Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sintesis Pewarna Alami Kulit Telur Puyuh (Coturnix coturnix L.) Secara Kompleksasi dengan Ion Al3+ = Synthesis of Natural Dyes from Quail Eggshell (Coturnix coturnix L.) Using Al3+ Complexation

SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH
(Coturnix coturnix L.) SECARA KOMPLEKSASI DENGAN ION Al3+

SYNTHESIS OF NATURAL DYES FROM QUAIL EGGSHELL
(Coturnix coturnix L.) USING Al 3+ COMPLEXATION

Oleh:
Harry Setiawan Saputra
652013010

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika guna
memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains

PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017


i

ii

iii

iv

SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH
(Coturnix coturnix L.) SECARA KOMPLEKSASI DENGAN ION Al3+

SYNTHESIS OF NATURAL DYES FROM QUAIL EGGSHELL
(Coturnix coturnix L.) USING Al 3+ COMPLEXATION

Harry Setiawan1 , Cucun Alep Riyanto1 , Dewi K.A.K.Hastuti1 , Yohanes Martono1,*
1 Program

Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika
Universitas Kristen Satya Wacana


Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga 50711, Jawa Tengah, Indonesia
* Email:

yohanes.martono@staff.uksw.edu

ABSTRACT
This study aims were to determine the optimum conditions in terms of protoporphyrin
IX extraction solvent compositions, methods, and extraction cycle from quail eggshell, and
ato optimize complexation process of protoporphyrin IX and ion Al3+ using Respon Surface
Method (RSM). Quail eggshell extraction was optimized based on extraction method
(maceration and ultrasonic method), solvent, and cycle of extraction. RSM was optimized
using Central Composite Design (CCD) of 3 3 model. Variabel was performed based on mol
ratio, pH and temperature. The assay protoporphyrin IX was done using UV-VIS
spectroscopy and determined using the Lambert-Beer equation. The results showed that
quail eggshell extract contained protoporphyrin IX. It can be seen from the spectra and has
been already matched with spectra protoporphyrin IX standard. Optimum condition of
protoporphyrin IX extraction were obtained by using methanol 96% and HCl(c) 5% (v/v).
Extraction was performed using maceration method. Protoporphyrin IX content in the
extract was 1.92 × 10-2 % w/w. Optimum protoporphyrin IX extraction cycle was achieved
at 3 cycles. Protoporphyrin IX extract was fractionated with chloroform. Fractionation with

chloroform caused structural changes into protoporphyrin dimethyl ester and made
discoloration of extract solution. Based on RSM model, the optimum condition of
complexation between Al3+ and protoporphyrin IX were present at pH 5; ratio of 1: 3 (mol:
mol); temperature of 30 o C. The RSM polynomial equation for optimization of the complex
protoporphyrin IX- Al3+ is affected by the interaction between pH and ratio ; and ratio with
temperature.
Key words : Extraction, optimization, protoporphyrin, quail eggshell

1

PENDAHULUAN
Pada masa sekarang, perusahaan tekstil banyak menggunakan pewarna yang berasal
dari senyawa sintetik karena mudah dalam pewarnaan serta harga yang murah (Prabhu &
Bhute, 2012), tetapi penggunaan senyawa sintetik dalam industri tekstil dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan karena senyawa ini tidak dapat terdegradasi di alam (Prabhu & Teli,
2011). Selain itu, pewarna sintetis juga bersifat karsinogenik dan menyebabkan alergi
(Prabhu & Bhute, 2012). Oleh karena itu, perusahaan tekstil mencoba kembali untuk
menggunakan zat pewarna alami karena tingginya tingkat kesadaran untuk menciptaka n
lingkungan yang sehat (Prabhu & Teli, 2011; Samanta & Agarwal, 2009).
Zat pewarna alami didapatkan dari bahan – bahan alam seperti hasil ekstrak

tumbuhan atau hewan (Kwartiningsih,

Setyawardhani,

Wiyanto, & Triyono,

2009)

contohnya adalah pigmen dalam kerabang telur puyuh. Kerabang telur puyuh belum banyak
dimanfaatkan padahal memiliki pigmen protoporphyrin IX (Gosler, 2006) yang dapat
digunakan sebagai pewarna alami. Protoporphyrin IX merupakan pigmen utama dalam telur
yang berwarna coklat (Zhao, Xu, Liu, Li, & Yang, 2006). Kondisi dalam mengekstraks i
protoporphyrin IX perlu diperhatikan agar proses ekstraksi dapat dilakukan secara efektif
dan efisien.
Pengukuran protoporphyrin IX pada ekstrak kerabang telur puyuh dapat ditentuka n
dengan pengukuran panjang gelombang maksimal menggunakan spektroskopi UV – Vis
(Mukhriani, 2014) dengan menggunakan nilai absorptivitas molar (ɛ) dari protoporphyrin
IX dalam HCl 1,5 M (Hunter, Sampson, & Ferreira, 2008) dan distandardisasi dengan cara
membandingkan kurva absorbansi panjang gelombang maksimum dengan kurva standard
protoporphyrin IX dalam metanol - HCl.

Protoporphyrin IX dapat diekstraksi dari kerabang telur ayam (Dean, Miller, &
Brückner, 2011), kerabang telur puyuh jepang (Duval, Cassey, Miksík, Reynolds, &
Spencer, 2013), dan
Waterhouse,

telur – telur dari unggas yang lain (Thomas, Hauber, Hanley,

Fraser, & Gordon, 2015). Pelarut

yang digunakan

dalam ekstraksi

protoporphyrin IX beragam, seperti HCl 2 M dan asetat (Dean et al., 2011), metanol H2 SO4
8,5% (Duval et al., 2013), dan methanol H2 SO4 5% (Cassey et al., 2012). Protoporphyrin IX
dimetil ester dapat diidentifikasi lebih lanjut dengan melakukan fraksinasi menggunaka n
klorofom. Setelah itu, dipindai dengan spektrofotometer UV – Vis (Grinsten, 1947).
Ekstraksi protoporphyrin IX dengan menggunakan ultrasonik banyak dilakukan pada sampel

2


bakteri (Wang et al., 2016), alga (Pasquet et al., 2011), dan sel hewan (Wang, Hannafon,
Lind, & Ding, 2015).
Pewarnaan yang terbatas, mudah luntur dan mudah kusam karena afinitas yang
rendah dengan tekstil (Prabhu & Teli, 2011) menjadi kelemahan dari zat pewarna alami
sehingga perlu dilakukan pengembangan lebih lanjut agar dapat meminimalkan kelemahan
tersebut.
Pada penelitian sebelumnya, proses pewarnaan menggunakan ekstrak kasar dari
kerabang telur puyuh tanpa dilakukan standarisasi terlebih dahulu (Kombando, 2014). Hal
ini dapat menyebabkan perbedaan hasil walau dilakukan dengan sampel yang sama tetapi
berbeda

penelitian.

Kebaruan

dari

penelitian


ini

adalah

menggunakan

ekstrak

protoporphyrin yang terstandarisasi untuk pembentukan kompleks dengan ion logam Al3+.
Pengukuran protoporphyrin IX pada ekstrak kerabang telur puyuh dapat ditentukan dengan
pengukuran

panjang

gelombang

maksimal

menggunakan


spektroskopi UV – Vis

(Mukhriani, 2014) dengan menggunakan nilai absorptivitas molar (ɛ) dari protoporphyrin
IX dalam HCl 1,5 M (Gunther, Turner & Huff., 1989) dan distandarisasi dengan cara
mencocokan kurva absorbansi panjang gelombang maksimum dengan kurva standart
protoporphyrin IX dalam metanol - HCl.
Kompleksasi dengan ion logam bertujuan untuk menjaga kestabilan senyawa pigmen
yang ada agar menjaga konsistensi warna sehingga tidak mudah kusam atau dapat disebut
dengan mordan (Sumanta & Konar, 2011). Ion logam akan bereaksi dengan pewarna alami
dan membentuk kompleks sehingga senyawa pewarna alami tersebut menjadi stabil.
Pembentukan kompleks dipengaruhi oleh pH (Fagadar-Cosma et al., 2014), konsentrasi dari
ion logam yang dipakai (Maming, Jumina, Siswanta, Sastrohamidjojo, & Ohto, 2008) dan
suhu (Aprian & Ali, 2012). Semakin banyak kompleks yang terbentuk, maka senyawa
pewarna alami semakin tidak mudah kusam karena senyawa alami akan menjadi stabil dan
sulit berinteraksi dengan air ataupun sinar matahari (Prabhu & Bhute, 2012).
Pada penelitian-penelitian tersebut, penelitian mengenai kondisi optimum ekstraksi
protoporphyrin IX dari kerabang telur puyuh Indonesia yang ditinjau dari pelarut dan metode
yang digunakan dan kondisi optimum proses kompleksasi ditinjau dari pH, konsentrasi ion
logam Al3+, dan suhu pada proses kompleksasi protoporphyrin IX dengan ion logam Al3+
yang terstandarisasi belum pernah dilakukan.. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka

tujuan penelitian ini adalah memperoleh ekstrak protoporphyrin IX dari kerabang telur
puyuh Indonesia, menstandardisasi ekstrak kerabang telur puyuh berdasarkan kandungan
3

dan spektra protoporphyrin IX, menentukan kondisi optimum ekstraksi protoporphyrin IX
(metode ekstraksi) dari kerabang telur puyuh, dan mengoptimasi reaksi kompleksasi
protoporphyrin IX dan ion logam Al3+ ditinjau dari pH, rasio mol antara ekstrak
protoporphyrin dengan ion logam, dan suhu menggunakan model Respon Surface Method
(RSM).
METODOLOGI PENELITIAN
Alat dan Bahan
Sampel limbah kerabang telur puyuh diperoleh dari pedagang di Pasar Projo
Ambarawa. Bahan yang digunakan diantaranya metanol, HCl, NaCl, klorofom, AlCl3 .6H2 O,
dietileter, dan larutan buffer (pH 3, 4 dan 5). Semua bahan yang digunakan berderajat PA
(pro-analysis) diperoleh dari E-Merck, German.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya Spektrofotometer (Optizen,
2120), neraca dengan ketelitian 0,01g (Ohaus, TAJ602), neraca analitis dengan ketelitian 0,1
mg (Ohaus, PA214), moisture analyzer (Ohaus, MB 25), pH meter (Hanna HI 9812), corong
pisah, dan ultrasonikator (Krisbow Ultrasonic cleaner DSA50-GL2 -2.5L)
Metode

Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.

Preparasi Sampel (Kombado, 2014)
Kulit telur puyuh dikeringkan dalam drying cabinet selama 24 jam. Setelah
kering sampel dihaluskan dan diayak (20 mesh).

b.

Ekstraksi Protoporphyrin IX (Wang et al., 2007)
Lima puluh gram serbuk telur puyuh dimaserasi dalam metanol 96%-HCl 5%
(v/v) (HCl(p) dan HCl 5%).Sampel diektraksi dengan menggunakan metode maserasi
dan ultrasonik. Maserasi dilakukan secara bertingkat dengan waktu masing- mas ing
selama 30 menit. Perbandingan yang digunakan antara sampel dan pelarut tiap waktu
maserasi adalah 1:10 (𝑏⁄𝑣). Setelah proses ekstraksi, ekstrak dipindai dengan
spektrofotometer UV-VIS pada kisaran panjang gelombang 200 – 700 nm untuk
menentukan panjang gelombang maksimal.

4


c.

Fraksinasi Protoporphyrin IX (Duval et al., 2013)
Fraksinasi larutan ekstrak dilakukan dengan menambahkan kloroform pada
rasio kloroform : fase aqueous = 1:2, v/v. Fase organik diambil dan ditambahkan 10 mL
NaCl 10% lalu digojok, kemudian fase organik dipisahkan. Fase organik dipinda i
dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada kisaran panjang gelombang 200
– 700 nm untuk menentukan panjang gelombang maksimal.
Standardisasi

ekstrak

kerabang

telur

puyuh

berdasarkan

kandungan

protoporphyrin IX dilakukan dengan pemindaian ekstrak kerabang telur puyuh pada
kisaran panjang gelombang 200–700nm.
Kandungan protoporphyrin IX dalam ekstrak kerabang telur puyuh diukur
berdasarkan persamaan 1 berikut:
A407 = ε b.C ...........................(1)
Keterangan :
A407 : Absorbansi ekstrak pada panjang gelombang 407 nm.
ε

: absortivitas molar porfirin dalam pelarut 1,5M HCl pada panjang gelombang 407
nm (297.000 L mol-1 cm-1 ) .

b

: panjang jalan masuk sinar atau lebar kuvet yaitu 1cm.

C

: konsentrasi protoporphyrin IX dalam ekstrak kerabang telur puyuh (mol L-1 )

d. Kompleksasi Protoporphyrin dengan ion logam Al3+ (Tanziha, Kusharto, & Januwati,
2009)
Kompleks Al-protoporphirin IX dibuat dengan cara mereaksikan ion logam Al3+
dan ekstrak kerabang kulit telur puyuh dengan perbandingan mol 1:1; 1:2; dan 1:3 .
Ekstrak kerabang telur puyuh diatur pH-nya (3, 4, dan 5) dengan menambahkan larutan
buffer. Reaksi dilakukan di dalam labu tertutup selama 30 menit menggunaka n
ultrasonikator pada pada variasi suhu suhu 30 o C, 40 o C, dan 50 o C. Sebagai kontrol
adalah larutan Al3+ dan ekstrak kerabang telur puyuh.
Analisa pembentukan kompleks ekstrak kerabang telur puyuh dengan ion logam
Al3+ berdasarkan pemindaian pada kisaran panjang gelombang 360 – 1060 nm. Spektra
yang diperoleh dicocokan dengan spektra standar protoporphyrin IX.
5

e. Analisa Data (Heleno et al., 2016)
Optimasi reaksi kompleksasi dilakukan dengan metode Response surface
methodology (RSM). Desain optimasi menggunakan model 3 3 Central Composite
Design (CCD) dengan tiga pengubah dan tiga level faktor. Sebagai pengubah yaitu pH
(X1 ), nisbahmol ion logam Al3+ dengan mol protoporphyrin IX (X2 ), dan suhu reaksi
(X3 ). Faktor X1 meliputi pH 3, 4, dan 5. Faktor X2 meliputi nisbah 1:1 ; 1:2 ; dan 1: 3 .
Faktor X3 meliputi suhu 30o C, 40 o C, dan 50o C. Setiap pengubah dan faktor diberi kode
-1,68; -1; 0; 1; dan +1,68.

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelarut metanol-HCl (HCl(p) dan HCl 5%)
Spektra hasil pemindaian ekstrak HCl 5% dan HCl(p) menunjukkan hasil yang sangat
berbeda (Gambar 1). Ekstraksi dengan menggunakan metanol – HCl 5% tidak dapat
mengekstrak sepenuhnya protoporphyrin IX ditunjukkan dengan tidak adanya titik puncak
yang signifikan pada panjang gelombang 421 nm (Gambar 1a). Hal ini dikarenakan hampir
95% komponen pada kerabang telur puyuh adalah CaCO 3 (Mann & Mann, 2015) sehingga
HCl habis bereaksi dengan

CaCO 3 terlebih

dahulu

sebelum

dapat mengekstrak

protoporphyrin IX. HCl menjadi komponen yang penting dalam pengekstrakan yaitu untuk
proses demetalisasi sehingga protoporphyrin IX dapat memutuskan ikatannya dengan ion
logam yang ada sehingga dapat terekstrak dalam bentuk protoporphyrin IX saja (Gorchein,
Lim, & Cassey, 2008). Dalam penelitian ini, kadar protoporphyrin IX yang terekstrak
dengan HCl 5% adalah 1,81 x 10-5 % (b/b) sedangkan menggunakan HCl(p) terekstrak 1,84
x 10-2 % (b/b).

(a)

(b)

Gambar 1. (a) Spektra protoporphyrin IX pada pelarut metanol – HCl (HCl 5%) pada
kisaran panjang gelombang 200 – 700 nm dengan tidak terdapat panjang
gelombang maksimum. (b) Spektra protoporphyrin IX pada pelarut metanol –
HCl (HCl(p)) pada kisaran panjang gelombang 200 – 700 nm dengan panjang
gelombang maksimum 409 nm
Metode ekstraksi secara maserasi dan ultrasonik
Spektra protoporphyrin IX dari kedua metode ekstraksi menunjukkan hasil yang
berbeda (Gambar 2). Spektra yang memiliki kesamaan dengan spektra protoporphyrin IX
standard adalah spektra yang menggunakan metode maserasi (Gambar 2a). Spektra dari
metode ultrasonik menunjukkan hasil yang berbeda dari spektra standard protoporphrin IX
tetapi memiliki nilai panjang gelombang yang sama dengan protoporphyrin IX (Gambar
7

2b). Pada spektra ekstrak protoporphyrin yang diekstraksi secara ultrasonik, hampir
terbentuk puncak panjang gelombang yang lain dan mengalami perubahan bentuk pada
bentuk spektranya, ultrasonik memberikan energi sehingga membuat kromofor pada struktur
protoporphyrin IX mengalami perubahan kompleks donor – aseptor elektron intramolekular,
perubahan kompleks kromofor tak jenuh terkonjugasi dan perubahan dalam disosiasi atau
protonasi pada gugus karboksil (Kaiser & Berhe, 2014). Hal ini membuat struktur
protoporphyrin IX terdekomposisi dan diduga berubah menjadi bentuk isoporphyr in
(Bhuyan, 2015). Kadar protoporphyrin IX yang didapat dengan metode ultrasonik adalah
1,88 x 10-2 % (b/b) sedangkan kadar protoporphyrin yang didapat menggunakan metode
maserasi adalah 1,92 x 10-2 % (b/b).

(a)

(b)

Gambar 2. (a) Spektra protoporphyrin IX menggunakan metode maserasi pada kisaran
panjang gelombang 200 – 700 nm dengan panjang gelombang maksimum 409
nm. (b) Spektra protoporphyrin IX menggunakan metode ultrasonik pada kisaran
panjang gelombang 200 – 700 nm dengan panjang gelombang maksimum 409
nm
Siklus ekstraksi
Siklus yang digunakan adalah 5 kali. Pada setiap siklus tidak terjadi perubahan
bentuk spektra, tetapi mengalami penurunan intensitas penyerapan radiasi elektromagne tik
dalam nilai absorbansi. Pada spektra terjadi pergeseran secara hipokromik, pergeseran
spektra ini menunjukkan perubahan nilai intensitas yang semakin kecil yang disebabkan oleh
perubahan pelarut atau berkurangnya konsentrasi senyawa yang terlarut (Musiam & Alfia n,
2017). Pada siklus pertama didapatkan kadar protoporphyrin IX 1,84 x 10 -2 %, pada siklus
kedua 1,82 x 10-2 %, pada siklus ketiga 1,79 x 10-2 %, pada siklus keempat 1,72 x 10-2 %
dan pada siklus kelima 1,56 x 10-2 %. Penambahan siklus ekstraksi masih dapat dilakukan

8

untuk memaksimalkan pengambilan protoporphyrin IX karena pada siklus kelima masih
banyak terdapat protoporphyrin IX.

Gambar 3. Spektra 5 siklus ekstraksi protoporphyrin IX pada kisaran panjang gelomba ng
200 – 700 nm terdapat panjang gelombang maksimum 409 nm silklus 1 ( ),
siklus 2 ( ), siklus 3 ( ) Siklus 4 ( ), siklus 5 ( )
Fraksinasi kloroform
Pada proses fraksinasi dengan kloroform, ekstrak yang berwarna biru kehijauan
berubah menjadi cokelat. Kedua sampel dipindai dengan menggunakan spektroskopi UV –
Vis untuk mengetahui spektranya. Spektra hasil pemindaian ditunjukkan pada Gambar 4a
dan Gambar 4b.

(b)

(a)

Gambar 4. (a)Spektra protoporphyrin IX pada fraksi
gelombang 200 – 700 nm dengan panjang
Spektra protoporphyrin IX pada fraksi
gelombang 200 – 700 nm dengan panjang
nm, 540 nm, 575 nm, 631 nm

9

metanol HCl pada kisaran panjang
gelombang maksimum 409 nm. (b)
kloroform pada kisaran panjang
gelombang maksimum 407 nm, 507

Pada Gambar 4b terlihat adanya perubahan pola serapan radiasi elektromagnetik
pada kisaran panjang gelombang 407 nm, 507 nm, 540 nm, 575 nm dan 631 nm. Perubahan
panjang gelombang maksimum dikarenakan terjadinya perubahan pada sisi kromofor di
protoporphyrin IX (Kaiser & Berhe, 2014), Perbedaan warna yang diserap menghasilka n
perubahan pada panjang gelombang

maksimum

sehingga

menyebabkan

terjadinya

perubahan warna pada larutan ekstrak (Day & Underwood, 2002). Pada proses fraksinas i
dengan kloroform,

protoporphyrin

mengalami alkoholisis (gugus asam karboksilat)

sehingga menjadi dimetil ester protoporphyrn (Arita, Dara, & Irawan, 2008). Dimetil ester
protoporphyrin memiliki 5 panjang gelombang maksimal, yaitu pada 407 nm, 507 nm, 540
nm, 575 nm dan 631 nm (Grinsten, 1947).
Stabilitas ekstrak protoporphyrin IX
Setelah proses ekstraksi, diambil salah satu sampel lalu dilakukan penyimpanan di
dalam lemari pendingin selama 14 hari untuk menguji stabilitas protoporphyrin IX yang
sudah terekstrak tersebut. Pada hari pertama didapatkan absorbansi pada 411 nm adalah
2,066 dan pada hari ke – 14 didapatkan nilai absorbansi 411 nm sebesar 2,244. Kenaikan
nilai absorbansi ini dapat terjadi karena ketika pengukuran terjadi penguapan pelarut metanol
sehingga menyebabkan protoporphyrin IX menjadi lebih pekat. Pola spektra ekstrak
protoporphyrin IX tidak mengalami perubahan yang bermakna (Gambar 5). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa ekstrak protoporphyrin IX stabil selama 14 hari pada penyimpa na n
dalam lemari pendingin.

(a)

(b)

Gambar 5. (a) Spektra protoporphyrin IX pada hari ke – 0 pada kisaran panjang gelomba ng
200 – 700 nm dengan panjang gelombang maksimum 409 nm. (b) Spektra
protoporphyrin IX pada hari ke – 14 pada kisaran panjang gelombang 200 – 700
nm dengan panjang gelombang maksimum 409 nm
10

Menurut Samiullah, Roberts, & Chousalkar (2016), protoporphyrin IX dalam bubuk
kerabang telur segar dan pada kerabang telur yang telah disimpan dalam kondisi dingin (20
– 25°C) diatas 6 – 7 tahun tidak mengalami perubahan sama sekali, tetapi ketika umur
penyimpanan kerabang telur mencapai kurang lebih 150 tahun, akan mengalami degradasi
warna yang disebabkan oleh infeksi jamur pada kerabang telur dan terjadi reaksi dengan
senyawa kimia pada tempat penyimpanan tersebut (Cassey, Maurer, Duval, Ewen, &
Hauber, 2010). Namun demikian, tingkat kestabilan protoporphyrin IX pada ekstrak
kerabang telur puyuh perlu diteliti lebih lagi untuk menentukan tingkat kestabilan terbaik
dari protoporphyrin IX tersebut.
Spektra Kompleks ekstrak porfirin dengan ion logam Al3+
(b)

(a)

(d)

(c)

Gambar 6. (a) Spektra Al3+ (b) Spektra kompleks protoporphyrin IX dengan Al3+ dengan
kondisi pH 3; rasio mol 1 : 1; suhu 30 o C, (c) Spektra kompleks protoporphyrin
IX dengan Al3+ dengan kondisi pH 4; rasio mol 1 : 2; suhu 23,2 o C, (d) Spektra
kompleks protoporphyrin IX dengan Al3+ dengan kondisi pH 4; rasio mol 1 : 3;
suhu 40o C pada kisaran panjang gelombang 200 – 700 nm
Kompleksasi dengan ion Al3+ menunjukan panjang gelombang maksimal yang
berbeda dari sebelumnya, panjang gelombang maksmial tanpa kompleksasi adalah 409 nm
dan mengalami pergeseran ke kanan menjadi 420 nm. Hal ini menunjukan bahwa
protoporphyrin IX dan Al3+ membentuk kompleks dan saling berikatan membentuk struktur
yang baru.

11

Optimasi kompleksasi ekstrak kerabang kulit telur puyuh dengan ion logam Al3+
Hasil optimasi kompleksasi dianalisa dengan metode Response surface methodology
(RSM) menggunakan model 33 central composite design dengan tiga peubah dan tiga level
faktor. Setiap peubah dan faktor diberi kode -1,68; -1; 0; 1; dan +1,68. Tabel peubah bebas
dan kode aras faktor optimasi yang digunakan tersebut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Tabel peubah bebas dan kode aras faktor optimasi.
Kode
Aras
-1,68
-1
0
1
+1,68

pH
23,2
3
4
5
5,68

Nilai Aras
Rasio
1:0,32
1:01
1:02
1:03
1:3,68

Suhu
23,2
30
40
50
56,8

Tabel 2. Tabel faktor optimasi dan respon hasil serapan.
Faktor
pH

Faktor
Rasio

Faktor
Suhu

4
4
5
5
3
4
3
3
4
5
3
5
4
4
5.68
2.32
4
4
4
4

1:2
1:2
1:1
1:3
1:1
1:2
1:3
1:1
1:2
1:3
1:3
1:1
1:2
1:0,32
1:2
1:2
1:2
1:2
1:2
1:3,68

40
40
50
30
30
40
50
50
40
50
30
30
56,82
40
40
40
40
23,18
40
40

Respon Serapan Tiap Panjang Gelombang
Abs 420nm
2,638
2,62
2,854
2,921
2,538
2,62
2,432
2,824
2,553
2,886
2,699
2,553
2,585
2,398
2,444
2,456
2,553
2,678
2,638
2,509
12

Hasil pembentukan kompleks berdasarkan faktor optimasi tersebut dapat dilihat pada
Tabel 2. Dari tabel tersebut, dapat ditentukan faktor optimasi pembentukan kompleks. pH,
rasio, dan suhu merupakan faktor optimasi pada pembentukan kompleks antara ekstrak
protoporphyrin IX dengan ion logam Al3+ berdasarkan kode level optimasinya.
Analisa pemodelan polinomial orde dua pada penelitian ini berdasarkan persamaan
matematis berikut ini, yaitu:
3

𝑘=1

3

3

𝑌 = ß0 + ∑ ßi𝑥 i + ∑ ∑ ßij𝑥 i𝑥 j + ∑ ßii𝑥 𝑖2 . . . . . .. (2)
(2)
𝑖=1

𝑖 =1 𝑗=𝑖+1

𝑖 =1

RSM sangat bergantung pada model yang digunakan untuk menganalisa penelitia n.
Model yang dipakai adalah model quadratic yang dimodifikasi dengan seleksi nilai R2
dengan nilai kepercayaan 95%. Persamaan (2) digunakan sebagai dasar dalam analisa
pemodelan polinomial orde dua. Persamaan matematis tersebut digunakan berdasarkan uji
pemodelan yang digunakan. Data pada penelitian ini menunjukkan persamaan yang
terbentuk mengikuti persamaan polinomial yang ditunjukkan pada persamaan (2).
Koefisien persamaan polinomial yang diperoleh dari optimasi kompleksasi Al3+ dan
protoporphyrin IX tertera pada Tabel 3. berikut:
Tabel 3. Tabel koefisien persamaan polinomial penelitian
Koefisien

Panjang Gelombang
420 nm

ß0

2,93043

Linear
ß1

-0,10643

ß2

0,15504

ß3

-0,022705

Kuadrat
ß33

5,73401 x 10-4

Interaksi
ß12

0,078875

ß23

-0,011112

R2

0,71

CV

3,47

13

Secara matematis, persamaan polinomial untuk tiga faktor pembentukan kompleks
antara porfirin dengan ion Al3+ pada penelitian ini ditunjukkan pada persamaan (3):
𝑦 = 2,93043 − 0,10643𝑋1 + 0,15504𝑋2 − 0,022705𝑋3 + 0,000573𝑋32 + 0,078875𝑋12 − 0,011112𝑋23

…… (3)

Dimana :

Y : Absorbansi kompleks protoporphyrin IX- Al3+
X2 : Rasio mol
X1 : pH
X3 : Suhu
Nilai R2 pada Tabel 3. menunjukkan keakuratan model yang digunakan. Pada
penelitian ini diketahui nilai efisiensi determinasi R2 yaitu sebesar 0,71. Hal tersebut
menunjukkan bahwa 71% dari total variasi pada hasil percobaan terwakili dalam model yang
digunakan, serta menunjukkan bahwa nilai prediksi yang diberikan model 71% sesuai
dengan data aktual. Data prediksi dengan data aktual disajikan dalam Grafik 1. Pada grafik
tersebut diketahui bahwa nilai interaksi dari pH, rasio, dan suhu pada pembentuk kan
kompleks memiliki absorbansi tertinggi sebesar 2,955 Abs dan terendah sebesar 2,405.

Grafik 1. Data Prediksi Model Vs Data Aktual

Analisa penelitian dengan menggunakan RSM sangat bergantung pada model yang
digunakan, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan terhadap model yang digunaka n.
Hal tersebut dapat diamati pada Tabel 4. dan Tabel 5.

14

Tabel 4. Analisis varian dari RSM model untuk respon hasil kompleksasi ekstrak
protoporphyrin IX dengan ion logam Al3+
Sumber

DF

Sum of
Square

Mean square

F-value

p-value

420nm
Lack of Fit
Pure Error
Total Error

8
4
12

0,091
7,825 x 10-3
0,098825

0,011
1,956 x 10-4
0,0111956

5,85

0,0529

Pengujian lack of fit (ketidakpasan data) dilakukan untuk menguji apakah data yang
digunakan sudah cocok dengan model yang digunakan atau belum. Hasil pemodelan
menunjukkan bahwa antara data sesungguhnya dengan data hasil pemodelan tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan (p-value > 0,05). Penganalisaan variasi pemodelan
dapat dilihat pada Lampiran 1.
Dari keempat model diatas, model quadratic yang dimodifikasi paling cocok untuk
digunakan karena memiliki R2 yang lebih tinggi dan juga memiliki nilai p-value < 0,05.
Hal ini menunjukkan bahwa parameter yang digunakan memiliki perbedaan pengaruh yang
besar pada model perhitungan optimasi pembentukan kompleks Al3+ dan protoporphyrin
IX.
Pada penelitian digunakan tiga faktor yaitu pH, rasio antara ekstrak protoporphyrin
IX dengan ion logam Al3+ (mol/mol), dan suhu. Pembentukan kompleks protoporphyrin IX
– Al sangat dipengaruhi oleh interaksi antara pH dengan rasio dan rasio dengan suhu. Analisa
varian dari faktor pH, rasio dan suhu yang digunakan tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5. Analisis varian dari faktor pH, rasio, dan suhu yang digunakan
Analysis of variance

Sumber
420nm
pH*Rasio
Rasio*Suhu
Suhu2

DF

Sum of Squares

Mean square

F-value

p-value

1
1
1

0,05
0,099
0,048

0,05
0,099
0,048

6,01
11,94
5,83

0,0305
0,0048
0,0327

Dari model yang digunakan, didapatkan bahwa pembentukan kompleks Al3+ dengan
protoporphyrin IX sangat dipengaruhi oleh interaksi antara pH dan rasio; serta rasio dan suhu
15

karena memiliki p-value < 0,05 / sangat berpengaruh terhadap model. Interaksi antara pH
dan rasio dapat dilihat pada Gambar 7. dan interaksi antara rasio dan suhu dapat dilihat pada
Gambar 8. berikut :

Gambar 7. Response Surface dan Contour Plot pada panjang gelombang 420 nm interaksi
antara pH dan rasio

Gambar 8. Response Surface dan Contour Plot pada panjang gelombang 420 nm interaksi
antara rasio dan suhu

16

KESIMPULAN
Protoporphyrin IX dapat diekstraksi dari kerabang telur puyuh dengan kadar
mencapai 1,92 ×10-2 % (b/b). Kondisi optimum untuk melakukan ekstraksi protoporphyrin
IX dari kerabang telur puyuh adalah menggunakan pelarut metanol-HCl 5 % v/v (HCl(p))
dengan metode maserasi. Hasil kompleksasi optimal antara protoporhyrin IX dengan ion
Al3+ dilihat pada panjang gelombang 420 nm dengan kondisi optimum yaitu pada pH 5; rasio
1:3, dan suhu sebesar 30°C dengan absorbansi 2,9736. Proses kompleksasi protoporphyrin
IX dengan Al3+ sangat dipengaruhi oleh interaksi antara pH dengan rasio mol; dan interaksi
antara rasio mol dan suhu.

DAFTAR PUSTAKA
Aprian, R. P., & Ali, M. (2011). Pengolahan Sampah Plastik menjadi Minyak Menggunaka n
Proses Pirolisis. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. 4(1).
Arita, S., Dara, M. B., & Irawan, J. (2008). Pembuatan metil ester asam lemak dari CPO off
grade dengan metode esterifikasi-transesterifikasi. Jurnal Teknik Kimia, 15(2), 3443
Bhuyan, J. (2015). Metalloisoporphyrins: from synthesis to applications.
Transactions. 44(36), 15742-15756. 10.1039/C5DT01544H

Dalton

Cassey, P., Maurer, G., Duval, C., Ewen, J. G., & Hauber, M. E.. (2010). Impact of time
since collection on avian eggshell color: a comparison of museum and fresh egg
specimens.
Behavioral Ecology and Sociobiology, 64(10), 1711-1720.
http://dx.doi.org/10.1007/s00265-010-1027-8
Cassey, P., Thomas, G. H., Portugal, S. J., Maurer, G., Hauber, M. E., Grim, T., Lovell, P.
G., & Mikšík, I. (2012). Why are birds’ eggs colorful? Eggshell pigments co-vary
with life-history and nesting ecology among British breeding non-passerine birds.
Biological
Journal
of
the
Linnean
Society,
106(3),
657-672.
http://dx.doi.org/10.1111/j.1095-8312.2012.01877.x
Day, R. A. Jr & Underwood, A. L. (2002). Spektrofotometri. In H. Wibi H., S.T. & L.
Simarmata, S. T. (Eds.), Analisis Kimia Kuantitatif / Edisi Keenam (pp. 382-421).
Jakarta : Penerbit Erlangga.
Dean, M. L., Miller, T. A, & Brückner, C. (2011). Egg-citing! Isolation of protoporphyrin
IX from brown eggshells and its detection by optical spectroscopy and
chemiluminescence. Journal of Chemical Education, 88(6), 788 – 792.
http://dx.doi.org/10.1021/ed100093h
Duval, C., Cassey, P., Miksík, I., Reynolds, S. J., & Spencer, K. A. (2013). Conditiondependent strategies of eggshell pigmentation : an experimental study of Japanese
quail (Coturnix coturnix japonica), The Journal of Experimental Biology, 216, 700
– 708. http://dx.doi.org/10.1242/jeb.077370
17

Fagadar-Cosma, E., et al. (2014). A sensitive A3 B porphyrin nanomaterial for CO 2 detection.
Molecules, 19(12), 21239-21252. http://dx.doi.org/ 10.3390/molecules191221239
Gorchein, A., Lim, C. K., & Cassey, P. (2008). Extraction and Analysis of Colorful Eggshe ll
Pigments Using HPLC and HPLC/Electrospray Ionization Tandem Mass
Spectrometry.
Biomedical
Chromatography.
23(6),
602-606.
http://dx.doi.org/10.1002/bmc.1158
Gosler, A. G. (2006). Yet even more ways to dress eggs. British Birds, 99(7), 338-353.
Gunther, E. W., Turner, W. E., & Huff, D. L. (1989). Investigation of Protoporphyrin IX
Standard Materials Used in Acid-Extraction Methods, and a Proposed Correction for
the Milimolar Absorptivity of Protoporphyrin IX. Clinical Chemistry, 35(8), 1601-1606
Grinsten, M. (1947). Studies of Protoporphyrin : VII. A Simple and Improved Method for
The Preparation of Pure Protoporphyrin from Hemoglobin. Journal of Biological
Chemistry, 167, 515-519.
Heleno, S. A., Prieto, M. A., Barros, L. Rodrigues, A., Barreiro, M. F., & Ferreira, I. C. F.
R. (2016). Optimization of microwave-assisted extraction of ergosterol from
Agaricus bisporus L. by-products using response surface methodology. Food and
Bioproducts Processing. 100. 25 – 35. https://doi.org/10.1016/j.fbp.2016.06.006
Hunter, G. A. Sampson, M. P., & Ferreira, G. C. (2008). Metal Ion Substrate Inhibition of
Ferrochelatase. The Journal of Biological Chemistry, 283(35), 23685-23691.
https://dx.doi.org/10.1074/jbc.M803372200
Kaiser, M., & Berhe, A. A. (2014). How does sonication affect the mineral and organic
constituents of soil aggregates?. Journal of Plant Nutrition and Soil Science, 000, 117. http://dx.doi.org/10.1002/jpln.201300339
Kombado, A. R. (2014). Limbah Kerabang Telur Puyuh (Cortunix cortunix japonica)
sebagai Pewarna Alami Kain Batik (Pengaruh Jenis Fiksatif terhadap Ketuaan dan
Ketahanan Luntur. Ditelaah dengan Metode Pengolahan Citra Digital RGB). Skripsi.
Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.
Kwartiningsih, E., Setyawardhani, D. A., Wiyatno, A. & Triyono, A. (2009). Zat Warna
Alami Tekstil dari Kulit Buah Manggis. Ekuilibrium, 8(1), 41-47.
Maming, Jumina, Siswanta, D., Sastrohamidjojo, H. & Ohto, K. (2008). Transport behavior
of Cr(III), Cd(II), Pb(II), and Ag(I) ions through bulk liquid membrane containing ptert-butylcalix[4]arene–tetradiethylacetamide as ion carrier. Indonesian Journal of
Chemistry. 8(3). 300 – 306. http://dx.doi.org/10.22146/ijc.381
Mann, K. & Mann, M. (2015). Proteomic analysis of quail calcified eggshell matrix: a
comparison to chicken and turkey eggshell proteomes. Proteome Science, 13-22.
https://dx.doi.org/10.1186/s12953-015-0078-1
Mukhriani, T. (2014). Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, dan Identifikasi Senyawa Aktif.
Jurnal Kesehatan, 7(2), 361-367.
Musiam, S., & Alfian, R. (2017). Validasi Metode Spektrofotometri IV pada Penetapan
Kadar Asam Mefenamat dalam Sediaan Tablet Generik. Jurnal Ilmiah Ibnu Sina,
2(1), 31-43.
Pasquet, V., Chérouvrier, J. R., Farhat, F., Thiéry, V., Piot, J. M., Bérard, J. P., Kaas, R.,
Serive, B., Patrice, T., Cadoret, J. P., & Picot, L., (2011). Study on the microalga l
pigments extraction process: Performance of microwave assisted extraction. Process
Biochemistry, 46(1), 59-67. https://doi.org/10.1016/j.procbio.2010.07.009
18

Prabhu, K. H., & Bhute, A. S. (2012). Plant based natural dyes and mordants : A Review .
Journal of Natural Product and Plant Resource., 2(6), 649 – 664.
Prabhu, K. H., & Teli, M. D. (2011). Eco-dyeing using Tamarindus indica L. seed coat
tannin as a natural mordant for textiles with antibacterial activiry. Journal of Saudi
Chemical Society, 18(6), 864-872. https://doi.org/10.1016/j.jscs.2011.10.014
Samanta, A. K., & Agarwal, P. (2009). Application of Natural Dyes on Textiles. Indian
Journal of Fibre & Textile Research, 34, 384-399.
Samiullah, S., Roberts, J. & Chousalkar, K. (2016). Infectious bronchitis virus and brown
shell colour: Australian strains of infectious bronchitis virus affect brown eggshell
colour in commercial laying hens differently. Avian Pathology, 45(6), 552-558.
http://dx.doi.org/10.1080/03079457.2016.1184744
Sumanta, A. K., & Konar, A. (2011). Dyeing of Textiles with Natural Dyes. Natural Dyes,
ISBN : 978-953-307-783-3, InTech
Tanziha, I, Kusharto, C.M., & Januwati, M. (2009). Kandungan Klorofil Berbagai Jenis
Daun Tanaman dan Cu-Turunan Klorofil serta Karakteristik Fisiko-Kimia nya.
Departemen Gizi Masyarakat dan PERGIZI PANGAN Indonesia.
Thomas, D. B., Hauber, M. E., Hanley, G., Waterhouse, G. I. N., Fraser, S. & Gordon, K. C.
(2015). Analysing avian eggshell pigments with Raman spectroscopy. The Journal
of Experimental Biology, 218, 2670-2674. https://dx.doi.org/10.1242/jeb.124917
Wang, S., Hannafon, B. N., Lind, S. E., & Ding, W. Q. (2015). Zinc protoporphyrin
suppresses beta-catenin protein expression in human cancer cells: the potential
involvement
of
lysosome- mediated
degradation.
PLoS
One,
.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0127413
Wang, X. T., Deng, X. M., Zhao, C. J., Li, J. Y., Xu, G. Y., Lian, L. S. & Wu, C. X.
(2007). Study of the deposition process of eggshell pigments using an improved
dissolution
method.
Poultry
Science,
86(10),
2236–2238.
https://doi.org/10.1093/ps/86.10.2236
Wang, Y., Wu, X., Chen, J., Amin, R., Lu, M., Bhayana, B., Zhao, J., Murray, C. K.,
Hamblin, M. R., Hooper, D. C., & Dai, T. (2016). Antimicrobial blue light
inactivation of gram-negative pathogens in biofilm: In vitro and in vivo studies. The
Journal
of
Infectious
Diseases,
213(9),
1380-1387.
https://doi.org/10.1093/infdis/jiw070
Zhao, R, Xu, G. Y., Liu, Z. Z., Li, J. Y. & Yang, N. (2006). A Study on Eggshe ll
Pigmentation : Biliverdin in Blue-Shelled Chickens. Poultry Science, 85(3), 546-549.
https://doi.org/10.1093/ps/85.3.546

19

LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel analisa sidik ragam
Regresi
420nm
Modified
Linear
2FI
Quadratic
Total model

Db

JK

KT

Fhit

Ftabel

6
3
6
9
24

0,24
0,046
0,20
0,25
0,736

0,04
0,0153
0,0333
0,0278
0,0307

4,90
0,78
2,90
2,80
11,38

2,96
3,39
2,96
2,95

20

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Berburu dengan anjing terlatih_1

0 46 1

EVALUASI IN VITRO ANTIOKSIDAN SENYAWA FENOL BIJI MELINJO (Gnetum gnemon L.) SELAMA PROSES PENGOLAHAN EMPING MELINJO BERDASARKAN SNI 01-3712-1995

4 111 16

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

KAJIAN MUTU FISIK TEPUNG WORTEL (Daucus carota L.) HASIL PENGERINGAN MENGGUNAKAN OVEN

17 218 83

KEADAPTIFAN UNTUK SEPULUH GENOTIPE KEDELAI (Glycine max L.) TERHADAP PRODUKSI

1 89 52

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147