Potret Orang Kebumen Tinjauan Filosofis

Potret Orang Kebumen; Tinjauan Filosofis Nilai Sosial-Harmoni Orang Jawa Mengenai
Perbedaan Agama di Indonesia
Oleh Alfi Arifian, SS
Perbedaan seringkali memicu konflik terbuka yang kemudian memantik amarah dan
keberingasan massa hingga membawa bencana. Kerusuhan Tolikara merupakan salah satu
dampak gesekan sosial yang disebabkan oleh perbedaan ideologi; Islam dan Kristen (Gereja
Injili di Indonesia – GIDI) hingga menyebabkan pembakaran Masjid Baitul Mustaqin pada 17
Juli 2015. Gesekan ini dipicu hal sepele, takbiran, saat pelaksaan salat Ied yang dianggap
mengganggu kegiatan GIDI pada saat bersamaan. Paska Kerusuhan Tolikara pada 28 Agustus
2015, rombongan FKUB kabupaten Sorong mengunjungi Kebumen dalam rangka kunjungan
kerja dan studi banding. Ketua FKUB kabupaten Sorong, KH. Ahmad Anderson Meage, S.Pd.I
mengonfirmasi adanya gesekan sosial di Tolikara. Dia tidak membantah adanya perselisihan
antara pemeluk Islam dan Nasrani di Papua, tapi dia juga menghimbau agar masyarakat tidak
ikut terprovokasi pemberitaan media yang seringkali subjektif dalam menyampaikan informasi.
Filosofi Sosial-Harmoni Orang Jawa
Pada dasarnya orang Indonesia sangat toleran, namun masyarakat paling toleran di
Indonesia adalah orang Jawa. Orang jawa percaya pada nilai filsafat luhur ‘harmoni’. Konsep
‘harmoni’ inilah yang memicu ide penyatuan dari perbedaan latar belakang suku, ras, budaya dan
agama di Indonesia. Tahun 1928, semua organisasi kepemudaan daerah semasa pemerintahan
kolonial Belanda sepakat membentuk gagasan penyatuan (satu bahasa, satu bangsa) dari masingmasing latar belakang yang berbeda. Peristiwa bersejarah ini dikenal sebagai ‘Sumpah Pemuda’.
Di era Kebangkitan Nasional gagasan membangun negara (state) di bawah satu bendera dan satu

bahasa diperkuat oleh hasrat ingin melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Semangat
kedaerahan pun lebur ke dalam nasionalisme. Terwujudnya negara yang satu melalui semangat
nasionalisme ini sangat kuat didukung kaum cendekia masyarakat Jawa. Sebagai masyarakat
dominan, tanpa dukungan campur tangan orang Jawa sangat mungkin gagasan membangun
Indonesia tidak akan terwujud. Hal ini diperkuat karakteristik orang Jawa yang menjadi faktor
dominan terwujudnya nasionalisme, yakni harmony-oriented.

Karakter orang Jawa yang sangat menjaga harmoni ini ditunjukkan dengan beberapa
contoh kecil di masyarakat. Orang Jawa enggan menegur secara vulgar, sebab hal ini dianggap
sebagai perwujudan disharmoni yang akan merusak keseimbangan sosial, yakni memicu konflik.
Pada zaman dahulu cara menegurnya menggunakan kidung, syair, cerita legenda, ataupun
dengan sindiran yang santun tanpa menunjuk batang hidung. Orang Jawa takut bila nanti
menyinggung perasaan orang lain, sebab ketersinggungan tersebut bisa memupuk dendam di
kemudian hari dan akan menciptakan kerenggangan hubungan. Hal ini sudah dianggap
melanggar nilai harmoni yang sudah mengakar dalam keyakinan luhur masyarakat Jawa. Orang
Jawa juga tidak bisa menolak secara terbuka. Menolak apapun sudah dianggap perwujudan
disharmoni. Salah satu penolakan yang diharuskan oleh masyarakat Jawa adalah menolak pujian.
Makanya apabila datang pujian pasti dibalas dengan menghina diri sendiri (self-mockery).
Sebagai contoh, “Sampeyan kok pinter yo iso mlebu STAN? Ah, mboten pak, namung bejan”
(Kamu kok pinter ya bisa diterima di STAN? Ah, enggak pak, cuma lagi beruntung). Karena bagi

orang Jawa menolak termasuk sikap yang mengarah pada konflik sosial, maka orang Jawa pun
tidak menolak perbedaan, namun mereka juga tidak serta merta menerimanya. Contoh masuknya
pengaruh eksternal di kalangan masyarakat Jawa tidak buru-buru ditentang atau ditolak, bahkan
cenderung diterima secara terbuka asal pengaruh ini tidak mengganggu stabilitas masyarakat
serta tidak menghilangkan kearifan lokal. Bila menilik sejarah maka pengaruh eksternal selalu
diterima melalui proses adaptasi, asimilasi, serta modifikasi. Oleh karena itu, agama Islam di
Indonesia tidaklah sama dengan Islam di Semenanjung Arabia. Ketika masuk nusantara pertama
kali pada abad 16, agama Islam telah terpengaruh nilai lokal melalui proses akulturasi dengan
agama Hindu. Akulturasi ini sangat erat dengan figur Sunan Kalijaga, salah satu Wali Sanga yang
menggunakan dakwah halus dengan menyusupi nilai-nilai Islam dalam kebudayaan lokal
khususnya masyarakat Jawa, sehingga Islam secara perlahan bisa diterima masyarakat karena
telah menyatu dengan kebudayaan setempat.
Potret Orang Kebumen dalam Menyikapi Perbedaan
Kebumen sering menjadi tujuan studi banding untuk isu-isu toleransi dan pluralisme,
termasuk kunjungan FKUB kabupaten Sorong. Sebagai masyarakat Jawa, orang-orang Kebumen
memiliki karakteristik representatif dari manifestasi toleransi dan pluralisme dikarenakan nilai
sosial harmoni. Salah satu kelompok masyarakat di Kebumen yang paling menonjol adalah

Gombong. Istilah Wong Gombong pun lebih dikenal ketimbang nama kabupaten Kebumen.
Gombong mewakili toleransi di kabupaten Kebumen dengan kehidupan harmoni masyarakatnya.

Bisa dikata Gombong adalah miniatur Kota Roma. Ada benteng kolonial (Benteng Van der
Wijck) di barak militer Dodik yang mirip Roman fort, ada sistem pengairan di muara Waduk
Sempor yang mirip Roman aqueduct, serta tempat-tempat ibadah di setiap komun yang mewakili
Roman temple. Untuk menjaga ketertiban kelompok masyarakat terbagi dalam komun-komun,
meski mayoritas warganya membaur. Ada Kauman untuk orang-orang Arab and Pecinan untuk
orang-orang etnis Tionghoa. Ini bukan upaya pengucilan ras, tetapi untuk menjaga ketertiban dan
menghindari friksi atau konflik sosial. Kota Gombong memiliki gereja Katolik tertua, Santo
Mikael, yang dibangun pada tahun ‘60an serta yayasan Pius Bhakti Utama yang berlokasi di
Jalan Kartini dimana area ini berdampingan dengan masyarakat Muslim. Sejak gereja Santo
Mikael berdiri belum pernah ada gesekan sosial lantaran perbedaan ideologi. Padahal gereja tua
itu telah membunyikan loncengnya bertahun-tahun setiap jam, dan setiap menjelang Idul Fitri
pemuda Muslim pun merayakan malam takbiran dengan takbir keliling dan sambil menabuh
bedug, namun hal ini tidak pernah menjadi pemicu gesekan sosial.
Sebagai garda kelompok religius dominan, masing-masing pemimpin umat Islam di
Kebumen memahami interpretasi ayat Al-Quran “lakum dinukum waliyadin” (bagimu agamamu
dan bagiku agamaku) sebagai solusi konsesif terhadap konsep Pancasila. Oleh karenanya,
masyarakat Kebumen memahami bahwa perbedaan merupakan identitas Indonesia melalui motto
“Bhineka Tunggal Ika”. Ayat tersebut memang menyiratkan multi-interpretasi sehingga
pemahaman terhadap ayat tersebut tidaklah sebatas pemaknaan literal tetapi bisa juga melalui
kajian sosio-historis tentang toleransi perbedaan agama di masa kenabian Muhammad SAW,

bahwa beliau mengajarkan umatnya untuk menghormati pemeluk agama lain. Perkembangan
Islam sejak masa awal dakwah hingga mencapai hampir seluruh wilayah gurun Arabia ditandai
dengan “Fathu Makkah” (Pembukaan atau Kemenangan kota Mekkah). Dengan kontrol
kekuasaan tanah Arab oleh pasukan Muslim atas kota Mekkah, maka umat Islam berhasil
melaksanakan hukum syariat yang di dalamnya memuat aspek kebebasan beragama, bahwa
pemeluk agama selain Islam akan dilindungi dan dibolehkan mempertahankan praktik
ibadahnya. Mereka tidak dipaksa untuk pindah agama dengan syarat mereka harus mematuhi
hukum yang ditetapkan pemerintah (Islamic governance) dan wajib memenuhi kewajiban
membayar pajak (kaum dzimmi).

‘Keporo Ngalah’ adalah Akar Harmoni
Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia di bawah
pemerintahan republik demokrasi dan Pancasila. Indonesia tidak menganut Hukum Islam secara
konstitusional melainkan hukum tersebut hanya dipahami secara organisatoris dan individual.
Bahkan sebagai kelompok religius dominan, Islam di Indonesia, khususnya di Kebumen tidak
menerapkan hukum berdasarkan syariat Islam yang malahan praktik terhadapnya dianggap
melanggar konstitusi, termasuk memaksa non-muslim untuk masuk Islam, menerapkan hukum
‘had’ maupun ‘qishash’ (atas kasus pembunuhan, pencurian, miras, perzinahan) ataupun
memaksa non-muslim untuk membayar pajak (sebagai kaum dzimmi), sebab mayoritas orang
Indonesia yang didominasi orang Jawa sangat toleran. Toleransi dan pluralisme hanya bisa

dicapai berdasarkan konsep sosial harmoni. Jika harmoni telah terbangun di masyarakat, niscaya
tidak akan pernah ada gesekan sosial ataupun konflik di negeri ini.
Tidaklah salah bila belajar dari filsafat sosial-harmoni orang Jawa, bahwa untuk menjadi
ksatria setiap individu menunjukkan sikap ‘keporo ngalah’ (mengalah) bila dihadapkan dengan
situasi konflik. Dalam falsafah Jawa yang merujuk harmoni, ‘keporo ngalah’ merupakan akar
harmoni. ‘Keporo ngalah’ merupakan penguasaan diri atas hati untuk bersabar guna meraih
ketentraman hidup di masyarakat. Sama halnya dengan hadis Nabi Muhammad SAW yang
menyebutkan bahwa “orang terkuat adalah orang yang bisa menguasai hati untuk bersabar”.
Mengalah lebih meninggikan martabat ketimbang adu urat yang di kemudian hari akan merusak
keseimbangan sosial (konflik sosial berupa tawuran antar geng ataupun perang ideologis) seperti
nilai luhur yang dipercaya orang Jawa.

*Penulis adalah pengamat sosial-budaya
(Telah dimuat di Harian Pagi Kebumen Ekspres pada 23 Juli 2016)
***