II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan lahan - Evaluasi perubahan penutupan lahan di DAS Babalan

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

   Penutupan lahan

  Kenampakan tutupan lahan berubah berdasarkan waktu, yakni keadaan kenampakan tutupan lahan atau posisinya berubah pada kurun waktu tertentu.

  Perubahan tutupan lahan dapat terjadi secara sistematik dan non-sistematik. Perubahan sistematik terjadi dengan ditandai oleh fenomena yang berulang, yakni tipe perubahan tutupan lahan pada lokasi yang sama. Kecendrungan perubahan ini dapat ditunjukkan dengan peta multi waktu. Fenomena yang ada dapat dipetakan berdasarkan seri waktu, sehingga perubahan tutupan lahan dapat diketahui.

  Perubahan non-sistematik terjadi karena kenampakan luasan lahan yang mungkin bertambah, berkurang, ataupun tetap. Perubahan ini pada umumnya tidak linear karena kenampakannya berubah-ubah, baik penutupan lahan maupun lokasinya (Murcharke, 1990).

  Penutupan lahan pada kawasan hutan terutama yang terkait dengan tutupan lahan berubah dengan cepat dan sangat dinamis. Kondisi hutan yang semakin menurun dan berkurang luasnya telah menyebabkan laju pengurangan hutan pada kawasan hutan mencapai angka kurang lebih 2,84 juta ha/tahun pada periode 1997-2000 atau kurang lebih 8,5 juta ha selama 3 tahun. Tingginya tekanan terhadap keberadaan hutan telah mendorong dilakukannya monitoring sumber daya hutan secara periodik dengan interval waktu 3 tahunan (Purnama, 2005).

B. Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Evaluasi Kesesuaian Lahan

   Aplikasi GIS telah digunakan di banyak bidang, seperti: pertanian, militer, pemasaran minyak tanah, transportasi, lingkungan, dan ilmu kehutanan.

  Cruz (1990) dalam Rahmawaty (2009) sebagai contoh, menggunakan GIS untuk penggolongan kemampuan lahan dan penilaian kesesuaian penggunaan lahan di Ibulao di bagian Pilipina. Pada sisi lain, Oszaer (1994) dalam Rahmawaty (2009) menggunakan GIS untuk menggolongkan penggunaan lahan yang ada, yaitu mengevaluasi kemampuan lahan, dan menilai kesesuain penggunaan lahan di Waeriupa, Kairatu, Seram, Maluku, Indonesia.

  Harjadi (2007) menggunakan aplikasi penginderan jauh dan SIG untuk penetapan tingkat kemampuan penggunaan lahan (KPL) di DAS Nawagaon Maskara, Saharanpur-India. Rahmawaty (2009) menggunakan aplikasi GIS sebagai informasi sistem lahan (land system) yang digunakan sebagai dasar penyusunan peta kesesuaian lahan di DAS Besitang. Fauzi, dkk (2009) menggunakan aplikasi GIS untuk menganalisis kesesuaian lahan wilayah pesisir Kota Bengkulu.

  Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) menjanjikan pengelolaan sumber daya dan pembuatan model terutama model kuantitatif menjadi lebih mudah dan sederhana. SIG merupakan suatu cara yang efisien dan efektif untuk mengetahui karakteristik lahan suatu wilayah dan potensi pengembangannya.

  Salah satu kemampuan penting dari SIG adalah kemampuannya dalam melakukan analisis dan pemodelan spasial untuk menghasilkan informasi baru (Fauzi, dkk.

  2009).

  Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem pengelolaan informasi yang juga menyediakan fasilitas analisis data. Sistem ini sangat bermanfaat dalam perencanaan dan pengelolaan SDA, antara lain untuk aplikasi inventarisasi dan monitoring hutan, kebakaran hutan, perencanaan penebangan hutan, rehabilitasi hutan, Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS), dan konservasi keragaman hayati. Untuk SIG bisa dipakai secara efektif untuk membantu perencanaan dan pengelolaan SDA diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan keterampilan yang memadai (Puntodewo, dkk., 2010).

C. Evaluasi lahan

  Evaluasi lahan adalah proses penilaian penampilan atau keragaan lahan jika digunakan untuk tujuan tertentu, yang meliputi pelaksanaan dan interpretasi survey dan studi bentuk lahan, tanah, vegetasi, iklim dan aspek lahan lainnya, agar dapat mengidentifikasi dan membuat perbandingan berbagai penggunaan lahan yang dikembangkan. Evaluasi lahan merupakan penghubung antara berbagai aspek dan kualitas fisik, biologi dan teknologi penggunaan lahan dengan tujuan sosial ekonominya. Klasifikasi lahan dapat berupa klasifikasi kemampuan lahan atau klasifikasi kesesuaian lahan (Arsyad, 2000).

  Salah satu cara evaluasi lahan adalah melakukan klasifikasi lahan untuk penggunaan tertentu. Penggolongan kemampuan lahan didasari tingkat produksi pertanian tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka waktu yang sangat panjang (Sitorus, 1985).

  Untuk memperoleh lahan yang benar-benar sesuai diperlukan suatu kriteria lahan yang dapat dinilai secara objektif. Acuan penilaian kesesuaian lahan digunakan kriteria klasifikasi kesesuaian lahan yang sudah dikenal, baik yang bersifat umum maupun yang khusus. Tetapi pada umumnya disusun berdasarkan pada sifat-sifat yang dikandung lahan, artinya hanya pada sampai pembentukan kelas kesesuaian lahan, sedangkan menyangkut produksi hanya berupa dugaan berdasarkan potensi kelas kesesuaian lahan yang terbentuk (Karim, dkk,1996).

  Evaluasi lahan melibatkan pelaksanaan survey/penelitian bentuk bentang alam, sifat dan distribusi tanah, macam dan distribusi vegetasi, aspek-aspek lahan.

  Keseluruhan evaluasi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan membuat perbandingan dari macam-macam penggunaan lahan yang memberikan harapan positif (Abdullah,1993).

  Suatu daerah yang akan dievaluasi harus dibagi ke dalam beberapa satuan peta lahan (SPL) yang didasarkan atas satuan peta tanah (SPT) hasil survey tanah karena ia menentukan tingkat pengamatan (survey) dan kerincian data yang akan disajikan (Arsyad, 1989). Seperti halnya satuan peta tanah, maka satuan peta (SPL) jarang yang benar-bemar homogen (Rayes, 2007), oleh karena itu dibedakan menjadi :

  1. Macam Satuan Peta Lahan (SPL) SPL tunggal : mengandung hanya satu jenis lahan SPL majemuk : mengandung lebih dari satuan jenis lahan.

  2. Mengidentifikasi Sifat dan karakteristik lahan Setiap lahan memiliki karakteristik masing-masing, yaitu keadaan unsur- unsur lahan yang dapay diukur atau diperkirakan seperti tekstur tanah, stuktur tanah, kedalaman tanah, jumlah curah hujan, sistribusi hujan, temperature, drainase tanah, jenis vegetasi dan sebagainya (Arsyad, 1989). Karakteristik lahan ini sangat mempengaruhi perilaku lahan, seperti bagaimana ketersediaan air, pencemaran udara, perkembangan akar, kepekaan terhadap erosi, ketersediaan unsur hara dan lain-lain. Untuk itu, diperlukan identifikasi sifat dan karakteristik lahan untuk bahan evaluasi yang akan dilakuakan dan pengambilan alternatif- alternatif yang akan diterapkan. Namun, karakteristik lahan ini belum bisa menunjukkan bagaimana kemungkinan penampilan lahan jika dipergunakan untuk penggunaan, atau dengan kata lain ia belum dapat menentukan kelas kemampuan lahan.

  3. Menentukan faktor taksiran Tahapan ini dilakuakan ketika survey sumberdaya lahan seperti pemetaan dan mengidentifikasi karakteristik lahan telah dilaksanakan dan data telah dianalisa. Dalam menentukan faktor taksiran harus memperhatikan faktor pembatas, faktor yang mempengaruhi lahan dan keperluan penggunaan lahan.

  Penentuan faktor taksiran dapat dilakukan dengan :

  a. Metode Parametrik : yaitu dengan memberi nilai 1-100 atau 1-10 pada setiap sifat lahan, faktor iklim dan faktor lainnya yang mempengaruhi kualitas lahan.

  Kemudian setipa nilai digabungkan dengan penambahan atau perkalian dan ditetapkan selanf nilai untuk setiap kelas dengan nilai tertinggi untuk kelas terbaik dan nilai terendah untuk kelas terburuk.

  b. Metode Faktor penghambat : yaitu dengan mengurutkan kualitas lahan atau sifat-sifat lahan dari yang terbaik hingga yang terburuk atau dari yang paling kecil hambatan atau ancamannya sampai ke yang paling besar. Kemudian disusun tabel kriteria untuk setiap kelas penghambat yang terkecil untuk kelas yang terbaik dan berurutan semakin besar hambatan semakin rendah kelasnya.

  4. Evaluasi kesesuaian dan kemampuan lahan

  Kesesuaian lahan pada hakekatnya merupakan penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu (Sitorus, 1985). Dari berbagai tahapan diatas, maka evaluasi kesesuaian dan kemampuan lahan dapat dilakukan berdasarkan faktor taksiran yang telah dilakukan. Pada tahap ini, akan diketahui apakah suatu lahan telah memenuhi kesesuaian dan kemampuan lahan untuk suatu tujuan tertentu atau tidak. Apabiila tidak, maka evaluasi ini akan menghasilkan pilihan-pilihan alternalif untuk pengambilan keputusan dalam sebuah perencanaan penggunaan lahan.

  Survey tanah merupakan pekerjaan pengumpulan data kimia, fisik dan biologi di lapangan maupun di laboratorium dengan tujuan pendugaan penggunaan lahan umum maupun khusus. Suatu survey tanah baru memiliki kegunaan yang tinggi jika teliti dalam memetakannya. Hal itu berarti (a). tepat mencari tempat yang representif, tepat meletakkan tempat pada peta yang harus didukung oleh peta dasar yang baik, (b) tepat dalam mendeskripsi profilnya atau benar dalam menetapkan sifat-sifat morfologinya, (c) teliti dalam mengambil contoh tanah, dan (d) benar menganalisisnya di laboratorium. Relevansi sifat-sifat yang ditetapkan dengan penggunaannya atau tujuan penggunaannya harus tinggi. Untuk mencapai kegunaan tersebut perlu untuk menetapkan pola penyebaran tanah yang dibagi-bagi berdasarkan kesamaan sifat-sifatnya sehingga terbentuk soil mapping unit atau satuan peta tanah (SPT). Dengan adanya pola penyebaran tanah ini maka dimungkinkan untuk menduga sifat-sifat tanah yang dihubungkan dengan potensi penggunaan lahan dan responsnya terhadap perubahan pengelolaannya (Abdullah,1993).

  Kelas kesesuaian lahan pada prinsipnya ditetapkan dengan mencocokkan (matching) antara data kualitas / karakteristik lahan dari setiap satuan peta dengan kriteria kelas kesesuaian lahan untuk masing-masing komoditas yang dievaluasi.

  Kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh kualitas dan atau karakteristik lahan yang merupakan faktor pembatas yang paling sulit dan atau secara ekonomis tidak dapat diatasi atau diperbaiki (Djaenuddin, 1995).

  Berdasarkan kedalaman analisis antara data biofisika lahan dan sosial ekonomis dapat dibedakan dua tipe klasifikasi kesesuaian lahan, yaitu kesesuaian lahan kualitatif dan kesesuaian lahan kuantitaif (FAO, 1990). Klasifikasi lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang didasarkan atas data biofisika lahan dan dianalisis tanpa mempertimbangkan masukan biaya dan perkiraan produksi atau keuntungan yang akan diperoleh dari tipe penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan. Sedangkan kesesuaian lahan kuantitatif adalah kesesuaian lahan yang didasarkan atas analisis data biofisika lahan dan social ekonomi dengan mempertimbangkan masukan biaya dan keuntungan yang mungkin dapat diperoleh.

  Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. FAO (1976) mengusulkan untuk negara–negara berkembang sangat bermanfaat dan disarankan adanya pemisahan antara kesesuaian lahan sekarang (Current Suitability) dan kesesuaian lahan potensial (Potensial

  

Suitability ). Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data

  sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukanmasukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala. Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha- usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih sesuai.

  Kesesuaian lahan potensial menunjukan kesesuaian penggunaan lahan pada satuan lahan setelah adanya perbaikan kualitas lahan. Dalam hal ini perlu dilakukan analisis secara rinci dari aspek sosial ekonomis untuk menduga biaya dan hasil yang akan diperoleh (FAO, 1976)

  Klasifikasi Kesesuaian Lahan

  Berbeda dengan klasifikasi ‘Kemampuan Lahan’ yang merupakan klasifikasi tentang potensi lahan untuk penggunaan secara umum, Kesesuaian Lahan’ lebih menekankan pada kesesuaian lahan untuk jenis tanaman tertentu. Dengan demikian klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan akan saling melengkapi dan memberikan informasi yang menyeluruh tentang potensi lahan.

  Ada beberapa metoda yang dapat digunakan untuk pelaksanaan klasifikasi kesesuaian lahan, misalnya metode FAO (1976) yang dikembangkan di Indonesia oleh Puslittanak (1993), metode Plantgro yang digunakan dalam penyusunan Rencana Induk Nasional HTI (Hacket,1991 dan National Masterplan Forest

  

Plantation /NMFP, 1994) dan metode Webb (1984). Masing-masing mempunyai

  penekanan sendiri dan kriteria yang dipakai juga berlainan. Metoda FAO lebih menekankan pada pemilihan jenis tanaman semusim, sedangkan Plantgro dan Webb lebih pada tanaman keras.

  Pada prinsipnya klasifikasi kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara memadukan antara kebutuhan tanaman atau persyaratan tumbuh tanaman dengan karakteristik lahan. Oleh karena itu klasifikasi ini sering juga disebut species

  

matching. Klas kesesuaian lahan terbagi menjadi empat tingkat, yaitu : sangat

  sesuai (S1), sesuai (S2), sesuai marjinal (S3) dan tidak sesuai (N). Sub Klas pada klasifikasi kesesuaian lahan ini juga mencerminkan jenis penghambat. Ada tujuh jenis penghambat yang dikenal, yaitu e (erosi), w (drainase), s (tanah), a (keasaman), g (kelerengan) sd (kedalaman tanah) dan c (iklim). Pada klasifikasi kesesuaian lahan tidak dikenal prioritas penghambat. Dengan demikian seluruh hambatan yang ada pada suatu unit lahan akan disebutkan semuanya. Akan tetapi dapat dimengerti bahwa dari hambatan yang disebutkan ada jenis hambatan yang mudah (seperti a, w, e, g dan sd) atau sebaliknya hambatan yang sulit untuk ditangani (c dan s). Dengan demikian maka hasil akhir dari klasifikasi ditetapkan berdasarkan Klas terjelek dengan memberikan seluruh hambatan yang ada. Perubahan klasifikasi menjadi setingkat lebih baik dimungkinkan terjadi apabila seluruh hambatan yang ada pada unit lahan tersebut dapat diperbaiki. Untuk itu maka unit lahan yang mempunyai faktor penghambat c atau s sulit untuk diperbaiki keadaannya ( Azis dkk , 2005)

  Kelas kesesuaian lahan ditentukan berdasarkan kriteria yang diberikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria untuk penentuan kelas kesesuaian lahan

  Kelas Kesesuaian Lahan Kriteria Unit lahan tidak memiliki pembatas atau S1: sangat sesuai hanya memiliki empat pembatas ringan.

  Unit lahan memiliki lebih dari empat S2: cukup sesuai pembatas ringan, dan atau memiliki tidak lebih dari tiga pembatas sedang. Unit lahan memiliki lebih dari tiga pembatas S3:sesuai marginal sedang, dan atau satu pembatas berat. Unit lahan memiliki lebih dari satu pembatas N: tidak sesuai berat atau sangat berat Sumber : Azis, dkk (2005)

D. Land System

  menurut Christian and Stewart (1968) dalam Reppprot (1988)

  Land system

  menganggap ada hubungan yang erat antara tipe batuan, hidroklimat, landform, tanah. Oleh karena itu, sistem lahan yang sama akan mencerminkan kesamaan potensi serta faktor-faktor pembatasnya di mana pun sistem lahan tersebut dijumpai. Sistem lahan yang sama diakui di mana pun kombinasi yang sama, faktor ekologi atau lingkungan tersebut terjadi. Sebuah sistem lahan karena itu tidak unik hanya untuk satu wilayah, tapi di semua bidang memiliki sifat lingkungan yang sama.

  Land system atau sistem lahan menurut Reinberger (1999) adalah

  pengelompokkan tanah dalam mengenali pola tanah yang dapat dibedakan secara nyata dalam susunan tanah di suatu daerah yaitu kandungan mineral batuan induknya. Diantaranya adalah batuan kapur, marmer, kuarsa, batuan basalt, granit, batuan sedimen dan metamorf. Perbedaan kandungan mineral dalam batuan mempengaruhi karakteristik fisik dan kimia tanah diantaranya tekstur, struktur, drainase, dan ketersediaan unsur hara. Penyebab utama perbedaan susunan tanah pada daerah hingga pada ketinggian 3.400 m di atas permukaan laut adalah faktor produksi bahan organik, susunan lempung, pencucian unsur hara dan tingkat erosi. Keadaan kemiringan lahan dan tingkat erosi mempengaruhi kedalaman dan kompleksitas profil tanah. Dengan demikian tingkat erosi rata-rata sebanding dengan ketinggian suatu daerah.

  E. Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit

  Persyaratan tanah untuk pertumbuhan kelapa sawit secara optimal sangat ditentukan oleh kedalaman efektif tanah (solum tanah > 75 cm) dan berdrainase baik. Kelapa sawit dapat tumbuh pada lahan dengan tingkat kesuburan tanah yang bervariasi mulai dari lahan yang subur sampai lahan-lahan marginal. Hal ini dicirikan bahwa kelapa sawit dapat tumbuh pada lahan dengan Ph masam sampai netral (>4,2-7,0) dan yang optimum pada pH 5,0-6,5. Kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, lereng dan bentuk wilayah berombak dan bergelombang tidak menjadi pembatas utama. Media perakaran yang optimal adalah lahan yang mempunyai tekstur halus (liat berpasir, liat, liat berdebu), agak halus (lempung berliat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu), dan sedang (lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu, debu), serta mempunyai kandungan bahan kasar tidak lebih dari 55% (Djaenudin et al., 2000).

  F. Persyaratan Penggunaan Lahan/Persyaratan Tumbuh Tanaman

  Persyaratan tumbuh atau persyaratan penggunaan lahan diperlukan oleh masing-masing komoditas (pertanian, peternakan, perikanan, dan kehutanan) mempunyai batas kisaran minimum, optimum, dan maksimum. Untuk menentukan kelas kesesuaian lahan, persyaratan tersebut dijadikan dasar dalam menyusun kriteria kelas kesesuaian lahan, yang dikaitkan dengan kualitas dan karakteristik lahan. Kualitas lahan yang optimum bagi kebutuhan tanaman atau penggunaan lahan tersebut merupakan batasan bagi kelas kesesuaian lahan yang paling sesuai (S1), sedangkan kualitas lahan di bawah optimum merupakan batasan kelas kesesuaian lahan antara kelas yang cukup sesuai (S2), dan atau sesuai marginal (S3). Di luar batasan tersebut merupakan lahan-lahan yang secara fisik tergolong tidak sesuai (N). Semua jenis komoditas, termasuk tanaman pertanian, dan perikanan berbasis lahan untuk dapat tumbuh atau hidup dan berproduksi memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu, terdiri atas energi radiasi, temperatur (suhu), kelembaban, oksigen, hara, dan kualitas media perakaran yang ditentukan oleh drainase, tekstur, struktur dan konsistensi tanah, serta kedalaman efektif tanah (Rayes, 2007).

G. Karakteristik Lahan

  Karakteristik lahan merupakan sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi. Setiap satuan peta lahan/tanah yang dihasilkan dari kegiatan survei atau pemetaan sumber daya lahan, karakteristik lahan dapat dirinci dan diuraikan yang mencakup keadaan fisik lingkungan dan tanahnya. Data tersebut dapat digunakan untuk keperluan interpretasi dan evaluasi lahan bagi komoditas tertentu. Karakteristik lahan yang digunakan adalah: temperatur udara, curah hujan, lamanya masa kering, kelembaban udara, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman tanah, ketebalan gambut, kematangan gambut, kapasitas tukar kation liat, kejenuhan basa, pH H2O, C-organik, salinitas, alkalinitas, kedalaman bahan sulfidik, lereng, bahaya erosi, genangan, bahaya di permukaan, dan singkapan batuan (Djaenudin, dkk., 2003).

  Karakteristik lahan yang digunakan untuk evaluasi lahan dalam penelitian ini adalah temperatur udara, curah hujan, lamanya masa kering, kelembaban udara, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman tanah, ketebalan gambut, kematangan gambut, KTK liat, kejenuhan basa, reaksi tanah (pH), C-organik, salinitas, alkalinitas, kedalaman bahan sulfidik, lereng, bahaya erosi, genangan, batuan dipermukaan, singkapan batuan, sumber air tawar, amplitude pasang surut dan oksigen (Badan Penelitian Tanah, 2003).

  Temperature udara

  Temperatur udara merupakan temperatur udara tahunan dan dinyatakan dalam C (Badan Penelitian Tanah, 2003).

  Curah hujan

  Curah hujan merupakan curah hujan rerata tahunan dan dinyatakan dalam mm (Badan Penelitian Tanah, 2003).

  Tekstur tanah

  Tekstur tanah menunjukkan perbandingan butir-butir pasir (2mm-50µ), debu (50-2µ) dan liat (<2µ) didalam tanah. Di dalam segitiga tekstur terdapat 12 kelas tekstur di dalamnya yaitu pasir, pasir berlempung, lempung berpasir, lempung, lempung berdebu, debu, lempung liat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu, liat berpasir, liat berdebu dan liat. Apabila disamping kelas tekstur tersebut tanah mengandung krikil (>2mm) sebanyak 20-50% maka tanah disebut sangat berkrikil ( Hardjowigeno, 1993).

  Pengelompokan kelas tekstur yang digunakan pada penelitian ini adalah : Halus : Liat berpasir, liat, liat berdebu Agak halus : Lempung berdebu, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu Sedang : Lempung berpasir sangat halus, lempung, berdebu, debu Agak kasar : Lempung berpasir Kasar : Pasir, pasir berlempung Sangat halus : Liat (tipe mineral liat 2:1) (Badan Penelitian Tanah, 2003)

  Bahan kasar

  Bahan kasar adalah merupakan modifier tekstur yang ditentukan oleh jumlah persentasi kerikil, kerakal, atau batuan pada setiap lapisan tanah.Bahan kasar menyatakan volume dalam % dan adanya bahan kasar dengan ukuran <2 mm. Bahan kasar dibedakan menjadi : Sedikit : < 15 % Sedang : 15-35 % Banyak : 35-60 % Sangat banyak : > 75 % (Badan Penelitian Tanah, 2003).

  Kedalaman tanah

  Kedalaman tanah menyatakan dalamnya lapisan tanah dalam cm yang dapat dipakai untuk perkembangan perakaran dari tanaman yang dievaluasi (Badan Penelitian Tanah, 2003). Kedalaman tanah atau Solum tanah adalah tanah yang berkembang secara genetis oleh gaya genesa tanah artinya lapisan tanah mineral dari atas sampai sedikit dibawah batas horizon C (Dharmawidjaja, 1997).

  Ketebalan tanah lapisan atas dan tanah bawah ini berkepentingan untuk usaha pertanian jangka panjang yang berkesinambungan (sustainable agriculture).

  Lapisan olah yakni pada ketebalan 0-20 cm mempunyai arti yang sanngat penting, karena mengandung berbagai bahan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman seperti bahan-bahan organik (humus) dan berbagai zat hara mineral.

  Selain itu, pada lapisan tanah tersebut hidup mikroflora dan mikrofauna atau jasad renik biologis (seperti bakteri, cacing tanah berbagai serangga tanah) yang masing-masing dapat menguntungkan tanah (kartasapoetra,1990).

  Kedalaman tanah dibedakan menjadi: Sangat dangkal : < 20 cm Dangkal : 20-50 cm Sedang : 50-75 cm Dalam : > 75 cm (Badan Penelitian Tanah, 2003).

  Kapasitas tukar kation tanah

  Kapasitas tukar kation tanah didefenisikan sebagai kapasitas tanah untuk menjerap dan mempertukarkan kation. KTK biasanya dinyatakan dalam miliekivalen per 100 gram. Kation-kation yang berbeda dapat mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menukar kation yang dijerap. Jumlah yang dijerap sering tidak setara dengan yang ditukarkan. Ion-ion divalent biasanya diikat lebih kuat daripada ion-ion monovalen, sehingga sulit untuk dipertukarkan (Tan, 1998).

  Kejenuhan basa

  Kejenuhan basa menunjukkan perbandingan antara jumlah kation-kation basa dengan jumlah semua kation (kation basa dan kation asam) yang terdapat dalam kompleks jerapan tanah. Jumlah maksimum kation yang dapat dijerap tanah menunjukkan besarnya nilai kapasitas tukar kation tanah tersebut.

  jumlah kation-kation basa

  Kejenuhan basa (KB) = × 100%

  jumlah kation basa+kation asam Kation-kation basa umumnya merupakan hara yang diperlukan tanaman. Di samping itu basa-basa umumnya mudah tercuci, sehingga dengan kejenuhan basa tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah yang subur ( Hardjowigeno, 1993).

  pH Tanah

  Kemasaman tanah berakibat langsung terhadap tanaman karena meningkatnya kadar ion-ion hydrogen bebas. Tanaman akan tumbuh dan berkembang dengan baik pada pH optimum yang dikehendakinya. Apabila pH jenis tanaman itu tidak sesuai dengan persyaratan fisiologisnya, pertumbuhan tanaman akan terhambat. Kemasaman tanah berakibat pula terhadap baik atau buruknya atau cukup kurangnya unsure hara yang tersedia, dalam hal ini pada pH sekitar 6,5 tersedianya unsure hara dinyatakan paling baik. Pada pH dibawah 6,0 unsur P, Ca, Mg, Mo dinyatakan buruk sekali, pada pH rendah ketersediaan Al, Fe, Mn, Bo akan meningkat, yang dapat menyebabkan keracuan bagi tanaman (Sutedjo dan Kartasapoetra, 1991).

  C-organik Kelas kandungan C-organik dapat dilihat pada Tabel 2.

  Tabel 2. Kelas Kandungan C-organik

  Kelas C-organik Nilai Sangat randah <1 Rendah 1-2

  

1

Sedang 2,1-3

  

2

Tinggi 3,1-5

  

3

Sangat Tinggi >5 (gambut)

  

4

Sumber: Departemen Ilmu Tanah (2009) Kemiringan Lereng

  Kemiringan lereng adalah sudut yang dibentuk oleh permukaan lereng Tabel 3. Kelas Kemiringan Lereng

  No Kelas Kemiringan Lereng

  1. A = Datar 0% sampai <3%

  2. B = Landai atau >3% sampai 8% berombak

  3. C = Agak miring atau >8% sampai 15% bergelombang

  4. D = Miring atau berbukit >15% sampai 30%

  5. E = Agak curam atau >30% sampai 45% bergunung

  6. F = Curam >45% sampai 65%

  7. G = Sangat curam >65% Sumber: Arsyad (2006) Bahaya erosi

  Bahaya erosi diprediksi dengan memperhatikan adanya erosi lembar permukaan,erosi alur, dan erosi parit atau dengan memperhatikan permukaan tanah yang hilang (rata-rata) per tahun, dibandingkan tanah yang tidak tererosi yang dicirikan masih adanya horizon A. horizon A biasanya dicirikan dengan warna gelap karena relative mengandung bahan organic yang cukup banyak. Tingkat bahaya erosi tersebut disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Tingkat bahaya erosi

  Tingkat bahaya erosi Jumlah tanah permukaan yang hilang (cm/tahun) Sangat ringan < 0,15 Ringan 0,15-0,9 Sedang 0,9-1,8 Berat 1,8-4,8 Sangat berat > 4,8 (Badan penelitian tanah, 2003).

H. Kualitas Tanah

  Perkebunan kelapa sawit di Indonesia 60% tanahnya merupakan tanah Podsolik (Ultisol). Tanah ini mempunyai status kesuburan rendah, karena

  • 1

  KTKnya rendah (<15 me 100 g ), kandungan C-organik < 1%, cadangan mineral rendah, Ph rendah (<5), tingkat erodibilitasnya dan pencucian sangat tinggi

  (Koedadiri dan Adiwiganda,1998).Kondisi fisik, kimia dan biologi tanah dijadikan indikator untuk menentukan kualitas tanah (Sitompul dan Setijono, 1990).

  Untuk mengetahui kondisi suatu tanah apakah sudah terdegradasi atau belum dapat dilihat dari keadaan sifat-sifat tanah yang menjadi parameter tanah sudah terdegradasi. Hasil penelitian Sudirman dan Vadari (2000) menyimpulkan bahwa kandungan bahan organik, phosphor, ketebalan tanah lapisan atas, dan penampang tanah (solum) merupakan parameter-parameter degradasi tanah. Selain itu menurut Soil Horizons (2000), pH, P-tersedia, C-organik, N, kapasitas tukar kation, ketebalan topsoil, berat isi dan pori aerasi merupakan parameter degradasi tanah.