PENGELOLAAN PENYAKIT LAYU STEWART: PENYAKIT BARU PADA TANAMAN JAGUNG DI INDONESIA MENGGUNAKAN BIOPESTISIDA INDIGENUS.

PENGELOLAAN PENYAKIT LAYU STEWART: PENYAKIT BARU PADA
TANAMAN JAGUNG DI INDONESIA MENGGUNAKAN BIOPESTISIDA
INDIGENUS *)
Oleh :
Dr. Ir. Ujang Khairul. MS **)
Haliatur Rahma. S.Si. MP **)

Abstrak
Penyakit layu stewart pada tanaman jagung merupakan penyakit baru di
Indonesia, penyakit ini belum ada dalam daftar penyakit pada Badan Karantina
Tumbuhan Indonesia dan Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Departemen
Pertanian sampai tahun 2007. Penyakit ini tergolong berbahaya, di luar negeri
telah dilaporkan dapat menyebabkan kehilangan hasil sampai 95%. Penelitian ini
bertujuan untuk: (a) Mengetahui dan memetakan daerah sebaran bakteri
Pantoea stewartii subsp.stewartii (Pnss) penyebab penyakit layu stewart pada
daerah sentra produksi jagung di Indonesia (Jawa, Sumatera dan Sulawesi), (b)
mengetahui karakter morfologis dan fisiologis dari isolat Pantoea stewartii
subsp.stewartii dari berbagai sentra produksi jagung di Indonesia, dan (c)
mendapatkan kandididat biopestisida indigenus untuk pengelolaan penyakit layu
stewart.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dan laboratorium yang

dilaksanakan selama satu tahun. Tahapannya adalah sebagai berikut (1)
Penetapan lokasi dan pengambilan sampel. Daerah sampel yang diambil adalah
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung,Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Gorontalo (2) Isolasi dan karakterisasi Pnss dari sampel tanaman
jagung. Metode yang digunakan adalah metode pengenceran berseri dari
sampel tanah dan tanaman jagung terinfeksi, (3) Uji hipersensitivitas,
patogenisitas, virulensi dan agresivines, (4) Analisis keragaman isolat bakteri dari
berbagai sentra produksi jagung, dan (5) Potensi bakteri rhizosfer indigenus
jagung sebagai biopestisida (agen penginduksi
ketahanan dan pemacu
pertumbuhan)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit layu stewart ini telah menyebar
di daerah sentra produksi jagung di Indonesia dengan insidensi antara 9% - 40%
dan severitas antara 12% - 25%). Semua isolat Pnss (56 isolat) yang diisolasi
dari daerah sampel menunjukkan ciri–ciri Pnss yaitu: gram negatif, koloni pada
medium CPG umur 3 x 24 jam berbentuk bulat, sedikit cembung, berwarna
kuning dan permukaan koloni sedikit berlendir, menghasilkan enzim pektinase.
Hasil pengamatan terhadap kemampuan Bakteri Rhizosfer Indigenus (BRI)
sebagai kandidat bahan aktif biopestisida terdapat 12 isolat menunjukkan
kemampuan yang baik sebagai agens penginduksi ketahanan,dan sebagai

pemicu pertumbuhan tanaman jagung Isolat BRI asal Kinali 2 (Pasaman Barat)
menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam menekan serangan penyakit
layu stewart. Sedangkan isolat BRI asal Tilamutu 2 (Gorontalo) memperlihatkan
kemampuan yang lebih baik dalam meningkatkan tinggi tanaman dibandingkan
isolat BRI yang lain.

------------------------------------------------------------------------*)

Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas dengan
Surat Perjanjian Pelaksanaan Kegiatan No : 120/H.16/PL/HB.PSN/IV/2009
tanggal : 16 April 2009

**)

Staf pengajar Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian
Universitas Andalas Padang

2

PENDAHULUAN


Penyakit layu stewart telah menimbulkan masalah besar bagi
negara

produsen

jagung

dunia

seperti

Amerika

mengakibatkan kehilangan hasil sampai 95%,.

Serikat

yang


Saat ini penyakit layu

stewart telah tersebar di hampir seluruh penjuru dunia seperti: Austria,
Bolivia, Brazil, Canada, Costa Rica, Guyana, Mexico, Peru, Puerto Rica,
USA, Cina, India, Malaysia, Thailand, Vietnam (Shurtleff,1980;Crop
Protection Compendium, 2002).

Namun belum ada laporan resmi

mengenai keberadaan penyakit ini di Indonesia, sampai tahun 2007
penyakit ini masih tergolong kategori A1 yaitu jenis Organisme Penggangu
Tumbuhan Karantina (OPTK) yang belum terdapat diseluruh wilayah
Indonesia (Pusat Karantina Pertanian Departemen Pertanian, 2008).
Khairul dan Rahma (2007); Rahma (2008) telah mendeteksi
keberadaan penyakit ini di sentra produksi jagung Sumatera Barat dengan
insidensi penyakit berkisar 1-15%,

sebahagian besar pasokan benih

jagung Sumatera Barat berasal dari Sumatera Utara dan Pulau Jawa,

dengan semakin meningkatnya lalu lintas perdagangan benih jagung
dewasa ini dan belum memadainya perangkat pengujian kesehatan benih
di Indonesia, dikhawatirkan penyakit ini juga telah masuk dan menyebar di
beberapa daerah sentra jagung Indonesia lainnya.
Penyakit layu stewart merupakan penyakit tular benih yang penting
pada jagung,

karena benih merupakan alat transportasi yang paling

cocok untuk menyebarnya penyakit ini melintasi batas alaminya
(Neergaard, 1977). Muncul dan terdeteksinya penyakit ini pada jagung di
Sumatera Barat, tidak terlepas dari impor benih yang telah berlangsung
selama ini, sehingga memungkinkan tersebarnya patogen ini bersama
benih-benih tersebut.

Resiko dari penularan patogen melalui benih

sangatlah penting, terutama dalam pengiriman benih baik secara nasional
dan internasional.


Lebih dari 50 negara telah melarang impor benih

jagung dari Amerika Serikat kecuali benih tersebut telah disertai dengan
sertifikat bebas Pantoea stewartii subsp.stewartii (Thomas, 2002).

3

Penyakit

layu

stewart

tergolong

sulit

dikendalikan,

karena


menyerang tanaman pada berbagai fase pertumbuhan, bersifat tular benih
dan tular serangga. Sampai saat ini usaha pengendalian penyakit ini di
luar negeri masih menggunakan pestisida sintetis yang mengandung
imidachlopriod untuk seed treatment (Stack, et al, 2006),

namun

dikhawatirkan penggunaan bahan ini secara terus menerus dan tidak
bijaksana akan mempercepat terjadinya resistensi bakteri patogen ini dan
pencemaran lingkungan. Karena penyakit ini bersifat tular benih dan baru
terdeteksi di Indonesia, maka perlu dicarikan alternatif pengendalian yang
ditujukan pada benih sehingga penyakit ini tidak menyebabkan kerugian
yang lebih besar pada petani jagung dikemudian hari.
Sesuai dengan program pertanian berkelanjutan yang diterapkan
di

Indonesia

maka


teknik

pengendalian

Organisme

Pengganggu

Tumbuhan (OPT) harus mengacu pada Pengendalian Hama dan Penyakit
secara Terpadu (PHT). Salah satu komponen utama dari program PHT
adalah pengendalian hayati dengan memanfaatkan agensia pengendalian
hayati indigenus.

Keuntungan penggunaan agensia hayati indigenus

antara lain: ramah lingkungan, berkesinambungan, kesesuaian ekologis,
dan dapat diintegrasikan dalam program PHT serta dapat diperbanyak
dengan teknologi yang sederhana dan mudah cara aplikasinya.
Agensia hayati yang dikembangkan sebagai biopestisida untuk

perlakuan benih sekarang ini diantaranya adalah

Bacillus polymixa

(Aspiras dan Crus, 1985), Pseudomonas fluorescens (Machmud, 1985),
strain avirulen dari Ralstonia solanacearum (Chen and Echandi, 1984 ;
Khairul et al, 2001), dan Bacillus subtilis (Khairul, 2005). Bacillus subtilis
banyak dilaporkan mampu melindungi tanaman dari serangan patogen
dan sekaligus dapat menginduksi ketahanan dan memicu pertumbuhan
berbagai jenis tanaman (Bargabus et al, 2004). Penggunaan B. subtilis
sebagai biopestisida pertama kali dilaporkan oleh Romeiro et al. (1997),
penggunaannya
mengurangi

pada benih tomat sebagai seed treatment dapat

keparahan

solanacearum sampai


penyakit
80%.

layu

yang

disebabkan

oleh

R.

Khairul (2005) melaporkan bahwa B.

4

subtilis mampu menurunkan severitas penyakit layu pada tanaman cabai
sampai 78%.
Formulasi biopestisida memegang peranan penting dalam aplikasi

dan efisiensi penggunaannya, formulasi kering merupakan formulasi yang
sederhana dan mampu meningkatkan daya hidup dan stabilitas bahan
aktifnya sampai 12 bulan. Penemuan biopestisida indigenus dan
formulasinya

yang

cocok

untuk

perlakuan

benih

jagung

dalam

mengendalikan Pantoea stewartii subsp.stewartii, merupakan sumbangan
yang sangat berarti tidak saja dalam pengendalian penyakit namun juga
dalam pengembangan produksi biopestisida di Indonesia.
Berdasarkan permasalahan munculnya penyakit baru ini di
Indonesia, yaitu penyakit layu stewart pada tanaman jagung dan
perancangan pengelolaannya menggunakan biopestisida indigenus, maka
telah dilakukan penelitian mengenai sebaran dan intensitas serangan
penyakit ini pada daerah sentra produksi tanaman jagung di Sumatera,
Jawa dan Sulawesi, analisis keragaman biokimia, fisiologis Pnss serta
ekplorasi dan potensi agens hayati indigenus rhizosfer jagung yang
nantinya akan dikembangkan sebagai

bahan aktif untuk biopestisida

dalam usaha pengelolaaan penyakit layu stewart yang lebih aman dan
efisien.
Penelitian ini bertujuan untuk: (a) Mengetahui dan memetakan
daerah sebaran bakteri Pantoea stewartii subsp.stewartii penyebab
penyakit layu stewart pada daerah sentra produksi jagung di Indonesia
(Jawa, Sumatera dan Sulawesi), (b) .Mengetahui karakter morfologis dan
fisiologis dari isolat Pantoea stewartii subsp.stewartii dari berbagai sentra
produksi

jagung

di

Indonesia,

dan

(c)

Mendapatkan

kandididat

biopestisida indigenus untuk pengelolaan penyakit layu stewart. Dengan
didapatkannya informasi sebaran dan tingkat serangan

penyakit ini di

sentra produksi jagung Indonesia, dan kandidat biopestisida indigenus,
maka diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
merancang langkah antisipatif aktif agar penyakit ini tidak menyebabkan
kerugian yang lebih besar pada petani jagung di kemudian hari.

5

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dan laboratorium yang
dilaksanakan selama satu tahun. Tahapannya adalah sebagai berikut:
.

Pemetaan daerah sebaran penyakit layu stewart
Penetapan Lokasi dan pengambilan sampel. Langkah pertama
penetapan lokasi dimulai dengan penetapan

Propinsi yang menjadi

daerah sentra jagung di Sumatera (Sumatera Barat, Sumatera Utara dan
Lampung)

Sementara di Jawa meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah dan

Jawa Timur, kemudian di Sulawesi meliputi Gorontalo. Di setiap propinsi
tersebut ditetapkan kabupaten yang akan dievaluasi berdasarkan data
dari Dinas Pertanian setempat. Lokasi pengambilan sampel tanaman
ditetapkan berdasarkan data dari Dinas Pertanian di masing-masing
kabupaten.
Sampel tanaman yang diambil adalah berupa benih, batang, daun
(5-10 helai), tongkol, dan malai yang memperlihatkan

gejala khas.

Sampel diambil dari setiap lokasi yang ditetapkan dan disimpan di dalam
wadah dengan pendingin (termos es). Tanah yang berada di sekitar
tanaman bergejala juga diambil sebagai contoh. Sampel berupa daun dan
benih dapat disimpan dalam kertas koran dan di bawa ke laboratorium.
Sebelum diamati sampel tersebut disimpan dalam refrigerator.
Isolasi dan Identifikasi Pnss dari sampel tanaman jagung. Metode
isolasi bakteri Pnss berdasarkan teknik Coplin dan Kado (2001). Bagian
tanaman jagung yang terinfeksi dipotong dan direndam dalam larutan
garam, kemudian eksudatnya digores pada medium

Casamino-acid

peptone glucosa (CPG) agar, Koloni bakteri akan muncul setelah dua
hari. Pada media CPG koloni sangat mucoid dan hanya menghasilkan
sedikit pigmen, Dari hasil pencawanan pada media CPG, semua bakteri
yang menunjukkan ciri-ciri Pnss dimurnikan.

Isolat-isolat tersebut

selanjutnya dikarakterisasi dan diidentifikasi menurut Schaad et al. (2001),
serta diuji lebih lanjut mengenai hipersensitifitas, patogenisitas, virulensi
dan agresvinesnya.

6

Uji Hipersensitivitas, Patogenisitas, Virulensi dan Agresivines. Isolatisolat Pnss dari berbagai sentra produksi jagung (hasil 4.1.2) dari media
CPG ditumbuhkan pada medium CPG broth dan inkubasi selama 3 x 24
jam, kemudian masing-masing isolat Pnss diinfiltrasikan ke bawah
permukaan daun tembakau. Kerapatan populasi Pnss (108 CFU/ml), HR
akan muncul setelah 24 berupa luka nekrosis (Coplin and Kado, 2001).
Uji patogenisitas dilakukan pada bibit jagung rentan (varietas
Arjuna) berumur 8 hari. Batang diinokulasi dengan suspensi bakteri 10 8
CFU/ml. Pengukuran kerapatan sel bakteri dalam suspensi menggunakan
metode turbidimetrik (Hadiotomo, 1990) dengan bantuan spektofotometer
pada panjang gelombang 620 nm. Gejala water soaking akan muncul
setelah 3 hari dan tanaman akan layu antara 5-8 hari setelah inokulasi
(Coplin and Kado, 2001). Inokulasi bakteri dilakukan sampai pada
pembuluh xylem terutama pada bagian petiole, batang atau akar
(Klement, et al, 1990)
Uji virulensi dan agresivines dilakukan pada bibit jagung berumur 8
hari varietas yang menunjukan reaksi rentan (varietas Arjuna). Batang
diinokulasi dengan suspensi bakteri 10 8 CFU/ml, Inokulasi bakteri
dilakukan sampai pada pembuluh xylem terutama pada bagian petiole,
batang dan akar (Klement et al, 1990). Cepat lambat munculnya gejala
layu pada tanaman akan mengindikasikan lebih virulen dan lebih
agresifnya isolat yang diuji. Sebagai pembanding digunakan isolat Pnss
01 sebagai kontrol positif dan air steril sebagai kontrol negatif.
Rumah kaca yang digunakan dijaga sedemikian rupa agar segala
kemungkinan penyebaran penyakit ini keluar dari lokasi penelitian tidak
terjadi. Untuk itu, salah satu dari rumah kaca milik Fakultas Pertanian
Universitas Andalas, pada bagian dalamnya dibatasi dengan kain kasa
sehingga kemungkinan masuk dan keluarnya serangga penyerbuk dapat
dihindari.

Begitu juga dengan segala macam alat dan bahan yang

digunakan dalam percobaan ini secepatnya dimusnahkan begitu selesai
digunakan. Pemusnahannya mengikuti prosedur sistem aseptik sehingga
penyebaran penyakit ini karena kelalaian peneliti dapat dihindari.

7

Parameter yang diamati meliputi; waktu mulai terlihatnya gejala
serangan Pnss (hari).
Analisis keragaman isolat bakteri dari berbagai sentra produksi
Analisis keragaman isolat.

Isolat-isolat Pnss (hasil 4.1.2) diamati

karakter morfologi, biokimia dan fisiologi meliputi: bentuk dan warna
koloni, reaksi gram, ekspresi enzim ektraselular (protease, dan kitinase),
Karakter biokimia dan fisiologis ini dilakukan dengan menggunakan media
indikator. Morfologi, Karakter morfologi dari masing-masing isolat Pnss
yang diamati adalah : warna kologi, bentuk koloni. Reaksi gram, uji gram
bertujuan untuk melihat apakah isolat Pnss bersifat gram negatif atau
positif. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan metoda (Klement et
al, 1990). Aktivitas Proteolitik, gelatin digunakan sebagai substrat untuk
menguji aktivitas ini dengan mengikuti metode yang digunakan oleh Munif
(2001). Larutan gelatin (4 g/50 ml akuades) yang telah dicampur dengan
medium agar (5 g/400 ml akuades) disterilkan dengan autoklaf (120 0C, 15
lbs) selama 20 menit. Medium yang telah dituangkan dalam cawan petri,
dibuat 4 sumur dengan pengebor gabus (diameter 1 cm) kemudian diisi
dengan 0,2 ml suspensi bakteri Pnss (OD 600 = 0,164) dan diinkubasi pada
suhu ruang (260C) selama 3 hari. Aktivitas proteolitik dilihat dengan cara
menuangkan 5 ml

larutan ammonium sulfat jenuh ke atas medium.

Akivitas proteolitik ditunjukkan dengan adanya zone bening di sekitar
sumur yang berisi suspensi bakteri.

Aktivitas Kitinolitik, aktivitas

kitinolitik dari isolat-isolat Pnss diuji dengan metode yang dideskripsikan
oleh Munif (2001) . Medium yang mengandung koloidal kitin disiapkan
sebagai sumber karbon dan nitrogen. 15 g kitin crustacea di lembabkan
dengan menggunakan aseton dan dilarutkan dalam 120 ml HCl dingin
dengan cara diaduk selama 45 menit di dalam ice bath.

Supernatan

kemudian disaring dengan menggunakan glass wool, koloidal kitin
kemudian diendapkan. Residu kemudian dilarutkan kembali dan disaring
tiga kali, sampai tidak ada lagi kitin yag mengendap.

Suspensi yang

mengandung koloidal kitin disentrifus dengan kecepatan 4000 rpm.

8

Supernatan dibuang dan pelet yang mengandung koloidal kitin dicuci 3-4
kali dengan 4 liter akuades sampai pH 2, kemudian disimpan dalam
regrigerator. Sebelum digunakan pH dijadikan 6 dengan menggunakan 1
M

NaOH.Kitin agar yang mengandung 0,2% koloidal kitin (pH 6,2)

disterilkan. Medium dituang ke dalam cawan petri. Empat sumur dibuat
pada medium dengan menggunakan pengebor gabus steril (diameter 1
cm) dan diisi dengan 0,2 ml suspensi bakteri Pnss.

Medium yang

mengandung bakteri diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari. Aktivitas
kitinolitik diindikasikan dengan adanya zone bening disekitar sumur.
Potensi Bakteri Rhizosfer Indigenus Jagung Sebagai Biopestisida
(Agen Penginduksi Ketahanan dan Pemacu Pertumbuhan)
Isolat-isolat kandidat yang akan dijadikan sebagai bahan aktif
biopestisida diisolasi dari rhizosfer tanaman jagung dengan menggunakan
metode

Schaad

et

al,

(1998).

Isolat-isolat

ini

kemudian

diuji

kemampuannya sebagai agens penginduksi ketahanan dan sekaligus
pemicu pertumbuhan tanaman jagung.
Bibit jagung yang rentan penyakit layu stewart (varietas arjuna)
umur 8 hari, direndam perakarannya dengan masing-masing kandidat
bakteri rhizosfer jagung selama 30 menit (populasi 10 6 sel/ml) (OD600 =
0,164). kemudian ditanam dalam polybag. Inokulasi bakteri penyebab
penyakit layu stewart (Pantoea stewartii subsp.stewartii) dilakukan 7 hari
setelah inokulasi kandidat bakteri rhizosfer dengan cara menginokulasikan
bakteri Pnss pada bagian petiole daun menggunakan jarum steril.
Peubah yang diamati meliputi: Insidensi penyakit (%), tinggi
tanaman (cm).

9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran dan Tingkat serangan Penyakit Layu Stewart
Dari hasil pengamatan di beberapa daerah sentra produksi jagung
di Indonesia yang meliputi : Sumatera (Sumatera Utara, dan Sumatera
Barat, Lampung) dan

di

Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa

Timur) serta Sulawesi (Gorontalo),

diketahui penyakit layu stewart ini

telah menyebar dengan insidensi penyakit berkisar antara 3 % sampai
40%, dan severitas penyakit berkisar antara 12% sampai 25% (Tabel 1)
(Gambar 1)
Tabel 1. Insidensi dan severitas penyakit layu stewart di beberapa
sentra produksi jagung di Indonesia
No

Propinsi

Kabupaten

1

Sumatera
Barat

Pasaman
Barat
Agam

2

Sumatera
Utara

Simalungun
Barastagi

3

Kecamatan
Kinali
Gunung Tuleh
Baso
Padang Lua
Sidamanik
Harang Gaol
Barastagi

Severitas
(%)
24%
19%
16%
23%
17%
15%
13%

Lampung
Tengah

Punggur

10%

25%

Trimorjo

9%

20%

Lampung
Barat

Belalau

9%

21%

Sumber Jaya

11%

13%

8%

15%

Cibolang

15%

16%

Selawi

11%

14%

Pangalengan

15%

19%

Soreang
Tarub
Surodadi
Kartosuro
Ampel

8%
14%
11%
9%
7%

20%
22%
25%
21%
23%

Tosari
Bululawang
Gimbang
Gedeg

14%
11%
9%
7%

22%
25%
21%
23%

Lampung

Cilawu
Garut
4

Insidensi
(%)
38%
4 40%40
18%
4 21%40
11%
10%
9%

Jawa Barat
Bandung
Jawa Tengah

Tegal

5
Boyolali
Pasuruan
6

Jawa Timur
Lamongan

10

Pahuwoto
7

Gorontalo
Bualemo

Hasil

wawancara

Popayanto
Randangan
Dulupe
Tilamutu

dengan

petani

3%
11%
7%
5%

12%
18%
20%
25%

dan petugas pengamat

hama dan penyakit di lokasi pengambilan sampel ternyata mereka tidak
mengenal penyakit dan gejala serangan Pnss pada jagung. Persentase
tanaman jagung yang terinfeksi Pnss di berbagai lokasi di Sumatera dan
Jawa serta Sulawesi relatif masih cukup rendah (Tabel 1). Bahkan di
beberapa lokasi pertanaman hanya ditemukan satu dua tanaman yang
bergejala layu stawart. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit masih belum
merata, namun harus diwaspadai untuk menghindari munculnya ledakan
penyakit (outbreak) yang akan merugikan petani.

Menurut McGee

(1997), masuknya suatu patogen baru ke suatu negara atau wilayah
merupakan konsekuensi logis dari perdagangan (pertukaran plasma
nutfah) antar negara atau wilayah. Kisaran suhu optimum pertumbuhan
Cmm berkisar antara 18 - 290C (Pataky, 2003). Suhu pada semua lokasi
pengambilan sampel berada pada kisaran tersebut. Sehingga memungkin
munculnya serangan Pnss .
Gejala serangan Pnss yang ditemukan di lapangan cukup
beragam, pada tanaman muda terdapat gejala water soaking yang
panjang terdapat di sepanjang daun (Luebker, 2003; Stack et al, 2006).
Daun memperlihatkan garis hijau pucat sampai kuning,

bakteri

menginfeksi tanaman pada semua fase umur, tapi kerusakan yang paling
parah tejadi pada saat infeksi terjadi pada saat tanaman berusia muda
(terutama saat menjelang munculnya 5 helai daun) (Thomas, 2002)
(Gambar 1a.), disamping itu juga ditemukan gejala layu dan kerdil
(Luebker, 2003; Stack et al, 2006) (Gambar 2b). Juga ditemukan gejala .
berupa lesio pada daun, lesio berupa goresan hijau sampai kuning
dengan pinggiran yang tak beraturan dan bergelombang di sepanjang

11

(1a)

(1b)

(1c)

Gambar 1. Gejala serangan bakteri Pnss di lapangan, (1a) : Daun
memperlihatkan garis hijau pucat sampai kuning, (1b) :
gejala layu dan kerdil, (1c) : gejala lesio pada daun
tulang daun dan juga diseluruh permukaan daun (Thomas, 2002) (Gambar
1c)
Di hampir semua lokasi pengambilan sampel, varietas yang paling
banyak diserang oleh

Pnss

adalah varietas Arjuna, sedangkan pada

varietas lain seperti Bisi 5, Bisi 2, Semar9, Surya dan Pioneer
serangannya bervariasi. Dengan ditemukannya serangan Pnss ini pada
beberapa varietas di sentra produksi jagung di Pulau Sumatera, Jawa dan
Sulawesi harus diwaspadai oleh semua pihak terutama instansi terkait di
pemerintahan. Penyakit ini dapat meledak (outbreak) pada suatu saat,
jika tidak diambil tindakan cepat dan bijaksana.
Isolasi dan Karakterisasi Pnss dari sampel tanaman jagung
Semua isolat Pnss (56 isolat) yang diisolasi dari daerah sampel
yang meliputi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur, serta Gorontalo, menunjukkan ciri–ciri
Pnss yaitu: gram negatif, koloni pada medium CPG umur 3 x 24 jam
berbentuk bulat, sedikit cembung, berwarna kuning dan permukaan koloni
sedikit berlendir, menghasilkan enzim pektinase (Tabel 2 dan Gambar 2).
Ciri-ciri isolat Pantoea stewartii subsp.stewartii yang berhasil
diisolasi mempunyai kesamaan dengan ciri yang dikemukakan oleh
Pataky (2003) yaitu gram negatif,

anaerob fakultatif, non-motil, tidak

berspora, bentuk batang, pada kultur memperlihatkan warna.

12

Tabel 2. Karakteristik Pnss
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Karakteristik
Warna koloni pada CPG
Bentuk sel
Produksi EPS
Uji Pektinase
Motilitas
Reaksi Gram
Reduksi Nitrat
Aktifitas Proteolitik
Aktifitas Kitinolitik
HR
Patogenisitas
Agresifines

(a)

Keterangan
Kuning
Batang
+
+
+
+
+
+
+

(b)

(c)

Gambar 2. Hasil isolasi dan karakterisasi isolat Psnn dari daerah sampel. (a).
Koloni Psnn pada medium CPG, (b) gram negatif, (c) uji pektinase

Uji Hipersensitif, Patogenisitas dan Agresiviness isolat Pnss
Hasil pengujian reaksi hipersensitif pada daun tembakau dari isolat
Pnss memperlihatkan bahwa gejala nekrotik muncul 2 x 24 jam, dimana
gejala awal ditandai dengan adanya bercak kebasah-basahan (water
soaking)

(Gambar

3a),

sedangkan

dari

uji

patogenisitas

yang

menggunakan varitas jagung rentan, gejala pada daun muncul pada hari
ke 7 (Gambar 3b dan 3c).

13

(a)

(b)

(c)

Gambar 3. Hasil uji hipersensitif dan patogenisitas isolat Pnss. (a).reaksi
HR positif pada daun tembakau, (b) dan (c) gejala layu
stewart pada daun dan bibit jagung
Pengujian patogenisitas dari isolat-isolat Pnss pada tanaman
jagung rentan (varietas arjuna), dari 56 isolat yang diuji, hanya 47 isolat
yang menunjukkan reaksi positif, yaitu 10 isolat dari Sumatera Barat dan 3
isolat dari Sumatera Utara, 7 isolat dari Lampung, 6 isolat dari Jawa Barat,
6 isolat dari Jawa Tengah, 8 isolat dari Jawa Timur, dan 7 isolat dari
Gorontalo (Gambar 3 b dan c).
Hasil pengujian agresifitas isolat Pnss pada bibit jagung varietas
Arjuna, gejala layu stewart muncul berkisar antara 7 - 9 hari setelah
inokulasi.

Isolat Pnns asal Popayanto (Gorontalo)

menunjukkan

agresifitas yang paling tinggi yakni 7 hari setelah inokulasi. (Tabel 3)
Tabel 3. Agresifitas isolat-isolat Pnss dari berbagai sentra produksi
jagung di Indonesia
Nomor dan asal isolat
1. Kinali 1
2. Kinali 2
3. Kinali 3
4. Gunung Tuleh 1
5. Gunung Tuleh 3
6. Baso 1
7. Baso 3
8. Baso 4
9. Padang Lua 2
10. Padang Lua 3

Agresifitas (hari)
8
9
9
8
8
9
8
9
8
9

14

11. Sida Manik 3
12. Harang Gaol 1
13. Barastagi 2
14. Punggur 1
15. Punggur 2
16. Tri Murjo 2
17. Tri Murjo 3
18. Belalu 1
19. Sumber Jaya 1
20. Sumber Jaya 2
21. Cilawu 2
22. Cilawu 3
23. Cibolang 2
24. Selawi 2
25. Pangalengan 3

8
8
8
9
8
8
9
8
9
9
8
9
8
9
9

26. Soreang 2
27. Tarub 1
28. Surodadi 2
29. Surodadi 3
30. Kartosuro 1
31. Kartosuro 3
32. Ampel 1
33. Tosari 2
34. Bululawang 1
35. Bulalawang 3
36. Gimbang 1
37. Gimbang 2
38. Gimabang 3
39. Gedeg 1
40. Gedeg 2
41.Popayanto 2
42.Randangan 1
43.Randangan 2
44. Dulupe 2
45.Tilamutu 1
46.Tilamutu 2

8
8
8
9
8
8
8
9
8
9
9
9
8
9
8
7
8
9
8
8
9

Potensi Bakteri Rhizosfer Indigenus Jagung Sebagai Biopestisida
(Agen Penginduksi Ketahanan dan Pemacu Pertumbuhan)
Hasil

pengamatan

terhadap

kemampuan

Bakteri

Rhizosfer

Indigenus (BRI) sebagai kandidat bahan aktif biopestisida (agens
penginduksi ketahanan tanaman dan agens pemacu pertumbuhan)
terdapat 12 isolat menunjukkan kemampuan yang baik sebagai agens
penginduksi ketahanan (Tabel 4) dan sebagai pemicu pertumbuhan

15

tanaman jagung

(Tabel 5 dan Gambar 4).

Isolat BRI asal

Kinali 2

(Pasaman Barat) menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam
menekan serangan penyakit layu stewart. Kemampuan isolat BRI dalam
memacu pertumbuhan tanaman jagung berbeda beda, isolat BRI asal
Tilamutu 2 (Gorontalo)

memperlihatkan kemampuan yang lebih baik

dalam meningkatkan tinggi tanaman dibandingkan isolat BRI yang lain.

Tabel 4. Insidensi penyakit layu stewart pada bibit jagung setelah
aplikasi Bakteri Rhizosfer Indigenus (BRI)
Isolat
BRI asal Kinali 2
BRI asal Kinali 1
BRI asal Barastagi 3
BRI asal Selawi 1
BRI asal Pengalengan 2
BRI asal Kertosuro 1
BRI asal Ampel 2
BRI asal Tosari 2
BRI asal Gedeg 2
BRI asal Randangan 1
BRI asal Tilamutu 1
BRI asal Tilamutu 2
Kontrol
*) BRI = Bakteri Rhizosfer Indigenus

Insidensi penyakit (%)
0%
25 %
25 %
50 %
50 %
50 %
50 %
50 %
50 %
75 %
75 %
75 %
100 %

Tabel 5. Tinggi bibit jagung setelah aplikasi Bakteri Rhizosfer Indigenus .
Isolat
BRI asal Tilamutu 2
BRI asal Kinali 2

Tinggi Bibit (cm)
69,3
60,6

16

BRI asal Tilamutu 1
BRI asal Selawi 1
BRI asal Ampel 2
BRI asal Kertosuro 1
BRI asal Barastagi 3
BRI asal Pengalengan 2
BRI asal Gedeg 2
BRI asal Tosari 2
BRI asal Randangan 1
BRI asal Kinali 1
Kontrol

Gambar 4.

60,5
60,5
59,0
58,9
57,8
55,8
53,7
53,4
50,9
47,9
39,8

Bibit jagung setelah diperlakukan dengan Bakteri Rhizosfer
Indigenus. . (a)= kontrol, b = aplikasi dengan Bakteri Rhizosfer
Indigenus

Berdasarkan pengujian karakter biokimia, isolat bakteri rhizosfer
indigenus. mempunyai kemampuan memproduksi enzim yaitu enzim
kitinase, dan protease. Karakter biokimia ini dapat dihubungkan dengan
peranan dari bakteri ini sebagai agens hayati, Menurut Kopperl, Hewlett,
Norris. (2002), Streptomyces sp yang diisolasi dari rhizosfer tomat mampu
mendegradasi dinding sel Fusarium oxysporum dengan menghasilkan
enzim kitinase dan selulase (Kopperl, Hewlett, Norris. 2002)

17

Enzim kitinase, proteinase merupakan enzim penting yang
dihasilkan oleh bakteri antagonis untuk mengendalikan patogen terutama
patogen tular tanah, karena enzim ini dapat mendegradasi senyawasenyawa kitin dan protein yang membangun dinding sel patogen.
Beberapa jenis bakteri yang telah dilaporkan menghasilkan enzim kitinase
adalah Bacillus cereus (Mitchell & Alexander, 1962), Serratia marcescens
(Downing & Thomson, 2000), dan bakteri yang menghasilkan

enzim

selulase dan pektinase adalah Pseudomonas flourescens (Benhamou et
al .1996). Disamping berfungsi untuk mendegradasi dinding sel patogen,
selulase dan proteinase digunakan oleh bakteri untuk melakukan
penetrasi secara ke dalam jaringan inang terutama bakteri yang bersifat
endofitik.
Pengujian pendahuluan menunjukkan bahwa bakteri rhizosfer
indigenus. mampu
mampu

menghasilkan senyawa antibiotik.

menghambat

pertumbuhan

bakteri

Senyawa ini

patogen

sehingga

perkembangan penyakit layu dapat diperlambat, senyawa ini mampu
melakukan penetrasi ke dalam sel patogen dan menghambat aktivitas sel.
Pembengkakan pada hifa jamur Fusarium terjadi karena senyawa
antibiotik yang dihasilkan oleh bakteri masuk kedalam sel patogen dan
menyebabkan protoplasmic dissolution (Chen & Michaillides, 2004).
Hasil pengujian kemampuannya dalam memicu pertumbuhan bibit
jagung memperlihatkan bahwa 12 isolat bakteri rhizosfer indigenus.
memperlihatkan kemampuan ini, Mekanisme peningkatan pertumbuhan
tanaman oleh bakteri bisa terjadi dengan beberapa cara diantaranya
melarutkan fosfat, fiksasi nitrogen (Thakuria et al, 2004), merangsang
pembentukan akar lateral (Vasudevan et al, 2002), dan menghasilkan
hormon pertumbuhan seperti IAA (Vonderwell et al, 2001)

dan sitokinin.

P. fluorescens dilaporkan dapat menghasilkan sitokinin (Salamote et al,
2001) ,

18

Kemampuan bakteri rhizosfer indigenus. dalam melarutkan fosfat
dapat membantu meningkatkan persediaan fosfat untuk pertumbuhan
tanaman. Thakuria et al (2001) melaporkan bahwa bakteri pelarut fosfat
yang diisolasi dari rizosfer padi dapat meningkatkan produksi padi sampai
21.6 %. Disamping dapat meningkatkan ketersediaan fosfat, beberapa
bakteri juga dapat meningkatkan unsur nitrogen, sehingga kebutuhan
tanaman terhadap unsur nitrogen dapat terpenuhi (Thakuria et al, 2004).
Disamping dapat meningkat ketersediaan beberapa nutrisi, bakteri
rhizosfer juga dapat merangsang tanaman untuk membentuk akar lateral.
Akar lateral ini dapat memperluas daerah penyerapan unsur hara oleh
tanaman,

sehingga

kebutuhan

nutrisi

lebih

cepat

terpenuhi

dan

meningkatkan pertumbuhan tanaman (Vasudevan et al, 2002). Hormon
pertumbuhan yang dihasilkan oleh bakteri juga dapat dimanfaatkan oleh
tanaman untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman, Khalid et al (2004)
melaporkan bahwa bakteri rhizosfer gandum dapat menghasilkan auksin,
hormon ini dapat digunakan oleh tanaman untuk meningkatkan panjang
akar hingga 17,3%, berat kering akar hingga 13,5% dibanding kontrol.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.

Penyakit layu stewart telah menyebar di daerah sentra produksi
jagung Indonesia dengan insidensi penyakit berkisar antara 3 %
sampai 40%, dan severitas penyakit berkisar antara 12% sampai
25%.

2.

Isolat Pnss yang diisolasi dari beberapa daerah sentra produksi
jagung Indonesia mempunyai karakter yang mirip dengan bakteri Pnss
yang menjadi penyebab penyakit layu stewart pada jagung.

3.

Didapatkan 12 kandidat bakteri rhizosfer indigenus jagung yang
mampu menginduksi ketahanan dan memacu pertumbuhan tanaman
jagung.

19

Disarankan

untuk

dilakukan

mengkonfirmasi isolat-isolat bakteri
yang

berhasil

diisolasi

dengan

penelitian

lanjutan

dengan

Pantoea stewartii subsp.stewartii
analisis

molekular

(PCR)

dan

memformulasi bakteri rhizosfer indigenus terpilih untuk digunakan sebagai
biopestisida untuk pengendalian penyakit layu stewart pada jagung.

DAFTAR PUSTAKA

Aspiras,R.B & A.R. Cruz. 1985. Potential biological control of bacterial
wilt in tomato and potato with Bacillus polymyxa FU6 dan
Pseudomonas flourescens pp. 89 – 92. In: Persley, G.J. (ed)
Bacterial Wilt Disease in Asia and the South Pasific. Proceeding of
an international workshop held at PCARRD. Los Banos, Philippines 8
– 10 October 1985. ACIAR Proceeding N0.13. Canvera, Australia
Bargabus, R.L., Zidack, N.K., Sherwood, J.W., and Jacosen, B.J. 2004.
Screening for the identiication of potential biological agens that
induce systemic acquired resisteance in sugar beet. Biological
Control 30: 342-350.
Chen W-q, Michaillides TJ. 2004. Collection and trials of biocontrol agents
against Botryosphaeria panicle and shoot blight of Pistachio.
Postdoctoral research associate.
Chen, W.Y., Echandi, E. 1984. Effects of avirulent bacteriocin producing
strain of Pseudomonas solanacearum on the control bacterial wilt.
Plant Pathology 33: 245-253.
Coplin, D.L., and Kado, C.I. 2001. Pantoea. Pages 73-83 in: Laboratory
Manual for the Identification of Plant Pathogenic Bacteria.Third
Edition. N. Schhaad, J. Jones, and W.Chun.eds. American
Phytopathological Sociaty Press, St Paul,MN.
Crop Protection
Compendium.
2002. Distribution
Pantoea stewartii subsp. Stewartii. Stewart’s Wilt.
http://wwwl.cabicompendium.org/cpc/datasheet.asp

map for

Hadiotomo. S.R. 1990. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. Bandung. ITB
Press.

20

Khairul. U, A. Hanafiah dan Aprianto. 2001. Pemanfaatan strain avirulen
Burkholderia solanacearum (E.F.Smith) Yabuuchi et al untuk
pengendalian penyakit layu bakteri pada tanaman cabai dan metoda
aplikasinya. Laporan Penelitian Dana SPP/DPP Lembaga Penelitian
Univ. Andalas Padang
Khairul. U. 2005. Analisis Keragaman Molekuler Bacillus subtilis
Dengan Teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Dan
Studi Potensi Antagonisnya Terhadap Ralstonia solanacearum
(E.F.Smith) Yabuuchi et al Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman
Cabai. Laporan Penelitian Dosen Muda (BBI). Dikti Depdiknas.
Jakarta
Khairul. U, H. Rahma. 2007. Deteksi penyakit layu stewart oleh bakteri
Pantoea stewartii subsp. Stewartii. Penyakit baru pada tanaman
jagung di Sumatera Barat. Laporan field trip Lapangan Jurusan
HPT. Padang. Tidak dipublikasi.
Khalid A, Arshad M. Zahir ZA. 2004. Screening plant growth-promoting
rhizobacteria for improving and yield of wheat (abstract). App
Microb 96: 473
Klement Z. Rudolph K. Sand.D.C. 1990. Methods In Phytobacteriology.
Akademiai Kiado, Budapest.
Kopperl MLS, Mitchell DJ. 2002. Selection of Streptomyces spp. with
potential for biocontrol of Fusarium oxisporum on tomato.
http://www.bspp.org. uk/icpp98/5.2/76.html. 15 Nopember 2004
Luebker Leonard. 2003. Stewart’s Wilt. Technical Resource
http://www.ianrpubs.unl.edu/epublic/pages/index.jsp. [18 Oktober
2006].
Machmud. M, 1985. Bacterial wilt in Indonesia. In Bacterial Wilt Disease
in Asia and the South Pasific. ACIAR Proceedings. 13 : 30-34
Mitchell R, Alexander M. 1962. Lysis of soil fungi by bacteria. Can J.
Microbiol 9:169-177
Munif A. 2001. Studies on the importance of endophytic bacteria for the
biological control of the root-knot nematode Meloidogyne incognita
on tomato [Dissertation]. Zu Bonn: Doctor der Agrarwissenschaften.
Rheinischen Friedrich-Wilhelms-Universitat
Neergaard P. 1977. Seed Pathology. Volume 1. New York: John Wiley &
Sons.
Pataky. E. 2003. “Stewart’s Bacterial Wilt and Leaf Blight of
Corn”. Ohio State University Extension. 2021 Coffey Road,
Columbus.

21

Pusat Karantina Departemen Pertanian. 2007. “Jenis-jenis Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) Golongan I dan Golongan
II (Kategori A1)”.. Departemen Pertanian RI.
Rahma. H. 2008. Sebaran penyakit layu stewart di Sumatera Barat.
Laporan penelitian Dosen Muda. Lembaga Penelitian Universitas
Andalas Padang.
Romeiro, W., Baker KF, Franks N, Holland J. 1997. Effect of Bacillus
subtilis on increased growth of seedling in steamed and nontreated
soil. Phytopathology 97:1027-1034.
Romeiro RS, Moura AB, Matsuoka K, Fernandes MC.
1997.
Actinomycetes selected
for biological control of tomato wilt
(Ralstonia solanaceraum) and growth promotion after seed
microbialization. http://wwwcp.scisco. org/docs/pm/am0591.htm. 8
Nopember 2004.
Saravana, T, Bhaskaran, R., and M. Muthusamy. 2004. Fluorescens
induced enzymological change in banan root (Cv. Rasthali) against
Fusarium wilt disease. Plant Pathology 3 (2): 72-80.
Schaad NW, Jones JB, Chun W. 2001. Laboratory Guide for Identification
of Plant. Pathogenic Bacteria. St Paul: The American Phytopatology
Society.
Stack J, Chaky J, and Giesler L. 2006. Publication Wilt of Corn in
Nebraska.http://www.unl.edu/unpub/search/default.shtml. [18 Oktober
2006].
Thakuria D, Talukdar NC, Goswani C, Hazarika S, Boro RC. 2004.
Characterization and screening of bacteria from rhizosphere of rice
grown in acidic soils of Assam. Current Science 83: 1140-1143.
Thomas A. Zitter. 2002. Stewart’s Bacterial Wilt-Still a Problem After 107
Years. Department of Plant Pathology Cornell Universityu Ithaca, NY
14853. (25 Januari 2007).
Vasudevan P, Reddy MS, Kavitha S, Velusamy P, Paulraj RSD. 2002.
Role of biological preparations in enhancement of rice seedling
growth and grain yield. Current Science 83: 1140-1143.

22

23

24

25

26

28