IMPLEMENTASI BATAS USIA MINIMAL DALAM PERKAWINAN BERDASARKAN UU NOMOR 1 TAHUN 1974

  IMPLEMENTASI BATAS USIA MINIMAL DALAM PERKAWINAN BERDASARKAN UU NOMOR 1 TAHUN 1974 (Jurnal) Oleh BOGA KHARISMA 1112011080 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017

  

IMPLEMENTASI BATAS USIA MINIMAL DALAM PERKAWINAN

BERDASARKAN UU NOMOR 1 TAHUN 1974

Oleh

Boga Kharisma, Elman Eddy Patra, Eka Deviani,

  

Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung

Jalan Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung, 35145

HP 082186837998

Email : bogakharisma3@gmail.com

  

Abstrak

  Pemerintah mengatur ketentuan mengenai batas usia perkawinan melalui Pasal

  7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Berdasarkan pasal tersebut perempuan hanya boleh melangsungkan perkawinan jika telah mencapai usia 16 tahun dan usia 19 tahun bagi laki-laki dengan ketentuan mendapat izin dari orang tua. Namun, ketentuan batas usia tersebut ternyata mengalami disharmonisasi dengan Undang-undang Perlindungan Anak yang menentukan usia di bawah 18 tahun merupakan usia anak-anak dan perkawinan pada usia tersebut harus dicegah. Ketidakselarasan pada kedua undang-undang ini diperkuat oleh adanya sistem pluralisme batas usia dalam beberapa pasal pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimanakah implementasi terhadap batas usia minimal dalam perkawinan sesuai UU Nomor 1 Tahun 1974 dan apakah faktor yang menjadi hambatan dalam mengimplementasikan batas usia minimal dalam perkawinan sesuai UU Nomor 1 Tahun 1974. Dalam skripsi ini juga dikaji pengaturan tentang perkawinan di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, dengan spesifikasi penelitian deskriptif kualitatif. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari observasi serta wawancara kepada responden yang telah ditetapkan, sedangkan data sekunder diperolah melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa pada usia 16 tahun seseorang belum mencapai kematangan baik secara psikis maupun biologis, sehingga harus dicegah adanya perkawinan pada usia tersebut karena berpotensi pada eksploitasi seksual, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya.

  Kata Kunci : Implementasi, Perkawinan, Batas Usia Minimal.

  

IMPLEMENTATION OF THE MINIMUM AGE LIMITS IN MARRIAGE

ACCORDANCE WITH ORDINANCE NO. 1 OF 1974

By

Boga Kharisma, Elman Eddy Patra, S.H., M.H., Eka Deviani, S.H., M.H.

Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung

Jalan Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung, 35145

  

HP 082186837998

Email : bogakharisma3@gmail.com

Abstract

  Government set conditions about limit age marriage through Article 7 Constitution No. 1 Year 1974. Based on the clause can only be female into marriage if already reach age 16 year and age 19 year for men with the provisions of permission from parents. However, the age limit provisions The apparently experiencing disharmony with the Child Protection Act which determines the age under 18 years old is the age of the children and marriage at that age should be prevented. Unconformity in both laws This is reinforced by a system of pluralism, the age limit in several articles in Law No. 1 of 1974.

  The problems discussed in this thesis is how the implementation of the minimum age of marriage in accordance with Law No. 1 of 1974 and Factors on poses in implementing the minimum age of marriage in accordance with Law No. 1 of 1974. In this thesis also examines arrangements about marriage in Indonesia.

  The method used in this study is empirical juridical, with specification of qualitative descriptive study. The data collected are primary data and secondary data. Primary data from observations and interviews with respondents who have been assigned, while secondary data obtained through library research.

  The results of this study mention that at age 16 a person yet reached maturity good in psychological nor biological, so that must prevented their marriage at that age because of the potential to exploitation sexual, discrimination, and other abuses. Keywords: Implementation, Marriage, Minimum Age Limit.

I. PENDAHULUAN

  Pernikahan merupakan gerbang awal untuk membentuk sebuah keluarga yang merupakan unit terkecil dari sebuah masyarakat. Keluarga yang merupakan unit terkecil dari masyarakat terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya. Tujuan pernikahan tidak terbatas pada hubungan biologis semata. Pernikahan memiliki tujuan yang lebih jauh dari itu, yaitu mencakup tuntunan hidup yang penuh kasih sayang sehingga manusia bisa hidup tenang dalam keluarga dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan mulia dari perkawinan tentunya calon mempelai harus telah masuk jiwa raganya sebelum melangsungkan perkawinan. Kematangan ini diharapkan dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berfikir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Dalam membahas tentang kedewasaan, kita tidak bisa membatasi diri dengan satu atau dua bidang keilmuan saja, namun terpaksa kita harus melakukan pengkajian-pengkajian secara interdisipliner karena kedewasaan sendiri dipergunakan oleh hampir semua bidang ilmu sosial, sebutlah diantaranya: ilmu sosiologi, ilmu hukum, ilmu politik, ilmu ekonomi bahkan dalam ilmu agama pun persoalan kedawasaan menjadi hal yang prinsip dan menentukan. Dalam lapangan ilmu hukum sendiri kedewasaan dapat menentukan keabsahan dari suatu perbuatan hukum. Seseorang yang belum dewasa dipandang sebagai subjek yang belum mampu bertindak sendiri dihadapan hukum, sehingga tindakan hukumnya harus diwakili oleh orang tua/walinya. Keanekaragaman dalam menentukan batas usia kedewasaan diakibatkan oleh tidak adanya patokan yang dapat digunakan secara akurat untuk menentukan batas kedewasaan manusia. Usia dan tindakan perkawinan memang bisa menjadi salah satu penentu kedewasaan. Namun tidak selalu menjadi ukuran yang tepat karena kedewasaan sendiri merupakan suatu keadaan dimana seseorang telah mencapai tingkat kematangan dalam berfikir dan bertindak, sedangkan tingkat kematangan itu hadir pada masing- masing orang secara berbeda-beda, bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa mungkin saja sampai dengan akhir hayatnya manusia tidak pernah mengalami kedewasaan karena kedewasaan tidak selalu berbanding lurus dengan usia. Memang tidak semua peraturan perundang-undangan menyebutkan secara tegas tentang batas kedewasaan. Namun dengan menentukan batasan umur bagi suatu perbuatan hukum tertentu, maka sesungguhnya faktor kedewasaanlah yang sedang menjadi ukuran. Misalnya dalam beberapa undang-undang hanya mencantumkan batasan umur bagi mereka yang disebut anak, sehingga di atas batas umur tersebut harus dianggap telah dewasa, atau undang-undang membolehkan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan tertentu setelah melampaui batas umur yang ditentukan. Semua pengaturan tersebut pada akhirnya tertuju pada maksud dan pengertian tentang kedewasaan. Kemampuan berfikir secara konseptual berdasarkan norma dan sistem nilai membuat peradaban manusia terus berkembang dengan pesat. Dalam kaitannya dengan pola dan tingkat peradaban manusia itu, terdapat suatu kondisi pada diri manusia yang selalu dikaitkan dengan kualitas mental dan kematangan pribadi, kondisi tersebut tidak lain adalah kedewasaan (adulthood). Kedewasaan selalu menjadi ukuran dalam setiap tindakan dan tanggung jawab yang diemban, sehingga kedewasaan menjadi faktor yang sangat penting dalam setiap interaksi sosial, baik yang menimbulkan akibat hukum maupun yang hanya sebatas dalam ruang lingkup hubungan masyarakat.

  Hampir dalam setiap bidang kehidupan, kedewasaan selalu menjadi ukuran tanggung jawab dari sebuah perbuatan. Hal ini karena hanya seseorang yang telah dewasa saja yang dianggap perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna, hal ini dapat kita lihat dari beberapa ketentuan hukum yang memberikan kwalifikasi pada perbuatan yang pada prinsipnya hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah dewasa.

  Namun disisi lain, ada fenomena pernikahan di bawah umur cukup menarik menjadi perhatian berbagai kalangan, hal tersebut terjadi karena sebenarnya fenomena pernikahan di bawah umur seperti fenomena gunung es yang kelihatan sedikit diatasnya padahal dalam dataran faktanya sangat banyak terjadi di kalangan masyarakat Indonesia. Pernikahan di bawah umur ini menimbulkan banyak masalah sosial dan di lain sisi juga menimbulkan masalah hukum. Kontroversi pernikahan di bawah umur memang menjadi perdebatan terutama berkenaan dari batasan usia minimal bagi seorang anak untuk menikah. Selama ini yang terjadi adalah persinggungan diantara dua sistem hukum, yaitu hukum Islam dan hukum nasional terutama yang masing- masing mengatur tentang pernikahan dan hak-hak atas anak sebagai pihak yang menjadi subyek dalam pernikahan tersebut. Beberapa tahun yang lalu masih segar dalam ingatan kita tentang kyai kaya yang menikahi seorang perempuan yang masih belia berumur 12 Tahun. Berita ini menarik khalayak karena merupakan hal yang tak lazim. Apapun alasannya, perkawinan tersebut ditinjau dari berbagai aspek sangat merugikan kepentingan anak dan sangat membahayakan kesehatan anak akibat dampak dari pernikahan dini. Ada beberapa penyebab yang mendorong terjadinya pernikahan dini yaitu faktor ekonomi, pendidikan, orang tua, media massa dan faktor adat. Faktor ekonomi sangat mempengaruhi terjadinya pernikahan dini dimana si wanita dengan keterbatasan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan seringkali terjebak dalam situasi yang membuat ia melakukan pernikahan dini, disamping itu pendidikan juga berperan penting sebagai pembelajaran bagi si anak untuk mendapatkan pemahaman mengenai pernikahan, orang tua dalam keluarga sangat penting untuk menanamkan fondasi yang kuat bagi anak untuk menentukan tujuan hidup anak agar tidak menyimpang. Media massa yang semakin maju membuat si anak bebas mengakses media sosial, televisi, sehingga dibutuhkan pengawasan extra agar si anak terkontrol. Dan adat budaya setempat berpengaruh dalam proses pembentukan kepribadian si anak.

  Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah jika subjek hukumnya cakap bertindak, pengertian cakap bertindak berhubungan erat dengan arti kedewasaan, karena menurut Pasal 1330 angka 1 KUHPerdata orang yang tidak cakap bertindak itu salah satunya adalah mereka yang belum dewasa. Dalam hukum perkawinan juga disyaratkan adanya batas kedewasaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

  Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Pendekatan normatif atau pendekatan kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.

  Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.

  Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti uraikan, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: a.

  Bagaimanakah implementasi terhadap batas usia minimal dalam perkawinan sesuai UU Nomor 1 Tahun 1974 ? b. Faktor-faktor apasajakah yang menjadi hambatan dalam mengimplementasikan terhadap batas usia minimal dalam perkawinan sesuai UU Nomor 1 Tahun 1974 ?

  berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis bentukan lembaga perundang-undangan, kodifikasi, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan seterusnya dan norma hukum tertulis buatan pihak

  3 Norma hukum yang

  bahwa ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik mengangkat judul skripsi ini tentang “Implementasi Terhadap Batas Usia Minimal Dalam Perkawinan Sesuai Dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”.

  2 a.

  • –pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, laporan hukum, catatan hukum dan Rancangan Undang-Undang).

II. METODE PENELITIAN

  Suatu Pendekatan Praktek , Rineka Cipta,

  menggunakan metode maka akan menemukan jalan yang baik untuk memecahkan suatu masalah. Setelah masalah diketahui maka perlu diadakan pendekatan masalah tersebut dan langkah selanjutnya adalah menentukan metode yang akan diterapkan, dalam hal ini mencakup teknik mencari, mengumpulkan dan menelaah, serta mengolah data tersebut. 1 Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian

  1

  Metode adalah cara yang dipakai untuk mencapai tujuan. Metode penelitian merupakan suatu cara yang digunakan dalam mengumpulkan data penelitian dan membandingkan dengan standar ukuran yang telah ditentukan.

  b.

  Pendekatan Yuridis Empiris yaitu pendekatan mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai perilaku nyata

  (actual behavior), sebagai gejala

  sosial yang sifatnya tidak tertulis, yang dialami setiap orang dalam hubungan hidup bermasyarakat. Pendekatan Empiris tidak bertolak belakang dari hukum positif tertulis (perundang-undangan) sebagai data sekunder, tetapi dari perilaku nyata sebagai data primer yang diperoleh dari lokasi penelitian lapangan (field

  researh).

  4 2 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 32. 3 Soerjono Soekanto, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat , Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13 –14. 4 Data yang telah diolah, dianalisis dengan menggunakan cara deskriptif kualitatif maksudnya adalah analisis data yang digunakan dengan menjabarkan secara rinci kenyataan atau keadaan atas suatu objek dalam bentuk kalimat guna memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap permasalahan yang diajukan sehingga memudahkan untuk ditarik kesimpulan.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Implementasi Batas Usia Minimal Dalam Perkawinan Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974

  Perkawinan sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan adalah untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan. Selanjutnya menurut Seraden selaku kepala kantor Kementerian Agama Kota Bandar Lampung, ketentuan batas usia perkawinan ini didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Batas usia minimal perkawinan sesuai UU Perkawinan adalah Perempuan 16 Tahun dan Pria 19 Tahun. Ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan UU Perkawinan bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa dan raganya agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa harus berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Selain itu masalah perkawinan berkenaan dengan masalah kependudukan. Hal ini apabila terlalu rendah usia perkawinan bagi seorang wanita akan mengakibatkan tingginya laju pertumbuhan penduduk. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi penentuan usia perkawinan yaitu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Counter Legal Draft (CLD) menurut Seraden. Pada dasarnya tujuan pernikahan adalah tergantung pada diri individu masing-masing yang akan melakukan pernikahan, akan tetapi ada tujuan yang memang di inginkan oleh setiap orang yang melakukan pernikahan, yaitu untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin, dan juga menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat. Sedangkan tujuan yang lain dari pernikahan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani maupun rohani manusia juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga pencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat. Namun tujuan pernikahan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut : a.

  Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi.

  b.

  Untuk membentengi akhlak yang luhur.

  c.

  Mengikuti Sunnah Nabi dan Menjalankan perintah Allah.

  Disamping itu manfaat yang utama dari pernikahan adalah Membangun rumah tangga bahagia, damai dan teratur, tidak gampang rusak dan putus, akan tetapi terikat dengan kokoh dan kuat, Membangun keluarga yang sah, Pernikahan dapat menyembuhkan penyakit jiwa, menimbulkan gairah kerja dan rasa bertanggung jawab, menghubungkan tali silaturahmi dan persaudaraan serta menimbulkan keberanian, keuletan dan kesabaran dan lain sebagainya. Contoh kasus yang terjadi di Kabupaten Tulang Bawang, Dimana kasus pernikahan yang terjadi di wilayah kerja Kantor Urusan Agama (KUA) Tulang Bawang, Kepala KUA Tulang Bawang Bapak Ahmad Muslim bersikukuh pada keyakinan apa yang telah dilakukan anak buahnya sesuai prosedur dan tidak menyalahi aturan, menurut beliau, mereka hanya melaksanakan tugas sesuai amar keputusan Pengadilan Agama (PA) Menggala menikahkan Sdr Rudi Yanto bin Suratman dengan Indri Ratminah binti Budi, demikian menurutnya pada saat berlangsung akad nikah tersebut dirinya tidak sedang ditempat, ia juga mengakui jika Bapak Jidi (P3N Tirta Makmur) belum konsultasi dengannya terkait pernikahan ini. Seperti yang telah diberitakan media sebelumnya bahwa pernikahan Indri Ratminah warga kampung Tirta Makmur Kecamatan Tulang Bawang Tengah telah membuat polemiik sejumlah kalangan. Putri dari Budi bin Margono tersebut baru berumur 15 Tahun, tetapi oleh pembantu Petugas Pencatat Nikah KUA (P3N) setempat telah dinikahkan dengan alasan adanya amar keputusan PA Nomor 0007/Pdt.P/2014/PA.TLB tertanggal 21 April 2014 perkara dispensasi kawin tingkat pertama yang diajukan Budi bin Margono (ayah Indri Ratmina) Dari data yang berhasil dihimpun dari KUA disinyalir ada permainan memalsukan identitas atau pernikahan dibawah tangan. Padahal ada Kepala Kampung yang mengakui warganya telah melangsungkan pernikahan tetapi pihaknya enggan memproses karena pengantin perempuannya masih dibawah umur.

  Menurut Ilman bahwa ada beberapa faktor yang menjadi hambatan dalam implementasi terhadap batas usia minimal perkawinan yaitu;

  Alasan orang tua segera menikahkan anaknya dalam usia muda adalah untuk segera mempersatukan ikatan kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-laki dan kerabat mempelai perempuan yang mereka inginkan bersama. Keinginan adanya ikatan tersebut akan membawa keuntungan- keuntungan bagi kedua belah pihak, yaitu dimana mempelai laki-laki setelah menikah tinggal di rumah mertua serta anak laki-laki tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bantuan tenaga kerja bagi mertuanya.

  Dimana perkawinan tersebut dilatar belakangi oleh pesan dari orang tua yang telah meninggal dunia (orang tua mempelai perempuan atau orang tua mempelai laki-laki) yang sebelumnya diantara mereka pernah mengadakan perjanjian sebesanan agar tali persaudaraan menjadi kuat. Selain itu untuk memelihara kerukunan dan kedamaian antar kerabat dan untuk mencegah adanya perkawinan dengan orang lain yang tidak disetujui oleh orang tua atau kerabat yang bersangkutan dengan dilaksanakannya perkawinan tersebut.

  2. Faktor Ekonomi

  Alasan orang tua menikahkan anaknya dalam usia muda dilihat dari faktor ekonomi adalah sebagai berikut: a.

  Untuk sekedar memenuhi kebutuhan atau kekurangan pembiayaan hidup orang tuanya, khususnya orang tua mempelai wanita. Sebab menyelenggarakan perkawinan anak- anaknya dalam usia muda ini, akan diterima sumbangan-sumbangan berupa barang, bahan, ataupun sejumlah uang dari handai taulannya yang dapat dipergunakan selanjutnya untuk menutup biaya kebutuhan kehidupan sehari-hari untuk beberapa waktu lamanya.

B. Faktor-faktor Penghambat dalam Implementasi terhadap Batas Usia Minimal dalam Perkawinan sesuai UU No. 1 Tahun 1974

1. Faktor Lingkungan

  b.

  Untuk menjamin kelestarian ataupun perluasan usaha orang tua mempelai laki-laki dan orang tua mempelai perempuan sebab dengan diselenggarakannya perkawinan anaknya dalam usia muda dimaksudkan agar kelak si anak dari kedua belah pihak itu yang sudah menjadi suami istri, dapat menjamin kelestarian serta perkembangan usaha dari kedua belah pihak orang tuanya, dimana usaha-usaha tersebut merupakan cabang usaha yang saling membutuhkan serta saling melengkapi. Bahkan setelah perkawinan usia muda tersebut terjadi, lazimnya langkah-langkah pendekatan sudah mulai diambil, sedemikian rupa sehingga kedua cabang usaha tersebut berkembang menjadi satu usaha yang lebih besar.

  Di dalam melangsungkan suatu perkawinan, di sini wanita tidak mengukur usia berapa dia dapat melangsungkan pernikahan. Hal ini berdasarkan pada suatu kriteria yaitu apakah dia sudah mencapai tingkat perkembangan fisik tertentu. Kenyataan tersebut disebabkan karena hukum adat itu tidak mengenal batas yang tajam antara seseorang yang sudah dewasa dan cakap hukum ataupun yang belum. Di mana hal tersebut berjalan sedikit demi sedikit menurut kondisi, tempat, serta lingkungan sekitarnya. Di sini yang dimaksud sudah dewasa adalah mencapai suatu umur tertentu sehingga individu yang bersangkutan memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri antara lain :

  b) Cakap untuk mengurus harta benda dan keperluan sendiri.

  c) Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta mempertanggungjawabkan segala- galanya sendiri.

  4. Faktor Agama

  Agama untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sepanjang zaman. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia juga disertai dengan pedoman agama, hal ini untuk menjaga agar manusia tidak hancur ke dalam perbuatan dosa, dan disamping itu juga dibekali oleh akal sebagai alat untuk berpikir dan menalar segala permasalahan yang dihadapinya, salah satunya aspek yang diatur oleh agama adalah lembaga perkawinan. Lembaga perkawinan juga mempunyai andil besar dalam pernikahan seseorang. Tugas yang seharusnya dilakukan adalah menikahkan anak- anak yang sudah mempunyai kecukupan umur dan mempunyai kesiapan secara psikologis serta mempunyai kemampuan secara finansial yang bisa menunjang kehidupan rumah tangganya esok.

3. Faktor Sosial

  5. Faktor Pendidikan

  Rendahnya tingkat pendidikan menjadikan para remajatidak mengetahui berbagai dampak negatif dari pernikahan anak. Dengan demikian meraka menikah tanpa memiliki bekal yang cukup.Tentang dampak bagi kesehatan reproduksi, mereka tentu tidak tahu. Untuk itu perlu sosialisasi dampak negatif ini, karena rata-rata mereka hanya lulusan SD. Padahal pentingnya untuk memberikan pendidikan seks mulai anak berusia dini. Hal ini bertujuan agar anak nantinya setelah dewasa mengetahui betul perkembangan reproduksi mereka, bagaimana menjaga kesehatan reproduksi mereka, dan kapan atau pada usia berapa mereka sudah bisa memantaskan diri untuk siap melakukan hubungan yang sehat.

a) Sudah mampu untuk menjaga diri.

  6. Faktor Budaya

  Faktor budaya juga turut mengambil andil yang cukup besar, karena kebudayaan ini diturunkan dan sudah mengakar layaknya kepercayaan. Dalam budaya setempat mempercayai apabila anak perempuannya tidak segera menikah, itu akan memalukan keluarga karena dianggap tidak laku dalam lingkungannya. Atau jika ada orang yang secara finansial dianggap sangat mampu dan meminang anak mereka, dengan tidak memandang usia atau status pernikahan, kebanyakan orang tua menerima pinangan tersebut karena beranggapan masa depan sang anak akan lebih cerah, dan tentu saja ia diharapkan bisa mengurangi beban sang orang tua. Tak lepas dari hal tersebut, tentu saja banyak dampak yang tidak terpikir oleh mereka sebelumnya. Dengan adanya pembatasan usia perkawinan, Fungsi-fungsi pokok keluarga diharapkan berjalan dengan baik. Secara sosiologis, Seraden menyebutkan tujuh macam fungsi keluarga, antara lain:

  • – pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan undang
  • – undang terkait pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi
  •   1. Fungsi Biologis, perkawinan dilakukan untuk memperoleh keturunan yang sah baik menurut agama maupun negara;

    • – sanksi bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan resiko
    • >– resiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak dibawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya di harapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan anak
    • – anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak.

      2. Fungsi Edukatif, keluarga merupakan tempat pendidikan bagi semua anggota keluarga dalam aspek mental spiritual, moral, intelektual, dan profesional;

      3. Fungsi Religius, keluarga merupakan sarana penanaman nilai-nilai agama melalui pemahaman dan penyedaran serta praktik dalam kehidupan sehari- hari;

      4. Fungsi Protektif, keluarga menjadi tempat yang aman dari gangguan internal dan eksternal keluarga dan menangkan segala pengaruh negatif yang masuk ke dalamnya;

      5. Fungsi Sosialisasi, keluarga merupakan tempat mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik;

      6. Fungsi Rekreatif, keluarga merupakan tempat melepas lelah dan memberikan kesejukan dari berbagai aktifitas anggota keluarga;

      7. Fungsi Ekonomis, di dalam keluarga memiliki aktivitas mencari nafkah, pembinaan usaha, perencanaan anggaran, dan bagaimana memanfaatkan sumber penghasilan dengan baik, mendistribusikannya secara proporsional C.

       Strategi Pemecahan Masalah untuk Mengatasi Permasalahan Batas Usia Minimal Usia Perkawinan

      Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak Berikut ini adalah upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah pernikahan muda menurut Seraden, yaitu: a.

      Undang-undang perkawinan, Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan.

      Dalam Undang-undang Perkawinan

      bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.

      b.

      Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.

      c.

      Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

      d.

      Bimbingan kepada remaja dan kejelasan tentang sex education Pendidikan seks atau pendidikan mengenai kesehatan reproduksi (kespro) atau istilah kerennya sex education sudah seharusnya diberikan kepada anak-anak yang sudah beranjak dewasa atau remaja, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Ini penting untuk mencegah biasnya pendidikan seks maupun pengetahuan tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Materi pendidikan seks bagi para remaja ini terutama ditekankan tentang upaya untuk mengusahakan dan merumuskan perawatan kesehatan seksual dan reproduksi serta menyediakan informasi yang komprehensif termasuk bagi para remaja.

      e.

      Meninjau berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia, agaknya masih timbul pro-kontra di masyarakat, lantaran adanya anggapan bahwa membicarakan seks adalah hal yang tabu dan pendidikan seks akan mendorong remaja untuk berhubungan seks. Sebagian besar masyarakat masih memandang pendidikan seks seolah sebagai suatu hal yang vulgar.

      f.

      Berdasarkan sudut pandang psikologis, pendidikan seksual sangat diperlukan bagi perkembangan remaja, dengan harapan agar remaja tidak memiliki kesalahan persepsi terhadap seksualitas dan tidak terjebak pada perilaku-perilaku yang kurang bertanggungjawab baik dari segi kesehatan maupun psikologis.

      g.

      Memberikan penyuluhan kepada orang tua dan masyarakat. Memang mengubah suatu kepercayaan, dan budaya masayarakat tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Namun penyuluhan ini sangatlah penting agar para orang tua dan masyarakat mengetahui dampak apa saja yang dapat ditimbulkan karena pernikahan dini. Memang sebagian besar masyarakat atau orang tua segera menikahkan anaknya untuk melepas tanggung jawabnya untuk menfkahi sehingga dirasa dapat meringankan beban keluarga. Namun tanpa disadari, setiap satu remaja yang terjerumus dalam pernikahan dini faktanya menyumbangkan kemiskinan. Karena dalam usia dini, apalagi di pedesaan, para penduduknya tidak mempunyai perbekalan pendidikan dan keahlian yang dapat menunjang masa depan mereka. Kenyataan pun juga menunjukkan mereka pada akhirnya mengikuti orang tua karena belum mempunyai biaya untuk membeli rumah sendiri. Tak jarang juga akhirnya banyak pengangguran.

      h.

      Bekerja sama dengan tokoh agama dan masyarakat Kepercayaan atau pengetahuan baru yang datang pada masyarakat yang sudah mempunyai kebudayaan yang kuat biasanya sangat sulit untuk diterima oleh masyarakat tersebut. Oleh karena itu strategi perlu dilakukan, pada awalnya kita dapat melakukan pendekatan pada tokoh agama atau tokoh masyarakat yang ada di daerah setempat. Setelah itu kita dapat melakukan kerja sama dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat tersebut untuk menyuluhkan hal- hal yang sudah diketahuinya pada masyarakat. Dengan demikian, sesuatu yang baru itu akan mudah diterima oleh masyarakat setempat. Tentu ini mempunyai andil yang cukup besar dalam pengambilan keputusan.

      Berdasarkan uraian yang telah dikemukan pada pembahasan sebelumnya, maka kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.

      Ada tiga tujuan pembatasan usia menikah, antara lain: Pertama, menghapuskan kekaburan penafsiran batas minimal usia menikah, baik yang terdapat dalam hukum adat maupun hukum Islam. langkah ini menurut Ilman merupakan penerobosan hukum (exepressip

      verbis

      ) terhadap praktik perkawinan yang dijumpai di masyarakat. Kedua, mengatasi masalah kependudukan. Dengan adanya batas minimal ini Undang-Undang berupaya merekayasa menahan dan mengurangi laju penduduk. Ketiga, perlindungan terhadap kesehatan reproduksi perempuan. Batas minimal usia perkawinan yang rendah akan mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi, implikasinya angkat kematian ibu hamil juga akan mengalami peningkatan. Berdasarkan tujuan-tujuan ini, keduanya berkesempulan bahwa perkawinan pada usia dini sebisa mungkin dihindari karena membawa ekses negatif terhadap para pelakunya.

      2. Faktor yang menjadi hambatan dalam implementasi terhadap batas usia minimal perkawinan yaitu

      a. Faktor Lingkungan

      b. Faktor Ekonomi

      c. Faktor Sosial

      d. Faktor Agama

      e. Faktor Pendidikan

      f. Faktor Budaya 3. Strategi Pemecahan permasalahan untuk mengatasi batas usia minimal usia perkawinan yaitu Undang- undang perkawinan, Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.

    IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

      Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental. Bimbingan kepada remaja dan kejelasan tentang sex education Pendidikan seks atau pendidikan mengenai kesehatan reproduksi (kespro) atau istilah kerennya sex education sudah seharusnya diberikan kepada anak-anak yang sudah beranjak dewasa atau remaja, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Ini penting untuk mencegah biasnya pendidikan seks maupun pengetahuan tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Memberikan penyuluhan kepada orang tua dan masyarakat. Memang mengubah suatu kepercayaan, dan budaya masayarakat tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Namun penyuluhan ini sangatlah penting agar para orang tua dan masyarakat mengetahui dampak apa saja yang dapat ditimbulkan karena pernikahan dini. Memang sebagian besar masyarakat atau orang tua segera menikahkan anaknya untuk melepas tanggung jawabnya untuk menfkahi sehingga dirasa dapat meringankan beban keluarga. Namun tanpa disadari, setiap satu remaja yang terjerumus dalam pernikahan dini faktanya menyumbangkan kemiskinan. Karena dalam usia dini, apalagi di pedesaan, para penduduknya tidak mempunyai perbekalan pendidikan dan keahlian yang dapat menunjang masa depan mereka. Kenyataan pun juga menunjukkan mereka pada akhirnya mengikuti orang tua karena belum mempunyai biaya untuk membeli rumah sendiri. Tak jarang juga akhirnya banyak pengangguran.

      5.2 Saran

      Berdasarkan analisa dan kesimpulan atas permasalahan yang telah dibahas, maka yang menjadi saran penulis adalah : 1.

      Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak

    • –pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan undang
    • – undang terkait pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi
    • – sanksi bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan resiko
    • – resiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur kepada masyarakatSebaiknya Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Bandar Lampung mengoptimalkan unit layanan pengaduan konsumen.

      2. Diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak dibawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka 3. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya di harapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan anak

    • – anak Indonesia bisa lebih optimis
    dalam menatap masa depannya Peraturan Perundang Undangan: kelak.

      4. Lingkungan sangat Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Faktor mempengaruhi psikologis anak tentang Perkawinan sehingga harus ada kontrol sosial

       dalam pergaulan agar tidak terjerumus pergaulan bebas, Faktor ekonomi seringkali menjadi alasan orang tua untuk menikahkan anaknya dengan cepat, hal ini harus menjadi penanganan dan sosialisasi tokoh masyarakat setempat untuk Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 memberikan arahan kepada orang Tentang Kependudukan tua si anak, faktor agama mejadi pondasi kuat bagi si anak untuk

      Website

      menentukan kesiapan si anak untuk menikah namun perlu bimbingan orang tua, karena menikah adalah hal yang sakral dan perlu www.hkmperadilan.blogspot.com/2012/

      01/pluralisme-batas-kedewasaan- pertimbangan yang matang, si orang dalam.html tua pun harus memberikan pendidikan yang layak untuk si anak agar si anak dapat berpikir dua kali untuk menikah di usia muda.

    DAFTAR PUSTAKA

      Arikunto, Suharsimi, 2002, Prosedur

      Penelitian Suatu Pendekatan Praktek , Rineka Cipta, Jakarta

      Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum

      Dan Penelitian Hukum , PT. Citra

      Aditya Bakti, Bandung Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar

      Penelitian Hukum , Universitas

      Indonesia Press, Jakarta Soekanto, Soerjono, 2009, Penelitian

      Hukum Normatif Suat Tinjauan Singkat , Raja Grafindo Persada,

      Jakarta

Dokumen yang terkait

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PEMUTUSAN PIDANA PERKARA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (Studi Putusan Nomor 129/Pid.B/2016/PN.Gns)

0 0 15

STUDI KOMPARATIF DELIK KESUSILAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM

0 0 14

PERANAN PENYIDIK DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK TUNA RUNGU

1 1 13

PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM REHABILITASI TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Jakarta)

0 0 12

ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN DALAM KELUARGA (INCEST) (Studi Putusan 11PID2014PT.TK) Nova Selina Simbolon, Tri Andrisman, Donna Raisa Monica email: selina_novayahoo.co.id

0 0 11

FUNGSI ANJING PELACAK SEBAGAI ALAT BANTU PENYIDIKAN DALAM MENDAPATKAN BARANG BUKTI TINDAK PIDANA Oldy Andrelin Newaherman , Diah Gusitiniati, Firganefi email: oldyandrelin_x5yahoo.com Abstrak - FUNGSI ANJING PELACAK SEBAGAI ALAT BANTU PENYIDIKAN DALAM MEN

0 0 14

ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN BARANG BUKTI TERHADAP PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN (STUDI PUTUSAN NOMOR 215/PID.B/2013/PN.KLD)

0 0 10

PERANAN KEPOLISIAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA PERAMPOKAN DAN PEMBUNUHAN BERENCANA PADA SATU KELUARGA (Studi di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Lampung) Oleh Fima Agatha, Diah Gustiniati, Firganefi (Email: fimaagathagmail.com) Abstrak -

0 0 11

KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA DALAM PEMUNGUTAN RETRIBUSI TEMPAT PEMAKAMAN UMUM NON MEWAH ( STUDI KASUS : TPU JOGLO BLOK A BALAD 004 SRENGSENG )

0 2 15

KEDUDUKAN HUKUM SURAT KETERANGAN PENDAFTARAN TANAH DALAM LELANG EKSEKUSI OBJEK HAK TANGGUNGAN

0 0 15