Membangun "Soft Skills" Mahasiswa Keperawatan Melalui Pembentukan Karater "Caring".
MEMBANGUN “SOFT SKILLS” MAHASISWA KEPERAWATAN MELALUI
PEMBENTUKAN KARATER “CARING”
Pidato Ilmiah
pada Dies Natalis ke-17 Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Jatinangor, 8 Juni 2011
Oleh:
Kusman Ibrahim, S.Kp., MNS., Ph.D
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
2011
1
Bismillahirrohmannirrohiim
Yth. Dekan/Ketua Senat Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Yth. Sekretaris Senat Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Yth. Para Pembantu Dekan, Para Dosen, Para Tenaga Kependidikan dan Karyawan
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Yth. Pimpinan Dharma Wanita Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Yth. Para Sesepuh Keperawatan dan Para Tamu Undangan
Para Mahasiswa yang saya cintai dan Hadirin yang saya hormati
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata‟ala, Tuhan Yang Maha
Kuasa, atas limpahan karunia dan rahmat-Nya kita masih diberi kesempatan untuk berkumpul di
sini dalam rangka mengahdiri acara “Dies Natalis ke-17 Fakultas Keperawatan Universitas
Padjadjaran”, semoga kita semua senantiasa mendapat lindungan, petunjuk, dan kekuatan agar
tetap terus bisa berkarya untuk kemaslahatan masyarakat, bangsa, dan Negara yang kita cintai.
Dalam kesempatan ini, saya sampaikan terima kasih kepada Dekan dan Panitia Dies Natalis ke17 Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran yang telah memberikan kesempatan dan
kehormatan untuk menyampaikan orasi ilmiah ini.
Hadirin yang berbahagia,
Semakin kompleksnya tantangan kehidupan di abad XXI menghendaki dilakukannya perubahan
paradigma pendidikan tinggi yang secara mendasar. Bentuk perubahan-perubahan tersebut
2
adalah: (i) perubahan dari pandangan kehidupan masyarakat lokal ke masyarakat dunia (global),
(ii) perubahan dari kohesi sosial menjadi partisipasi demokratis (utamanya dalam pendidikan dan
praktek berkewarganegaraan), dan (iii) perubahan dari pertumbuhan ekonomi ke perkembangan
kemanusiaan. Untuk melaksanakan perubahan besar tersebut, dipakai dua basis landasan, berupa
empat pilar pendidikan [(i) learning to know, (ii) learning to do, (iii) learning to live together
(with others), dan (iv) learning to be] , dan belajar sepanjang hayat (learning throughout life).
Perubahan tersebut juga terjadi pada orientasi pembelajaran isi kurikulum pendidikan dari yang
dominasi penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan (hard skills) ke penguasaan ilmu
pengetahuan dan keterampilan professional serta kemampuan hubungan interpersonal (soft
skills). Hal ini lebih dirasakan terutama pada pendidikan profesi yang berrtujuan untuk mencetak
para professional yang akan bertugas melayani kebutuhan tertentu dari masyarakat pengguna
jasa atau lebih dikenal sebagai klien.
Profesi umumnya menghendaki para anggotanya mampu bekerja terampil secara teknis yang
dilandasi oleh basis keilmuan, dan mampu bekerjasama baik dengan klien maupun dengan
sesama rekan kerja. Kurikulum pendidikan profesi umumnya menawarkan apa yang harus
dipelajari untuk bisa menjalankan tugas atau pekerjaan sebagai suatu profesi dan bagaimana
membangun identitas sebuah profesi (Shakerpeare, Keleher, & Moxham, 2007). Begitu pula
dalam pendidikan keperawatan yang bersifat akademik-professional. Seorang lulusan pendidikan
keperawatan yang berkualitas, diharapkan mampu untuk beradaptasi dengan praktik (fit for
practice) sesuai tuntutan profesi dan badan regulasi, mampu beradaptasi dengan tuntutan
kebutuhan pengguna jasa (fit for purpose), dan memenuhi kompetensi yang dipersyaratkan oleh
lembaga pendidikan tinggi sebagai upaya penjaminan mutu (fit for award) (Pravenn, 2010).
3
Profesi keperawatan tidak hanya menjalankan tugas-tugas teknis prosedural yang berkaitan
dengan medis, melainkan juga pemberian asuhan keperawatan dengan menjalin interaksi yang
konstan dan terus menerus dengan klien dan/atau keluarga dalam upaya membantu pencegahan
penyakit, promosi kesehatan, pemulihan kesehatan, dan mengurangi penderitaan. Klien,
umumnya bukan hanya mengeluhkan berbagai gejala terkait masalah kesehatannya saja, namun
adakalanya juga berbagai masalah kesulitan hidup yang dihadapi akibat dari masalah kesehatan
yang dialami. Hal ini sesuai dengan pandangan perawat bahwa klien bukan hanya sosok individu
atau biologis yang sedang sakit saja, namun sebagai manusia utuh yang memiliki dua aspek
penting dan keduanya bisa terpengaruh ketika ada masalah kesehatan, yaitu aspek kognisi dan
emosi (Sumner, 2005). Hal ini harus menjadi bahan pertimbangan bagi perawat ketika bertemu
dengan klien dalam suatu hubungan “komunikatif-terapetik” di tatanan system pelayanan
kesehatan. Sehingga, tugas perawat diantaranya adalah untuk mendengarkan dengan seksama
dan membantu menyelesaikan permasalahan yang dikeluhkan klien.
Perawat juga harus mampu menjembatani interaksi antara pasien/keluarga dengan dokter atau
anggota tim kesehatan lain yang umumnya datang dalam waktu singkat atau terbatas waktu
interaksinya dengan klien (Pravenn, 2010). Pada realitas tatanan praktik, tidak sedikit perawat
yang mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada situasi-situasi yang membutuhkan
kemampuan hubungan interpersonal atau soft skills. Perawat sering tidak bisa merespon secara
tepat dan bijak terhadap kebutuhan atau masalah yang dikeluhkan klien. Hal ini terjadi terutama
disebabkan ketika dimasa pendidikan, mahasiswa lebih banyak diajari hal-hal yang terkait teknis
procedural (hard skills) tanpa mengintegrasikan dengan kemampuan soft skills, seperti
menumbuhkan percaya diri, mampu memotivasi, menjadi pendengar yang baik, sabar, emphati,
berkomunikasi dengan baik, dan bersikap terpuji dengan menjunjung etika profesi.
4
Hadirin yang saya hormati,
Pengembangan soft skills bukan merupakan produk dari pelatihan atau pendidikan sehari,
melainkan hasil dari upaya terus menerus yang dilakukan dengan penuh kesabaran dan
ketekunan untuk membentuk karakter seseorang. Myra E. Levine (dikutip oleh Pravenn, 2010)
mengatakan bahwa “the quality of the moral commitment is a measure of the nurse's excellence”
(kualitas komitmen moral adalah suatu ukuran dari kehebatan seorang perawat). Artinya, moral
merupakan landasan penting bagi pembangunan karakter dan citra seorang perawat. Pada masa
lalu, kesuksesan umumnya diasosiasikan dengan hasil penguasaan ilmu pengetahuan dan
keterampilan semata, namun dimasa sekarang sukses yang sebenarnya merupakan kombinasi
antara kemampuan hard skills dan soft skills (Rao, 2008). Kecenderungan kedepan, semua
profesi memerlukan kemampuan soft skills. Soft skills membantu perawat dan profesi kesehatan
lain menjadi lebih pandai dan lebih efektif dalam memahami permasalahan klien. Jika profesi
kesehatan dibekali dengan kemampuan interpersonal yang lebih baik, komunikasi, pembentukan
sikap dan percaya diri, bekerja team, dan motivasi, maka pelayanan ke klien akan lebih baik.
Suatu studi dilakukan oleh Van Staden dkk (2006) untuk menjelaskan konseptualisasi soft skills
diantara para mahasiwa kedokteran di Universitas Pretoria, Afrika Selatan. Hasil studi tersebut
menyimpulkan bahwa soft skills yang dimaksud oleh mahasiswa dalam konteks pendidikan
dokter adalah meliputi menjadi pendengar yang baik, menjelaskan segala sesuatu yang
diperlukan pasien, menggunakan teknik komunikasi yang baik, membangun kepercayaan dengan
pasien dengan berbagai latar belakang budaya, mempunyai sikap yang benar dan professional,
betul-betul tertarik untuk membantu meningkatkan kesejahteraan pasien, punya empati,
mengatasi permasalahan pasien dalam situasi sulit, dan berperilaku etis professional. Soft skills
tersebut umumnya dibutuhkan dan perlu ditampilkan baik dalam hubungan dengan pasien
5
maupun dengan tenaga kesehatan lain. Mahasiswa yang dididik dengan kurikulum yang
mengintegrasikan penguasaan soft skills menunjukkan lebih mampu memberikan ilustrasi
pengalaman nyata terkait penerapan soft skills dalam situasi-situasi sulit ketika berhadapan
dengan pasien dibanding mahasiwa yang dididik dengan kurikulum konvensional. Hasil studi
tersebut dapat memberikan inspirasi kepada kita sebagai perawat pendidik bahwa membangun
soft skills mahasiswa tidak terlepas dari upaya perbaikan kurikulum secara sistematis,
terintegrasi, dan terukur sehingga menghasilkan produk lulusan sesuai yang diharapkan.
Hadirin yang berbahagia,
Keperawatan merupakan profesi pelayanan yang sangat didasari oleh kepercayaan dari klien
dan/atau keluarga kepada perawat. Kepercayaan ini dibangun ketika pertama kali, dan selama
perawat berinteraksi dengan klien dan keluarganya. Mengingat pentingnya proses interaksi
antara klien dan perawat, seorang theorist keperawatan, yakni Imogene King (dikutip dalam
Sieloff, 2006) memformulasikan keperawatan sebagai suatu proses hubungan interpersonal dari
aksi, reaksi, interaksi, dan transaksi. Pelayanan keperawatan tidak terlepas dari proses interaksi
antara perawat dengan klien, perawat dengan keluarga, dan perawat dengan sesama anggota tim
kesehatan lainnya. Disisi lain, para ahli keperawatan menekankan bahwa dasar proses interaksi
antar perawat dan klien adalah asuhan (caring). „Caring‟ dalam literatur keperawatan memiliki
makna yang sangat dalam, bukan hanya „bentuk keperdulian‟ atau „perhatian‟ namun juga
berimplikasi pada kuatnya komitmen moral dan professional untuk kesehatan dan kesejahteraan
klien (Sumner, 2005).
Konsep „caring‟ menjadi fokus perhatian perawat, sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1950an
(Brilowski & Wendler, 2005). Namun pada masa selanjutnya, perkembangan tentang konsep
6
„caring‟ terkendala oleh beberapa faktor, diantaranya kurangnya peneliti yang handal dalam
mengungkap fenomena „caring‟ sehingga menyebabkan sedikitnya pemahaman tentang makna
dan ilmu „caring‟. Dua dekade kemudian, tahun 1970an, penelitian-penelitian tentang „caring‟
terpacu dengan munculnya teori Jean Watson yang berjudul „the science of human caring‟. Pada
perkembangan berikutnya, banyak teori-teori yang menjelaskan tentang „caring‟ dalam
keperawatan. Pling tidak, ada tiga teori besar (Grand theory) yang sangat berpengaruh terhadap
perkembangan „caring‟, yaitu; Teori Jean Watson tentang “Philosophy and Science of Caring”,
Teori Orem tentang “Self-care Deficit Nursing Theory”, dan Teori Leininger tentang “Culture
Care” (Sumner, 2005). Ketiga teori ini banyak digunakan sebagai panduan dalam melakukan
riset-riset tentang fenomena „caring‟ yang menghasilkan sumbangsih khazanah pengetahuan bagi
perkembangan batang ilmu (body of knowledge) „caring‟.
Leininger (2002, p.47) menjelaskan, „caring‟ adalah tindakan dan kegiatan yang diarahkan untuk
membantu, mendukung, atau memberdayakan seseorang atau kelompok agar mampu mencegah
penyakit,
memulihkan
kesehatan,
meningkatkan
kondisi
kehidupan,
atau
membantu
mengahadapi kematian atau kecacatan secara bermakna. Sedangkan Watson (1999, p.29)
mendefinisikan „caring‟ sebagai kondisi moral yang ideal dari keperawatan untuk melindungi,
meningkatkan, dan memelihara martabat/kehormatan manusia. „Caring‟ kemanusiaan meliputi
nilai-nilai, kemauan, dan komitmen untuk merawat, memahami secara mendalam, melakukan
tindakan nyata, dan menerima konsekuensi dari tindakan yang dilakukan untuk kesejahteraan
klien. Dari teori-teori terkait „caring‟, dapat disimpulkan bahwa „caring‟ merupakan asas, inti,
atau ruhnya keperawatan. Pemahaman tentang „caring‟ dalam literatur terentang dari mulai
sebagai sebuah karakter/tabiat atau bawaan, perintah moral, hubungan interpersonal, intervensi
terapetik, dan afeksi (tampilan emosi) (Connett, 2007).
7
Hadirin yang berbahagia,
Melihat eratnya hubungan konsepsi „caring‟ dengan aspek moral, komitmen, hubungan
interpersonal, karakter, dan keinginan untuk membantu sesama, maka bisa diambil premis bahwa
„caring‟ bisa menjadi asset atau modal yang berharga dalam membentuk soft skills mahasiswa
dalam mebina hubungan terapetik dengan klien. Kekuatan „caring‟ terletak pada landasan moral
perawat atau yang memerintahkan apa yang seharusnya dilakukan oleh perawat (the „ought‟ of
nursing), yakni komitmen moral untuk kesejahteraan manusia seutuhnya (whole person). Oleh
karenanya, membangun karakter „caring‟ yang berbasis pada moralitas dan akhlak bagi
mahasiswa keperawatan merupakan suatu kewajiban luhur atau mandat profesi untuk melahirkan
generasi perawat yang berkualitas.
Suatu studi kasus dari disertasi doktor Anna M. Waterman (2007) The Ohio University, tentang
„caring‟ dalam pendidikan keperawatan, mengungkap bahwa pembentukan karakter „caring‟
mahasiswa dimulai dari adanya komitmen lembaga pendidikan untuk menjadikan „caring‟
sebagai bagian dari visi dan misi institusi. Penghargaan terhadap nilai-nilai „caring‟ dibuktikan
melalui pencantuman secara eksplisit dalam dokumen kurikulum pendidikan sampai ke silabus
pembelajaran. Peran para dosen dan pembimbing sangat penting dalam mendukung,
memfasilitasi, dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk penerapan nilai-nilai „caring‟,
dan mereka meyakini adanya „trickle-down effect‟ yaitu apabila dosen atau pembimbing
berperilaku „caring‟ kepada mahasiswa, maka mahasiswa akan beperilaku „caring‟ pada sesama
temanya, dan pada gilirannya mereka bisa berperilaku „caring‟ pada klien.
Studi tersebut juga menjelaskan bahwa metode yang paling efektif untuk mengajarkan perilaku
„caring‟ kepada mahasiswa adalah dengan meberikan contoh tauladan (role modeling strategy)
baik ketika mahasiswa belajar di ruangan kelas maupun ketika di lahan praktik. Ada beberapa
8
elemen kunci yang diungkap studi tersebut terkait dengan analisis dokumen kurikulum, yaitu
„caring‟ paling baik dipelajari dalam suatu lingkungan pembelajaran nyata, caring dihargai
secara eksplisit dalam kurikulum, „caring‟ merupakan proses yang berorientasi interaksi dan
aksi, interaksi „caring‟ membantu memaksimalkan kesehatan seseorang, teori Watson menjadi
panduan dan terintegrasi dari kurikulum sampai silabus pembelajaran, dan penerapan „caring‟
memerlukan cara pandang yang holistik, berpikir kritis, dan proses kepewatan.
Dari studi tersebut dapat diambil pelajaran bahwa untuk membentuk karakter „caring‟ mahasiswa
diperlukan upaya yang sistematis, strategis, dan kritis dari semua sivitas akademika untuk
membangun berbagai infrastruktur dari mulai penegasan kebijakan visi, misi, kurikulum, dan
budaya akademik yang menghargai dan mencantumkan secara eksplisit nilai-nilai „caring‟
sampai menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif untuk penerapan nilai-nilai „caring‟
baik di kelas mapun lahan praktik. Namun, yang lebih penting adalah adanya panutan (role
model) yang dapat menjadi acuan bagi mahasiswa untuk mempraktikan nilai-nilai „caring‟
tersebut. Dalam falsafah masyarakat Sunda, nilai-nilai „caring‟ teraktualisasikan dalam nilai
“silih asah silih asih dan silih asuh” yang berarti saling mendidik, saling mengasihi, dan saling
memfasilitasi untuk tumbuh dan berkembang bersama menjadi manusia dewasa yang seutuhnya.
Hadirin yang saya hormati,
Demikianlah beberapa pokok pikiran yang dapat saya sampaikan dalam kaitannya dengan
peringatan Dies Natalis ke-17 Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran. Semoga ada
manfaatnya. Dirgahayu Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran dan sukses selalu dalam
mengembangkan ilmu dan profesi keperawatan dan melahirkan generasi penerus yang
9
berkualitas, mampu bersaing baik di tatanan nasional maupun internasional. Semoga Tuhan yang
Maha Kuasa senantiasa memberi petunjuk dan kekuatan kepada kita semua. Amiin
Wabillahitaufik Wal Hidayah Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
DAFTAR PUSTAKA
Brilowski, G.A., & Wendlerm, C. (2005). An evolutionary concept analysis of caring. Journal of
Advanced Nursing. 50(6), 641–650
Connett, D.F. (2007). Meta-synthesis of caring in nursing. Journal of Clinical Nursing, Journal
compilation:1-9
Leininger, M. M. (2002). Essential Transcultural Nursing Care Concepts, Principles, Examples,
and Policy Statements. In M.M. Leininger & M.R. McFarland (eds.). Transcultural
Nursing, Concepts, Theories, Research, & Practice (Third ed. pp. 45-70). New York:
McGraw-Hill Medical Publishing Division
Pravenn. (2010). Need of soft skills for nurses. Retrieved May 25th , 2011 from http://www.
articlealley.com/article_1710336_36.html?ktrack=kcplink
Rao, M.S. (2008). Soft skills in medical profession. Retrieved May 27th from http://profmsr.
blogspot.com/2008/08/soft-skills-in-medical-profession.html#ixzz1Nf46Cerm
Shakespeare, P., Kaheler, P., & Moxham, L. (2007). Soft skills, hard skills and practice identity.
WACE
Sieloff, C.L. (2006). Imogene King, Interacting systems framework and middle range theory of
goal attainment. In A.M.Tomey & M.R. Alligood (eds). Nursing Theorists and their work
(Sixth ed. pp. 297-317). St. Louis: Mosby Elsevier
Sumner, J . (2001). Caring in nursing: a different interpretation. Journal of Advanced Nursing.
35(6), 926-932
Sumner, J.F. (2005). Caring: The foundation of advanced practice nursing. Retrieved May 21st ,
2011 from http://www.medscape.com/viewarticle/496360
Van Staden, C.W, Joubert, P.M, Pickworth, G.E, Roos, J.L., Bergh, A.M, Krüger, C, et al.
(2006). The conceptualisation of "soft skills" among medical students before and after
curriculum reform. South African Psychiatry Review, 9:33-37
Watson J. (1999). Nursing: Human Science and Human Care: A Theory of Nursing. Sudbury,
MA: Jones & Bartlett.
PEMBENTUKAN KARATER “CARING”
Pidato Ilmiah
pada Dies Natalis ke-17 Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Jatinangor, 8 Juni 2011
Oleh:
Kusman Ibrahim, S.Kp., MNS., Ph.D
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
2011
1
Bismillahirrohmannirrohiim
Yth. Dekan/Ketua Senat Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Yth. Sekretaris Senat Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Yth. Para Pembantu Dekan, Para Dosen, Para Tenaga Kependidikan dan Karyawan
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Yth. Pimpinan Dharma Wanita Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Yth. Para Sesepuh Keperawatan dan Para Tamu Undangan
Para Mahasiswa yang saya cintai dan Hadirin yang saya hormati
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata‟ala, Tuhan Yang Maha
Kuasa, atas limpahan karunia dan rahmat-Nya kita masih diberi kesempatan untuk berkumpul di
sini dalam rangka mengahdiri acara “Dies Natalis ke-17 Fakultas Keperawatan Universitas
Padjadjaran”, semoga kita semua senantiasa mendapat lindungan, petunjuk, dan kekuatan agar
tetap terus bisa berkarya untuk kemaslahatan masyarakat, bangsa, dan Negara yang kita cintai.
Dalam kesempatan ini, saya sampaikan terima kasih kepada Dekan dan Panitia Dies Natalis ke17 Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran yang telah memberikan kesempatan dan
kehormatan untuk menyampaikan orasi ilmiah ini.
Hadirin yang berbahagia,
Semakin kompleksnya tantangan kehidupan di abad XXI menghendaki dilakukannya perubahan
paradigma pendidikan tinggi yang secara mendasar. Bentuk perubahan-perubahan tersebut
2
adalah: (i) perubahan dari pandangan kehidupan masyarakat lokal ke masyarakat dunia (global),
(ii) perubahan dari kohesi sosial menjadi partisipasi demokratis (utamanya dalam pendidikan dan
praktek berkewarganegaraan), dan (iii) perubahan dari pertumbuhan ekonomi ke perkembangan
kemanusiaan. Untuk melaksanakan perubahan besar tersebut, dipakai dua basis landasan, berupa
empat pilar pendidikan [(i) learning to know, (ii) learning to do, (iii) learning to live together
(with others), dan (iv) learning to be] , dan belajar sepanjang hayat (learning throughout life).
Perubahan tersebut juga terjadi pada orientasi pembelajaran isi kurikulum pendidikan dari yang
dominasi penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan (hard skills) ke penguasaan ilmu
pengetahuan dan keterampilan professional serta kemampuan hubungan interpersonal (soft
skills). Hal ini lebih dirasakan terutama pada pendidikan profesi yang berrtujuan untuk mencetak
para professional yang akan bertugas melayani kebutuhan tertentu dari masyarakat pengguna
jasa atau lebih dikenal sebagai klien.
Profesi umumnya menghendaki para anggotanya mampu bekerja terampil secara teknis yang
dilandasi oleh basis keilmuan, dan mampu bekerjasama baik dengan klien maupun dengan
sesama rekan kerja. Kurikulum pendidikan profesi umumnya menawarkan apa yang harus
dipelajari untuk bisa menjalankan tugas atau pekerjaan sebagai suatu profesi dan bagaimana
membangun identitas sebuah profesi (Shakerpeare, Keleher, & Moxham, 2007). Begitu pula
dalam pendidikan keperawatan yang bersifat akademik-professional. Seorang lulusan pendidikan
keperawatan yang berkualitas, diharapkan mampu untuk beradaptasi dengan praktik (fit for
practice) sesuai tuntutan profesi dan badan regulasi, mampu beradaptasi dengan tuntutan
kebutuhan pengguna jasa (fit for purpose), dan memenuhi kompetensi yang dipersyaratkan oleh
lembaga pendidikan tinggi sebagai upaya penjaminan mutu (fit for award) (Pravenn, 2010).
3
Profesi keperawatan tidak hanya menjalankan tugas-tugas teknis prosedural yang berkaitan
dengan medis, melainkan juga pemberian asuhan keperawatan dengan menjalin interaksi yang
konstan dan terus menerus dengan klien dan/atau keluarga dalam upaya membantu pencegahan
penyakit, promosi kesehatan, pemulihan kesehatan, dan mengurangi penderitaan. Klien,
umumnya bukan hanya mengeluhkan berbagai gejala terkait masalah kesehatannya saja, namun
adakalanya juga berbagai masalah kesulitan hidup yang dihadapi akibat dari masalah kesehatan
yang dialami. Hal ini sesuai dengan pandangan perawat bahwa klien bukan hanya sosok individu
atau biologis yang sedang sakit saja, namun sebagai manusia utuh yang memiliki dua aspek
penting dan keduanya bisa terpengaruh ketika ada masalah kesehatan, yaitu aspek kognisi dan
emosi (Sumner, 2005). Hal ini harus menjadi bahan pertimbangan bagi perawat ketika bertemu
dengan klien dalam suatu hubungan “komunikatif-terapetik” di tatanan system pelayanan
kesehatan. Sehingga, tugas perawat diantaranya adalah untuk mendengarkan dengan seksama
dan membantu menyelesaikan permasalahan yang dikeluhkan klien.
Perawat juga harus mampu menjembatani interaksi antara pasien/keluarga dengan dokter atau
anggota tim kesehatan lain yang umumnya datang dalam waktu singkat atau terbatas waktu
interaksinya dengan klien (Pravenn, 2010). Pada realitas tatanan praktik, tidak sedikit perawat
yang mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada situasi-situasi yang membutuhkan
kemampuan hubungan interpersonal atau soft skills. Perawat sering tidak bisa merespon secara
tepat dan bijak terhadap kebutuhan atau masalah yang dikeluhkan klien. Hal ini terjadi terutama
disebabkan ketika dimasa pendidikan, mahasiswa lebih banyak diajari hal-hal yang terkait teknis
procedural (hard skills) tanpa mengintegrasikan dengan kemampuan soft skills, seperti
menumbuhkan percaya diri, mampu memotivasi, menjadi pendengar yang baik, sabar, emphati,
berkomunikasi dengan baik, dan bersikap terpuji dengan menjunjung etika profesi.
4
Hadirin yang saya hormati,
Pengembangan soft skills bukan merupakan produk dari pelatihan atau pendidikan sehari,
melainkan hasil dari upaya terus menerus yang dilakukan dengan penuh kesabaran dan
ketekunan untuk membentuk karakter seseorang. Myra E. Levine (dikutip oleh Pravenn, 2010)
mengatakan bahwa “the quality of the moral commitment is a measure of the nurse's excellence”
(kualitas komitmen moral adalah suatu ukuran dari kehebatan seorang perawat). Artinya, moral
merupakan landasan penting bagi pembangunan karakter dan citra seorang perawat. Pada masa
lalu, kesuksesan umumnya diasosiasikan dengan hasil penguasaan ilmu pengetahuan dan
keterampilan semata, namun dimasa sekarang sukses yang sebenarnya merupakan kombinasi
antara kemampuan hard skills dan soft skills (Rao, 2008). Kecenderungan kedepan, semua
profesi memerlukan kemampuan soft skills. Soft skills membantu perawat dan profesi kesehatan
lain menjadi lebih pandai dan lebih efektif dalam memahami permasalahan klien. Jika profesi
kesehatan dibekali dengan kemampuan interpersonal yang lebih baik, komunikasi, pembentukan
sikap dan percaya diri, bekerja team, dan motivasi, maka pelayanan ke klien akan lebih baik.
Suatu studi dilakukan oleh Van Staden dkk (2006) untuk menjelaskan konseptualisasi soft skills
diantara para mahasiwa kedokteran di Universitas Pretoria, Afrika Selatan. Hasil studi tersebut
menyimpulkan bahwa soft skills yang dimaksud oleh mahasiswa dalam konteks pendidikan
dokter adalah meliputi menjadi pendengar yang baik, menjelaskan segala sesuatu yang
diperlukan pasien, menggunakan teknik komunikasi yang baik, membangun kepercayaan dengan
pasien dengan berbagai latar belakang budaya, mempunyai sikap yang benar dan professional,
betul-betul tertarik untuk membantu meningkatkan kesejahteraan pasien, punya empati,
mengatasi permasalahan pasien dalam situasi sulit, dan berperilaku etis professional. Soft skills
tersebut umumnya dibutuhkan dan perlu ditampilkan baik dalam hubungan dengan pasien
5
maupun dengan tenaga kesehatan lain. Mahasiswa yang dididik dengan kurikulum yang
mengintegrasikan penguasaan soft skills menunjukkan lebih mampu memberikan ilustrasi
pengalaman nyata terkait penerapan soft skills dalam situasi-situasi sulit ketika berhadapan
dengan pasien dibanding mahasiwa yang dididik dengan kurikulum konvensional. Hasil studi
tersebut dapat memberikan inspirasi kepada kita sebagai perawat pendidik bahwa membangun
soft skills mahasiswa tidak terlepas dari upaya perbaikan kurikulum secara sistematis,
terintegrasi, dan terukur sehingga menghasilkan produk lulusan sesuai yang diharapkan.
Hadirin yang berbahagia,
Keperawatan merupakan profesi pelayanan yang sangat didasari oleh kepercayaan dari klien
dan/atau keluarga kepada perawat. Kepercayaan ini dibangun ketika pertama kali, dan selama
perawat berinteraksi dengan klien dan keluarganya. Mengingat pentingnya proses interaksi
antara klien dan perawat, seorang theorist keperawatan, yakni Imogene King (dikutip dalam
Sieloff, 2006) memformulasikan keperawatan sebagai suatu proses hubungan interpersonal dari
aksi, reaksi, interaksi, dan transaksi. Pelayanan keperawatan tidak terlepas dari proses interaksi
antara perawat dengan klien, perawat dengan keluarga, dan perawat dengan sesama anggota tim
kesehatan lainnya. Disisi lain, para ahli keperawatan menekankan bahwa dasar proses interaksi
antar perawat dan klien adalah asuhan (caring). „Caring‟ dalam literatur keperawatan memiliki
makna yang sangat dalam, bukan hanya „bentuk keperdulian‟ atau „perhatian‟ namun juga
berimplikasi pada kuatnya komitmen moral dan professional untuk kesehatan dan kesejahteraan
klien (Sumner, 2005).
Konsep „caring‟ menjadi fokus perhatian perawat, sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1950an
(Brilowski & Wendler, 2005). Namun pada masa selanjutnya, perkembangan tentang konsep
6
„caring‟ terkendala oleh beberapa faktor, diantaranya kurangnya peneliti yang handal dalam
mengungkap fenomena „caring‟ sehingga menyebabkan sedikitnya pemahaman tentang makna
dan ilmu „caring‟. Dua dekade kemudian, tahun 1970an, penelitian-penelitian tentang „caring‟
terpacu dengan munculnya teori Jean Watson yang berjudul „the science of human caring‟. Pada
perkembangan berikutnya, banyak teori-teori yang menjelaskan tentang „caring‟ dalam
keperawatan. Pling tidak, ada tiga teori besar (Grand theory) yang sangat berpengaruh terhadap
perkembangan „caring‟, yaitu; Teori Jean Watson tentang “Philosophy and Science of Caring”,
Teori Orem tentang “Self-care Deficit Nursing Theory”, dan Teori Leininger tentang “Culture
Care” (Sumner, 2005). Ketiga teori ini banyak digunakan sebagai panduan dalam melakukan
riset-riset tentang fenomena „caring‟ yang menghasilkan sumbangsih khazanah pengetahuan bagi
perkembangan batang ilmu (body of knowledge) „caring‟.
Leininger (2002, p.47) menjelaskan, „caring‟ adalah tindakan dan kegiatan yang diarahkan untuk
membantu, mendukung, atau memberdayakan seseorang atau kelompok agar mampu mencegah
penyakit,
memulihkan
kesehatan,
meningkatkan
kondisi
kehidupan,
atau
membantu
mengahadapi kematian atau kecacatan secara bermakna. Sedangkan Watson (1999, p.29)
mendefinisikan „caring‟ sebagai kondisi moral yang ideal dari keperawatan untuk melindungi,
meningkatkan, dan memelihara martabat/kehormatan manusia. „Caring‟ kemanusiaan meliputi
nilai-nilai, kemauan, dan komitmen untuk merawat, memahami secara mendalam, melakukan
tindakan nyata, dan menerima konsekuensi dari tindakan yang dilakukan untuk kesejahteraan
klien. Dari teori-teori terkait „caring‟, dapat disimpulkan bahwa „caring‟ merupakan asas, inti,
atau ruhnya keperawatan. Pemahaman tentang „caring‟ dalam literatur terentang dari mulai
sebagai sebuah karakter/tabiat atau bawaan, perintah moral, hubungan interpersonal, intervensi
terapetik, dan afeksi (tampilan emosi) (Connett, 2007).
7
Hadirin yang berbahagia,
Melihat eratnya hubungan konsepsi „caring‟ dengan aspek moral, komitmen, hubungan
interpersonal, karakter, dan keinginan untuk membantu sesama, maka bisa diambil premis bahwa
„caring‟ bisa menjadi asset atau modal yang berharga dalam membentuk soft skills mahasiswa
dalam mebina hubungan terapetik dengan klien. Kekuatan „caring‟ terletak pada landasan moral
perawat atau yang memerintahkan apa yang seharusnya dilakukan oleh perawat (the „ought‟ of
nursing), yakni komitmen moral untuk kesejahteraan manusia seutuhnya (whole person). Oleh
karenanya, membangun karakter „caring‟ yang berbasis pada moralitas dan akhlak bagi
mahasiswa keperawatan merupakan suatu kewajiban luhur atau mandat profesi untuk melahirkan
generasi perawat yang berkualitas.
Suatu studi kasus dari disertasi doktor Anna M. Waterman (2007) The Ohio University, tentang
„caring‟ dalam pendidikan keperawatan, mengungkap bahwa pembentukan karakter „caring‟
mahasiswa dimulai dari adanya komitmen lembaga pendidikan untuk menjadikan „caring‟
sebagai bagian dari visi dan misi institusi. Penghargaan terhadap nilai-nilai „caring‟ dibuktikan
melalui pencantuman secara eksplisit dalam dokumen kurikulum pendidikan sampai ke silabus
pembelajaran. Peran para dosen dan pembimbing sangat penting dalam mendukung,
memfasilitasi, dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk penerapan nilai-nilai „caring‟,
dan mereka meyakini adanya „trickle-down effect‟ yaitu apabila dosen atau pembimbing
berperilaku „caring‟ kepada mahasiswa, maka mahasiswa akan beperilaku „caring‟ pada sesama
temanya, dan pada gilirannya mereka bisa berperilaku „caring‟ pada klien.
Studi tersebut juga menjelaskan bahwa metode yang paling efektif untuk mengajarkan perilaku
„caring‟ kepada mahasiswa adalah dengan meberikan contoh tauladan (role modeling strategy)
baik ketika mahasiswa belajar di ruangan kelas maupun ketika di lahan praktik. Ada beberapa
8
elemen kunci yang diungkap studi tersebut terkait dengan analisis dokumen kurikulum, yaitu
„caring‟ paling baik dipelajari dalam suatu lingkungan pembelajaran nyata, caring dihargai
secara eksplisit dalam kurikulum, „caring‟ merupakan proses yang berorientasi interaksi dan
aksi, interaksi „caring‟ membantu memaksimalkan kesehatan seseorang, teori Watson menjadi
panduan dan terintegrasi dari kurikulum sampai silabus pembelajaran, dan penerapan „caring‟
memerlukan cara pandang yang holistik, berpikir kritis, dan proses kepewatan.
Dari studi tersebut dapat diambil pelajaran bahwa untuk membentuk karakter „caring‟ mahasiswa
diperlukan upaya yang sistematis, strategis, dan kritis dari semua sivitas akademika untuk
membangun berbagai infrastruktur dari mulai penegasan kebijakan visi, misi, kurikulum, dan
budaya akademik yang menghargai dan mencantumkan secara eksplisit nilai-nilai „caring‟
sampai menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif untuk penerapan nilai-nilai „caring‟
baik di kelas mapun lahan praktik. Namun, yang lebih penting adalah adanya panutan (role
model) yang dapat menjadi acuan bagi mahasiswa untuk mempraktikan nilai-nilai „caring‟
tersebut. Dalam falsafah masyarakat Sunda, nilai-nilai „caring‟ teraktualisasikan dalam nilai
“silih asah silih asih dan silih asuh” yang berarti saling mendidik, saling mengasihi, dan saling
memfasilitasi untuk tumbuh dan berkembang bersama menjadi manusia dewasa yang seutuhnya.
Hadirin yang saya hormati,
Demikianlah beberapa pokok pikiran yang dapat saya sampaikan dalam kaitannya dengan
peringatan Dies Natalis ke-17 Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran. Semoga ada
manfaatnya. Dirgahayu Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran dan sukses selalu dalam
mengembangkan ilmu dan profesi keperawatan dan melahirkan generasi penerus yang
9
berkualitas, mampu bersaing baik di tatanan nasional maupun internasional. Semoga Tuhan yang
Maha Kuasa senantiasa memberi petunjuk dan kekuatan kepada kita semua. Amiin
Wabillahitaufik Wal Hidayah Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
DAFTAR PUSTAKA
Brilowski, G.A., & Wendlerm, C. (2005). An evolutionary concept analysis of caring. Journal of
Advanced Nursing. 50(6), 641–650
Connett, D.F. (2007). Meta-synthesis of caring in nursing. Journal of Clinical Nursing, Journal
compilation:1-9
Leininger, M. M. (2002). Essential Transcultural Nursing Care Concepts, Principles, Examples,
and Policy Statements. In M.M. Leininger & M.R. McFarland (eds.). Transcultural
Nursing, Concepts, Theories, Research, & Practice (Third ed. pp. 45-70). New York:
McGraw-Hill Medical Publishing Division
Pravenn. (2010). Need of soft skills for nurses. Retrieved May 25th , 2011 from http://www.
articlealley.com/article_1710336_36.html?ktrack=kcplink
Rao, M.S. (2008). Soft skills in medical profession. Retrieved May 27th from http://profmsr.
blogspot.com/2008/08/soft-skills-in-medical-profession.html#ixzz1Nf46Cerm
Shakespeare, P., Kaheler, P., & Moxham, L. (2007). Soft skills, hard skills and practice identity.
WACE
Sieloff, C.L. (2006). Imogene King, Interacting systems framework and middle range theory of
goal attainment. In A.M.Tomey & M.R. Alligood (eds). Nursing Theorists and their work
(Sixth ed. pp. 297-317). St. Louis: Mosby Elsevier
Sumner, J . (2001). Caring in nursing: a different interpretation. Journal of Advanced Nursing.
35(6), 926-932
Sumner, J.F. (2005). Caring: The foundation of advanced practice nursing. Retrieved May 21st ,
2011 from http://www.medscape.com/viewarticle/496360
Van Staden, C.W, Joubert, P.M, Pickworth, G.E, Roos, J.L., Bergh, A.M, Krüger, C, et al.
(2006). The conceptualisation of "soft skills" among medical students before and after
curriculum reform. South African Psychiatry Review, 9:33-37
Watson J. (1999). Nursing: Human Science and Human Care: A Theory of Nursing. Sudbury,
MA: Jones & Bartlett.