Menelisik Ulang Community Facilitator Dr

[CRITICAL REVIEW]

Menelisik Ulang
Community [Facilitators] Driven Development
Bank Dunia di Indonesia
Oleh:
AB.Widyanta

Meski banyak kehebohan mengelilingi proyek seperti
PPK (juga P2KP-pen) dan pembangunan berbasis komunitas
secara lebih umum, tetapi pertanyaan-pertanyaan yang menggantung tentang
apa yang ditangani dan tidak ditanganinya, tanpa juga melupakan struktur
pendanaan program (berbasiskan hutang), menunjukkan bahwa ada alasan yang tepat
untuk berfikir bahwa solusi kemiskinan justru akan ditemukan di lain tempat.
(Toby Carroll, 2010)1

Pengantar
Tulisan ini adalah sebuah tinjauan kritis atas paper Aniruddha Dasgupta dan
Victoria A. Beard yang berjudul Community Driven Development, Collective Action and
Elite Capture in Indonesia. Artikel Dasgupta dan Beard itu merupakan lesson learned
dari implementasi cetak biru “Pembangunan Berkendali Masyarakat” (Community

Driven Development, yang selanjutnya nanti disingkat CDD). Paparan lebih lanjut
dialamatkan pada implementasi good governance (sebagaimana diintrodusir World
Bank) dalam program bernama P2KP (Program Penanganan Kemiskinan
Perkotaan/Urban Poverty Program, UPP). Secara analitis, tulisan selanjutnya mengurai
beberapa best practice (boleh jadi juga “sedikit” worst practice) di empat wilayah
penelitian. Dasgupta dan Beard memerinci lebih lanjut berbagai aspek sosiohistoris di masing-masing wilayah yang terpaut dengan munculnya kontrol elit (elit
controlled)—yang dibedakan secara tegas dengan sandera elit (elit capture), munculnya
tindakan kolektif warga di tingkat lokal—yang berpotensi untuk menghadang
terjadinya sandera elit tersebut, dan munculnya tata kelola-mandiri demokratis
(democratic self-governance).
Temuan riset yang cukup menarik dari Dasgupta dan Beard adalah bahwa
proses desentralisasi dan demokratisasi di masing-masing wilayah itu memiliki
korelasi yang non-linier (kompleks) dengan pelayanan bagi penerima manfaat
(beneficiaries). Dalam konteks itu, studi kasus masyarakat di empat wilayah P2KP
Toby Carroll, Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal: Bank Dunia Dan Program Pengembangan
Kecamatan di Indonesia, dalam Prisma Vol. 29, Juli 2010, hlm. 101.

1

[Critical Review] – AB. Widyanta


1

diposisikan sebagai teropong untuk menelisik sejauh mana kapasitas masyarakat
pada tindakan kolektif mampu menghadang sandera elit. Sistematika tulisan terbagi
dalam empat bagian. Bagian pertama menjelaskan secara kritis perihal proposisi yang
menginformasikan pemahaman kita atas CDD: desentralisasi, demokratisasi dan
tindakan kolektif warga. Tiga proposisi itu diletakkan dalam bingkai historis
pemerintahan otoritarian Suharto hingga masa reformasi. Bagian kedua menjelaskan
rancangan dan implementasi proyek pengentasan kemiskinan kota. Bagian ketiga
menjelaskan strategi riset dan metode yang digunakan untuk mengumpulkan data.
Dan bagian keempat memapar hasil temuan studi kasus di empat wilayah—dengan
nama samaran—yaitu Kelor, Tirta Kencana, Sekar Kamulyan dan Kisma Wasana.2
Patut diakui bahwa paparan Dasgupta dan Beard ini sangatlah memadai
dalam takaran riset akademik. Kendati demikian, bukannya tanpa cacat cela.
Kepiawaian akademiknya justru dengan serta merta ternegasikan sejak keduanya
taken for granted atas paradigma CDD sebagai narasi besar tunggal tanpa cela.
Karenanya, karakter tulisan hasil riset itu sangat mencirikan riset konfirmatif
(evaluasi program) yang dilakukan oleh peneliti yang “telah berpihak”3 pada
“program populis” ala Community Driven Development Bank Dunia, yang diinisiasi di

tahun-tahun awal paska reformasi 1998. Bagaimanapun juga pertautan antara
paradigma dan praksis CDD sebagai paket program “pseudo-bottom up” rekaan PostWashington Consensus (PWC) yang diimplementasikan secara “seragam” di sejumlah
kalangan masyarakat dunia ketiga adalah fakta “kecut” yang tak terpalingkan.
Melalui pentautan dua titik bidik atas program CDD—yang sesungguhnya
merupakan bentuk baru tata kelola pembangunan neoliberal—itulah tinjauan ini
mengambil posisi kritisnya.
Tinjauan kritis ini lebih jauh akan tersistematisasi dalam tiga bagian berikut.
Pertama, tulisan akan memapar sejumlah pokok gagasan dan pokok temuan riset
Dasgupta dan Beard. Dua sub-bagian yang akan diurai adalah tantangan CDD
dalam kancah dinamika reformasi di Indonesia dan P2KP sebagai corong sukses
CDD. Kedua, tulisan akan mengambil posisi kritis dengan melontarkan gugatan
mendasar atas paradigma CDD berikut impelentasinya. Pada bagian ini, penulis
akan merujuk perspektif kritis Toby Carroll perihal sepak terjang Bank Dunia
dalam pengimplementasian berbagai bentuk baru tata kelola pembangunan
neoliberal (socio-institutional neoliberalism/SIN), diantaranya adalah Program
Pengembangan Kecamatan dan Program Penanganan Kemiskinan Perkotaan
(P2KP). Hasil wawancara penulis dengan “orang kunci” JRF-World Bank juga
akan terpapar pada bagian ini sebagai penguat argumen. Ketiga, sejumlah pokok
argumen kritis dan rekomendasi akan dipapar pada catatan penutup.
Tantangan CDD dalam Dinamika Reformasi

Inisiasi CDD dalam kompleksitas proses konsolidasi demokrasi di Indonesia
membutuhkan jangkar kerangka konseptual yang memadai atas berbagai problem
Lihat penjelasan khusus dalam strategi riset dan data, terutama catatan kaki 6, hlm. 236.
Peran Dasgupta sebagai peneliti cum staf Bank Dunia adalah sebentuk bias “pemihakan” subyektif yang tak
terbantahkan lagi. Baca catatan kaki 6, hlm. 236.

2
3

[Critical Review] – AB. Widyanta

2

desentralisasi, demokratisasi, dan tindakan kolektif sebagaimana yang akan diurai
berikut. Bermula dari kepedulian untuk membantu kaum miskin perkotaan yang
kian terpuruk paska krisis ekonomi dan kekacauan massa di akhir dekade 1990an,
Bank Dunia mengintrodusir Program Penanganan Kemiskinan Perkotaan (P2KP)
di Indonesia. Program itu merupakan bagian dari cetak biru CDD yang
merepresentasikan penggeseran mazhab pembangunanisme berikut dampakdampak dari cacat bawaannya—top down, sentralistis, modernis, otoritarian—yang
telah beroperasi selama lima dasar warsa. Pergeseran itu kian terkuatkan oleh

pengarusutamaan argumen para praktisi dan akademisi tentang pembangunan
berbasis komunitas dan pendekatan partisipatif—semisal Robert Chamber dan
David Korten—yang mendasarkan pada tiga proposisi penting berikut: pertama,
kemampuan desentralisasi bisa mereduksi inefisiensi pembangunan yang
sentralistis, dan dikontrol negara; kedua, desentralisasi bisa mengalihkan lokus
pembuatan keputusan dari bebadan pemerintah pusat dan lokal kepada komunitas,
sehingga mendorong proses demokratisasi; dan ketiga, dari hasil capaian dua
proposisi di atas, masyarakat bisa memiliki kapasitas yang kuat untuk melakukan
tindakan kolektif..
Desentralisasi memungkinkan terjadinya good governance yang ditandai
perbaikan seperti desain proyek yang tepat secara kontekstual, penentuan penerima
manfaat, dan akuntabilitas bagi penduduk lokal. Negara mesti melepas kontrol agar
muncul berbagai peluang sosial-politis bagi masyarakat sipil untuk mengorganisir
dan menuntut terselenggaranya tata kelola yang lebih akuntabel dan transparan.
Tepat pada pondasi desentralisasi, demokratisasi, dan tindakan kolektif itulah
ekspektasi-ekspektasi CDD diletakkan (hlm.229-231).
Untuk konteks Indonesia, pada waktu P2KP berlangsung, desentralisasi itu
terealisir sejak munculnya kebijakan otonomi daerah, yang termaktub dalam UU
No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, menggantikan UU No 5/1979 tentang

Pemerintahan Desa. Undang-undang otonomi daerah pada intinya memandatkan
kepada pemerintah lokal untuk lebih fokus pada keberagaman, partisipasi, otonomi
yang sejati, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.
Transisi demokrasi ternyata tak sepenuhnya berjalan sesuai harapan.
Implementasi otonomi daerah—paska kejatuhan Soeharto dan pemilu 1999 itu—
ternyata juga memperlebar ruang bermain bagi aktor-aktor politik predatoris di
tingkat lokal. Berbagai kekuatan politik lama Orde Baru—seperti kelompok
purnawiranan, preman, dan kroni/kerabat pejabat—masih saja bercokol dan tak
kalah cekatan mengkonsolidasi kekuatan untuk menjadi bos atau elit di tingkat
lokal. Semisal para pensiunan pejabat tinggi militer mengisi pos-pos kekuasaan di
provinsi asalnya. Para preman juga muncul mendalangi berbagai tindakan kriminal,
gerakan oposisi politik, dan turut mengurusi kampanye/pilkada. Politik dinasti pun
turut ambil bagian. Tak jarang keluarga lurah/kepala desa menjadi aktor-aktor kuat
dan dominan di tingkat lokal (hlm. 232).
Dalam situasi itu, tata kelola rawan sandera elit karena partisipan memasuki
proses dengan posisi kekuasaan yang timpang, posisi sosial yang asimetris, akses
[Critical Review] – AB. Widyanta

3


sumber daya ekonomi yang senjang, pengetahuan atas prosedur/protokoler politik
yang njomplang, dan juga tingkat perbedaan melek baca yang juga timpang. Di lokal,
muncul beragam tipe elit sosial, politik, maupun ekonomi berikut kantong
sumberdaya kekuasaannya semisal: kepemilikan tanah, kekerabatan, garis
keturunan, jabatan, afiliasi partai politik, capaian pendidikan, afiliasi keagamaan,
kedudukan dalam masyarakat (hlm. 233).
Berbagai kajian akademis menengerai rancangan dan mekanisme
kelembagaan bisa menghadang sandera elit itu. Supervisi dan penegakan aturan
main bisa mewujudkan akuntabilitas internal. Sedangkan akuntabilitas ekternal bisa
dicapai melalui mekanisme yang mengarah pada pencarian solusi dan
tersalurkannya suara masyarakat sipil seperti: pemilu, kelembagaan resolusi konflik,
penganggaran yang partisipatif. Singkatnya, sandera elit bisa dikenali dari sejauh
mana frekuensi dan intensitas partisipasi elit dikomparasikan dengan non-elit,
sejauh kapasitas elit untuk mengembangkan kepentingan khusus mereka sendiri,
dan sejauh mana kekuatan mereka menyingkirkan partisipan dan isu-isu di luar
dirinya. Ada sebuah keraguan bahwa tindakan kolektif bisa menghadang sandera
elit. Menurut pendapat Mancur Olson misalnya, sangatlah jarang ada kelompok
individu-individu yang benar-benar kooperatif dan terkoordinir. Anggota
kelompok secara rasional akan maksimalkan kesejahteraan personal masingmasing. Mereka tidak akan bertindak untuk mewujudkan tujuan kelompok, kecuali
jika ada kekuatan koersif atas mereka. Problemnya, tak ada insentif apapun bagi

semua anggota untuk menanggung biaya tindakan kolektif kelompok, kecuali jika
semua menyepakati adanya pihak lain yang menanggung seluruh biaya. Inilah yang
oleh Olson disebut sebagai problem free-raider. Dalam kelompok kecil problem itu
akan teredusir (hlm 233).
Perihal konseptualisasi problem free rider dan berbagai tingkat kesulitan yang
terkait tindakan kolektif, Ostrom menawarkan opsi bahwa individu-individu bisa
memiliki kelembagaan untuk mewujudkan kesepakatan mereka sendiri, lembaga
dan sistem manajemennya, sehingga dari waktu ke waktu mereka mempunyai
kapasitas untuk mengubah dan mengantisipasi berbagai hasil capaian yang tragis.
Lebih jauh Ostrom menjelaskan, sejumlah kajian di berbagai konteks tentang CPRs
bersekala kecil (small-scale Common Pool Resources) mengindikasikan bahwa suatu
kelompok utama yang berada dalam situasi saling tergantung mampu
mengorganisir dan mengelola diri mereka sendiri, guna mencapai keuntungankeuntungan bersama yang berkesinambungan, kendati semuanya menghadapi
godaan untuk menunggangi kelompok, melalaikan tugas, atau berbagai tindakan
oportunistik lainnya. Karenanya, formula tindakan kolektif bisa ditinjau dari
berbagai faktor yang mempengaruhinya seperti heterogenitas sosial-ekonomi,
ukuran kelompok, adanya relasi-relasi non-linier, dan peran mediasi yang
dimainkan oleh lembaga. Tindakan kolektif di tingkatan komunitas kian menarik
tatkala relasi berbasis kepercayaan, pertukaran resiprokal, jejaring sosial, dan modal
sosial turut mempengaruhi hasil capaian bersama (hlm 234).


[Critical Review] – AB. Widyanta

4

P2KP: Corong Sukses CDD
Sebagai bentuk respon atas krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, P2KP
diimplementasikan kali pertama pada tahun 1999, yang difokuskan di 59 kecamatan
dan 1298 kelurahan di Yogyakarta dan Malang. Proyek diintrodusir oleh
pemerintah pusat yang dikonsultasikan dengan pemerintah daerah. Dirancang
sebagai proyek responsif krisis, maka pada tahap pertama proyek lebih ditekankan
pada pengucuran dana kepada komunitas secara cepat dan efisien. Masing-masing
kelurahan mendapatkan alokasi dana kira-kira 1 milyar rupiah dan untuk wilayah
yang lebih kecil menerima 250 juta rupiah. Karena spiritnya adalah “berkendalikan
komunitas” (community drivern), maka proyek pun diintrodusir kepada komunitas
oleh para fasilitator independen, terlatih dan dibayar dari proyek, yang biasanya
berasal dari wilayah setempat. Sebagai bagian dari proses pengenalan, para
fasilitator pun dibekali pemahaman bahwa proyek mesti diimplementasikan melalui
organisasi berbasis komunitas yang populer dengan sebutan Badan Keswadayaan
Masyarakat (BKM). Bagaimanapun juga, terbentuknya BKM adalah prasyarat dasar

dan utama bagi penerimaan dan pengelolaan dana proyek.
Kendati ada wilayah yang memilih melakukan penguatan organisasi yang
telah ada, namun sebagian besar wilayah mendirikan BKM baru, yang proses diberi
batas waktu antara 4-6 bulan, tergantung pada kapasitas organisasional masyarakat.
BKM ini dikelola oleh para relawan yang secara ideal dipilih warga melalui proses
demokratis deliberatif. Setiap BKM mesti memutuskan bagaimana dana proyek itu
akan digunakan untuk pengentasan kemiskinan di wilayahnya, sesuai dengan tiga
kategori programatik yang ditetapkan: pertama, penyediaan kredit mikro untuk
pengusaha lokal; kedua, pembangunan infrastruktur publik; dan ketiga, perbaikan
sumberdaya manusia melalui pelatihan. Terjumpai dari riset mayoritas BKM
ternyata mengalokasikan sebagian besar dananya untuk program kredit mikro bagi
warganya. Singkat kata, meminjam penegasan Dasgupta dan Beard, BKM sangatlah
berarti bagi masyarakat karena ia merupakan lembaga yang independen dari negara,
hingga mampu menciptakan ruang politik baru (hlm 235)
Sosialisasi proyek berlangsung di setiap kelurahan dalam cara yang kurang
lebih sama. Terdapat hal-hal penting yang senantiasa ditekankan yaitu partisipasi
publik, utamanya warga miskin. Ditekankan pula setiap orang memiliki hak suara
yang sama, proses pemilihan kepemimpinan harus demokratis, pentingnya
transparansi dan akuntabilitas dalam menentukan alokasi sumberdaya. Selain itu
ada mekanisme dan aturan khusus semisal: penetapan anggota peminjam dalam

kelompok mikro kredit harus terdiri dari pengusaha lokal yang sukses dan para
warga miskin; penggunaan bilik suara yang tertutup saat melakukan pemilihan
pimpinan; pengumuman terbuka kepada publik yang mudah diakses dan dipahami
oleh kalayak warga terkait segala informasi proyek. Terdapat juga “aturan main”
yang ditentukan sendiri di setiap kelurahan, misalnya: kriteria kelayakan menjadi
pimpinan yang akan dipilih, rincian tata aturan pemilihan, dan kriteria penilaian
kelayakan pengajuan kredit (hlm.235- 236).
Berdasarkan temuan riset di empat kelurahan yaitu: Kelurahan Kelor,
Kelurahan Tirta Kencana, Kelurahan Sekar Kamulyan, dan Kelurahan Kisma
[Critical Review] – AB. Widyanta

5

Wasana, terjumpai suatu potret implementasi P2KP yang cukup kompleks. Berikut
adalah paparan hasil riset di keempat kelurahaan tersebut (hlm. 237-244):
Kelurahan

Seting Wilayah & Ekologi

Kelor,
Malang,
Jawa Timur
(wilayah
transisi
rural-urban
di selatan
kota
Malang)

- Perubahan dari desa menjadi
kelurahan pada tahun 1981, tapi
situasinya “bercitarasa”
pedesaan. Produksi sektor
pertanian masih dominan.
Tradisi dan upacara kultural
masih kuat. Gotong royong,
gugur gunung masih kuat.
- Masyarakat homogen, etnis
Jawa
- Relasi sosial di antara anggota
masyarakat sangat dekat dan
stabil.
- Infrastruktur fisik: pasar
tradisional, toko swalayan,
sekolah, klinik kesehatan,
jaringan telekomunikasi

Tirta
Kencana,
Malang,
Jawa Timur
(wilayah
transisi
rural-urban
yang
berada di
wilayah
terluar kota
)

-Terkategorikan sebagai wilayah
transisi antara pedesaan
perkotaan.
-Masyarakat lebih heterogen
daripada Kelor. Etnisitas lebih
beragam ketimbang Kelor
(karena banyak pendatang baru.
Tapi sebagian besar masih etnis
Jawa.
-Terdapat banyak sekali
organisasi. Aktivitas warga
banyak tercurah ke berbagai
paguyuban sosial maupun
keagamaan (baik formal dan
informal). Pengambilan
keputusan/ konsensus ditempul
melalui musyawarah.
-Infrastruktur fisik: Pom
bensin, perpustakaan umum,
pasar besar, sebuah bank, 3
universitas, rumah kost
mahasiswa.
-Terkategorikan sebagai wilayah
perdesaan yang berada dalam
transisi menuju perkotaaan.
- Kendati masih banyak lahan
teralokasikan untuk pertanian,
namun wilayah ini merupakan
pusat pabrik tekstil di Jawa
Barat.
-Populasi relatif homogen, yang
didominasi orang Sunda, 10%
lainnya adalah etnis Jawa lain
dan kelompok etnis seperti
Minangkabau, Batak, dan etnis
Cina. Sebanyak 97 % adalah
Muslim.

Sekar
Kamulyan,
Bandung,
Jawa Barat
(wilayah
transisi
rural-urban
di sisi
tenggara
kota
Bandung)

[Critical Review] – AB. Widyanta

Status, Kelas &
Penghidupan
- Kesenjangan
ekonomi dan sosial
cukup tinggi.
- Penghidupan
warga antara lain:
PNS, guru,
purnawirawan,
pedagang kakilima,
pedagang pasar, dan
petani.
- Para elit adalah
generasi tua PNS,
guru, dan
purnawirawan. Nonelitnya adalah
pedagang kaki lima,
bakul pasar atau
petani
- Dulunya Hirarki
sosial-ekonomi yang
tinggi ada pada
keluarga-keluarga
yang bekerjad di
sektor pertanian.
Proses urbanisasi
merubah peta
kepemilikan tanah.
Elit pun beralih ke
warga yang memiliki
banyak
rumah/bangunan
baru. Tingkat
partisipasi elit baru
ini rendah.
-Kebanyakan warga
banyak bekerja di
sektor jasa, terutama
melayani kebutuhan
mahasiswa
-Disparitas sosial
ekonomi cukup
tinggi
- Sebagian besar
penduduk lokal
bekerja sebagai
buruh pabrik, usaha
perdagangan,
berbagai kerja yang
terkait perniagaan,
dan PNS. Kaum
muda banyak yang
jadi buruh pabrik
ketimbang bekerja di
sektor pertanian.

Tatakelola
- Implementasi P2KP dikontrol ketat
oleh elit-elit (dari struktur kekuasaan
yang lama), proyek tergantung pada
monitoring internal para elit, redistribusi
kekuasaan jatuh pada elit muda.
- Proses perencanaan dan implementasi
tidak merepresentasikan suatu proses
yang demokratis maupun partisipatif .
Kendati demikian proyek menyasar pada
penerima manfaat. Para elit ternyata
akuntabel dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat, utamanya warga miskin
- Pemimpin lokal memiliki spirit
(momong= melindungi, momot= mau
mendengarkan, momor = adil), sehingga
peduli pada kaum miskin
-Terdapat partisipasi masyarakat, tapi
kepemimpinan dan pengambilan
keputusan tetap dikontrol para elit.
- Ada dua kategori elit yang
mendominasi kepemimpinan: pertama,
elit warga lokal asli yang telah tinggal
lama dan memegang peran
kepemimpinan menentukan atas
keluarga-keluarga besar maupun berbagai
paguyuban yang ada di sana; kedua, para
elit profesional yang berpendidikan
maupun status ekonomi yang tinggi,
semisal seorang profesor teknik mesin
yang dua kali menjadi ketua BKM.
-Di mata warga, elit lokal itu dinilai bisa
menjaga kejujuran dan kredibilitasnya,
sedang elit profesional itu dipercaya
karena kemampuan dan pengalamannya.
-Kendati dikontrol elit, namun P2KP
sukses menyasar para penerima manfaat.
Para elit tetap akuntabel bagi masyarakat,
terutama warga miskin.
- Dulunya, wilayah ini didominasi aktoraktor politik yang korup dan tamak
- Sejak berlangsungnya desentralisasi,
kekuasaan atas tata kelola masyarakat di
Sekar Kamulyan mulai terredistribusikan.
Kelembagaan yang baru berhasil
menciptakan peluang untuk kompetisi
politik yang melahirkan aktor-aktor
politik baru di tampuk kekuasaan.
Sehingga relasi patron-klien pun mulai
tertepiskan.
-Para elit muda bersepakat melawan
sikap korup elit tua, melalui penetapan
berbagai aturan main, mekanisme
pelaporan, dan swa-audit.
6

-Kegotongroyongan warga
cukup kuat terutama saat
membangun/ merawat
prasarana fisik.

Kisma
Wasana,
Malang,
Jawa Timur
(wilayah
urban di
dekat
jantung
kota
Malang)

-Terkategorikan sebagai wilayah
urban dengan populasi yang
padat.
- Selama penjajahan Belanda,
15 % penduduknya adalah
keturunan Cina. Kisma Wasana
sejak itu jadi tempat tujuan
migrasi dari Malang dan daerah
sekitar
- Terdapat pengelompokan
berbagai etnis, agama, sosioekonomi, dan sub-komunitas.
- Kegotongroyongan masih
relatif tinggi, meskipun untuk
sub-komunitas tertentu tingkat
partisipasinya rendah.

- Disparitas sosial
ekonomi masyarakat
tinggi.
- Terdapat berbagai
kelompok
kekuasaan: elit lama
punya kuasa karena
pengalaman yang
luas. Elit baru
berbasis status
sosio-ekonomi yang
tinggi. Kelompok
warga miskin juga
punya kekuatan
politik karena
dukungan warga
miskin lainnya.

- P2KP turut berkontribusi
menghadirkan peluang politik dan
kelembagaan yang baru untuk
menghadang berbagai bentuk sandera
elit. Non-elit mampu mencegah
terjadinya kontrol elit lama atas proses
pembuatan keputusan, peran
kepemimpinan yang monopolistik, dan
penyaderaan sumberdaya proyek.
-Sebelum reformasi, Kisma Wasana
bereputasi sebagai wilayah yang
melakukan tata kelola mandiri dan secara
terang-terangan menentang negara.
- Elit baru yang berbasis pada status
sosio-ekonomi yang tinggi menguasai
BKM.
-Dalam implementasi P2KP banyak
terjadi kredit macet dari warga miskin.
Atas konsensus pimpinan BKM bersama
warga, syarat pemberian/alokasi kredit
diperketat.
-Kekuasaan terdistribusikan dengan baik
dan merata, kendati demikian masyarakat
menyepakati terjadinya pembatasan atas
alokasi sumberdaya bagi warga
masyarakat yang paling miskin.

Dari paparan di atas, Dasgupta dan Beard memberikan catatan penting
bahwa temuan riset tidak sejalan dengan asumsi umum tentang relasi antara
kapasitas masyarakat untuk melakukan tindakan kolektif dengan sandera elit. Dari
catatan besar itu, terperinci dalam poin-poin berikut: pertama, tidak semua elit yang
berkuasa itu korup. Karenanya, temuan riset memilah antara kontrol elit dan
sandera elit. Elit-elit lokal berniat dan mampu menyumbangkan waktu dan
ketrampilan yang dibutuhkan untuk memfasilitasi proyek berikut tata kelolanya di
tingkat komunitas. Kedua, tata kelola komunitas yang demokratis tidak
menghasilkan teralokasikannya sumber daya bagi masyarakat yang paling
membutuhkan. Ketiga, keuntungan khusus dari tata kelola demokratis dan
partisipasi yang lebih besar adalah terciptanya peluang dan ruang politik yang
penting untuk menerobos jika terjadi sandera elit dan berbagai persoalan umum
dalam CDD. Keempat, Di komunitas yang proyeknya didominasi oleh elit, tidaklah
jelas apakah peluang tersedia bagi warga masyarakat untuk memecahkan berbagai
persoalan yang muncul.
Lebih lanjut, temuan riset mengilustrasikan dua bentuk tindakan kolektif:
pertama, tindakan kolektif yang didasarkan pada kecilnya ukuran kelompok,
homogenitas dan kedekatan relasi sosial ditunjukkan dalam kasus Kelor. Hal itu
berkontribusi pada terbentuknya kerjasama dan konsensus, baik dalam
menciptakan dan memenuhi pelayanan publik. Dalam karakter yang sama, tindakan
kolektif di Sekar Kamulyan menunjukkan tingkat kesulitan komunitas saat terjadi
sandera elit. Kedua, tindakan kolektif yang didasarkan pada heterogenitas, kekuasaan
yang tersebar, dan proses sosial-politik yang dinamis ada dalam kasus Kisma
Wasana. Tindakan sosial bentuk kedua ini potensial untuk meredefinisi relasi

[Critical Review] – AB. Widyanta

7

kekuasaan, mendorong perubahan struktural dan membuat tata kelola dan
pembangunan komunitas untuk menghadang terjadinya sandera elit.
Dalam kesimpulan, Dasgupta dan Beard memapar relasi signifikan antara
empat faktor dan sandera elit: pertama, faktor desain proyek, termasuk terciptanya
lembaga tatakelola masyarakat yang baru, pedoman umum untuk partisipasi basis
yang luas, dengan suatu penekanan pada pelibatan non-elit, dan pentingnya
menempatkan pembuatan keputusan secara demokratis dan transparan. Kedua,
konteks masyarakat yang pernah ada dalam kaitannya dengan heterogenitas dan
besar kecilnya kelompok, kohesi komunitas, hirarki sosial, dan relasi kekuasaan.
Ketiga, kapasitas masyarakat untuk tindakan kolektif yang merujuk pada
kemampuan untuk secara kooperatif melansir barang-barang dan layanan publik
dan kapasitas untuk meredefenisis relasi kekuasaan dan menciptakan perubahan
struktural. Keempat, konteks sosial, politik dan ekonomi yang lebih luas termasuk
krisis ekonomi, legislasi desentralisasi yang baru, gerakan-gerakan pro-demokrasi
dan reformasi politik, dan meningkatnya sensitivitas terhadap korupsi, kolusi dan
nepotisme.

CDD =World Bank’s SIN
Patut diakui paparan hasil riset evaluatif P2KP di atas begitu memikat,
menakjubkan, sekaligus menantang. Memikat, karena analisis sosio-historis
masyarakat di keempat komunitas basis nampak sangat rinci dan menukik, yang
tentunya itu berkorelasi pada tingginya kemafhuman tim peneliti atas isu-isu
keindonesiaan. Menakjubkan, karena paparan menghidangkan potret cerah yang
menumbuhkan harapan bahwa masyarakat basis di negeri ini mampu
memperagakan proses konsolidasi demokrasi yang adekuat, di tengah keterpurukan
kehidupan berbangsa oleh kepungan korupsi. Menantang, karena temuan riset
membuat dahi berkerut tanda kita meragu atas ketersobekan antara kondisi faktual
keindonesiaan dengan temuan riset itu. Dalam hal ini, kita pantas tertantang untuk
menelisik lebih jauh segenap anasir keraguan itu. Berikut adalah beberapa tanda
tanya itu.
Pertama, keragu-raguan yang paling merayah adalah ketika paparan Dasgupta
dan Beard menyajikan implementasi P2KP—pengejawantahan dari Community
Driven Development yang digagas Bank Dunia4—sebagai program yang terkesan
sangat inklusif (tertandai oleh keterlibatan aktif multi pihak) dan nyaris tanpa cacat.
Terkesankan pula di sana tak ada korupsi, sandera elit, dan penyelewengan proyek
yang berdampak serius. Jika toh muncul masalah, paling sebatas kasus
pengemplangan kredit kecil-kecilan oleh warga miskin. Muncul kesan yang sangat
kuat bahwa semuanya nampak happy ending. Bahkan P2KP terargumenkan sebagai
proyek bottom up ideal masa depan yang pantas menjadi leitmotive untuk penguatan
4Perbedaan

antara Community Based Development dan Community Driven Development menurut paparan ADB (Asian
Development Bank), bahwa CBD merupakan terminologi payung dari CDD. Jika level partisipasi komunitas dalam
kontinum CBD meliputi information sharing, consultation, collaboration, dan community empowerment, maka cakupan CDD
hanya berada dalam interval collaboration dan community empowerment saja. Lihat ADB, Review of Community Driven
Development and Its Application to The Asaian Development Bank, 2006, hlm.6.
[Critical Review] – AB. Widyanta

8

proses desentralisasi, demokratisasi, tata pemerintahan di tingkat basis, penguatan
kapasitas dan pemberdayaan masyarakat, hingga pengentasan kemiskinan yang
adekuat.5 Dalam hal ini, P2KP dipercaya sebagai program bottom up yang berpotensi
menjadi program garda depan untuk menebus keterseokan dan kekarut-marutan
pemerintah Indonesia dalam melayani dan memenuhi hak-hak dasar warga negara.
Dalam konteks ini, muncul sebuah gugatan mendasar. Lantas dimanakah letak
makna “bottom up” ketika tali kekang terbesar (ide dan kontrol) program
dikendalikan secara sentralistis-global oleh Bank Dunia yang senantiasa getol
dengan pendekatan top down”?6 Kendati dalam konteks program yang berbeda—
Rekompak-JRF7—bagan sederhana berikut bisa dipakai untuk menjelaskan “jalan
tol” penggelontoran dana (hutang) dalam P2KP (maupun PPK) di Indonesia:8

Hal yang paling mengguncang dari program Rekompak-JRF itu adalah plotting
dananya. Dari besaran dana 1,7 juta USD, alokasi dana untuk masyarakat hanyalah
180.000 USD; untuk konsultan 520.000 USD; untuk pembangunan prasarana fisik
(Community Settlement Plan) sebesar 1 juta USD.9
Kedua, dari alokasi dana itu kita bisa dengan gamblang melihat siapa
sesungguhnya yang paling teruntungkan dari program tersebut. Jawabannya
bukanlah mayoritas warga miskin, melainkan “rezim fasilitator” (para penegak
rezim). Dalam hal ini, warga miskin semata-mata diposisikan sekadar sebagai
klien/massa penerima manfaat yang patuh (obedient-massif beneficiaries).
Bagaimanapun, proletarisasi warga miskin bekerja dengan sangat baik di sini. Sudah
Sejatinya P2KP ini adalah “adik program” dari PPK (Program Pengembangan Kecamatan) yang diinisiasi sejak
tahun Agustus 1998—dengan dana pinjaman dari Bank Dunia (IBRD nomor 4330)—dan berakhir pada tahun 2001.
PPK sendiri merupakan kelanjutan Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program P3DT (Program
Pengembangan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), yang “terhenti” pada krisis ekonomi tahun1997. Lihat NMC
& Sekretariat Nasional PPK, Program Pengembangan Kecamatan Laporan Tahunan Kedua 1999/2000, Jakarta:
NMC; 2000, hlm.6.
6 Perlu digarisbawahi bahwa P2KP ini hanyalah salah satu versi dari sekian banyak versi pembangunan masyarakat
oleh Bank Dunia yang sesungguhnya diberlakukan juga sejumlah negara sedang berkembang seperti Filipina, Timor
Timur, Afganistan, dll, yang menjadi contoh utama dari apa yang disebut Bank Dunia sebagai “scaling up”, semacam
peningkatan pesat jumlah program-program baru untuk mengurangi kemiskinan. Inilah proyek pembangunan
masyarakat terbesar di Asia Tenggara oleh Bank Dunia. Baca Toby Carroll, Pembangunan Sosial sebagai “Kuda
Troya” Neoliberal: Bank Dunia Dan Program Pengembangan Kecamatan di Indonesia, dalam Prisma Vol. 29, Juli
2010, hlm. 90.
7 Rekompak-JRF adalah program bantuan dana (hibah) dari sejumlah negara donor yang disalurkan melalui Bank
Dunia untuk merespon bencana Gempa Bumi Yogya-Jawa Tengah dan Pangandaran. Perbedaan program
Rekompak-JRF dan PPK/P2KP terletak pada kategori dana: hibah dan hutang.
8 Pada dasarnya, program Rekompak-JRF mereplikasi model dan mekanisme dua program Bank Dunia yang telah
ada sebelumnya, yaitu PPK dan P2KP. Pembeda dari keduanya hanya terletak pada kategori dana hibah dan hutang.
Pembaganan diperoleh dari penjelasan narasumber kunci di JRF (Java Reconstruction Fund). Wawancara penulis
dengan WH, pada 4 juni 2011.
9 Paparan WH kepada penulis pada 4 juni 2011.
5

[Critical Review] – AB. Widyanta

9

jatuh tertimpa tangga pula. Selain juga kelak turut memikul beban hutang, jatah
mereka pun telah terjarah di tengah jalan. Relevan dengan itu, saat menelisik siapa
yang paling teruntungkan oleh gelombang desentralisasi dan demokratisasi di
Indonesia, Vedi Hadiz pun tegas mengungkapkan:10
...Tidaklah sulit mengidentifikasi penerima manfaatnya. Pada umumnya, mereka adalah
individu dan kelompok yang sebelumnya berfungsi sebagai operator-operator lokal dan para
birokrat sisa Orde Baru—dari yang kecil sampai ukuran menengah, namun secara politik
adalah para keneksi bisnis yang berambisi besar, juga sederetan mantan antek dan penegak
rezim.

Terkait dengan pertanyaan tentang siapa yang teruntungkan dari model program
yang super mahal, untuk sebuah fokus yang mikro, semacam itu tentu saja
menyisakan sebuah persoalan besar, yaitu perihal keberlanjutan program.
Ketiga, jika benar warga berpartisipasi aktif dan bahkan tergerak melakukan
tindakan kolektif dalam P2KP itu, lantas partisipasi macam apa jika itu ternyata
digerakkan dan dikontrol ketat oleh eksternalitas semacam itu? Akan pas
menyebutnya sebagai partisipasi gadungan, yang jauh dari hakekat partisipasi
murni. Partisipasi gadungan merujuk pada keterlibatan warga yang termobilisasi
oleh berjibunnya gelontoran dana, kendati berasal dari hutang sekalipun. Dalam
relasi asimetris semacam itu, sulit bagi warga untuk menampiknya. Sama sulitnya
untuk tidak mengatakan bahwa P2KP telah menunggangi dan mengekspolitir
partisipasi warga di tingkat basis. Adalah muslihat jika ada yang mendaku bahwa
partisipasi masyarakat sipil tumbuh subur berkat P2KP. Terstimulasi dana sebesar
Rp. 250 juta hingga Rp 1 milyar, warga pun terpaksa bergerak dan termobilisir
untuk mendirikan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) berikut pilihan
proyeknya hanya dalam tempo 4 hingga 6 bulan saja. Tenggat yang mepet
berkonsekuensi pada kerja keras super ekstra bagi komunitas basis. Perlu kapasitas
yang memadai untuk mengurus besarnya dana serta rumitnya mekanisme dan
prosedur kelembagaan. Praktis, situasi itu telah secara dini memelantingkan
mayoritas warga miskin dari kepengurusan/kepemimpinan BKM. Jika pun ada,
boleh jadi sangatlah terbatas atau terpilih lantaran afirmasi (diskriminasi positif)
berupa kuota. Maka tak heran jika riset Dasgupta dan Beard menjumpai mayoritas
BKM dikontrol para elit lokal. Dalam gambaran semacam itu, lalu dimana
letak/ruang “kendali masyarakat” ketika perangkat prosedural ketat itu telah lebih
dulu “mencongok hidung” warga? Bukankah peran (rezim) fasilitator—dari Bank
Dunia hingga fasilitator lokal—jauh lebih dominan dan menentukan ketimbang
warga masyarakat basis?
Keempat, pendakuan yang tak kalah menggeramkan adalah pernyataan
Dasgupta dan Beard yang menekankan bahwa BKM sebagai lembaga ujung
tombak P2KP sangatlah bermakna bagi masyarakat karena ia merupakan lembaga
yang independen dari negara, hingga mampu menciptakan ruang politik baru bagi
Vedi Hadiz, Decentralisation and Democracy in Indonesia: A Critique of Neoinstitutionalist Perspective” dalam
Toby Carroll, Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal: Bank Dunia Dan Program Pengembangan
Kecamatan di Indonesia, dalam Prisma Vol. 29, Juli 2010, hlm.100.

10

[Critical Review] – AB. Widyanta

10

masyarakat. Lompatan proyek yang langsung menghunjam di komunitas basis—
bermoduskan insentif dan lobi-lobi pemerintah pusat, berdalih penguatan
desentralisasi, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat—tanpa menimbang
aspek subsidiaritas di level pemerintah lokal adalah “kanibalisme kewenangan”
yang niscaya menggerogoti tubuh nation-state yang berdaulat. Inilah potret paling
gamblang “negara dalam negara”. Sampai-sampai negara berdaulat seperti
Indonesia inipun tersusupi dan tertancapi faham “fundamentalisme pasar”. Alhasil
“kewargaan pasar” pun mengantongi kedaulatan dalam wadah bernama BKM
tersebut.11
Berpijak dari keempat catatan kritis atas P2KP itulah esensi sesungguhnya
dari apa yang disebut Toby Carrol sebagai Neoliberalisme Kelembagaan-Sosial
(Socio-Institusional Neoliberalism—SIN) Bank Dunia. Singkatnya, P2KP adalah
pengejawantahan dari skenario besar Bank Dunia untuk mengimplementasikan
SIN di tingkat akar rumput. Lebih jauh, Carroll menjelaskan sebagai berikut:12
SIN ini dikembangkan untuk menjawab krisis legitimasi yang menjangkiti bentuk-bentuk
kebijakan pembangunan neoliberal awal. Tekanan pada kelembagaan ini difungsikan Bank
Dunia untuk mengubah tiga kebijakan utama dalam Konsensus Washington—privatisasi,
deregulasi, dan liberalisasi—dengan menempatkan fokus pada “pengembangan industri” dalam
matriks pentingnya kelembagaan khusus bagi operasi pasar (dipahami dalam istilah ortodoks
sebagai “tata kelola pemerintahan yang baik”). Bahkan, dorongan kelembagaan ini khususnya
memilah-milah peran lembaga sosial dan memanfaatkan saham “modal sosial” mereka.

Lebih jauh Carroll memaparkan, SIN sebagai sekuel linier dari PWC (Post
Washington Consensus) memang akan mudah dipahami jika dilihat dari luar
konteksnya (semacam PPK dan P2KP di Indonesia-pen). PPK (dan juga P2KP-pen)
merupakan proyek pembangunan neoliberal yang berbeda meski tetap saja
neoliberal, dan banyak hal dari apa yang berbeda dari program ini berasal dari
pendekatannya untuk memperluas, institusi dan insfrastruktur pasar liberal secara
“bottom up”.13
Epilog: Duc in altum!
Dari seluruh paparan di atas, kita bisa menarik pemahaman tentang temuan
riset Dasgupta dan Beard dalam beberapa catatan kritis berikut: pertama, terlepas
dari temuan risetnya yang menarik (terkait proses demokratisasi di akar rumput),
namun vested-interest mereka (terutama Dasgupta yang merupakan staf Bank Dunia)
justru telah membabar sekaligus membongkar kedoknya sendiri. Terjadi contradictio
in terminis antara paradigma program yang sebenarnya “anarkis” dan temuan
implementasi program yang mempesona. Maka, bukan hal aneh jika paparan hasil
riset sesungguhnya telah terperangkap dalam “sandera peneliti” (researcher capture),
11Berdasarkan

informasi dari narasumber kunci di District Management Consultant (DMC), awal pengimplementasian
BKM ini telah mengakibatkan berbagai kasus konflik struktural maupun horisontal di tingkatan desa. Pasalnya,
kepala desa atau lurah merasa “ora diuwongke”, dipreteli otoritas dan kewenangan atas wilayah yang dipimpinnya. Di
kemudian hari, kritik membuahkan perubahan aturan dimana kepala desa/lurah turut dilibatkan kendati minimal.
Wawancara penulis dengan staf District Management Consultant, PA, pada 13 Juni 2011.
12 Toby Carroll, Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal: Bank Dunia Dan Program Pengembangan
Kecamatan di Indonesia, dalam Prisma Vol. 29, Juli 2010, hlm.86-87.
13 Toby Carrol, Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal..., hlm. 100.
[Critical Review] – AB. Widyanta

11

utamanya peneliti propagandis yang memang bertugas rangkap sebagai
“misionaris” dari program-program Bank Dunia.
Kedua, sejauh penelusuran penulis sendiri, temuan fakta lapangan
menunjukkan bahwa hal yang sesungguhnya terjadi bukannya Community Driven
Development melainkan Community Facilitator Driven Development. Sterilisasi peran
aktor yakni “fasilitator program” yang sangat dominan dalam Program Penanganan
Kemiskinan Perkotaan/Urban Poverty Program sebagai representasi CDD adalah
kebolongan besar tulisan Dasgupta dan Beard. Penyembunyian secara sengaja atas
paradigma basis CDD adalah sebentuk khianat intelektual (peneliti) atas upaya
mewujudkan keberdayaan dan kedaulatan masyarakat dunia ketiga dalam arti yang
sesungguhnya.
Ketiga, semendalam apapun temuan riset itu terpapar, sejauh tak menyoal
akar paradigma dari CDD itu sendiri, maka ia tak lebih dari “ke-mudharat-an”
pengetahuan yang memang tak-liberatif. Terlebih lagi, penyembunyian secara
sengaja atas paradigma basis CDD adalah sebentuk khianat intelektual (peneliti)
atas segenap daya upaya mewujudkan keberdayaan dan kedaulatan masyarakat
dalam arti yang sesungguhnya. Dalam konteks ini, sikap awas, hati-hati, lagi jeli,
dalam menelisik CDD adalah sebuah keutamaan guna mendapati berbagai dampak
dan konsekuensi lanjut (jangka panjang) yang jauh lebih buruk bagi
komunitas/masyarakat yang mengimplementasikannya.
Keempat, bagaimanapun juga, program penanggulangan kemiskinan bukanlah
perkara gampang dan remeh. Butuh konsolidasi multi-pihak dalam relasi yang
relatif setara untuk mewujudkan itu, dan tentu saja tanpa paradigma neoliberal itu.
Secara hakiki, perlu rancangan program yang bertumpu pada segenap potensi
bangsa sendiri, bukan dari hutang. Dengan demikian, bangsa ini bisa sungguhsungguh mewujudkan penegakan martabat segenap warganya yang kesrakat. Dalam
hal ini, penting untuk mempertimbangkan gagasan Ostrom tentang CPRs bersekala
kecil (small-scale Common Pool Resources) di atas. Dalam keseluruhan maknanya,
mungkin ada faedahnya juga bagi kita melakukan penelisikan ulang atas apa yang
sesungguhnya beroperasi dalam P2KP ini. Terselip sebuah kekhawatiran: janganjangan kemiskinan itu memang telah ter-reproduksi sejak dari dalam pikiran kita
sendiri, seperti yang terperagakannya komodifikasi kemiskinan dalam P2KP.
Dalam suasana muram ini, seorang guru kehidupan yang bijak bestari pun
bersesanti: Duc in altum! Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam! [abw-170611]
Referensi
Carroll, Toby. Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal: Bank Dunia Dan
Program Pengembangan Kecamatan di Indonesia, dalam Prisma Vol. 29, Juli 2010
------------, The World Bank's Socio-institutional Neoliberalism: A Case Study From Indonesia
(Working Paper), diunduh pada 5 Juni 2011 dari www2.warwick.ac.uk/fac/soc/csgr/
events/workshops/.../carroll.pdf
ADB. 2006. Review of Community Driven Development and Its Application to The Asaian
Development Bank.
NMC & Sekretariat Nasional PPK. 2000. Program Pengembangan Kecamatan Laporan
Tahunan Kedua 1999/2000, Jakarta: NMC.
[Critical Review] – AB. Widyanta

11