II. TINJAUAN PUSTAKA - Tinjauan Pustaka Pengertian Lingkungan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Lingkungan

  Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

  Lingkungan Hidup

  menyebutkan pengertian lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan prilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Pasal 1 ayat 1).

  Menurut Supardi (2003), lingkungan atau sering juga disebut lingkungan hidup adalah jumlah semua benda hidup dan benda mati serta seluruh kondisi yang ada di dalam ruang yang kita tempati. Secara garis besar ada 2 (dua) macam lingkungan yaitu lingkungan fisik dan lingkungan biotik. Pertama, lingkungan fisik adalah segala benda mati dan keadaan fisik yang ada di sekitar individu misalnya batu-batuan, mineral, air, udara, unsur-unsur iklim, kelembaban, angin dan lain-lain.

  Lingkungan fisik ini berhubungan erat dengan makhluk hidup yang menghuninya, sebagai contoh mineral yang dikandung suatu tanah menentukan kesuburan yang erat hubungannya dengan tanaman yang tumbuh di atasnya. Kedua, lingkungan biotik adalah segala makhluk hidup yang ada di sekitar individu baik manusia, hewan dan tumbuhan. Tiap unsur biotik, berinteraksi antar biotik dan juga dengan lingkungan fisik atau lingkungan abiotik.

  Lingkungan biotik maupun abiotik selalu mengalami perubahan, baik secara tiba-tiba maupun secara perlahan. Perubahan ini berhubungan erat dengan ekosistemnya yang mempunyai stabilitas tertentu. Semakin besar aneka ragam ekosistem semakin besar daya stabilitasnya, misalnya hutan di daerah tropis yang mengandung begitu banyak ragam tumbuh-tumbuhan dan hewan, walaupun tanpa perawatan tetap akan dapat mempertahankan stabilitas kehidupannya. Sebaliknya, sawah atau ladang yang hanya terdiri dari beberapa jenis tumbuh-tumbuhan, mempunyai stabilitas yang kecil sehingga tanpa perawatan maka stabilitasnya akan terganggu.

  Bagi manusia, daya dukung lingkungan sangat penting bagi kehidupan. Daya dukung yang dimaksud adalah seberapa banyak jumlah unsur, baik biotik maupun abiotik yang dapat dimanfaatkan dan menjamin kehidupan sejumlah penduduk yang mendiami suatu lingkungan. Pada suatu saat, lingkungan tidak dapat lagi memenuhi syarat kehidupan penghuninya karena daya dukung mulai berkurang atau akibat menurunnya kualitas lingkungan akibat ulah manusia atau adanya pencemaran.

  Menurut Supardi (2003), upaya menghalangi atau mengurangi terjadinya penurunan kualitas lingkungan, maka perlu adanya suatu pedoman untuk mempertahankan kelestarian lingkungan yaitu:

  1. Manusia hendaknya selalu memelihara dan memperbaiki lingkungan untuk generasi mendatang.

  2. Dalam pemanfaatan sumber-sumber daya yang non renewable (yang tidak dapat diganti) perencanaan dan pengelolaannya harus efektif dan efisien.

  3. Pembangunan ekonomi dan sosial hendaknya ditujukan selain untuk kesejahteraan umat juga untuk memperbaiki kualitas lingkungan.

  4. Dalam mengadakan kebijaksanaan lingkungan, hendaknya diarahkan kepada peningkatan potensi pembangunan bukan sebatas untuk masa kini tetapi juga untuk masa yang akan datang.

  5. Ilmu dan teknologi yang diterapkan untuk pemecahan masalah lingkungan harus ditujukan demi kegunaan seluruh umat manusia.

  6. Perlu adanya pendidikan, pelatihan maupun pengembangan secara ilmiah tentang pengelolaan lingkungan sehingga semua problem-problem lingkungan dapat ditanggulangi.

  7. Ada kerjasama yang baik dari semua pihak dalam rangka mempertahankan kelestarian dan mencegah terjadinya kerusakan atau kemusnahan.

2.2. Proses Pencemaran Lingkungan

  Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya (Pasal 1 angka 12 UU No. 23/1997).

  Proses pencemaran lingkungan dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu bahan pencemar tersebut langsung berdampak meracuni sehingga mengganggu kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan atau mengganggu keseimbangan ekologis baik air, udara maupun tanah. Proses tidak langsung yaitu beberapa zat kimia bereaksi di udara, air maupun tanah, sehingga menyebabkan pencemaran.

  Dampak pencemaran ada yang langsung terasa, misalnya berupa gangguan kesehatan langsung (penyakit akut) atau gangguan kesehatan yang akan dirasakan setelah jangka waktu tertentu (penyakit kronis). Sebenarnya alam juga memiliki kemampuan sendiri untuk mengatasi pencemaran (selfrecovery), namun alam memiliki keterbatasan ( 2007).

  Pencemaran dari kegiatan industri pada umumnya bersumber dari: 1. Kegiatan produksi dan penambangan.

  2. Kegiatan pengadaan energi dan uap yang meliputi pembakaran bahan fosil atau penggunaan bahan-bahan.

  3. Usaha jasa pemeliharaan atau pembersihan peralatan industri, proses produksi, sarana produksi dan lain-lain (.

2.3. Pengertian Konflik dan Resolusi Konflik

2.3.1. Pengertian Konflik

  Dalam istilah asing, pengertian konflik (conflict) dibedakan dengan pengertian sengketa (dispute). Hadi (2006), menyebutkan bahwa dalam sengketa menyangkut konflik sedangkan konflik belum tentu mengandung sengketa. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kedua istilah tersebut diartikan sebagai perselisihan. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa

  Penyelesaian Sengketa Lingkungan di Luar Pengadilan

  (PP No. 54/2000), menyebutkan bahwa sengketa lingkungan merupakan perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.

  Aplikasi di lapangan, definisi konflik sebagaimana yang disebutkan dalam PP Nomor 54/2000 berkembang lebih luas. Tidak sebatas adanya pencemaran dan perusakan lingkungan tetapi juga mencakup perubahan tata guna lahan, kewenangan pemanfaatan termasuk perebutan hak pemanfaatan. Definisi konflik yang begitu luas, menunjukkan bahwa konflik dapat terjadi pada diri individu dalam hubungannya dengan individu lain, individu dengan institusi atau kelompok masyarakat dengan institusi/organisasi.

  Lacey (2003), mendefinisikan konflik sebagai "a fight, a collision, a struggle,

  a contest, opposition of interest, opinion or purposes, mental strife, agony"

  (suatu pertarungan, benturan, pergulatan, pertentangan kepentingan-kepentingan, opini-opini atau tujuan-tujuan, pergulatan mental, penderitaan batin). Konflik memang melekat erat dalam dinamika kehidupan, sehingga manusia dituntut selalu berjuang dengan konflik.

  Zein (2007), menyatakan bahwa konflik adalah: a. Sebuah perdebatan atau pertandingan untuk memenangkan sesuatu.

  b. Ketidaksetujuan terhadap sesuatu, argumentasi, pertengkaran atau perdebatan.

  c. Perjuangan, peperangan atau konfrontasi.

  d. Keadaan yang rusuh, ketidakstabilan gejolak atau kekacauan.

  Tipe konflik dan karakteristiknya sebagaimana disebutkan dalam A Manual

  on Alternative Conflict Management Based Natural Resource Projects in The South Pacific

  dapat dilihat pada Tabel 2.1:

Tabel 2.1. Tipe-Tipe Konflik

  

Tipe Karakteristik Contoh

  Struktural (Social) Ketimpangan, ketidakadilan, tidak - Perbedaan level terwakili secara struktur sosial pendidikan

  • Tidak berkelanjutan karena over eksploitasi terhadap sumberdaya

  Struktural (Legal) Sistem hukum bias kepada Hanya mengenal pemilik

  stakeholder

  tertentu lahan saja tapi tidak menyebut pengguna lain Ekonomi dan kekuatan

  • Struktural Kekuatan ekonomi bias terhadap (Economi) kelompok stakeholder tertentu politik dari perusahaan
  • Kebijakan yang mengabaikan norma adat dalam pemilikan tanah

  Identitas (Cultural) Perbedaan nilai dari berbagai - Perbedaan nilai terhadap kelompok masyarakat tertentu lahan dan sumberdaya dalam mendefinisikan identitas alam mereka - Rasial, agama, suku, etnis dan bahasa

  • Terlalu kuat pandangan emosional Sumber: Overseas Development Institute, 1998.

  Menurut Supadi (2001), secara umum konflik adalah “prilaku anggota organisasi yang dilakukan berbeda dengan anggota lainnya”. Konflik timbul disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: perbedaan persepsi, perbedaan cara merealisasikan tujuan, perbedaan kepentingan atau suatu pihak melakukan sabotase terhadap yang lain. Dua penyebab yang pertama merupakan jenis konflik yang dapat menjadikan organisasi dinamis bila di-manage dengan tepat, cepat dan profesional. Penyebab lainnya merupakan dampak dari mis-management sehingga konflik semacam itu sedapat mungkin dihindari atau diselesaikan secepatnya sebelum menimbulkan dampak kontra-produktif bagi organisasi.

  Konflik pada hakikatnya dapat didefinisikan sebagai segala macam interaksi pertentangan atau antagonis antar dua atau lebih kepentingan (Chaidir, 2001).

  Robbins, salah seorang pakar ilmu prilaku organisasi merumuskan konflik sebagai berikut: "sebuah proses atau upaya yang sengaja dilakukan oleh seseorang atau

  lebih untuk menghalangi usaha yang dilakukan orang/pihak lain dalam berbagai bentuk hambatan (blocking) yang menjadikan orang lain tersebut merasa frustasi dalam usahanya mencapai tujuan yang diinginkan"

  . Sehingga yang dimaksud dengan konflik adalah proses pertikaian yang terjadi sedangkan peristiwa yang berupa gejolak dan sejenisnya adalah salah satu manifestasinya. Lebih jauh Robbins menegaskan, setiap membahas konflik maka eksistensi konflik selalu diasosiasikan sebagai oposisi (lawan) dan blokade. Dapat juga terjadi bahwa situasi-situasi yang sebenarnya dapat dianggap "bernuansa konflik" ternyata tidak dianggap sebagai konflik karena anggota-anggota kelompok tidak menganggapnya sebagai konflik. Sebaliknya, ada konflik yang hanya dibayangkan "ada" sebagai sebuah persepsi, ternyata tidak riil sebagai sebuah konflik (Syamsuddin, 2004).

  Dua orang penulis dari Amerika Serikat, Cathy A Constantino dan Chistina Sickles Merchant dalam Syamsuddin (2004), mengatakan dengan kata-kata yang lebih sederhana bahwa konflik pada dasarnya adalah: "sebuah proses

  mengekspresikan ketidakpuasan, ketidaksetujuan atau harapan-harapan yang tidak terealisasi"

  . Kedua penulis tersebut sepakat dengan Robbins bahwa konflik pada dasarnya adalah sebuah proses.

  Sebagian besar masyarakat masih cenderung memandang konflik sebagai hal yang harus dihindari bukan sebagai realita yang harus di-manage. Padahal dinamika kehidupan berorganisasi dalam bentuk, jenis dan ukuran apapun tidak akan terjadi tanpa adanya konflik. Perlu mempersepsikan konflik sebagai realita yang tidak perlu dihindari apalagi ditakuti sehingga menjadikan kehidupan organisasi menjadi stagnan. Sebaliknya, konflik harus diterima sebagai “mesin” dinamika organisasi yang harus dikelola secara cerdas, karena dalam kenyataannya konflik tidak selamanya bersifat destruktif. Dalam konteks pemikiran seperti yang disebutkan di atas, konflik tidak identik dengan kegagalan atau kemunduran, tetapi merupakan awal sebuah dinamika karena di tengah terjadinya konflik sebenarnya sedang berlangsung pula proses reparadigming.

2.3.2. Resolusi Konflik

  Sebuah fabel Cina kuno, menceritakan jika dua pihak tidak mau mengalah dalam menyelesaikan suatu masalah maka kedua pihak akan menuai kerugian. Fabel itu mengisahkan, seekor Tiram berjemur diri di pantai dengan kedua kulitnya yang terbuka lebar. Ketika seekor Bangau menghampiri dan mematuk dagingnya, tiba-tiba sang Tiram mengatupkan dirinya sambil menjepit paruh panjang sang Bangau, tidak satu pun yang ingin mengalah. Akhir kisah, seorang nelayan mendekati dan menangkap keduanya.

  Pelajaran yang dapat ditarik dari fabel tersebut, bahwa yang besar tidak selamanya memperoleh kemenangan terhadap pihak yang kecil. Pada sisi lain, selemah-lemahnya pihak yang kecil, selalu ada kekuatan tersendiri untuk melakukan perlawanan. Oleh karena itu, jangan meremehkan yang kecil, sebaliknya yang kecil pun hendaknya tahu diri dan tidak memaksakan kehendak untuk mendapatkan sesuatu.

  Dalam hubungan industrial, ajaran kisah di atas sudah dikenal, namun aplikasinya jarang dilaksanakan. Pada tingkat nasional, didambakan hubungan industrial yang mampu menciptakan perkembangan ekonomi dan hubungan yang harmonis diantara para pelakunya. Pada tingkat perusahaan didasari pula bahwa hubungan yang serasi dan sehat antara pengusaha, pekerja serta hubungan dengan masyarakat sekitarnya akan menciptakan ketenangan usaha dan ketentraman kerja yang pada gilirannya dapat mendorong produktivitas.

  Dorcey (1986), menegaskan bahwa dalam banyak situasi terdapat lebih dari satu akar konflik yang akan muncul yaitu: a. Perbedaan pengetahuan atau pemahaman dapat mengarah pada timbulnya konflik.

  b. Konflik dimungkinkan muncul karena perbedaan nilai.

  c. Perbedaan kepentingan dapat menimbulkan konflik, meskipun berbagai kelompok menerima fakta dan interpretasi yang sama serta mempunyai kesamaan nilai.

  d. Konflik dapat muncul karena adanya persoalan pribadi atau latar belakang sejarah.

  Hendricks (2006), menyebutkan lima gaya manajemen konflik yang dapat dipilih sebagai upaya untuk menyelesaian konflik. Pertama, penyelesaian konflik dengan mempersatukan (integrating). Penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan mendorong tumbuhnya creative thinking (berfikir kreatif), mengembangkan alternatif merupakan kekuatan dari gaya integrating. Kedua, penyelesaian konflik dengan kerelaan untuk membantu (obliging), strategi ini berperan dalam menyempitkan perbedaan antar kelompok dan mendorong para pihak untuk mencari persamaan dasar. Ketiga, penyelesaian konflik dengan cara mendominasi (dominating), merupakan kebalikan dari cara obliging. Strategi ini dapat menjadi reaksioner, digerakkan oleh mekanisme mempertahankan diri.

  Keempat, penyelesaian konflik dengan menghindar (avoiding), aspek negatif cara ini diantaranya adalah menghindar dari tanggungjawab. Kelima, penyelesaian konflik dengan kompromi (compromising), cara ini dianggap paling efektif apalagi menghadapi isu yang kompleks. Kompromi dapat menjadi pemecah perbedaan atau pertukaran konsesi, cara ini hampir selalu dijadikan sarana oleh semua kelompok yang berselisih untuk mendapatkan jalan keluar atau pemecahan masalah.

  Manajemen konflik dapat berjalan maksimal, jika mampu mengembangkan pendekatan yang dapat dipercaya untuk melaksanakan manajemen konflik itu sendiri.

  Manajemen konflik membutuhkan keputusan yang jelas, manajemen konflik memerlukan toleransi terhadap perbedaan, manajemen konflik mengurangi agresi, manajemen konflik mengurangi prilaku pasif dan manajemen konflik memerlukan pengurangan prilaku manipulatif.

  Konflik hendaknya dianggap sebagai suatu faktor yang konstruktif, bukan semata destruktif di dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dalam kerangka pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan (Mitchell, et al, 2007). Memandang konflik sebagai suatu faktor yang konstruktif sejalan dengan tujuan pengelolaan lingkungan hidup yaitu tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup. Konflik lingkungan yang terjadi antara masyarakat dengan pihak industri misalnya, tidak bermakna harus menyingkirkan masyarakat atau memindahkan industrinya (Syahrin, 2006).

  Mengelola konflik merupakan salah satu kunci utama meraih “performance” yang optimal dalam setiap organisasi. Namun sering dalam praktek, persepsi demikian tampaknya masih timpang. Selama ini organisasi tanpa konflik selalu dipersepsi sebagai kondisi ideal dan harmonis. Konflik jarang dipandang sebagai “ vitamin” kehidupan organisasi, tetapi justru sebagai virus pembawa “penyakit”. Padahal jika konflik dikelola secara cerdas akan sangat dekat korelasinya dengan kehidupan organisasi yang dinamis dan efektif. Sangat mustahil, sebuah organisasi hidup tanpa konflik mengalami dinamika yang membangun.

  Sebagaimana diketahui bahwa nilai-nilai sosial yang diajarkan dan dianut dalam masyarakat selalu bersifat anti konflik. Nilai-nilai persatuan, kesatuan, kerjasama dan gotong royong selalu ditekankan untuk dapat mencapai tujuan bersama. Di lain pihak, nilai-nilai demokrasi, musyawarah untuk mufakat dan sikap menghargai perbedaan pendapat tidak jarang dikorbankan secara tidak proporsional demi menjaga kelestarian nilai-nilai sosial tersebut. Oleh karena itu, resolusi konflik adalah bagaimana mengklasifikasikan jenis konflik dinamis kemudian di-manage, bukan menghindari ataupun menghilangkan konflik karena dari perbedaan pendapat itulah sering timbul kebenaran. Resolusi konflik juga menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang dapat bertahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan (Fisher, et al, 2000).

  Pada hakekatnya terdapat dua pandangan utama dalam memandang konflik, yaitu pandangan tradisional dan interaksional. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap mengganggu kerjasama untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam konsep pemikiran demikian, konflik selalu mengandung pengertian negatif, jelek dan destruktif. Sebaliknya, dalam pandangan interaksional, konflik justru mendorong terjadinya efektivitas organisasi dalam bentuk perubahan dan pengambilan keputusan yang lebih baik. Tanpa konflik, suatu organisasi akan statis, apatis dan tidak responsif. Namun, agar konflik dapat fungsional maka harus dikendalikan secara cerdas dan profesional, sehingga efektivitas organisasi akan optimal (Supadi, 2001).

  Nilai-nilai sosial yang berlaku selama ini dimana konflik ditempatkan dalam

  dectructive zone

  perlu direformasi, konflik yang nyata-nyata bersifat destruktif harus segera dicarikan solusinya. Sebaliknya, konflik yang bersifat positif harus di-manage secara tepat agar aspek organisasi ini dapat menstimulasi peningkatan performance dan dinamika organisasi melalui proses sustainable reparadigming. Ketidakmampuan ataupun kegagalan menerapkan resolusi konflik akan bermuara pada kehidupan organisasi yang apatis, stagnan dan disfungsional. Diperlukan kemampuan mengimplementasikan resolusi konflik secara cerdas dan berdasarkan visi, misi dan strategi praktis yang design-nya sanggup menyulap konflik sebagai “mesin” dinamika organisasi. Sehingga, format organisasi tersebut akan selalu match dengan lingkungan strategisnya (Supadi, 2001).

  Dharmawan (2007), menegaskan bahwa secara umum resolusi konflik seharusnya dimulai dengan pengetahuan yang mencukupi tentang peta atau profil konflik sosial yang terjadi di suatu kawasan. Berbekal peta tersebut, segala kemungkinan dan peluang resolusi konflik diperhitungkan dengan cermat, sehingga setiap manfaat dan kerugiannya dapat dikalkulasikan dengan baik. Seringkali dijumpai banyak kasus bahwa sebuah pilihan penyelesaian atau tindakan rasional untuk menangani konflik sosial, tidak mampu menghapuskan akar persoalan konflik secara tuntas dan menyeluruh. Pada kasus yang demikian maka resolusi konflik sepantasnya dikelola (conflict management) pada derajat dan suasana yang sedemikian rupa sehingga ledakan berupa “clash social” yang berdampak sangat destruktif dapat dihindarkan.

  Menurut Lamuru (2007), upaya resolusi konflik adalah: 1. Melakukan upaya-upaya penyelesaian konflik tanpa kekerasan.

  2. Fasilitasi (pemberdayaan kelompok lokal atau masyarakat terkena dampak).

  3. Mediasi (lobbing dan negosiasi para pihak yang berkepentingan).

  4. Informasi dan komunikasi (inamisasi penerapan upaya penyelesaian konflik).

  5. Mendorong upaya-upaya untuk kolaborasi penyelesaian konflik bersama pemerintah.

  Sejalan dengan itu, menyelesaikan sebuah konflik, terlebih dahulu harus memahami apa sebenarnya konflik itu. Menurut Zein (2007), ada tiga tahap dalam memahami konflik, yaitu:

  1. Jangan selalu dilihat sebagai ancaman kekerasan, tetapi lebih luas sebagai ekspresi dari perubahan sosial yang terjadi. Misalnya perubahan teknologi, komersialisasi milik publik, privatisasi, konsumerisme, kebijakan pemerintah pada sumber daya alam, tekanan-tekanan kepada buruh atau masyarakat dan sebagainya.

  2. Konflik akan selalu dihadapi dan tidak dapat dihindari atau ditekan dalam dinamika kehidupan.

  3. Konflik harus dapat diterima, dikelola dan ditransformasikan menjadi perubahan sosial yang positif.

  Tujuan dari resolusi konflik lingkungan, yaitu: 1. Untuk mencegah konflik berkembang tidak terkendali.

  2. Untuk mencegah konflik laten muncul kembali.

  3. Mencari kemungkinan mentransformasi konflik menjadi kekuatan perubahan sosial yang positif.

  Chaidir (2001), menyatakan ada tiga metode penyelesaian konflik yang lazim dipergunakan yaitu metode dominasi atau penekanan, metode kompromi dan metode pemecahan masalah interaktif. Metode dominasi tidak mengharamkan aturan mayoritas melalui pemungutan suara atau voting.

  Metode kompromi adalah penyelesaian konflik melalui pencarian jalan tengah yang dapat diterima kedua belah pihak dan menerima tawaran kompensasi (dalam banyak kasus, metode ini seringkali dimanfaatkan oleh para "calo reformasi" yakni kelompok yang pintar menangguk di air keruh). Berbeda dengan dua metode sebelumnya, penyelesaian konflik melalui pemecahan masalah secara interaktif maka konflik antarkelompok diubah menjadi masalah bersama yang dapat diselesaikan melalui teknik-teknik pemecahan masalah. Apa pun teori dan teknik penyelesaiannya, hal yang diperlukan adalah kejujuran dan keikhlasan semua pihak.

2.4. Beberapa Kasus Konflik Lingkungan

  Dalam banyak kasus penyelesaian konflik lingkungan, seringkali bermuara pada kesepakatan bersifat rekomendasi yang harus ditindaklanjuti. Beberapa kasus konflik lingkungan adalah:

a. Konflik Lingkungan antara Masyarakat Tangerang dengan Pabrik Tekstil

  Sumber konflik adalah limbah cair yang keluar dari saluran pembuangan dan mencemari Kali Sabi, secara sederhana upaya penyelesaian melalui perundingan, para pihak pun bersedia berunding dan Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang sebagai mediator.

  Dua pelajaran yang dapat dipetik dari kasus ini adalah: Pertama, kunci penyelesaian terletak pada respon yang cepat dari instansi pengelola lingkungan hidup dan itikad baik dari pihak industri. Kedua, posisi Dinas Lingkungan Hidup dalam kasus ini sangat dilematis, karena timbulnya pencemaran limbah cair juga disebabkan oleh kelalaian melaksanakan pengawasan pada kegiatan industri. Oleh karena itu, pengaduan masyarakat diharapkan menjadi umpan balik bagi instansi yang bersangkutan.

  b. Konflik Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang

  Konflik TPA akan menjadi fenomena menonjol terutama di kota-kota besar, seiring meningkatnya volume sampah dan manajemen pengelolaan sampah. Konflik ini muncul karena Pemerintah Kota (Pemko) pada umumnya mengelola sampah tidak berdasarkan prinsip sanitary landfill, sebatas melakukan pengangkutan dan pembuangan (open dumping).

  Selain menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan di sekitarnya, TPA Bantargebang seluas 108 ha tersebut tidak sesuai dengan ketentuan izin lokasi seperti yang ditegaskan dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat dan pengangkutan sampah juga menimbulkan gangguan bagi masyarakat yang wilayahnya dilalui armada angkutan sampah. Masyarakat Kota Bekasi menuntut kepedulian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap pencemaran di Bantargebang. Jika upaya penyelesaian hanya berupa ganti rugi, dikhawatirkan akan timbul tuntutan kambuhan.

  c. Konflik Lingkungan Masyarakat Dukuh Tapak dengan Pihak Industri

  Konflik lingkungan ini berawal dari pembuangan limbah cair beberapa perusahaan di wilayah industri Tugu Kota Semarang ke Kali Tapak. Kasus ini menarik perhatian dan diliput secara luas berbagai media massa karena masyarakat Dukuh Tapak dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) pendamping mengadukan kasus pencemaran ke LBH (Lembaga Bantuan Hukum), kemudian pihak LBH melanjutkan kasus pencemaran ini ke Menteri Perindustrian dan Menteri Negara Lingkungan Hidup.

  Upaya perundingan dan butir-butir kesepakatan cukup optimal, namun dari pemantauan berbagai pihak ditemukan adanya beberapa kesepakatan yang tidak ditindaklanjuti oleh pihak industri. Beberapa catatan hasil pemantauan menyebutkan bahwa dari 14 (empat belas) butir kesepakatan, pihak industri hanya menindaklanjuti pemberian ganti rugi, pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat.

  Penyelesaian ketiga kasus konflik lingkungan yang disebutkan di atas, hanya sebatas perundingan atau musyawarah yang menghasilkan beberapa butir kesepakatan tetapi tindak lanjut kesepakatan tidak sepenuhnya dilaksanakan. Oleh karena itu, langkah perundingan sebagai upaya penanganan konflik lingkungan perlu didukung oleh unsur eksternal berupa “tekanan” yang merupakan bentuk “power” untuk mengawasi pelaksanaan kesepakatan itu sendiri.