Kombinasi Ciri Orde 1, Ciri Orde 2 Dan Discrete Cosine Transform Pada Pengenalan Pola Citra Wajah

BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1.

Pengenalan Wajah

Pengenalan wajah adalah salah satu teknologi biometrik yang telah banyak
diaplikasikan dalam sistem keamanan selain pengenalan retina mata, pengenalan sidik
jari dan iris mata. Untuk proses pengenalan wajah, biasanya menggunakan sebuah
kamera untuk menangkap wajah seseorang kemudian dibandingkan dengan wajah
yang sebelumnya telah disimpan di dalam dataset (Rahim, 2013).
Pengenalan wajah melibatkan banyak variabel, yaitu citra dasar, hasil
pengolahan citra, hasil ekstraksi citra dan data profil seseorang. Pengenalan citra
untuk pengenalan pola wajah membutuhkan juga alat pengindera berupa kamera dan
juga metode yang sesuai untuk menentukan apakah citra yang ditangkap oleh camera
sesuai dengan dataset yang pernah disimpan sebelumnya. kesesuaian yang dimaksud
biasanya ditampilkan dengan informasi profil yang sesuai pula (Suprianto, 2013).

2.2.


Citra Digital

Citra digital merupakan kesatuan dari berbagai elemen yang terdiri dari kecerahan
(brightness), kontras (contrast), kontor (contour), warna (color), bentuk (shape), dan
tekstur (texture). Secara garis besar citra dapat dibagi menjadi dua jenis, citra diam
(still image) dan citra bergerak (motion image) (Gonzalez, 1992).
Banyak peralatan elektronik yang menghasilkan citra digital misalnya scanner,
kamera digital, mikroskop digital, dan pembaca sidik jari (fingerprint reader). Untuk
dapat mengolah citra digital menjadi bentuk yang kita inginkan dapat digunakan
beberapa macam Perangkat lunak, antara lain Adobe Photoshop dan GIMP (GNU
Image Manipulation Program) menyajikan berbagai fitur untuk mengolah citra digital
(Kadir, 2013).

Universitas Sumatera Utara

6

Gambar 2.1. Contoh peralatan yang menghasilkan citra digital
Citra merupakan gambar pada bidang dua dimensi. Citra dibagi menjadi 2 jenis:
1. Citra Diam (Still Image), merupakan suatu citra yang tidak bergerak.

2. Citra Bergerak (Motion Image), merupakan rangkaian citra diam yang
ditampilkan secara sekuensial sehingga terlihat pada mata kita seperti gambar
yang bergerak. Contohnya adalah citra pada layar televisi.
secara umum citra diam (Still Image) direpresentasikan ke dalam bentuk fungsi f (x, y),
dan citra bergerak (Motion Image) direpresentasikan ke dalam fungsi f (x, y, t),
dimana fungsi x dan y sebagai sumbu x dan sumbu y citra, dan fungsi t merupakan
waktu (Gonzalez, 1992).
Citra digital dapat diolah oleh komputer, oleh karena itu citra harus
direpresentasikan secara numerik dengan nilai-nilai yang diskrit, nilai diskrit yang
dimaksud adalah nilai intensitas cahaya dari sebuah citra. Nilai-nilai intensitas cahaya
tersebut ditampilkan sebagai nilai-nilai kanal pada citra digital. Untuk citra 8 bit
memiliki satu kanal yang terdiri dari sekumpulan nilai antara 0 – 255, dan citra 24 bit
memiliki tiga kanal yang dikenal sebagai kanal R(red), G(green), dan B(blue)
(Fadlisyah, 2013).

Universitas Sumatera Utara

7

2.3.


Grayscale

Citra grayscale adalah citra yang menggunakan tingkatan warna keabuan. Warna abuabu adalah salah satu warna pada ruang R(red), G(green), dan B(blue) yang
mempunyai nilai intensitas yang sama. Jumlah bit yang disediakan di memori
berpengaruh pada jumlah warna yang ada yang berfungsi untuk menampung
kebutuhan warna.
Setiap sample pixel pada citra grayscale dapat disimpan dalam format 8 bit, yang
memungkinkan sebanyak 256 intensitas dan warna diartikan sebagai nilai antara 0 dan
255, nilai 0 merupakan yang paling gelap (hitam) dan nilai 255 adalah paling (putih).
Format ini akan membantu pada pemrograman karena dapat melakukan manipulasi bit
yang tidak terlalu banyak. Untuk melakukan perubahan pada citra warna yang
memiliki nilai matrik R,G dan B menjadi citra grayscale dengan nilai S, maka
konversi bisa dilakukan dengan cara mengambil nilai rata – rata dari nilai R(red),
G(green), dan B(blue) (Zhou, 2010).

s=
2.4.

r+g+b


………………………………... (2.1)

Ekstraksi Ciri Statistik

Analisis tekstur biasa dimanfaatkan sebagai proses untuk melakukan klasifikasi dan
interpretasi pada suatu citra. Proses klasifikasi citra berbasis analisis tekstur umumnya
membutuhkan tahapan ekstraksi ciri (Fadlisyah, 2015). Ekstraksi ciri dapat terbagi
dalam tiga model yaitu :

2.4.1. Metode Statistik
Metode statistik merupakan perhitungan derajat keabuan (histogram) dengan
melakukan pengukuran pada tingkat kekontrasan, granularitas, dan kekasaran suatu
daerah dari hubungan ketetanggaan antar piksel pada suatu citra. Paradigma statistik
sesuai untuk tekstur-tekstur alami yang tidak terstruktur dari sub pola dan himpunan
aturan (mikrostruktur) sehingga penggunaanya tidak terbatas.

Universitas Sumatera Utara

8


2.4.2. Metode Spektral
Metode spektral berdasarkan pada fungsi autokorelasi suatu daerah atau power
distribution pada domain transformasi Fourier dalam mendeteksi periodisitas tekstur.

2.4.3. Metode Struktural
Metode struktural sering digunakan untuk pola-pola makrostruktur, Analisis-nya
menggunakan deskripsi primitive tekstur dan aturan sintaktik..
Bagian ini akan membahas metode ekstraksi ciri statistik orde pertama dan
kedua. Ekstraksi ciri orde pertama dilakukan melalui histogram citra. Ekstraksi ciri
statistik orde kedua dilakukan dengan matriks kookurensi, yaitu suatu matriks antara
yang merepresentasikan hubungan ketetanggaan antar piksel dalam citra pada
berbagai arah orientasi dan jarak spasial

2.5.

Statistik Fitur (Ciri Orde Satu)

Statistik Fitur (Ciri Orde Satu) merupakan metode pengekstrakan ciri yang didasarkan
pada karakteristik histogram citra. Histogram menunjukkan probabilitas kemunculan

nilai derajat keabuan pada suatu citra. Dari nilai probabilitas yang dihasilkan, dapat
dihitung beberapa parameter ciri orde pertama, antara lain adalah mean, skewness,
variance, kurtosis, dan entropy.
a. Mean (µ)
Menunjukkan ukuran dispersi dari suatu citra

µ = ∑� ��

��

……...………………………(2.2)

dimana �� merupakan suatu nilai intensitas keabuan, sementara

�� menunjukkan

nilai histogramnya (probabilitas kemunculan intensitas tersebut pada citra).
b. Skewness (α )

Menunjukkan tingkat kemiringan relatif kurva histogram dari suatu citra


α = � ∑ �� − µ


(� )

……...………………………(2.3)

Universitas Sumatera Utara

9

c. Variance (σ )

Menunjukkan variasi elemen pada histogram dari suatu citra

σ = ∑ � −µ
d. Kurtosis (α )

��


……...………………………(2.4)

Menunjukkan tingkat keruncingan relatif kurva histogram dari suatu citra

α = � ∑ �� − µ

(� ) −

……...………………………(2.5)

e. Entropy (H)
Menunjukkan ukuran ketidakaturan bentuk dari suatu citra

� = −∑
2.6.

�� . log

��


……...………………………(2.6)

Feature Haralic (Ciri Orde Dua)

Pada tahun 1973 Haralick memperkenalkan Gray Level Co-occurrence Matrix
(GLCM) dimana GLCM berfungsi untuk melakukan ekstraksi fitur. (Sebastian, 2012).
GLCM menggunakan penghitungan tekstur pada ciri statistik orde dua.
Teknik pengekstrakan ciri statistik orde dua adalah dengan menghitung
probabilitas hubungan ketetanggaan antara dua piksel pada jarak dan orientasi sudut
tertentu. Pendekatan ini bekerja dengan membentuk sebuah matriks kookurensi dari
data citra.
Kookurensi berarti kejadian bersama, yaitu jumlah kejadian satu level nilai
piksel bertetangga dengan satu level nilai piksel lain dalam jarak (d) dan orientasi
sudut (ϴ) tertentu. Jarak dinyatakan dalam piksel dan orientasi dinyatakan dalam
derajat. Orientasi dibentuk dalam empat arah sudut yaitu 0°, 45°, 90°, dan 135°.
Sedangkan jarak antar piksel biasanya ditetapkan sebesar 1 piksel.

Universitas Sumatera Utara


10

Matriks kookurensi merupakan matriks bujursangkar dengan jumlah elemen
sebanyak kuadrat jumlah level intensitas piksel pada citra. Setiap titik (p, q) pada
matriks kookurensi berorientasi ϴ berisi peluang kejadian piksel bernilai p
bertetangga dengan piksel bernilai q pada jarak d serta orientasi ϴ dan (180 - ϴ).

Gambar 2.2 (Angkoso, 2011)
Kiri, contoh citra dengan empat tingkat keabuan,
Kanan hasil GLCM pada jarak 1 – 0 derajat
Setelah memperoleh matriks kookurensi tersebut, dapat dihitung beberapa parameter
ciri orde dua yaitu Angular Second Moment, Contrast, Correlation, Variance, Inverse
Difference Moment, dan Entropy

a. Angular Second Moment
Menunjukkan ukuran sifat homogenitas citra.

��

=∑ ∑{


,

}

……...………………………(2.7)

dimana p(i,j) merupakan menyatakan nilai pada baris i dan kolom j pada matriks
kookurensi.

b. Contrast
Menunjukkan ukuran penyebaran (momen inersia) elemen-elemen matriks citra. Jika
letaknya jauh dari diagonal utama, nilai kekontrasan besar. Secara visual, nilai
kekontrasan adalah ukuran variasi antar derajat keabuan suatu daerah citra.



= ∑

[∑

[i–j]=k

]

……...………………………(2.8)

Universitas Sumatera Utara

11

c. Correlation
Menunjukkan ukuran ketergantungan linear derajat keabuan citra sehingga dapat
memberikan petunjuk adanya struktur linear dalam citra.
……...………………………(2.9)

d. Variance
Menunjukkan variasi elemen-elemen matriks kookurensi. Citra dengan transisi derajat
keabuan kecil akan memiliki variansi yang kecil pula.
……...………………………(2.10)

e. Inverse Different Moment
Menunjukkan kehomogenan citra yang berderajat keabuan sejenis. Citra homogen
akan memiliki harga IDM yang besar.
……...………………………(2.11)

f. Entropy
Menunjukkan ukuran ketidakteraturan bentuk. Harga ENT besar untuk citra dengan
transisi derajat keabuan merata dan bernilai kecil jika struktur citra tidak teratur
(bervariasi).
……...……………………(2.12)

Universitas Sumatera Utara

12

DCT (Discrete Cosine Transform)

2.7.

DCT (Discrete Cosine Transform) diperkenalkan pertama kali oleh Ahmed, Natarajan
dan Rao tahun 1974 yang ditemukan pada makalahnya yang berjudul “On image
processing and a discrete cosine transform”. DCT (Discrete Cosine Transform)
digunakan untuk mengubah sebuah domain sinyal menjadi domain frekuensi (Watson,
1994).
DCT 1 Dimensi
DCT 1 Dimensi C(u) didefenisikan sebagai berikut.



�+

C u = √ � � ∑�=− � � � � [



]

..…………………(2.13)

Untuk u = 0,1,2, …, N-1
Dengan cara yang sama, DCT balik dapat didefenisikan sebagai berikut.

� x = √� ∑�−1
�= � � � � � � [



�+


Untuk x = 0,1,2, …, N-1



]

..…………………(2.14)

Dengan α (u) dinyatakan sebagai berikut.

untuk u = 0



� (u) =

1 untuk u ≠

Bilangan yang dihasilkan melalui transformasi DCT tidak mengandung unsur
imajiner. DCT dari contoh citra 1 dimensi f(x) = (3, 4, 4, 5) adalah sebagai berikut.

C

=√

=



(�


∑� � � �[

�=

+ �

+�

�+
+�

]

=

+

+ +

=

Universitas Sumatera Utara

13

C

=√

=√ (
C

=√
=√ (

C

=√
=√ (


∑� � � �[

�=

,

+

,


∑� � � �[

�=

,

+

�+
+

− ,

�+

− ,

+


∑� � � �[

�+

�=

,

+

− ,

]

+

+

− ,

= √

− ,

=− ,

]
− ,

+

− ,

=

+

− ,

= − ,

]
− ,

Jadi citra f(x) = (3,4,4,5) setelah mengalami transformasi kosinus 1 Dimensi C(u) =
(8, 0.76, 0, -0.76).

2.8.

Penelitian Terkait

Ada beberapa penelitian yang telah dibuat mengenai pengenalan pola atau yang biasa
disebut dengan (Pattern Recognition) dan penelitian tersebut sudah banyak
dipublikasi diantaranya adalah sebagai berikut.
Yuda & Murinto, (2015) membuat Aplikasi pengolahan citra untuk identifikasi
kematangan mentimun berdasarkan tekstur kulit buah menggunakan metode ekstraksi
ciri statistik, proses yang dilakukan adalah proses pembacaan citra berwarna,
dilanjutkan dengan proses grayscale dan pembacaan histogram citra setelah dilakukan
pemrosesan grayscale dan pembacaam histogram citra maka proses selanjutnya adalah
dengan melakukan penghitungan statistik tekstur citra. Hasil evaluasi kinerja ekstraksi
fitur statistik adalah memiliki tingkat keakuratan sebesar 75%.

Universitas Sumatera Utara

14

Cucu & Inggrid, (2011) melakukan Analisa tekstur untuk membedakan kista dan
tumor pada citra panoramik rahang gigi manusia menggunakan metode GLCM (Gray
Level Cooccurence Matrix), dimana proses yang dilakukan memiliki tiga tahap, yaitu
proses normalisasi citra panoramik, setelah itu dilakukan segmentasi untuk
menentukan daerah lesi, setelah dilakukan segmentasi, yang harus dilakukan adalah
melakukan ekstraksi fitur dari hasil segmentasi, hasil yang diperoleh terhadap data
yang telah diujikan adalah sebesar 63.33%
Uyun & Rahman (2013) melakukan penelitian mengenai pengenalan wajah dua
dimensi

menggunakan multi-layer perceptron berdasarkan nilai PCA dan LDA,

proses yang dilakukan adalah mengekstrak citra masukan menggunakan Ekstraksi
Fitur PCA dan LDA, dilanjutkan dengan mentraining data menggunakan multi layer
perceptron, hasil yang diperoleh dengan tingkat keakuratan sebesar 77.77 % .

Universitas Sumatera Utara