BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang - Prosedur Pemberian Izin Usaha Peternakan Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2004 Ditinjau dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Pemerintah Kota Medan)

BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Penduduk Indonesia sekarang ini mulai sadar akan kebutuhan gizi dalam

  makanan yang dikonsumsi, terutama gizi yang berasal dari hewani. Tingginya tingkat konsumsi produk olahan peternakan merupakan suatu peluang usaha tersendiri untuk di kembangkan. Bergesernya pola konsumsi masyarakat dalam mengkonsumsi produk olahan peternakan, mendorong seseorang untuk mendirikan suatu perusahaan peternakan yang menghasilkan produk dan jasa yang

   menunjang usaha budidaya ternak.

  Perusahaan peternakan sendiri adalah suatu usaha yang dijalankan secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan komersial yang meliputi kegiatan menghasilkan ternak (ternak bibit/ternak potong), telur, susu serta usaha penggemukan suatu jenis ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan dan memasarkannya yang untuk tiap jenis ternak jumlahnya melebihi jumlah yang ditetapkan untuk tiap jenis ternak pada peternakan rakyat. Sedangkan Perusahaan di bidang Peternakan adalah suatu usaha yang dijalankan secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan komersial yang meliputi perusahaan pemotongan, pabrik pakan dan perusahaan perdagangan sarana produksi peternakan.

  Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan peternakan perlu di kembangkan wawasan dan paradigma baru di bidang peternakan agar investasi, inovasi, dan pemberdayaan dalam bidang peternakan terus berlanjut dan meningkat sehingga meningkatkan daya saing dan kesetaraan dengan bangsa lain yang lebih maju. Sebagai upaya untuk mendorong pertumbuhan dan pengembangan usaha peternakan, pemerintah telah mengambil langkah-langkah di bidang penyederhanaan perizinan dan pendaftaran usaha peternakan melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Kewenangan administrasi negara perlu di atur dalam peraturan perundang- undangan, agar dalam melaksanakan aktivitasnya aparatur negara tidak menyalah gunakan kekuasaannya. Hukum perizinan sangat erat sekali dengan kewenangan Administrasi Negara karena kewenangan merupakan dasar dari aktivitasnya.Hak tidak ada tanpa adanya keputusan pemberian izin.Di dalam memperoleh izin para pengusaha ternak harus memenuhi persyaratan yang telah diterapkan atau di atur oleh pemerintah, dimana pemerintah daerah atau kabupaten mengatur daerah masing-masing menurut Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang- Undang No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah pemerintah dijelaskan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan.

  Ketentuan tersebut telah ditetapkan pula mengenai kewenangan pemberian izin usaha peternakan berdasarkan skala usaha yang telah ditetapkan, namun dalam perkembangannya dan seiring dengan telah ditetapkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom,maka kewenangan pemberian izin usaha peternakan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 merupakan kewenangan Kabupaten/Kota.

  Perusahaan peternakan adalah suatu usaha yang dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan komersial yang meliputi kegiatan menghasilkan ternak (ternak bibit/ternak potong), telur, susu serta usaha menggemukan suatu jenis ternak termasuk menggumpulkan, mengedarkan dan memasarkannya, yang untuk tiap jenis ternak melebihi dari jumlah yang ditetapkan untuk tiap jenis ternak pada peternakan rakyat.

  Perusahaan di bidang peternakan adalah suatu usaha yang dijalankan secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan komersial yang meliputi perusahaan pemotongan, pabrik adalah usaha peternakan yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang jumlah maksimum kegiatannya untuk tiap jenis ternak. Usaha Peternakan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum yang melaksanakan kegiatan menghasilkan ternak (ternak bibit/potong), telor, susu serta usaha menggemukkan suatu ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan dan memasarkannya.

  Persetujuan Prinsip adalah persetujuan tertulis yang diberikan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya terhadap suatu rencana untuk melakukan usaha peternakan dengan mencantumkan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai syarat untuk dapat diberikannya izin usaha peternakan

  Izin merupakan keputusan tata usaha negara dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam pemerintahan sebagai konsekuensi dari jabatannya. Keputusan ini bersifat rutin dan melekat pada jabatan. Dengan demikian, biaya perizinan melekat pada anggaran rutin pemerintah dan tidak dibebankan sebagai biaya transaksi pada pemohon. Melekatkan biaya transaksi pada izin merupakan salah satu distorsi dalam pelaksanaan tata administarsi pemerintahan.

  Berdasarkan ketentuan tersebut, untuk menilai keberhasilan suatu izin bukan hanya berdasar pada jumlah izin yang dikeluarkan yang berkorelasi dengan jumlah retribusi yang diterima, melainkan baru berdasarkan pada sampai sejauh mana instrumen perizinan berfungsi dalam mengakselerasi kegiatan ekonomi atau mengendalikan kegiatan masyarakat/swasta, sehingga kegiatan tersebut tidak menimbulkan masalah eksternalitas, masalah barang publik, asimetri informasi,

   dan pelanggaran hak milik.

  Secara umum kendala sistem perizinan di Indonesia khususnya di daerah, setelah dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah adalah belum adanya sistem perizinan yang baku, integratif, dan komprehensif. Selain itu juga masih banyaknya berbagai instansi yang mengeluarkan izin; tersebarnya peraturan tentang perizinan dalam berbagai peraturan perundang-undangan; diadakannya suatu izin hanya didasarkan semata-mata tujuan pemasukan bagi pendapatan pemerintah (terutama setelah diberlakukannya konsep otonomi daerah, seperti

   halnya izin usaha peternakan.

  Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah sangat ditentukan oleh kesiapan dan kemampuan daerah itu sendiri dalam mengelola dan memberdayakan seluruh potensi dan sumber daya yang tersedia. Desentralisasi tentang pelayanan publik menurut pemerintah daerah harus mampu memberikan pelayanan yang prima. Yang dimaksudkan mampu memberikan pelayanan prima disini dapat diartikan harus memenuhi prinsipprinsip pelayanan publik yaitu seperti yang terdapat pada prinsip-prinsip perizinan diantaranya mengikuti prosedur, sumber daya manusia dari petugas, kecepatan dan keadilan dalam memberikan pelayanan, kepastian biaya dan kepastian waktu.

  Proses pengurusan perizinan peternakan misalnya harus dilakukan langsung oleh masyarakat ke instansi atau unit yang menerbitkan surat izin tersebut. Umumnya masyarakat baru mengetahui syarat-syarat yang harus dipenuhi dan apa yang harus dilakukan setelah mendatangi instansi yang terkait. Masyarakat mendatangi sendiri meja per meja dan orang per orang yang terkait dengan perizinan. Pada tiap meja ini, rawan terjadi pungutan liar (pungli). Pada pelayanan dengan pola ini biaya yang dikeluarkan biasanya tidak sesuai dengan biaya yang resmi yang diumumkan, waktu penyelesaiannya pun biasanya tidak jelas, tergantung dari kerajinan masyarakat memantau perizinan yang diurusnya dan jumlah biaya yang dikeluarkan. Situasi tersebut dapat menimbulkan kualitas

   pelayanan yang cenderung memburuk.

  Secara umum kendala sistem perizinan di Indonesia khususnya di daerah, setelah dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah adalah belum adanya sistem perizinan yang baku, integratif, dan komprehensif. Selain itu juga masih banyaknya berbagai instansi yang mengeluarkan izin; tersebarnya peraturan tentang perizinan dalam berbagai peraturan perundang-undangan; diadakannya

3 Juniarso Ridwan, Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Bandung: Nuansa Cendekia,2010, hal. 14-15.

  suatu izin hanya didasarkan semata-mata tujuan pemasukan bagi pendapatan

   pemerintah (terutama setelah diberlakukannya konsep otonomi daerah.

  Beragamnya organ pemerintahan yang berwenang memberikan izin, dapat menyebabkan tujuan dari kegiatan yang membutuhkan izin tertentu menjadi terhambat, bahkan tidak mencapai sasaran. Artinya, campur tangan pemerintah dalam bentuk regulasi perizinan yang berbelit dapat menimbulkan kejenuhan bagi pelaku kegiatan yang membutuhkan izin itu. Dalam hal otonomi daerah, muncul permasalahan baru di mana izin dijadikan sebagai salah satu alat dalam memperoleh pendapatan asli masing-masing daerah, sehingga terkadang banyak sekali peraturan dan kebijakan serta organ pemerintahan yang mengatur masalah

   perizinan.

  Beberapa masalah lain yang sering menjadi keluhan masyarakat terkait pelayanan publik terutama dalam perizinan, di antaranya adalah: Memperlambat proses penyelesaian pemberian izin; Mencari berbagai dalih, seperti kekurang lengkapan dokumen pendukung, keterlambatan pengajuan permohonan, dan dalih- dalih lain yang sejenis; Alasan kesibukan melaksanakan tugas lain; Senantiasa memperlambat dengan menggunakan kata-kata “sedang diproses”; Sulit

   dihubungi.

  Berdasarkan uraian di atas, merasa tertarik memilih judul Prosedur

  

Pemberian Izin Usaha Peternakan Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8

Tahun 2004 Ditinjau dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi

Pemerintah Kota Medan)

I. Perumusan Masalah

  Dalam setiap penulisan skripsi tentulah ditemukan yang menjadi permasalahan yang merupakan titik tolak bagi pembahasan nantinya. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 5 H. Juniarso Ridwan, Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Bandung: Nuansa Cendekia, 2010, hal. 14-15. 6 Ibid

  1. Bagaimana pengaturan izin usaha peternakan di Kota Medan? 2.

  Bagaimana Prosedur Dalam Pemberian Izin Usaha Peternakan Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 8 Tahun 2004? 3. Bagaimana kendala dalam pemberian izin usaha peternakan berdasarkan

  Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 8 Tahun 2004?

  J. Tujuan dan Manfaat Penelitian

  1. Tujuan Penelitian

  Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a.

  Untuk mengetahui pengaturan izin usaha peternakan di Kota Medan.

  b.

  Untuk mengetahui prosedur dalam pemberian izin usaha peternakan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 8 Tahun 2004.

  c.

  Untuk mengetahui kendala dalam pemberian izin usaha peternakan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 8 Tahun 2004

  2. Manfaat Penelitian

  Selain dari tujuan penulisan, adapun yang menjadi Manfaat Penulisan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah: a.

  Secara teoretis 1)

  Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya. 2)

  Untuk mengetahui secara konkrit sejauhmana perkembangan mengenai Prosedur Pemberian Izin Usaha Peternakan Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 8 Tahun 2004.

  b.

  Secara praktis 1)

  Diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaca, khususnya mengenai Prosedur Pemberian Izin Usaha Peternakan dan pengawasan Izin Usaha Peternakan.

  2) Dengan adanya penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang cara memperoleh izin usaha peternakan khususnya di Kota Medan.

  K. Keaslian Penulisan

  Berdasarkan penelusuran dan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh penulis baik di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulis tidak menemukan judul Prosedur Pemberian Izin Usaha Peternakan Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2004 Ditinjau dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Pemerintah Kota Medan).

  Judul penelitian ini belum diteliti oleh peneliti yang lain maka penulis tertarik untuk mengambil judul ini sebagai judul skripsi, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah

  L. Tinjauan Kepustakaan 1.

  Pengertian perizinan Izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau aturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan

   larangan perundangan. Pengertian diatas merupakan arti izin dalam arti sempit.

  Sehingga dalam kalimat tersebut dapat dipahami bahwa suatu pihak tidak dapat melakukan sesuatu kecuali diizinkan. Dalam hal ini izin didapat dari pihak pemerintah

  Izin merupakan keputusan yang memperkenankan dilakukannya perbuatan

  

  yang pada prinsipnya tidak dilarang oleh pembuat peraturan. Sedang menurut Prajudi Atmosudirdjo, izin (vergunning) adalah suatu penetapan yang merupakan dispensasi pada suatu larangan oleh Undang-undang. Pada umumnya pasal undang-undang yang bersangkutan berbunyi, “Dilarang tanpa izin

  …….(melakukan)…….dan seterusnya. Selanjutnya larangan-larangan tersebut diikuti dengan perincian syarat-syarat, kriteria dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon, untuk memperoleh dispensasi dari larangan, disertai dengan penetapan prosedur dan petunjuk pelaksanaan (juklak) kepada pejabat- pejabat administrasi negara yang bersangkutan.

  Asep Warlan Yusuf mengatakan bahwa izin sebagai suatu instrumen pemerintah yang bersifat yuridis preventif, yang digunakan sebagai sarana hukum

  

  administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat. Izin di sini dimaksudkan untuk menciptakan kegiatan yang positif terhadap aktivitas pembangunan. Suatu izin yang dikeluarkan pemerintah dimaksudkan untuk memberikan keadaan yang tertib dan aman sehingga yang menjadi tujuannya akan sesuai dengan yang menjadi peruntukannya pula.

  Sjahran Basah memberikan pengertian tentang izin yaitu, sebagai perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang menghasilkan peraturan dalam kontreo berdasarkanpersyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh

   ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

  Izin adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang digunakan bagi pemohon sebagai legitimasi terhadap kegiatan yang sebenarnya dilarang dan sebagai sarana bagi pemerintah untuk mengawasi kegiatan tertentu yang dilarang. Dengan pengertian tersebut, maka izin merupakan tindakan hukum pemerintah

  Selain pengertian izin yang diberikan oleh beberapa sarjana tersebut, ada pengertian izin yang dimuat dalam peraturan yang berlaku, misalnya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah. Dalam ketentuan tersebut izin diberikan sebagai dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lain yang merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan 10 Ateng Syafudin, Pengurusan Perizinan, Bandung: Pusat Pendidikan dan Pelatihan ST Alosius, 1992, hal. 4. untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Sehingga pengertian izin dalam hal ini berbentuk tertulis yakni berupa dokumen, sehingga pemberian izin secara lisan tidak termasuk.

  Jadi kesimpulan dari pengertian izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lainnya yang merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha.

2. Peraturan Daerah

  Peraturan Daerah adalah suatu keputusan yang di maksudkan untuk berlaku lama dan merupakan suatu pokok kaidah (norma) buat segala hal yang dapat dimasukkan dalam norma itu dan ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan berlaku (mengikat) umum (algemeen binderegels) baik yang memuat

   ancaman pidana maupun tidak.

  Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama antara DPRD dengan Kepala Daerah baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sedang di dalam UU No 12 Tahun 2011 yang terdapat dua pengertian tentang peraturan daerah, yakni peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Peraturan daerah provinsi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Sedang peraturan daerah Kabupaten/Kota adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.

  Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Pemerintahan Daerah, peraturan daerah di bentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.

  Peraturan daerah sebagai salah satu bentuk perturan perundang-undangan merupakan bagian dari pembangunan sistem hukum nasional. Peraturan daerah yang baik dapat terwujud apabila didukung oleh metode dan standar yang tepat sehingga memenuhi teknis pembentuka peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.

3. Pengertian Hukum Administrasi Negara

  Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para sarjana, antara lain : R.J.H.M Huisman bahwa Hukum Administrasi Negara merupakan bagian dari hukum publik, yakni hukum yang mengatur tindakan pemerintah dan mengatur hubungan pemerintah dengan warga negara atau hubungan antar organ pemerintah. Hukum Administrasi Negara memuat keseluruhan peraturan yang berkenaan dengan cara bagaimana organ pemerintahan melaksanakan tugasnya. Jadi Hukum Administrasi Negara berisi aturan main yang berkenaan dengan

   fungsi organ-organ pemerintahan.

  Hukum Administrasi Negara diartikan juga seperangkat peraturan yang memungkinkan administrasi negara menjalankan fungsinya, yang sekaligus juga melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara, dan melindungi

   administrasi negara itu sendiri.

  Berdasarkan beberapa definisi di atas, tampak bahwa dalam Hukum Administrasi Negara terkandung dua aspek, yaitu : a.

  Aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-alat perlengkapan negara itu melakukan tugasnya; b.

  Aturan-aturan yang mengatur hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara alat perlengkapan administrasi negara atau Pemerintah dengan warga

   negaranya.

13 R.J.H.M Huisman, Inleiding Algemeen Bestuurscrecht, Samson H.D Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn, 1984, hal 4.

  Menurut J.M Baron de Gerando bahwa obyek Hukum Administrasi adalah peraturan-peraturan yang melihat hubungan timbal balik antara Pemerintah dan rakyat. Deskripsi tentang obyek Hukum Administrasi dari De Gerando seperti tersebut di atas kiranya mewarnai Hukum Administrasi dalam perkembangan

   selanjutnya.

  J. Oppenheim membedakan antara Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi berdasarkan tinjauan negara menurut keduanya. Hukum Tata Negara menyoroti negara dalam keadaan diam, sedangkan Hukum Administrasi menyoroti negara dalam keadaan bergerak. Pendapat tersebut selanjutnya dijabarkan oleh C. Van vollenhoven dalam definisi Hukum Tata Negara dan definisi Hukum Administrasi. Hukum Tata Negara adalah keseluruhan peraturan hukum yang membentuk alat-alat perlengkapan negara dan menentukan kewenangan alat-alat perlengkapan negara tersebut, sedangkan Hukum Administrasi adalah keseluruhan ketentuan yang mengikat alat-alat perlengkapan negara, baik tinggi maupun rendah, setelah alat-alat perlengkapan negara itu akan

   menggunakan kewenangan-kewenangan ketatanegaraan.

  Definisi-definisi tersebut kemudian mendapat kritikan dari J.H.A Logemann, karena tidak cukup memisahkan Hukum Administrasi dari Hukum Tata Negara. Tidak cukup pembeda tersebut karena dari definisi tersebut, masalah penetapan wewenang masuk bidang Hukum Tata Negara sedangkan penggunaan

   wewenang adalah bidang Hukum Administrasi.

  R. Kranenburg dan juga J.H.A Logemann tidak memisahkan Hukum Administrasi dari Hukum Tata Negara secara tegas. Keduanya memandang

   Hukum Administrasi sebagai segi khusus dari Hukum Tata Negara. Terhadap

  penyelenggaraan tugas-tugas Pemerintahan dan kenegaraan dalam suatu negara hukum terdapat aturan-aturan hukum yang tertulis dalam konstitusi atau peraturan-peraturan yang terhimpun dalam Hukum Tata Negara. Untuk 16 Philipus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994, hal 22. 17 Ibid,, hal 22.

  menyelenggarakan persoalan-persoalan yang bersifat teknis, Hukum Tata Negara ini tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan dengan efektif. Dengan kata lain Hukum Tata Negara membutuhkan hukum lain yang lebih bersifat teknis. Hukum tersebut adalah Hukum Administrasi Negara.

  Utrecht Hukum Administrasi Negara menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat administrasi negara melakukan tugas mereka yang khusus. Selanjutnya E. Utrecht menjelaskan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang mengatur sebagian lapangan pekerjaan administrasi negara. Bagian lain lapangan administrasi negara diatur oleh Hukum

   Tata Negara, Hukum Privat dan sebagainya.

  Prajudi Atmosudirdjo dalam bukunya Hukum Administrasi Negara merumuskan definisi Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang secara khas mengenai seluk-beluk daripada administrasi Negara dan terdiri atas dua

  

  tingkatan, yaitu : Hukum Administrasi Heteronom, yang bersumber pada UUD 1945, TAP MPR, dan undang-undang, adalah hukum yang mengatur seluk-beluk organisasi dan fungsi administrasi negara. Hukum Administrasi Negara otonom adalah hukum operasional yang dicipta oleh pemerintah dan administrasi negara

   sendiri.

  Menurut Hartono Hadisoeprapto dalam bukunya Pengantar Tata Hukum Indonesia, Hukum Administrasi Negara diartikan sebagai rangkaian-rangkaian aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana alat-alat perlengkapan

   negara menjalankan tugasnya.

  Alat-alat administrasi negara dalam melaksanakan tugasnya, dengan sendirinya menimbulkan hubungan-hubungan yang disebut hubungan hukum. Hubungan-hubungan ini dapat dibedakan dalam dua jenis, yakni :

  a) Hubungan hukum antara alat administrasi negara yang satu dengan alat 20 administrasi negara yang lain; 21 Ibid ,. hal 26 22 Ibid .

  Ibid. b) Hubungan hukum antara alat administrasi negara dengan perseorangan

  (individual), yakni para warga negara, atau dengan badan-badan hukum

   swasta.

  Dalam suatu negara hukum, hubungan-hubungan hukum tersebut disalurkan dalam kaidah-kaidah tertentu, dan kaidah-kaidah hukum inilah yang merupakan materi dari Hukum Administrasi Negara. Kaidah-kaidah hukum tersebut terdiri dari: a)

  Aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-alat administrasi negara mengadakan kontak satu sama lain.

  b) Aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan antara alat administrasi negara (Pemerintah) dengan para warga negaranya.

  Dalam ilmu Hukum Administrasi Negara yang penting adalah perbuatan hukum alat administrasi negara dalam hubungannya dengan warga negara, dimana

   hubungan ini akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara.

  Dalam ilmu hukum terdapat pembagian hukum ke dalam dua macam yaitu Hukum Privat dan Hukum Publik. Penggolongan ke dalam Hukum Privat dan Hukum Publik itu tidak lepas dari isi dan sifat hubungan yang diatur, hubungan mana bersumber dari kepentingan- kepentingan yang hendak dilindungi.

  Adakalanya kepentingan itu bersifat perorangan (individu/ privat) tetapi ada pula yang bersifat umum (publik). Hubungan hukum itu memerlukan pembatasan yang jelas dan tegas yang melingkupi hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari dan terhadap siapa orang itu berhubungan.

  Hukum Publik, yaitu hukum yang mengatur tiap-tiap hubungan di antara negara atau alat-alat negara sebagai pendukung kekuasaan penguasa di satu pihak dengan warga negara pada umumnya di lain pihak atau setiap hukum yang mengatur hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapannya, begitu pula hubungan antara alat-alat perlengkapan negara yang satu dengan alat-alat perlengkapan negara yang lain. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Hukum Publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara atau perlengkapannya dengan perseorangan (warga negara) yang satu dengan warganya atau hukum yang mengatur kepentingan umum, seperti Hukum Pidana,

   Hukum Tata Negara dan lain sebagainya. Hukum Privat adalah hukum yang

  mengatur hubungan antara orang yang satu dengan yang lain atau mengatur kepentingan individu, seperi Hukum Perdata, Hukum Dagang dan lain sebagainya. Hukum Administrasi Negara itu merupakan bagian dari Hukum Publik karena berisi pengaturan yang berkaitan dengan masalah-masalah kepentingan umum. Kepentingan umum yang dimaksud adalah kepentingan nasional (bangsa), masyarakat dan negara.

  Pengertian Hukum Administrasi Negara yang sudah diuraikan pada bagian sebelumnya menunjukan bahwa Hukum Administrasi Negara berkenaan dengan kekuasaan Pemerintah atau eksekutif. Pengertian eksekutif di sini berbeda dengan yang dimaksud dalam ajaran Trias Polika yaitu menempatkan kekuasaan eksekutif

   sebagai pelaksana undang-undang.

  Istilah Hukum Administrasi Negara dalam kepustakaan Belanda dikenal dengan Istilah bestuursrecht dengan unsur utama bestuur. Menurut Philipus M. Hadjon istilah bestuur berkenaan dengan sturen dan sturing. Bestuur dirumuskan sebagai lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan kekuasaan legislatif dan yudikatif. Dengan demikian kekuasaan pemerintah tidak sekedar melaksanakan Undang-Undang saja tetapi merupakan kekuasaan yang aktif. Sifat aktif dalam

   konsep hukum administrasi secara instrisik merupakan unsur utama dari sturen.

  Sturen merupakan suatu kegiatan yang kontinyu. Kekuasaan pemerintahan

  dalam hal menerbitkan izin mendirikan bangunan misalnya, tidaklah berhenti dengan diterbitkannya izin mendirikan bangunan. Kekuasaan pemerintahanan senantiasa mengawasi agar izin tersebut digunakan dan ditaati. Dalam hal pelaksanaan mendirikan bangunan tidak sesuai dengan izin yang diterbitkan, pemerintah akan menggunakan kekuasaan penegakan hukum berupa penertiban yang mungkin berupa tindakan pembongkaran bangunan yang tidak sesuai. 26 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafik, 1992, hal 195.

  Sturen berkaitan dengan penggunaan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah

  konsep hukum publik. Konsep hukum publik, penggunaan kekuasaan harus dilandasi pada asas-asas negara hukum. Sturen menunjukan lapangan di luar legislatif dan yudikatif. Lapangan ini lebih luas daripada sekedar lapangan eksekutif semata.

   1.

  Hukum Administrasi Negara berkaitan dengan tindakan pemerintahan yang tidak semuanya dapat ditentukan secara tertulis dalam Peraturan Perudang-Undangan, seiring dengan perkembangan kemasyarakatan yang memerlukan pelayanan Pemerintah dan masing-masing masyarakat di suatu daerah atau negara berbeda tuntutan dan kebutuhan; Kekuasaan pemerintahan yang menjadi objek kajian Hukum Administrasi

  Negara amat luas. Hal ini dikarenakan bahwa selain melakukan tindakan hukum dalam bidang legislasi seperti pembuatan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaan tetapi juga melakukan aktifitas di luar perundangan, peradilan dan juga melakukan tindakan hukum di luar bidang legislasi, oleh karena itu tidak mudah untuk menentukan ruang lingkup Hukum Administrasi Negara. Kesukaran untuk menentukan ruang lingkup Hukum Administrasi Negara dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: 2.

  Pembuatan peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, dan instrumen yuridis bidang administrasi lainnya tidak hanya terletak satu tangan atau lembaga; 3. Hukum Administrasi Negara berkembang sejalan dengan perkembangan tugas-tugas pemerintahan dan kemasyarakatan, yang menyebabkan pertumbuhan bidang Hukum Administrasi Negara tertentu berjalan secara sektoral. Faktor-faktor tersebut yang menyebabkan Hukum Administrasi Negara tidak dapat dikodifikasikan.

30 E. Utrecht dalam bukunya Ridwan HR,

  menyebutkan alasan-alasan Hukum Administrasi Negara sulit dikodifikasi yaitu: Peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara berubah lebih cepat dan sering secara mendadak, sedangkan peraturan-peraturan hukum privat dan hukum pidana hanya berubah secara berangsur-angsur saja, Pembuatan peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara tidak dalam satu tangan. Di dalam pembuatan Undang-Undang pusat hampir semua Departemen dan Pemerintah Daerah otonom membuat juga peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara sehingga lapangan Hukum Administrasi Negara itu sangat beraneka warna dan tidak bersistem. Karena tidak dapat dikodifikasikan, maka sukar didentifikasikan ruang lingkupnya dan yang dapat dilakukan hanyalah membagi bidang-bidang atau

   bagian-bagian Hukum Administrasi Negara.

  Prajudi Atmosudirdjo membagi Hukum Administrasi Negara dalam dua bagian, yaitu:

  1. Hukum Administrasi Negara Heteronom Bersumber pada Undang-Undang Dasar 1945, TAP MPR, undang-undang adalah hukum yang mengaur seluk beluk organisasi dan fungsi administrasi negara.

  2. Hukum administrasi negara otonom

   Hukum operasional yang diciptakan pemerintah dan administrasi negara.

  Berdasarkan pendapat beberapa sarjana di atas dapat disebutkan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang berkenaan dengan pemerintahan yaitu hukum yang secara garis besar mengatur: Perbuatan pemerintah (Pusat dan Daerah) dalam bidang publik; Kewenangan Pemerintah (dalam melakukan perbuatan di bidang publik tersebut); didalamnya diatur mengenai dari mana, dengan cara apa, dan bagaimana pemerintah menggunakan kewenanggannya; penggunaan kewenangan ini dituangkan dalam bentuk instrumen hukum sehingga diatur pula tentang pembuatan dan penggunaan instrumen hukum; Akibat-akibat hukum yang lahir dari perbuatan atau penggunaan kewenangan pemerintah itu;

   Penegakan hukum dan penerapan saksi-saksi dalam bidang pemerintahan.

  31 32 Ibid., hal 39 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 2001),

  M. Metode Penelitian

  Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode pengumpulan data dan bahan-bahan yang berkaitan dengan materi skripsi ini. Dengan maksud agar tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan nilai ilmiahnya, maka diusahakan memperoleh dan mengumpulkan data-data dengan mempergunakan metode sebagai berikut: 1.

  Jenis penelitian Penelitian hukum normatif meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum,

  

  taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris atau biasa disebut penelitian yuridis empiris. Dalam penelitian ini, hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan nyata.

  2. Pendekatan penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-empiris. Pendekatan

  

yuridis digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan

  terkait dengan perjanjian perjanjian pengadaan barang dan jasa. Sedangkan pendekatan empiris digunakan untuk menganalisis hukum yang dilihat sebagai perilaku masyarakat yang berpola dalam kehidupan masyarakat yang selalu

   berinteraksi dan berhubungan dalam aspek kemasyarakatan.

  3. Sifat penelitian Sifat penelitian dari skripsi ini lebih mengarah kepada sifat penelitian

  

deskriptif yakni penelitian secara umum termasuk pula di dalamnya penelitian

  ilmu hukum, penelitian deskriptif bertujuan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Dalam 34 Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) hal. 13-14. penelitian ini, untuk mendapatkan gambaran secara tepat mengenai sifat-sifat, keadaan dan gejala yang terjadi selama proses pemberian izin usaha peternakan dilakukan. Menggunakan sifat penelitian deskriptif dikarenakan sudah terdapatnya ketentuan peraturan perundang-undangan, literatur maupun jurnal yang cukup memadai mengenai permasalahan yang diangkat.

4. Sumber Data

  Data maupun sumber data yang digunakan sebagai bahan penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, antara lain sebagai berikut: a.

  Data Primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan yaitu baik dari responden maupun informan. Data pimer yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan melakukan wawancara langsung terhadap pihak terkait dalam hal ini yaitu Kepala Dinas Peternakan Kota Medan serta pihak-pihak lain yang terlibat dalam pemberian izin usaha peternakan di Kota Medan.

  b.

  Data sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum. Adapun data sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini, antara lain: 1)

  Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari instrument hukum nasional, terdiri dari : a)

  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

  c) Peraturan Daerah Kota Medan No. 8 Tahun 2004 tentang Perizinan

  Usaha Pertanian dan peternakan

  d) Peraturan Daerah Kota Medan No.23 Tahun 2009 tentang larangan usaha ternak berkaki empat di Kota Medan e)

  Peraturan Daerah Kota Medan No. 22 Tahun 2002 tentang Izin c.

  Bahan hukum sekunder dari penelitian ini yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang mengatur usaha peternakan di Kota Medab. Bebepara bahan hukum sekunder yang penulis gunakan antara lain: pendapat para pakar hukum, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa; buku-buku hukum (text book ), serta jurnal-jurnal hukum yang membahas mengenai perizinan.

  d.

  Bahan hukum tersier yang penulis gunakan berupa kamus hukum dan ensiklopedia.

  5. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan studi kepustakaan dan teknik wawancara. Studi Dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian ilmu hukum, karena penelitian hukum selalu berawal dari premis atau pernyataan normatif berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai studi kepustakaan dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan peneliti. Teknik wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada responden maupun informan yang dirancang atau yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dan mendukung permasalahan yang diajukan dalam penelitian mengenai perizinan peternakan Kota Medan. Dari jawaban ini diadakan pencatatan sederhana yang kemudian diolah dan dianalisis menjadi sebuah laporan yang runtun dan terperinci.

  6. Analisis data Dalam penelitian ilmu hukum aspek empiris dikenal dua model analisis yakni, analisis data kualitatif dan analisis data kuantitatif. Jenis penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian hukum empiris dengan jenis pendekatan penelitian deskriptif, maka teknis analisis data yang penulis lakukan dalam skripsi ini adalah teknis analisis data kualitatif atau disebut deskriptif kualitatif. Keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder, akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistimatis, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data.

  Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisis. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistimatis.

  N. Sistematika Penulisan

  Pembahasan secara sistematis sangat diperlukan dalam penulisan karya tulis ilmiah. Untuk memudahkan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam lima (5) bab per bab yang saling berhubungan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

  BAB I PENDAHULUAN Berisikan pendahuluan yang merupakan suatu pengantar dari pembahasan selanjutnya yang terdiri dari sub bab yaitu: latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

  BAB II PENGATURAN IZIN USAHA PETERNAKAN DI KOTA MEDAN Berisikan mengenai pengertian usaha peternakan, tujuan pemberian izin usaha peternakan dan dasar hukum izin usaha peternakan dan lembaga yang berwenang mengeluarkan izin usaha peternakan di Kota Medan

  BAB III PROSEDUR DALAM PEMBERIAN IZIN USAHA PETERNAKAN BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 8 TAHUN 2004 Berisikan mengenai gambaran umum usaha peternakan di Kota dan pengawasan terhadap izin usaha peternakan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan serta sanksi terhadap peternakan yang belum memiliki izin usaha peternakan

  BAB IV KENDALA DALAM PEMBERIAN IZIN USAHA PETERNAKAN BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 8 TAHUN 2004 Berisikan mengenai Kendala dalam Pemberiam Izin Usaha Peternakan di Kota Medan dan Upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Medan dalam Mengatasi Kendala Dalam Pemberian Izin Usaha Peternakan. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Berisikan mengenai Kesimpulan dan saran merupakan penutup dalam skripsi ini, dalam hal ini menyimpulkan pembahasan- pembahasan sebelumnya dan dilengkapi dengan saran-saran. Bab ini terdiri dari dua sub bab yaitu kesimpulan dan saran

Dokumen yang terkait

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK PKLM A. Sejarah Singkat Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat - Peran Jurusita Pajak Dalam Pelaksanaan Tindakan Penagihan Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Medan Barat

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) - Peran Jurusita Pajak Dalam Pelaksanaan Tindakan Penagihan Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Medan Barat

0 0 12

BAB II GAMBARAN UMUM DINAS PENDIDIKAN KOTA MEDAN A. Sejarah Singkat Dinas Pendidikan Kota Medan - Mekanisme Pengenaan dan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 23 Atas Jasa Penyelenggara Kegiatan Pada Dinas Pendidikan Kota Medan

2 4 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) - Mekanisme Pengenaan dan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 23 Atas Jasa Penyelenggara Kegiatan Pada Dinas Pendidikan Kota Medan

0 0 15

BAB 2 LANDASAN TEORI - Aplikasi Android Pemesanan Makanan Dan Minuman Berbasis Client Server

1 11 16

BAB 2 LANDASAN TEORITIS - Media Pembelajaran Fisika SMP Menggunakan Adobe Flash CS3

0 0 13

BAB 2 LANDASAN TEORI - Rancangan Animasi Pengenalan Bendera Negara Menggunakan Macromedia Flash 8.0

0 0 13

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Komputer - Aplikasi Pemesanan Tiket Bus Menggunakan Visual Basic 6.0

0 1 24

BAB II LANDASAN TEORI 2. 1 Augmented Reality Augmented reality adalah teknologi yang menggabungkan benda maya dua dimensi dan - Implementasi Augmented Reality untuk Pembelajaran Huruf Hijaiyah bagi Anak-anak

0 1 19

BAB II PENGATURAN IZIN USAHA PETERNAKAN DI KOTA MEDAN A. Pengertian Usaha Peternakan - Prosedur Pemberian Izin Usaha Peternakan Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2004 Ditinjau dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Pemerintah Kota Medan

0 0 7