Surahman Cinu; Agama, Meliterisasi Dan Konflik (Kasus Poso, Sulawesi Tenggah)
AGAMA,MELITERISASI DAN KONFLIK (Kasus Poso, Sulawesi Tenggah) SURAHMAN CINU
E=lpdpsulawesitenggah@gmal.com UNIVERSITAS TADULAKO
Abstrak
Religious and cultural pluralism in society can initially Posoacculturation establish the values among migrants with indigenous peoples,on further developments, have taken place between the social disintegrationAmong of them, as a result of the escalation of conflicts horizontal, for a variety of interestsgrowing, especially the expansion of economic and political institutions apparatussecurity. (Military and police) and religious and cultural pluralism imagedas a zone of still volatile, so that the imaging strengthen.
The existence of a conflict region as a market force.A balanced division of strategic positions in government withrepresenting Christian and Muslim communities should be governed by clearlocal regulation and other rules or mechanisms in mind The conflict became a powerful issue.
The security forces should be acting professionally make Indonesia secure and peaceful, the circulation of the various means of violence, such as firearms and bombs in Indonesia also business security forces in the conflict zone is security indicators are not handled in a professional manner. On the other hand required maximum effort and courage attitude of the government, especially the law enforcement agencies to bring those involved in cases of corruption and military violence should be given a participation in the strengthening of base- civil basis, such as combating corruption and strengthening peace program division of tasks and functions of a clear distinction between the security forces and society civilians can help realize a peaceful ofIndonesia.
Keyword: konflik ,agama, meliter, migrant ,dan penduduk lokal
PENDAHULUAN
selanjutnya, yakni apa yang selama ini dikenal sebagai sistem politik yang merepresentasi
Setiap penilaian terhadap kemung-kinan
perjalanan demokrasi..
teradinya proses perubahan sistem politik Demokrasi yang berkembang dimana militer dan sipil bersaing dipanggung
sebelumnya, memposisikan negara sebagai politik nasional, bergantung pada perspektif
institusi politik yang melegitimasi semua yang digunakan, dalam menjelaskan kepentingan masyarakat. Sistem korporasi
kehadirannya dalam struktur politik di negara menempatkan militer dalam struktur Indonesia. Militerisme modern ditentukan politik dominan atas sipil. Determinisme secara kultural sebagai resistensi dari sebuah
fungsional, dengan menetapkan hubungan situasi tak menentu menuju perubahan politik
yang bersifat instrumental diantara aktor ekonomi dan aliansi militer, pada dasarnya
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 1 , Januari – Juni 2016
tidak memperlihatkan kecenderungan pada satunya institusi yang memiliki dua fungsi fenomena politik terbuka dan demokratis. yakni: keamanan dan politik (sosial). Dua Sebab, meskipun aliansi antara ekonom dan
fungsi tersebut mempertegas eksistensinya para birokrat militer, membuka peluang bagi
menguasai sumber daya sosial yang tersedia. terciptanya sistem yang lebih signifikan, Militer di Indonesia muncul sebagai jawaban berdasar sifat demokrasi liberal, namun hal itu
terhadap posisi Indonesia yang sedang hanya terjadi bagi berlangsungnya mengalami masa penjajahan, kemudian mekanisme ekonomi yang tunduk pada logika
sistem politik memunculkan doktrin “jalan pasar bebas, demokrasi politik dan ekonomi
tengah” tahun 1950-an dan Dwi Fungsi ABRI belum tersentuh. Hal itu disebabkan akibat
tahun 1960-an. doktrin ini berlaku dalam masa dari militer memfungsikan diri sebagai penjaga
yang berbeda tapi memiliki substansi sama, status quo, korporasi ekonomi dan politik dominasinya dalam sistem politik dan dimunculkan sebagai upaya tugasnya sebagai, penjaga pertahanan dan mempertahankan fungsi-fungsi politik.
keamanan.
Pendekatan demikian, menitik beratkan Sebagai institusi yang kokoh, militer analisisnya pada para pemegang kekuasaan
Indonesia dilatar belakangi oleh ideologi yang riil dalam sistem politik, dengan komprehensif tentang dirinya, juga tentang mempertimbangkan spesifiknya korporasi bangsanya, Indonesia sebagai negara yang aparat keamanan dan penguasa sipil. Mereka
memiliki dasar falsafah Pancasila, sering dianggap mengalokasikan berbagai sumber
dibatasi oleh persepsi militer tentang situasi daya sosial guna melegitimasi eksistensinya,
negara yang harus dilindungi, hal tersebut berhadapan dengan masyara-kat. Asumsinya
berkaitan dengan posisi negara yang sering bahwa, corak pasca otoritarianisme dari para
ditafsirkan menghadapi ancaman serius. Bagi penjamin keamanan (militer) terus aparat keamanan (militer khususnya), berlangsung, dimana sipil meski menjadi ancaman itu muncul terutama dari komunisme pemegang kedaulatan rakyat, tetapi tidak dan pemisahan terhadap Negara Kesatuan berarti bahwa, kekuasaan institusi militer Republik Indonesia (NKRI), (kasus terakhir) sudah termarjinal.
lihat misalnya kasus terjadinya kekerasan di Gelombang militerisasi yang dialami Maluku, yang dikaitkan dengat terpisahnya Indonesia, agaknya mempertegas bahwa, Timor Lorosae (Timor- Timur) dari Negara meski kerjasama antara ekonom dan militer
Kesatuan Republik Indonesia. (NKRI). telah berlangsung cukup lama, namun sistem
Kekhawatiran yang berlebihan terhadap tersebut belum mengalami perubahan fenomena yang mereka tafsirkan sendiri, signifikan, bahkan sebaliknya, otoritarianisme
memungkinkan institusi itu mengambil muncul dalam bentuk dan paradigma baru..
langkah-langkah yang kontra produktif dengan Aparat keamanan dengan, atau tanpa demokrasi. Melakukan depolitisasi dan dukungan elit sipil, menguasai sumber daya
deideologisasi dalam masyarakat. Robert P. sosial. Dalam rangka mempertahankan Clark (Fatah, 1999 : ix) mengemukakan eksistensi institusi tersebut didepan publik bahwa, politk.
“militer merupakan kekuatan yang Penelusuran sejarah militer signifikan sepanjang paruh kedua abad ke- mengindikasikan bahwa, institusi ini
20, kekuatan mereka tidak hanya datang menguasai berbagai sumber daya sosial,
dari kekuatan persenjataan belaka, namun ekonomi, politik dan budaya, sejak rejim Orde
basis ekonomi politik yang berhasil mereka Lama berkuasa, mereka merupakan satu-
galang selama berkuasa atau ikut serta
Surahman Cinu; Agama, Meliterisasi Dan Konflik (Kasus Poso, Sulawesi Tenggah)
berkuasa. Di atas basis-basis ekonomi bentuk-bentuk demokratisasi dikendalikan politik inilah, militer berhasil melakukan oleh negara, dimana sipil dan militer konsolidasi kekuatan sebagai sebuah bekerjasama. Ketepatan, pengalaman “partai politik” dengan memakai institusi
politiknya dan dominasi atas sumber daya politik sipil seperti Golongan Karya (Golkar)
sosial, membuat mereka mampu mengontrol untuk memperoleh legitimasi dari sistem politik yang sedang berlangung. masyarakat”.
Kekuatan militer dalam sistem politik
Apakah menghadapi situasi politik, Indonesia ke depan, posisinya masih cukup militer Indonesia cenderung berlaku tidak diperhitungkan, tuntutan dihapuskannya peran demokratis ?. Kecenderungan untuk bersifat a
sosial politik mereka, merupakan hal yang politik sangat sering terjadi, apalagi ketika sulit. sebab peran tersebut muncul bersamaan gugatan terhadap eksistensi mereka dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. dimunculkan. Terdapat beberapa momentum
Hal ini dipakai sebagai alasan historis, meski mereka mengarahkan massa melakukan tidak pernah mengemuka, walaupun sejarah gugatan terhadap status quo, namun hal itu
kelam mereka juga memberi warna bagi terkait dengan eksistensi mereka dalam perjalanan kehidupan politik Indonesia, sistem politik. Pergantian rejim, dari Orde Baru
penerapan sistem politik yang otoriter pada ke Orde Reformasi menunjukkan hal itu.
saat Orde Baru berkuasa. Berbagai tuntutan Perubahan bentuk otoritarianisme politik
agar insitusi itu dihapuskan peran politiknya, yang didominasi oleh militer, nampaknya akan
mengkondisikan mereka agar tetap bertahan, mengalami pergeseran kearah demokrasi, berbagai peristiwa sosial juga mengitari terlihat ketika rejim Orde Baru di bawah tuntutan tersebut, signifikansi bagi peran kekuasaan Soeharto dipaksa turun melalui
mereka sangat menonjol.
momentum 21 Mei 1998. Institusi ini Kenyataan bahwa Militer belum cenderung membiarkan situasi demikian sepenuhnya menerima gagasan tentang berlangsung.Penguasai Militer (Soharto) penghapusan hak-hak politiknya, dapat dilihat dengan alsan konstitusi digantikan oleh sipil
dalam perspektif hubungan sipil-militer. Artinya, (Hbibie) Demokrasi tampaknya tidak bisa bagaimana kontrol yang dilakukan oleh pihak dielakkan bakal hadir di Indonesia. Bahkan
sipil terhadap militer, sebaliknya, bagaimana Habibie harus menumpang gelombang pengakuan sipil terhadap otoritas yang selama demokratisasi agar tetap bisa berkuasa.
ini di pegang atau minimal yang menjadi Masa peralihan pemerintahan tersebut,
bidang militer. Hal lain yang dapat dilihat Militer tidak memiliki pilihan lain, kecuali menyangkut posisi sipil – militer, sejauhmana beraliansi dengan sipil agar tidak tercerabut dri
pihak sipil mampu mengurangi hak prerogatif dari posisinya, dilain pihak pemerintahan sipil
militer dalam urusan politik dan ekonomi, diuntungkan, sebab ia melakukan dukungan
demikian pula dengan militer dalam kaitannya politik, sekalipun masih bersifat sementara.
dengan otoritas ekonomi politik mereka. Terlihat ada kerjasama antara sipil dan militer, yang berupaya melakukan proses politik
demokratis, hal tersebut itu akibat adanya Konflik dan Integrasi.
desakan massa. Fenomena politik yang Seorang pemikir tentang teori-teori berjalan sangat cepat demikian, menurut sosial, Ibnu Khaldun (1377) mengatakan Huntington (1991) sebagai sebuah model bahwa, agama memiliki pengaruh terhadap transformasi menuju demokrasi dengan kekuasaan negara ”Jika konflik berlangsung melalui jalan dari atas. Kecepatan gerak dan
dalam tatanan kekuasaan maka negara akan
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 1 , Januari – Juni 2016
menjadi lemah cepat hancur dan musnah” (Khaldun, 1962 : 41). Teori politik Khaldun menghendaki, bahwa kekuasaan hanya dapat dipegang oleh satu orang atau kelompok politik saja yang mengndalikan pemerintahan, jika banyak orang atau kelompok maka akan dapat bermuara pada kehancuran dalam pemerintahan tersebut” (Khaldun 1962 : 22- 230). Analisis tersebut hubungannnya dengan kekuasaan tunggal, dimana kepala pemerintahan memiliki otoritas kuat menata negara, memungkinkan munculnya satu bentuk kekuasaan absolut dimana wewenang pemerintahan (negara) berbasis pada legitimasi tersebut.
Persoalan kemudian muncul, ketika otoritas kekuasaan absolut dimana lakon politik otoritarian melegitimasi hak-haknya. Sebuah kekuasan yang dipegang tanpa batas dengan kewenang yang tidak jelas, dapat membawa struktur pemerintahan yang otoriter dan hilangnya kemerdekaan politik masyarakat.Dalam sistem politik dimana masyarakat terpetakan dalam realitas yang plural, dengan sendirinya membuka ruang luas bagi setiap komponen sosial melakoni sistem politik partisipatoris, penempatan ruang politik dengan sistem otoritarian kondusif pada struktur masyarakat plural, karena itu sistem politik yang memposisikan publik memiliki ruang kontrol bagi jalannya kekuasaan lebih memiliki alasan argumentatif.
Fenomena konflik tanpa kekerasan dianggap memiliki argumentasi kuat bagi realitas masyarakat plural. Uraian tentang teori politik Ibnu Khaldun (2000 : 238) yang merepresentasi lakon kekuasan tunggal hendaknya dipahami sebagai alternatif bagi bangunan teori yang lebih mengedepankan akal budi (agama) sebagai penyerta. Sebab, menurut Klaldun bahwa hakekat agama mampu mengantarkan manusia kejalan kebenaran sehingga dapat mempersatukan tujuan manusia. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa
”Untuk meniadakan pertentangan cukuplah setiap orang mengetahui bahwa kezaliman diharamkan atasnya berdasarkan hukum akal. Dengan demikian dugaan mereka (sebagian filosof/ilmuan) bahwa pertentangan hanya mungkin dengan adanya syariat disatu sisi dan kedudukan iman disi lain tidaklah benar. Pertentangan itu dapat dilenyapkan baik dengan adanya kekuatan para pemimpin atau usaha rakyat menjauhkan diri dari pertikaian dan saling berlaku zalim, maupun dengan adanya jabatan iman tersebut. Dengan demikian dalil aqli (akal) yang didasarkan pada premis itu tidak tahan uji maka dengan itu teranglah keharusan adanya iman diindikasikan oleh syariat melalui konsensus atau ijma.”
Perspektif tersebut memberi gambaran bahwa, kepemimpinan dengan wewenang otoritas begitu kuat dapat saja berlangsung, saat akal budi (nilai-nilai moral agama) menjadi perangkat yang memiliki kemampuan mengontrol mekanisme politik yang sedang berlangsung. Agama beserta ajaran-ajaran moral ikut berinteraksi. Hanya saja realitas agama dalam konteks sosiologi, seringkali menjadi alat legitimasi bagi munculnya sistem politik yang menzalimi (menindas). Perspektif Khaldun menjadi agak sulit analisisisnya ketika sistem sosial dalam masyarakat majemuk, dimana terdapat berbagai kepentingan ekonomi politik dan budaya saling berintegrasi.
Analisis konflik dalam penelitian ini, lebih bertumpu pada pemikiran dan perspektif teori Barat, sebab belum ditemukan sebuah alternatif pemikiran yang lebih Timur. Analisis konflik selama ini lebih bertump,u terutama pada dua bangunan grand theory Karl Marx dan Lewis A. Coser walaupun disadari bahwa perspektif demikian sebagaimana kata Juhaya S. Praja (2000 : 45) bahwa :
” Menurut aliran teori konflik masyarakat yang baik dan sehat adalah masyarakat yang hidup dalam situasi konfliktual.
Surahman Cinu; Agama, Meliterisasi Dan Konflik (Kasus Poso, Sulawesi Tenggah)
Masyarakat yang berada dalam keseimbangan (equlibrium) dianggapnya sebagai masyarakat tertidur dan berhenti dalam proses kemajuan. Karena konflik atau bentrokan sosial dianggapnya sebagai kekuatan utama dari perkembangan masyarakat yang ingin maju ketahap-tahap yang lebih sempurna. Dalam kontek ini pengaruh perilaku agama yang dianggap memiliki ”daya disintegratif” menjadi positif. ”Manusia atau masyarakat dalam perspektif Marxian dipahami sebagai sebuah proses perkembangan menyeleasikan konflik melalui mekanisme konflik pula” (Cambell, 1999 : 134). Konflik adalah mekansme yang mendorong suatu perubahan hubungan antar konflik dan perubahan cenderung menjadi satu poses yang berlangsung dengan sendirinya terus menerus” (Lauer, 1993 : 287-290) Konflik sesungguhnya memiliki kaitan erat dengan perubahan sosial masyarakat. Para ilmuan sosial menganalisis dan memakai konflik dan perubahan merupakan dua entitas yang saling berhubungan dan melengkapi, sebagaimana kata Dahrendorf (1993 :281).bahwa ”tampak adanya hubungan erat antara konflik dan perubahan”
Pemikiran tentang konflik dan perubahan sosial tidak saja diminati oleh ilmuan Marxian, juga mereka yang berasal dari kubu Hegelian, seringkali memakai perspektif tersebut dalam menjelaskan realitas sosial masyarakat. Max Weber mengatakan bahwa ”konflik adalah sebuah bentuk hubungan yang didalamnya mengandung tindakan yang sengaja diarahkan untuk melaksanakan kehendak sipelaku sendiri untuk melawan serangan partai atau partai- partai lain” (Cambell, 1999 : 211) meski dua teori sosial yang berbeda kutub tersebut secara bersamaan memposisikan konflik sebagai satu realitas, namun terdapat perbedaan substansial diantara mereka dalam
memahami fenomena tadi. Kaum Hegelian memandang konflik sebagai upaya masyarakat mempertahankan harmoni baik dengan in grroup maupun pada out group”.
Ilmuan Marxis memahami, bahwa konflik adalah tindakan sosial masyarkat untuk mempertahankan eksistensi in group terhadap out group, sebab sebagaimana dalam perspektif Marx klasik, bahwa sejarah peradaban manusia ditandai oleh sifat-sifat kelas yang saling memakan satu dengan lainnya, manusia selalu dituntut menjaga eksistensi kelasnya, karena sejarah peradaban manusia adalah sejarah perjuangan kelas dimana konflik menjadi jalan utama mempertahankan eksistensi in group.
Pemikiran Marxis klasik demikian telah dikritisi oleh beberapa ilmuan sosial yang muncul belakangan Lewis A Coser membedah Marx dengan menggabungkan dua kubu yang bertentangan, Coser memahami, bahwa beberapa susunan struktur merupakan hasil dari konsensus, sebuah proses yang sering ditonjolkan oleh mereka yang berasal dari kubu fungsional struktural. Sementara disisi lain, Coser tidak mengabaikan begitu saja adanya proses lain yang melalui jalan konflik sosial. Meski Coser menekankan bahwa struktur sosial dapat bertahan sebagai akibat dari proses konflik dalam masyarakat. Konflik merupakan bentuk interaksi dimana tempat, waktu serta intesitas dan lain sebagainya tunduk pada perubahan, konflik positif membantu struktur sosial. sebaliknya saat konflik terjadi secara negatif, akan memperlemah struktur sosial masyarakat.
Coser membagi konflik dalam dua jenis yaitu, in group dan out group in group lebih ditekankan pada konflik yang terjadi diantara internal kelompok masyarakat, selanjutnya menurut Coser (Poloma 2993 : 108).
”didalamnya mengandung unsur-unsur positif, sebab fenomena tersebut menurutnya, akan mambawa in group
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 1 , Januari – Juni 2016
kedalam struktur kelompok yang lebih potensi yang diperebutkan terbatas,. Fisher kokoh, sementara konflik yang terjadi diluar
dkk berpendapat bahwa salah satu potensi
kelompoknya (out group) juga memiliki penyebab konflik adalah terjadinya ketidak fungsi positif sebab akan memperkuat setaraan dan ketidak adilan. Selanjutnya ia basis pada masing-masing in group ”
mengatakan bahwa : (2001 : 8-9). ”Konflik dapat disebabkan oleh (1). Fenomena konflik tidak sekedar
polarisasi yang terus terjadi, ketidak dipahami sebagai jalan menuju perpecahan
percayaan dan permusuhan dalam an sich, beberapa ilmuan sosial menekankan
kelompok masyarakat ; (2). ketidak bahwa konflik pada dasarnya membawa
selarasan posisi dan perbedaan masyarakat ke arah perubahan struktur sosial
pandangan ; (3). tidak terpenuhinya yang lebih kokoh dan tidak sedikit
kebutuhan ; (4). keterancaman identitas menghasilkan integrasi antar warga,
atas peristiwa masa lalu yang tidak Duverger(1998 :251) mengatakan bahwa
terselesaikan ; (5). ketidak cocokan ”konflik dan integrasi bukalah dua aspek yang
budaya; (6). ketidak setaraan dan kontradiktif keduanya saling melengkapi”
ketidak adilan”.
Analisis konflik dari Coser lebih dilihat dalam Sementara itu Tajudin mengatakan konteks integrasi dan penguatan basis struktur
bahwa konflik dapat juga disebabkah oleh dalam in group. Untuk analisis ini, agak sulit
”perbedaan persepsi, pengetahuan, tata nilai, menganalisis perspektif yang dia bangun, kepentingan,dan pengakuan hak kepemi- pada kubu mana dia diposisikan, sebab, dua
likan” (Adimihardja 2000 ; 59). analisis utama yang dikembangkan oleh Coser bersentuhan dengan perspektif bahwa, susunan struktur merupakan hasil persetujuan
Metode Penelitian
dan dan konsensus dimana proses tersebut Penelitian ini menggunakan pendeka- sangat ditekankan oleh kaum struktural tan kualitatif. sebagai prosedur penelitian, fungsional sementara ia juga menunjuk sebagaimana dikemukakan Bogdan dan sebuah proses lain, yaitu konflik sosial yang
Tailor bahwa ”menghasilkan data deskriptif merupakan bangunan teori utama kaum berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang- Marxin. Terutama pada Marxis klasik. Hal itu
orang atau pelaku yang dapat diamati” dapat terpetakan, jika Coser dalam analisis
(Moleong 1999 : 2-3) Garna (1999 : 29) selanjutnya, berupaya memetakan proses mengatakan bahwa ”pendekatan kualitatif
terjadinya konflik tidak selalu dipahami adalah untuk mencari kebenaran relatif, ” sebagai upaya mempertahankan struktur sementara itu Chadwick et.al (1988 : 235) sosial. Fenomena konflik berkaitan erat mengatakan bahwa ”penelitian kualitatif dengan proses kepentingan yang lebih luas
mengacu pada strategi penelitian observasi dalam masyarakat, apakah ia berada dalam
partisipan dan wawancara mendalam yang kelompoknya (in group maupun diluar bertujuan untuk memahami aktivitas yang komunitasnya, out group) sebab dalam diselidiki yang memungkinkan peneliti struktur sosial in group seringkali individu
mempeoleh informasi dari tangan pertama memakai kelompoknya untuk mencapai tujun-
mengenai masalah sosial empiris yang tujuan ekonomi politik.
hendak dipecahkan”. Pendekatan kualitatif Individu masyarakat memiliki memiliki perspektif ganda yang peneliti kepentingan yang sama atau berbeda dalam
membangun perspektif demikian berdasarkan proses perebutan sumber daya, sementara
analisis lapangan.
Surahman Cinu; Agama, Meliterisasi Dan Konflik (Kasus Poso, Sulawesi Tenggah)
Pendekatan kualitatif dipakai dalam akibat yang diteliti senantiasa mengacu dan penelitian ini berdasarkan pada pertimbangan
berpatokan terhadap research guide tersebut” yang secara signifikan mempengaruhi (Soewardi 2004 : 168). penajaman substansi penelitian.
Pertimbangan itu adalah: Metode kualitatif Fenomena Konflik : Kasus Poso
menyajikan secara langsung hakikat Konflik Poso dalam episode kelima, hubungan antara peneliti dan informan, obyek
terjadi pada 3 Desember 2001 yang ditandai dan subyek penelitian bersentuhan langsung.
dengan sebuah peristiwa pertempuran sengit Metode kualitatif lebih tepat dipergunakan saat
dari dua kelompok yang berseteru, medan penelitian berhadapan dengan fenomena perang dipilih di wilayah Poso pesisir. Dalam ganda, dalam studi ini, yang diteliti adalah
episode ini penggunaan simbol-simbol agama masalah konflik yang memiliki perspektif begitu menonjol, lebih kuat dari konflik jilid ganda Kemudian, ”Penelitian kualitatif ketiga yang juga mengusung agama sebagai dianggap peka, tajam dan mampu perekat dalam konsolidasi diantara kelompok- menyesuaikan diri dengan banyak penajaman
kelompok yang bertikai.
pengaruh terhadap pola-pola nilai yang Awalnya, konflik jilid lima dipicu oleh dihadapi” (Moleong 1999 : 5).
sebuah ledakan oleh pelaku yang sampai saat Pendekatan kualitatif merupakan sistem
ini belum teridentifikasi, dia melepaskan perangkat kerja dalam menggali, menguji dan
tembakan ke arah desa Tabalu yang membentuk teori, penelitian kualitatif berpenduduk mayoritas Islam, sebuah desa
menghendaki adanya kenyataan sebagai yang berbatasan dengan desa Betalembah keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dengan penduduk yang berbasis Kristen. dipisahkan dari konteksnya. Oleh sebab itu,
Tembakan tersebut kemudian dilayani oleh Peneliti mengambil tempat pada keutuhan penduduk yang beragama Islam dan dengan dalam konteks dari fenomena yang ada, yang
bantuan dari Laskar Jihat (FKAW) Pasukan selanjutnya dalam penelitian deskripsi analitik,
Muslim melakukan penyerangan ke desa- mempelajari masalah dalam masyarakat, yaitu
desa yang memiliki basis penduduk Kristen, tata cara yang berlaku serta situasi tertentu,
seperti, Sanginora, Bisalemba, Patiwunga dan kegiatan, sikap, pandangan serta proses yang
Tangkura. Penyerbuan itu dilakukan secara terjadi, sekaligus suatu pengaruh dari sistematis dan terencana tidak seperti fenomena. Pendekatan deskriptif analisis penyerangan yang terjadi sebelumnya. Dan mendeskipsikan dan memberikan penjelasan
membuat warga di desa- tersebut lari tentang fenomena yang ada, yaitu bagaimana
mengungsi ketempat-tempat aman. situasi, kegiatan, proses dan pengaruh yang
Penyerangan oleh kelompok Muslim menjadi obyek penelitian.
dengan bantuan penuh dari kelompok Laskar Penelitian ini tidak secara khusus Jihat (FKAW) berlangsung dua hari dan melakukan uji hipotesis, namun dimaksudkan
berhasil menundukkan desa-desa tersebut, untuk mengukur dengan cermat bagi Keberhasilan kelompok Muslim kemudian fenomena sosial tertentu. ”Peneliti mengilhami mereka untuk kembali melakukan mengembangkan konsep dan menghimpun
penyerbuat dengan cara bergerilya memasuki fakta, tetapi tidak melakukan pengujian wilayah yang berpenduduk mayoritas Kristen. hipotesis (Singarimbun ed. 1995 : 4-5). Dua desa di kecamatan Lage, yakni Sepe dan Hipotesis kerja yang dirumuskan dalam Silanca menyusul dikuasai, kedua desa penelitian ini difungsikan sebagai pemandu
tersebut mengalami kerusakan parah. penelitian, dalam arti, ”fenomena sebab -
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 1 , Januari – Juni 2016
Berbagai pertempuran dan salah seorang informan bernama Hasan penyerangan kemudian terjadi desa-desa mengatakan : menuju arah Tentena, perlahan-lahan dikuasai
“ berjalan-jalan di Poso apalagi pada malam oleh Kelompok Muslim dan laskar Jihad.
hari harus lebih berhati-hati desa kami aman Penyerbuan sebagai upaya masuk dan
(Sintuwulemba) saat malam kami menguasai Tentena basis Krsiten ketika
melakukan ronda (siskamling) masyarakat pasukan Muslim telah mendekati daerah itu,
baik yang Kristen maupun yang Islam menurut rencana Laskar Jihad dan kelompok
ditambah dengan aparat keamanan Muslim Poso akan menduduki Tentena
bergabung untuk jaga malam, meski bersaman dengan waktu perayaan Hari Raya
suasananya aman – aman saja, namun Idul Adha,
mulai pukul 21.00 malam masyarakat sudah Peristiwa tersebut tidak terjadi, akibat
takut untuk keluar malam mereka pasukan keamanan berhasil mencegah dan
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, menyuruh mereka tidak memasuki wilayah itu.
apalagi di desa tetangga kami, sekitar dua Sekali lagi tekanan internasional terhadap
kilo meter dari rumah ini (rumah Hasan. pen) pemerintah Indonesia memberi kontribusi
beberapa waktu lalu (November 2005) telah cukup signifikan dalam mencegah masuknya
terjadi pembunuhan tiga orang murid pasukan Muslim di Tentena. Sama dengan 1 Sekolah Menengah Atas” .
Poso, Tentena juga yang merupakan wilayah Hasan adalah sopir di salah satu “status quo” komunitas Kristen, tidak berhasil
perusahaan angkutan umum di Poso selain itu dimasuki oleh pasukan Muslim.
ia juga ikut aktif dalam berbagai kegiatan Konflik dan kekerasan di Poso, dari
perdamaian dan pengusutan kasus korupsi episode jilid satu yang dimulai Desember 1998
yang berhubungan dengan konflik Poso. sampai dengan episode jilid lima juga terjadi
Fenomena Hasan sesungguhnya pada bulan Desember tahun berbeda, 2001,
mengindikasikan, bahwa di Poso telah terjadi kurun waktu yang cukup lama (tiga tahun),
perkembangan signifikan tentang partisipasi telah mempora-porandakan infras-truktur masyarakat dalam hal keamanan dan masyarakat, seperti, pemukiman masyarakat,
perdamaian. Masyarakat antusias dengan rumah-rumah ibadah yang menjadi simbol
berbagai perisiwa yang berkaitan dengan agama, bangunan sekolah Namun yang lebih
kekerasan dan isu-isu korupsi. Hasan meski parah adalah rusaknya suprastruktur sebagai masyarakat biasa, ia terlibat aktif di
masyarakat Poso, yang telah sekian tahun berbagai aktivitas kemanusiaan di Poso. dibangun berdasarkan semangat 2 bahkan menurut Samsuri ,, “ia salah satu
kekeluargaan, sintivu maroso, seperti jalinan anggota kami yang paling vokal hubungan yang erat, dengan berbagai mempersoalkan kasus-kasus korupsi momentum keagamaan tanpa pilih, mereka 3 kaitannya dengan konflik di Poso” .
saling mengunjungi, bersilaturrahmi, saling Korupsi bagi sebagian masyarakat Poso memberi perhatian dan kasih sayang diantara
dianggap sebagai salah satu penyebab terjadi mereka.
dan lestarinya konflik, Korupsi, meski bukan
Bersamaan dengan hancurnya satu-satunya penyebab konflik, saat ini telah infrastruktur masyarakat Poso, juga ikut rusak
menjadi persoalan tersendiri. Sangaji suprastrukturnya, yang terjadi pasca konflik dan kekerasan adalah munculnya sikap saling
Wawancara di Poso tanggal 30 Nevember 2005
curiga diantara sesama masyarakat, Sikap 2 Samsuri adalah anggota Forum Studi Masyarakat saling curiga tersebut, terasa begitu kental Sipil Poso 3
Wawancara di Poso tanggal 2 Desember 2005
Surahman Cinu; Agama, Meliterisasi Dan Konflik (Kasus Poso, Sulawesi Tenggah)
mengatakan bahwa “pihak yang memiliki komprehensif karena dasar masalahnya kaitan dengan dana KUT tersebut, menyulut 4 ekonomi politik bukan etnoreligi”
kerusuhan sebagai strategi menutupi Masyarakat melihat konflik yang ada, korupsinya” (Kompas 31 M1 2005) demikian
terbagi atas dua pandangan. Yaitu pertama pula dengan dana kemanusian bagi para memahami bahwa, konflik yang terjadi pengungsi, juga diindikasikan terjadi sebagian besar disebabkan oleh adanya
penyelewengan, pelaku korupsi disamping 5 korupsi KUT dan dana kemanusiaan ,. orang pemerintahan, juga dari pihak swasta
Sementara yang lain menilai bahwa aparat (pengusaha). Indikasi kearah itu makin jelas,
keamanan lebih kontributif bagi terjadinya ketika beberapa orang yang terkait dengan
kekerasan. Pandangan yang terakhir juga dana kemanusiaan tersebut, ditahan.
menilai bahwa konflik memiliki kaitan dengan Lestarinya konflik komunal Poso gugatan terhadap eksistensi TNI.dalam bisnis memiliki beberapa penyebab, dan telah dan politik.Kajian tidak terfokus pada penilaian terakumulasi sedemikian rupa, isu perebutan
pertama. Isu kedua meski diungkap, namun kekuasaan di aras lokal dan nasional, isu dana
lebih diarahkan pada persoalan penguasaan korupsi Kredit Usaha Tani (KUT) dan kuatnya
sumber daya sosial yang merupakan kajian program sipilisasi, yang menuntut agar militer
utama penelitian ini.
kembali menjalankan fungsi-fungsi Konflik jilid satu sampai dengan jilid lima, keprajuritan dan meninggalkan kancah bisnis
telah berlangsung, dampak kemanusiaan dan politik, sementara adanya ketimpangan
yang ditimbulkan begitu besar.. Berbagai ekonomi antar masyarakat asli dan kaum ekses terjadinya kekerasan, telah menimpa migran merupakan pemicu bagi eskalasi masyarakat di Poso, banyak korban konflik yang lebih besar. semuanya berjatuhan, jiwa, harta benda (materil) beban terakumulasi dan dianggap sebagai penyebab
psikologis dan masa depan anak anak Poso awal dan lestarinya konflik Poso. Arianto yang sampai saat ini belum sepenuhnya pulih, Sangaji mengatakan bahwa :
terutama bagi para korban kekerasan. “ Konflik Poso tidak bisa direduksi sekedar
Konflik jilid pertama merupakan ajang sebagai kekerasan etnoreligi dimana awal pertarungan dua komunitas yang agama dan suku dijadikan sebagai dasar
berbeda agama, setelah terjadinya peristiwa untuk melakukan kekerasan, saya pertama, Poso kemudian dilanda konflik mengakui bahwa kekerasan Poso boleh
secara beruntum sampai pada episode jilid
disebut dengan dimensi yang penuh lima, dengan berbagai peristiwa kekerasan dengan dimensi ekonomi politik, agama
yang terjadi, sampai akhirnya terbit instruksi
dan suku memang dipakai, tapi dipakai 6 Presiden (Inpres) No. 14 tahun 2005 tentang bukan satu tujuan, tapi sebagai alat untuk
langkah-langkah komprehensif penanganan
mengeksploitir untuk menggalang masalah Poso. Inpres ini ditujukan pada 14 dukungan melakukan kekerasan. Oleh lembaga pemerintahan, mulai dari Menteri karena itu penyelesaian terhadap Koordinator Bidang Politik, Hukum dan kekerasan Poso yang dilakukan dengan
Kemanan sampai pada Bupati Kabupaten pendekatan rekonsiliasi antara kedua belah pihak menurut saya, tidak cukup untuk
menyelesaikan konflik Poso secara 5 Wawancara di Palu tanggal 10 Desember 2005 Lebih jauh lihat Damanik, Rinaldi, Tragedi Kemanusiaan
Poso Menggapai Surya Pagi Melalui Kegelapan Malam. PBHI,Yakoma, CD Bethesda 2003.
6 Lihat lampiran tentang Instruksi Presiden NO. 14 tahun 2005
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 1 , Januari – Juni 2016
Poso, dengan memuat tiga perintah, yaitu, dengan muatan ekonomi politik. Sebagai pelaksanaan percepatan penanganan mana dijelaskan sebelumnya bahwa, awal masalah Poso melalui langkah-langkah konflik dipicu oleh kepentingan politik antara komprehensif, terpadu dan terkoordinasi,
beberapa kelompok elit yang berbeda, tapi Kedua, menindak secara tegas setiap
memiliki kepentingan serupa, isu ekonomi kasus kriminal, korupsi dan teror serta dalam arti macetnya Kredit Usaha Tani pada mengungkap jaringannya. Terakhir, memuat
pemerintahan ikut memperkuat konflik. upaya penanganan masalah Poso dengan
sementara, demi perluasan eskalasi konflik, tetap memperhatikan Deklarasi Malino yang
maka beberapa broker konflik bekerja dengan berlangsung tanggal 20 Desember 2001 di
mengusung isu, terjadi ketimpangan sumber Malino Sulawesi Selatan 7 daya sosial (ekonomi) antara masyarakat asli
Setelah kejadian tahun 2000, yang dengan masyarakat migran. menandai berakhirnya konflik jilid empat,
Fenomena demikian memperkuat dan fenomena konfik telah bergeser, dari mengkonsolidasi masyarakat melakukan peperangan secara terbuka, ke kejadian yang
mempersipkan konflik agar lebih meluas, berlangsung secara tersembunyi, seperti ditambah lagi dengan karakteristik masyarakat adanya pembunuhan, dengan cara biasa dan
dua komunitas agama berbeda mutilasi, penembakan misterius. Kejadian mempersepsikan dan memakai simbol-simbol tersebut menandai pergeseran konflik di Poso
agama sebagai perekat bagi masing-masing ke wilayah yang lebih meruncing, Melibatkan
in group. Namun demikian tidak berarti negara (pemerintah dengan masyarakat sipil).
masyarakat sipil dalam berkonflik berdiri Banyaknya senjata api yang beredar di sendiri, beredarnya alat-alat kekerasan, seperti masyrakat saat konflik maupun pasca konflik,
senjata api, amunisi dan bom yang beredar mengindikasikan terdapat jaringan kuat yang
luas di masyarkat di dua komunitas yang bekerja dalam rotasi konflik, dengan cara bertikai, mengindikasikan negara beserta alat- mempertemukan dua komunitas agama alat represinya memiliki peran signifikan dalam berbeda yang telah terkondisilan oleh konflik Poso. Arianto Sangaji mengatakan perasaan psikologi, kemarahan, dimana bahwa : selanjutnya, dua kelompok tersebut ditata
”Aparat keamanan sebetulnya bisa dengan secara sistematis, melakukan pergerakan
mudah melacak dari mana senjata api itu konflik atas nama dan simbol agama. Uraian
kalau mau melakukannya, PT Pindad tentang peristiwa konflik yang sengaja
mudah sekali melacak, tapi kita tidak dipaparkan dalam bentuk narasi, tanpa
pernah melihat itu, menurut saya, ini salah sentuhan analisis mendalam dan teoritik,
satu indikasi bahwa tampaknya ada satu dimaksudkan sebagai upaya pemahaman
bentuk operasi intelijen yang tertutup, rapi di secara apa adanya.
bawah yang menyuplai senjata dan Berbagai gejala yang terjadi sejak awal,
amunisi kepada warga yang bertikai, soal atau saat berlangsungnya konflik, memberi
lain yang berkaitan dengan kepentingan gambaran bahwa kekerasan di Poso meski
institusional dan operasional dari aparat dipermukaan nampak sebagai konflik 8 keamanan”
etnoreligius, namun sesungguhnya sarat Fenomena konflik di Poso memakai dua
model yakni, distribusi dan informasi. intraksi
Dokumen Sekretariat Kabinet Republik Indonesia
terjadi disepanjang jalan poros Trans
2005 : 1-2
Wawancara di Palu tanggal 10 Desember 2005
Surahman Cinu; Agama, Meliterisasi Dan Konflik (Kasus Poso, Sulawesi Tenggah)
Sulawesi, dimana Poso merupakan daerah yang dilalui kendaraan yang melintas dari arah selatan maupun tengah Sulawesi. Intensitas perkelahian yang terjadi sejak bulan Mei 2000 dan selanjutnya dimulai dengan modis lama. Persoalan-persoalan kepentingan penguasaan sumber daya politik, minimal terjadi keseimbangan kekuatan dalam struktur pemerintahan yang merepresentasi dua kelompok, terjadinya transformasi moda produksi dari sistem feodalisme yang didominasi oleh masyarkat asli ke moda produksi kapitalisme lokal yang dikuasai oleh kaum migran, merupakan isu perekat sebelum berbagai sumber daya ikut berinteraksi, berdasarkan kepentingan masing-masing.
Dalam hal distribusi dan informasi Ketika perkelahian terjadi, solidaritas kelompok (etnis dan agama) terkonsolidasi dengan menempuh beberapa cara, seperti penyebaran isu dengan simbol-simbol keagamaan, isu ketimpangan ekonomi antar pendatang yang secara relatif makmur, dengan masyarakat asli yang tertinggal. Dua isu ini kemudian membangkitkan sikap heroik (kepahlawanan) dari tokoh-tokoh agama dan etnis di desa yang berani tampil mempertaruhkan jiwanya demi kepentingan yang dibela.
Konflik Poso pada jalur kedua, yaitu informasi wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak saling berinteraksi menjadi terhubungi. Jaringan telah terbentuk antara penduduk desa dengan kelas menengah Kota. yang terkait persoalan birokrasi, Jaringan kemudian meluas lebih jauh merambah ke berbagai wilayah yang sebelumnya tidak berinteraksi. Para perantara birokrasi memainkan peran cukup signifikan dalam pembentukan jaringan tersebut.
Sesungguhnya mereka yang bertarung dalam perebutan kekuasaan bukan orang- orang yang mempersoalkan agama, namun ketika kelompok yang bekerja dikalangan mereka, seperti pelobi, telah melakukan
pengumpulan dukungan, agama dipakai sebagai perekat untuk memperluas pengaruh karena dianggap efektif untuk itu. Di Poso banyak terdapat organisasi keagamaan demikian, juga di luar Poso, dan Sulawesi Tengah, sementara infrastruktur politik masih cukup lemah dipakai untuk mengatasi semangat berkonflik.
Jaringan agama dan budaya jauh melakukan lompatan melampaui wilayah kabupaten Poso, Kelompok Kristen memiliki kontak dengan jaringan, memperjuangkan bantuan bagi gereja yang musnah terbakar. Kelompok ini memiliki jaringan internasional termasuk dalam kongres Amerika Serikat, mereka memiliki kemudahan masuk dalam institusi tersebut, guna menyusun laporan mengenai situasi terakhir di Poso. Februari 1999, terjadi dengar pendapat antara kongres Amerika Serikat dengan kelompok ini. Dipihak Islam pada tahap awal belum terbentuk jaringan baik nasional maupun internasional.
Mekanisme penting dalam proses perluasan eskalasi konflik adalah dalam hal pengenalan ciri-ciri yang khas masing-masing komunitas. Para pelaku diberbagai tempat dan suasana, saling mengidentifikasi diri guna menentukan langkah untuk aksi bersama. Identifikasi sebagai Muslim atau Kristen dianggap sebagai syarat utama dalam proses “perjuangan kepentingan” sementara identitas lain, seperti suku, etnis dipilih sebagai sebagai alternatif.. Bagi beberapa pelaku dijadikan sebagai pertimbangan dan menjadi latar belakang lobi. Agama yang dijadikan sebagai alternatif perekat jelas, memiliki pertimbangan khusus, bahwa institusi tersebut mampu membuka ruang lebih luas guna membangun koalisi, apakah sifatnya permanen atau sejenak.
Tanah dan berbagai penguasaan sumber daya sosial lain dianggap sensitif mendampingi isu-isu agama guna pelebaran konflik, awalnya memang belum menjadi isu, namun belakangan dilibatkan karena
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 1 , Januari – Juni 2016
dianggap efektif menjelaskan realitas bangun menimbulkan banyak persoalan masyarakat Poso pedesaan. Sebab bagai-
kaitannya dengan struktur yang berubah. manapun, pragmatisme petani (orang desa)
Institusi ini diharapkan oleh masyarakat dapat tertrasformasis menjadi reaktif ketika
mampu merefleksi perubahan yang terjadi, harga diri sebagai penduduk asli yang misalnya berbagai kebijakan dapat menjadi termarginalkan terusik. Mereka kemudian pilihan mengatasi kesenjangan, namun memberi respon aktif, menyikapi pola alternatif yang dia bangun justru bagi sebagian penguasaan lahan pertanian, dimana para
masyarakat asli dianggap hanya pendatang memperlihatkan dominasinya. merefleksikan kebutuhan ekonomi borjuasi Mereka keberatan jika wilayah ulayatnya tidak
lokal kaum migran, akhirnya lembaga- lagi menjadi miliknya. Sebab hak ulat bagi
lembaga formal tidak berhasil mengkondisikan mereka bukan hanya identitas produksi, lebih
masyarakat agar tidak terjadi kekerasan. dari itu, ia bagian dari eksistensi dan harga diri
Pada kondisi lain, institusi non formal ikut Peran budaya dan agama dalam konflik
terlibat dalam media konflik, berupaya jilid pertama dan kedua, meskipun tidak mempertaruhkan eksistensi adat didepan sebesar pengaruh sebelum tahun 1998, publiknya, dalam beberapa hal, ia berhasil namun terlihat dari beberapa kejadian saat
atas nama budaya ia kemudian berupaya dipakai untuk mengatasi konflik yang terjadi.
mentransformasikan konflik ke integrasi antar Institusi ini memungkinkan rasa tidak puas
individu-individu masyarakat. Penjelasan terhadap struktur, agama dan budaya tentang konflik awalnya diterima sebagai menyediakan tatanan lewat mana komponen
logika, pada prinsipnya bertentangan dengan masyarakat melegitimasi eksistensi institusi itu.
realitas ketimpangan.
Institusi ini berperan pada kondisi-kondisi Proses dialektika konflik sesungguhnya tertentu, tetapi ia tidak memfungsikan diri untuk
terjadi diaras konflik, bahwa konflik tahap awal melakukan perubahan struktur. Masalah dasar
memungkinkan terjadi integrasi, perubahan dari konflik tidak terpecahkan
selanjutnya terjadi antitesis dari tesis tadi
Kekerasan dihambat oleh institusi (integrasi) yaitu konflik yang telah ter-eskalasi tersebut agar tidak berpaling melawan obyek
dalam bentuk kekerasan, dengan aslinya, yaitu institusi masyarakat sendiri yang
mengorbankan harga sosial yang sangat mencakup biaya bagi sistem sosial yang telah
mahal, yaitu tatanan sistem sosial yang terbagun sepanjang sejarah Poso, dibangun sepanjang sejarah Poso menjadi mengurangi tekanan untuk menyempur-
rusak, lebih hancur dibanding dengan harta nakan sistem, guna memenuhi tuntutan benda. kondisi yang sedang mengalami perubahan
Rusaknya sistem sosial tersebut dapat kearah yang lebih fatal. Potensi konflik tetap
saja dianggap sebagai sintesis dari antitesis dibiarkn berlangsung, namun dalam frekuensi
(hasil dari kekerasan), meskipun sintesis yang terkendali. Ketika institusi resmi tidak lagi
kemudian berdialektika lagi menjadi tesis, mampu mengendalikan gejolan, maka yang
tetapi membutuhkan waktu sangat panjang tampil kemudian adalah instittusi non formal di
untuk merefleksi eksistensi kebudayaan, tetapi masyarakat, sebagai pemangku tradisi dan
tak ada jaminan bahwa elemen-elemen sosial budaya masyarakat masih melegitimasi yang rusak tersebut dapat kembali dalam eksistensinya. Ia merupakan warisan tradisi
bentuk aslinya, meski telah terjadi gesekan- yang telah berinteraksi dalam masyarakat, gesekan dengan elemen lain, tetapi masih sementara institusi formal, kurang absah dalam bentuk dasar tatanan masyarkat Poso kehadirannya akibat dari interaksi yang dia
yang terintegrasi melalui tradisi sintuwu
Surahman Cinu; Agama, Meliterisasi Dan Konflik (Kasus Poso, Sulawesi Tenggah)
maroso. Apapun argument-tasinya Coser kekerasan dianggap sebagai salah satu upaya menjadi benar bahwa konflik harus tetap militer mempertahankan eksistensinya dalam bingkai integratif, tapi realitas yang ditengah pergulatan ekonomi politik. Arianto terbangun di Poso konflik telah melewati tahap
Sangaji mengatakan bahwa
terakhir, peperangan “Sulitnya melakukan audit bagi insiitusi
Masyarakat kemudian kembali aparat keamann, termasuk militer mengawali hari-demi harinya di Poso dengan
merupakan problem tersendiri di wilayah kondisi yang selalu mencekam, penuh ketidak
konflik.peredaran senjata yang bersifat pastian, namun dibalik semua fenomena
ilegal, promosi jabatan dan anggaran tersebut, optimisme juga terbangun melaui
aparat keamanan bagi pengamanan konflik jaringan-jaringan sosial antar masyarakat dan
dapat saja dipahami sebagai kondisi hal itu dapat dilihat dari bergairahnya mereka
tertentu yang memperparah situasi di menatap para pembeli menjajakan barang
wilayah konflik, apalagi semua itu tidak dagangannya, tampa kecurigan, walau dibalik
pernah dilakukan audit. Karenanya itu terdapat kekhawatiran, akankah konflik
memahami bahwa konflik Poso sebagai muncul lagi dan akan mengungsi atau
konflik etnoreligius menjadi tidak bertemu dengan pembeli ini dalam kondisi
menyelesaikan masalah, sebab disitu juga yang berbeda.
harus dilihat bahwa ada aparat keamanan Mereka saling yakin hal itu tidak terjadi 9 (militer) bermain”
lagi, mereka telah berdamai, seperti Kondisi negara hanya mampu semboyan perdamaian Poso “torang samua
menyediakan anggaran yang minim bagi basudara” bukan karena melimpahnya aparat
keentingan operasionalisasi dan di Poso, bukan pula karena para aktivis kesejahteraan aparat, (militer) menjadi alasan kemanusiaan bekerja melakukan program-
utama mengapa institusi tersebut masih program perdamaian, tetapi karena mereka
menjalankan praktek bisnis. Sementara lahir bukan untuk kekerasan, tapi demi tutntutan publik menginginkan adanya sistem perdamaian. Hari ini dan selanjutnya, audit yang sistematis bagi semua aktivitas komunitas Islam Poso tidak lagi menjual aparat keamanan, seperti, operasional pesan-pesan masjid, tapi pesan rasul suci
lapangan, pembelian peralatan, pembinaan mereka, Muhammad SAW. Komunitas personil dan peningkatan kesejahteraan. Kristen juga tidak lagi menjual pesan-pesan
Memahami bahwa kondisi keuangan gereja, tapi Pesan juru selamat mereka, negara sangat terbatas. Hanya memung- Kristus. Pesan Perdamaian.
kinkan anggaran militer dan Polri dinaikkan sebesar 1,5 persen dari Gross Domestic
Meliterisme dan Konflik
Produc (GDP) Indonesia (Kompas 22
Tuntutan agar dalm tubuh militer November 1999) Dengan demikian dana dilakukan pembaharuan, begitu kuat, hal yang disiapkan oleh Anggaran Pendapatan tersebut berkaitan, tidak hanya dalam hal dan Belanja Negara (APBN) Indonesia.hanya sikap profesional mereka dalam tugas, sebesar 10,9 trilyun, jumlah tersebut jelas tidak terutama dalam meyikapi kondisi masyarakat
mencukupi kebutuhan institutsi itu jika yang sedang berkonflik, sikap mereka yang
dibandingkan dengan besarnya organisasi sering melihat wilayah sebagai peluang bisnis
beserta tugas-tugas yang mereka kelola. dan politik dianggap sebagai salah satu problem institusi tersebut. Permanennya
konflik di wilayah yang pernah dilanda
Wawancara di Palu tanggal 10 Desember 2005.
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 1 , Januari – Juni 2016
Problem utama di institusi militer dan Poliri dalam hal tidak efektifnya anggaran, adalah persoalan korupsi internal mereka, belum lagi masalah bisnis militer dan Polri yang melibatkan institusi ini baik secara langsung, maupun tidak langsung telah menyebar ke wilayah konflik. Olehnya “legitimasi” militer atas kekerasan yang terjadi sering dikaitkan dengan isu korupsi dan bisnis mereka, dalam skala mikro maupun makro. Desakan agar militer menghapus anggaran non budgeter dan merubahnya dalam bentuk dana budgeter masih membuat keberatan Sementara lembaga-lembaga pemberi pinjaman menyerukan, perlunya dilakukan audit terhadap dana non budjeter militer (Kompas 2 Juli 2000).
Mekanisme pengelolaan keuangan di tubuh militer dan polri, sangat tidak transparan walau dana yang diperoleh berasal dari berbagai yayasan, koperasi dan perusahaan yang berada dibawah kendali institusi itu. Fenomena penegakan supremasi hukum terhadap berbagai tindakan korupsi berkaitan dengan problem kekerasan, khususnya di wilayah konflik, menjadi isu utama yang secara signifikan memiliki tali-temali dengan bisnis militer, hal ini juga berhubungan dengan penghentian kekerasan. peristiwa kekerasan yang terjadi di masyarakat, pasca konflik sering dihubungkan dengan melebarnya sayap institusi militer atau yang berkaitan dengan itu, sebagai institusi maupun perorangan. Maraknya bsisnis militer di wilayah konflik Poso bagaimana dikatakan oleh Edmund bahwa
”di zona-zona kekerasan Poso, mereka begitu dominan menguasai hail bumi masyarakat, sebab pelaku bisnis dari pihak sipil tidak ada yang berani masuk melakukan transaksi jual beli, karena kondisi yang tidak aman. Akibatnya nilai jual barang ditentukan oleh mereka, bahkan zona-zona kekerasan di Poso dimana pernah terjadi teror bom, mutilasi, dan
pembunuhan, layaknya dipahami sebagai wilayah daerah yang berhasil dalam
pertanian” 10 Fenomena bisnis militer dalam konteks makro, Di era Presiden Abdurrahman Wahid, beberapa langkah strategis dilakukan, salah satunya menaikkan anggaran militer dan Polri, langkah awalnya, di institusi Komando Pasukan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Agus Wirahadikusuma (AWK) panglima Konstrad saat itu, memulai upaya ini. Kegagalan AWK salah satunya adalah terbatasnya waktu, hanya sekitar empat bulan. Meski demikian, ia dianggap telah melakukan terobosan, dimana selama ini belum pernah terjadi. Jangka waktu demikian, jelas terlalu singkat, apalagi melakukan pekerjaan rumit, penuh resiko dan melibatkan banyak pihak (Tempo 7-13 Agustus 2000) Dalam hal pengelolaan dana yayasan yang berada dibawah naungan Kostrad, Harold Crouch, (Kompas 20 oktober 2000). mengatakan bahwa,
“terlihat betapa mudahnya pimpinan mengambil uang di bank tanpa perlu mempertanggung jawabkan untuk apa uang itu akan dipakai, bisa saja uang itu dipakai untuk yang baik bisa pula dipakai untuk sesuatu yang buruk. Bukan tidak mungkin uang sebesar itu dipakai untuk sesuatu yang tidak baik. Tentunya ini sangat berbahaya”.
Audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan
indikasi terjadinya penyelewengan keuangan di Depertemen Pertahanan dan keamanan dan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, (Mabes TNI) terutama pada yayasan-yasasan yang berada dibawah kendalinya. (Bisnis Indonesia 2 September 2000) Langkah-langkah pemberantasan korupsi dijajaran TNI Polri oleh Abdurrahman wahid dan Agus Wirahadikusuma, mengalami
Wawancara di Palu,12 Pebruari 2006
Surahman Cinu; Agama, Meliterisasi Dan Konflik (Kasus Poso, Sulawesi Tenggah)
hambatan akibat kuatnya arus yang mereka sebagian kebutuhan operasionalnya… hadapi.
(Kompas Cyber Media,17 Oktober 2000) Sorotan dan kritik atas praktek-praktek
Pembiayaan operasional yang diambil dari bisnis militer telah lama dipersoalkan, di era
keuntungan perusahaan yang dikelola oleh Orde Baru kritik tersebut juga pernah yayasan dibawah naungan aparat keamanan dilontarkan meski dengan intensitas yang lebih
militer dan Polri, bukan tidak boleh, hal tersebut “santun”. Kuatnya dominasi Presiden dapat saja dilakukan mengingat anggaran Soeharto melindungi institusi militer membuat