusia dan pekerjaan serta dikarakterisasikan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang dari fungsi normal mereka.

  Luthans (2012) menyebutkan bahwa penyebab stres (stressor) terdiri atas empat hal utama, yakni:

  1. Extra organizational stressors, yang terdiri dari perubahan sosial/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, dan keadaan komunitas/tempat tinggal.

  2. Organizational stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi.

  3. Group stressors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup, kurangnya dukungan sosial, serta adanya konflik intraindividu, interpersonal, dan intergrup.

  4. Individual stressors, yang terdiri dari terjadinya konflik dan ketidak jelasan peran, serta disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, kontrol personal, learned helplessness, self-efficacy, dan daya tahan psikologis.

  Sedangkan Davidson (2010) membagi penyebab stres dalam pekerjaan menjadi dua, yakni:

  1. Group stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari situasi maupun keadaan di dalam perusahaan, misalnya kurangnya kerjasama antara pegawai, konflik antara individu dalam suatu kelompok, maupun kurangnya dukungan sosial dari sesama pegawai di dalam perusahaan.

  2. Individual stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari dalam diri individu, misalnya tipe kepribadian seseorang, kontrol personal dan tingkat kepasrahan seseorang, persepsi terhadap diri sendiri, tingkat ketabahan dalam menghadapi konflik peran serta ketidak jelasan peran.

  Selanjutnya (Chen, 2006), memaparkan terdapat dua faktor penyebab atau sumber munculnya stres atau stres kerja karyawan, yaitu faktor lingkungan kerja dan faktor personal Faktor lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan sosial di lingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal bisa berupa tipe kepribadian, peristiwa/pengalaman pribadi maupun kondisi sosial ekonomi keluarga di mana pribadi berada dan mengembangkan diri.

  Sedangkan menurut Briggs (2007) stres kerja disebabkan:

  1. Adanya tugas yang terlalu banyak. Banyaknya tugas tidak selalu menjadi penyebab stres, akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia bagi pegawai.

  2. Supervisor yang kurang pandai. Seorang pegawai dalam menjalankan tugas sehari-harinya biasanya di bawah bimbingan sekaligus mempertanggungjawabkan kepada supervisor. Jika seorang supervisor pandai dan menguasai tugas bawahan, ia akan membimbing dan memberi

  3. Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan. Pegawai biasanya mempunyai kemampuan normal menyelesaikan tugas kantor/ perusahaan yang dibebankan kepadanya. Kemampuan berkaitan dengan keahlian, pengalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, pihak atasan seringkali memberikan tugas dengan waktu yang terbatas. Akibatnya, pegawai dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai tepat waktu yang ditetapkan atasan.

  4. Kurang mendapat tanggungjawab yang memadai. Faktor ini berkaitan dengan hak dan kewajiban pegawai. Atasan sering memberikan tugas kepada bawahannya tanpa diikuti kewenangan (hak) yang memadai. Sehingga, jika harus mengambil keputusan harus berkonsultasi, kadang menyerahkan sepenuhnya pada atasan.

  5. Ambiguitas peran. Agar menghasilkan performan yang baik, pegawai perlu mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan serta scope dan tanggungjawab dari pekerjaan mereka. Saat tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran.

  6. Perbedaan nilai dengan perusahaan. Situasi ini biasanya terjadi pada para pegawai atau manajer yang mempunyai prinsip yang berkaitan dengan profesi yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi (altruisme). kerja adalah terhambatnya promosi, ketidakjelasan tugas dan wewenang serta penilaian/evaluasi staf, ketidakpuasan gaji yang diterima.

  8. Perubahan tipe pekerjaan, khususnya jika hal tersebul tidak umum. Situasi ini bisa timbul akibat mutasi yang tidak sesuai dengan keahlian dan jenjang karir yang di lalui atau mutasi pada perusahaan lain, meskipun dalam satu grup namun lokasinya dan status jabatan serta status perusahaannya berada di bawah perusahaan pertama.

  9. Konflik peran. Terdapat dua tipe umum konflik peran yaitu (a) konflik peran intersender, dimana pegawai berhadapan dengan harapan organisasi terhadapnya yang tidak konsisten dan tidak sesuai; (b) konflik peran intrasender, konflik peranini kebanyakan terjadi pada pegawai atau manajer yang menduduki jabatan di dua struktur. Akibatnya, jika masing-masing struktur memprioritaskan pekerjaan yang tidak sama, akan berdampak pada pegawai atau manajer yang berada pada posisi dibawahnya, terutama jika mereka harus memilih salah satu alternative.

2.1.5 Perilaku Disfungsional

  Perilaku disfungsional adalah setiap tindakan yang dilakukan auditor

dalam pelaksanaan program audit yang dapat mereduksi atau menurunkan

kualitas audit secara langsung maupun tidak langsung (Arens et, al 2008:43).

Perilaku disfungsional berpengaruh terhadap kualitas audit (Fitrini 2012).

  

(masa tenure pendek) dianggap kurang menyeluruh (kurang mendalam),

karena hal ini membutuhkan beberapa waktu untuk mengidentifikasi semua

resiko audit potensial untuk klien baru, sehingga mengurangi kualitas audit.

2.2 Penelitian Terdahulu

  Penelitian sebelumnya mengenai peran sifat kepribadian sebagai variabel pemoderasi pada hubungan stres kerja dan perilaku kerja yang kontra produktif telah dilakukan oleh Bowling dan Eschleman (2010). Penelitian yang menggunakan tiga sifat kepribadian yaitu conscientiousness,

  

agreeableness , dan negative affectivity tersebut menunjukkan bahwa ketiga

  variabel sifat kepribadian tersebut mampu memoderasi hubungan stres kerja dan perilaku kerja yang kontra produktif. Selain sifat kepribadian, locus of

  

control juga merupakan salah satu karakteristik kepribadian yang diduga

memengaruhi perilaku auditor.

  Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Basuki dan Krisna (2006) mengenai pengaruh tekanan anggaran waktu terhadap perilaku disfungsional dan kualitas audit. Responden penelitiannya adalah auditor yang bekerja pada KAP di Surabaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa time preassure berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku disfungsional audit.

  Penelitian yang dilakukan oleh Kartika dan Wijayanti (2007) yang menguji pengaruh locus of control terhadap penerimaan perilaku pada penerimaan perilaku disfungsional audit, namun berpengaruh negatif terhadap kinerja auditor.

  Dari Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ni Wayan Rustiarini (2013) mencoba memberikan titik pandang baru pada hubungan stres kerja dan perilaku auditor dengan memasukkan sifat kepribadian dan locus of

  

control sebagai variabel pemoderasi. Perbedaan sifat kepribadian

  menyebabkan auditor memiliki persepsi yang berbeda atas stres kerja yang dialami. Suatu tugas dapat dirasa sulit bagi seorang auditor, namun tidak bagi auditor yang lain, tergantung karakteristik kepribadian auditor tersebut. Perilaku disfungsional merupakan refleksi dari kepribadian individu atas terjadinya stres kerja yang dikarenakan kompleksitas, tekanan, konflik serta ambiguitas peran. Hasil penelitian Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, secara umum sifat kepribadian dan locus of control yang diposisikan sebagai variabel pemoderasi mendukung teori yang ada. Sifat kepribadian openness to experience dan conscientiousness, serta ekternal dan internal locus of control memiliki kemampuan untuk memperlemah hubungan stres kerja dan perilaku disfungsional audit yang terjadi dalam penugasan audit. Meskipun demikian, sifat kepribadian extraversion,

  

agreeableness , dan neuroticism tidak memiliki peran pada hubungan stres

kerja dan perilaku disfungsional audit.

  Penelitian selanjutnya yang di lakukan oleh Rustiarini (2013),

  

the big five personality dan locus of control. Sebagai responden dalam

  penelitian ini adalah auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik (KAP) di Bali. Teknik analisis yang digunakan untuk menguji tujuh hipotesis yang dirumuskan adalah moderated regressions analysis. Hasil pengujian menunjukan bahwa stress kerja berpengaruh positif pada perilaku disfungsional audit. Selain itu, hanya sifat kepribadian openness to

  

experience serta locus of control internal dan eksternal yang berpengaruh

  pada hubungan stress kerja dan perilaku disfungsional audit, namun sifat kepribadian lainnya seperti conscientientiousnes , extraversion ,

  

agreeableness , dan neuroticism tidak berpengaruh pada hubungan stress kerja

  dan perilaku disfungsional. Hal ini mengindikasikan bahwa kepribadian auditor penting untuk mengurangi kemungkinan terjadinya perilaku disfungsional audit.

  Dari penelitian yang dilakukan oleh Sososutikno (2010) mengenai hubungan tekanan anggaran waktu dengan perilaku disfungsional serta pengaruhnya terhadap kualitas audit. Objek penelitian adalah auditor ahli yang bekerja pada BPKP di Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukan bahwa anggaran waktu memiliki hubungan yang positif terhadap perilaku premature

  

sign-off dan underreporting of time dan audit quality reduction behavior

(AQRB).

  Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Basuki dan Krisna (2006) Hasil penelitian menunjukan bahwa time preassure berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku disfungsional pada auditor.

  Penelitian yang dilakukan oleh Chen dan Silverthone (2008) mengambil sampel pada KAP di Jakarta mengenai perngaruh stress kerja pada perilaku auditor menunjukan ketidak konsistenan hasil. Stress kerja menyebabkan terjadinya ketidakpuasan kerja dan menurunkan kinerja, hingga perilaku yang menyimpang (Lawrence dan Robinson, 2007). Meskipun demikian, stress kerja terkadang diciptakan untuk memberikan tantangan bagi seseorang agar dapat meningkatkan kinerjanya (Moore, 2012).

  Chen et al. (2006) menyatakan bahwa auditor yang mengalami stress pada tingkat tertentu justru dapat meningkatkan kinerja yang lebih baik.

  Beberapa peneliti sebelumnya telah mempertimbangkan faktor psikologi seperti sifat kepribadian dan locus of control sebagai prediktor pada kinerja dan perilaku auditor. Sifat kepribadian merupakan prediktor atas prestasi kerja (Barrick 2011), serta perilaku disfungsional di tempat kerja (Donnely et al. 2012) menunjukkan bahwa locus of control eksternal berpengaruh pada perilaku disfungsional audit.

2.3 Pengembangan Hipotesis

2.3.1 Pengaruh Stress Kerja Terhadap Perilaku Disfungsional Audit

  Stres kerja (job stress) diartikan sebagai berbagai faktor di tempat kerja yang dianggap dapat menimbulkan ancaman bagi individu (Briggs et al., 2007). Stres kerja yang berlebihan menyebabkan terjadinya gangguan stabilitas emosional individu sehingga mengarah pada tidak terkontrolnya perilaku individu (Lawrence dan Robinson, 2007). Stres juga terjadi ketika individu secara fisik dan emosional tidak dapat menangani tuntutan di tempat kerja yang melampaui kemampuan mereka dalam melaksanakan pekerjaan tersebut, serta tidak mampu beradaptasi dengan situasi dan lingkungannya (Ugoji dan Isele, 2009).

  Beberapa penelitian empiris menunjukkan bahwa stres kerja berhubungan dengan perilaku disfungsional audit. Donelly et al. (2012) menyatakan bahwa sikap auditor yang menerima perilaku disfungsional merupakan indikator adanya perilaku disfungsional aktual. Perilaku yang mempunyai pengaruh langsung adalah premature sign off dan replacing audit

  

procedures , sementara perilaku yang tidak langsung mempengaruhi adalah

underreporting of time . Berdasarkan uraian tersebut, maka dirumuskan

  hipotesis sebagai berikut: H1: Stres kerja berpengaruh pada perilaku disfungsional audit.

  

2.3.2 Sifat Kepribadian Memoderasi Stres Kerja terhadap Perilaku

Disfungsional Audit

  Sifat merupakan pondasi dasar kepribadian individu yang melandasi pemikiran, perasaan, dan perilaku seseorang (Barrick dan Mount, 2011).

  Konsep sifat kepribadian yang sering digunakan adalah The Big Five

  

Personality atau The Big Five Inventory (Adams, 2006). Model ini

  menggambarkan karakteristik individu yang menonjolkan ciri-ciri suatu kepribadian (Barrick dan Mount, 2011), diterapkan pada budaya yang berbeda serta dari waktu ke waktu (Hampson dan Goldberg, 2006). Berdasarkan uraian tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2 : Sifat Kepribadian Memoderasi Hubungan Stres Kerja terhadap Perilaku Disfungsional Audit.

  

2.3.3 Time Preassure memoderasi Stres Kerja Terhadap Perilaku

Disfungsional Audit

  Adanya time pressure yang diberikan oleh kantor akuntan publik kepada auditornya bertujuan untuk mengurangi biaya audit. Semakin cepat waktu pengerjaan audit, maka biaya pelaksanaan audit akan semakin kecil. Keberadaan time pressure ini memaksa auditor untuk menyelesaikan tugas secepatnya / sesuai dengan anggaran waktu yang telah ditetapkan (Sososutikno, 2010). Pelaksanaan prosedur audit ini tentu saja tidak akan kemungkinan bagi auditor untuk melakukan pengabaian terhadap prosedur audit bahkan pemberhentian prosedur audit. Semakin besar pressure terhadap waktu pengerjaan audit, semakin besar pula kecenderungan untuk melakukan disfungsional audit. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis sebagai berikut: H3 : Time Preassure memoderasi hubungan stres kerja terhadap perilaku disfungsional audit.

2.4 Kerangka Pemikiran

  Stres kerja (job stress) diartikan sebagai berbagai faktor di tempat kerja yang dianggap dapat menimbulkan ancaman bagi individu (Briggs et al., 2007). Stres kerja yang berlebihan menyebabkan terjadinya gangguan stabilitas emosional individu sehingga mengarah pada tidak terkontrolnya perilaku individu (Lawrence dan Robinson, 2007). Stres juga terjadi ketika individu secara fisik dan emosional tidak dapat menangani tuntutan di tempat kerja yang melampaui kemampuan mereka dalam melaksanakan pekerjaan tersebut, serta tidak mampu beradaptasi dengan situasi dan lingkungannya (Ugoji dan Isele, 2009). Penilaian atas sifat kepribadian sering digunakan sebagai prediktor kinerja dan perilaku seseorang. Sifat merupakan pondasi dasar kepribadian individu yang melandasi pemikiran, perasaan, dan perilaku seseorang (Barrick dan Mount, 2011). Konsep sifat kepribadian yang sering digunakan adalah The Big Five Personality atau karakteristik individu yang menonjolkan ciri-ciri suatu kepribadian (Barrick dan Mount, 2011), diterapkan pada budaya yang berbeda serta dari waktu ke waktu (Hampson dan Goldberg, 2010). Konsep ini membagi kepribadian menjadi lima dimensi yaitu openness to experience, conscientiousness,

  extraversion , agreeableness, dan neuroticism.

  Anggaran waktu merupakan hal yang sangat penting bagi semua KAP karena menyediakan dasar untuk memperkirakan biaya audit, pengalokasian staf ke dalam pekerjaan audit, dan sebagai dasar untuk mengevaluasi kinerja auditor Basuki et al (2006) serta sangat diperlukan bagi auditor dalam melaksanakan tugasnya untuk dapat memenuhi permintaan klien secara tepat waktu dan menjadi salah satu kunci keberhasilan karir auditor di masa depan. Oleh karena itu, selalu ada tekanan bagi auditor untuk menyelesaikan audit dalam waktu yang telah dianggarkan. Auditor yang menyelesaikan tugas melebihi waktu normal yang telah dianggarkan cenderung dinilai memiliki kinerja yang buruk oleh atasannya atau sulit mendapatkan promosi. Kriteria untuk memperoleh peringkat yang baik adalah pencapaian anggaran waktu. Akhir-akhir ini tuntutan tersebut semakin besar dan menimbulkan time pressure. Dari paparan diatas maka peneliti menggambarkan kerangka pemikiran yang akan di bahas adalah sebagai berikut :

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

  Sifat Kepribadian (X2)

  Perilaku Disfungsional

  Audit (Y) Stres Kerja

  (X1) Time Preassure

  (X3)