MAKALAH PENELITIAN RIJAL HADIS (1)
PENELITIAN RIJAL AL HADIS
(Revisi)
Dipresentasikan dalam Seminar Kelas Semester I Program Magister
UIN Alauddin Makassar pada Mata Kuliah Ulumul Hadis
Oleh
SY. JAPAR SADIQ
N I M 80100212177
Dosen Pemandu:
Prof. Dr. HJ. ANDI RASDIANAH
Dra. ST. AISYAH, M.A., Ph.D
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah penulisan dan pembukuan hadis dan ilmu hadis telah melewati
serangkaian fase historis yang sangat panjang, sejak zaman Nabi Muhammad,
sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga mencapai puncaknya pada pada abad
ketiga hijriah. Perjuangan keras dari para ilmuan hadis dalam menyeleksi
hadis telah menghasilkan berbagai metode hingga melahirkan kaidah-kaidah
penelusuran hadis. Kaidah-kaidah tersebut pada akhirnya berkembang
menjadi ilmu tersendiri yang disebut ilmu hadis.
Perkembangan keilmuan mencapai puncak kejayaannya, sekaitan
dengan ilmu hadis lebih banyak mengacu pada metode-metode yang
dipergunakan pada abad ketiga tersebut.
Al-Qur’an mengajarkan agar seseorang tidak mencela orang lain. Akan
tetapi untuk kepentingan agama yang lebih besar, kepentingan penelitian
hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam, kejelekan atau kekurangan
pribadi peribadi periwayat dalam kaitannya dengan periwayatan hadis sangat
perlu dikemukakan, karena penelitian terhadap pribadi periwayat dalam
kaitannya penelitian hadis tidak hanya ditujukan kepada hal-hal yang terpuji
(ta’dil ) saja, tetapi juga hal-hal yang tercela (jarh ). Salah satu dasar kritik
sanad adalah ilm al-jarh wa al-ta’dil. Ilmu ini dipakai untuk menyeleksi
kualitas periwayat hadis. Orang-orang sanad merupakan perawi-perawi hadis,
merekalah yang menjadi pokok pembicaraan dalam ilmu rijalul hadis.
Ilmu inilah yang menjadi parameter dalam menilai orang-orang yang
ada pada sanad sebuah hadis. Dengan didasarkan pada orang-orang yang ada
pada sanad dari sisi ta’dil dan jarh sehingga dapat memberikan gambaran
2
tentang kualitas hadis yang sampaikannya apakah hadis tersebut dapat
diterima dan atau ditolak, karena dipastikan bahwa tidaklah mungkin orangorang yang memiliki integritas tinggi menyampaikan sesuatu yang tidak
bersumber dari nabi, inilah yang menjadi landasan pokok dari penelitian
rijalul hadis.
B. Rumusan Masalah
Dari
uraian
tersebut,
penulis
akan
mengemukakan
beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Apa dan bagaimana ilmu Rijal al-Hadis dan Ilmu Al-Jar Wa Ta’dil?
2. Bagaimana sikap kritikus hadis dalam menilai Rijal al-Hadis?
3. Kitab-kitab apa saja yang dapat dijadikan rujukan?
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Rijal al-Hadis
Sebelum dikemukakan pengertian ilmu Rijal al-Hadis, terlebih dahulu
akan diberikan pengertian kata “rijal”. Rijal merupakan jamak dari kata rajul,
artinya kaum pria.1
Totok Jumantoro mengemukakan bahwa ilmu Rijal al-Hadis adalah:
ِ ِ ِ ِ ﺴ ﺎ ﺴِﺔ وﺒ ﺴﺎِ ِ ﺸ ﺴ
ﲔ ﺴوﺒ ﺸـﺴ ِﺎﺤ ﺒ ﺸـﺴﺎ ﻬ ﺸ
ﺴ
Artinya:
ِ ﺸ ٌ ـُﺸ ﺴ ُ ِﺸ ِ ﺴ ﺸ آ ﺸ ﺴﻮ ِﺒل ﺒ ﺮﺴو ِﺒة ِ ﺸـﺴﺮُ ﺸ ِ ﺴ ﺒ
Suatu ilmu yang di dalam ilmu itu dibahas tentang keadaan-keadaan
perawi-perawi, perjalanan hidup mereka, baik mereka dari golongan
sahabat, golongan tabi’in dan tabi’it-tabi’in2
Sementara itu, Subhi al-Shalih memberikan pengertian Rijal al-Hadis
sebagai berikut:
3
".
Artinya:
ﺪ
ﺒ ﺷ ﺜوﺒة
ﺮف ﺷﺜوﺒة ﺒ ﺪ
Ilmu untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitasnya sebagai
perawi hadis.
Dari pengertian tersebut, dipahami bahwa ilmu Rijal al-Hadis
merupakan ilmu yang sangat penting posisinya dalam mengetahui kondisi
para rawi, karena dalam ilmu ini dijelaskan riwayat hidup perawi, mazhab
yang dipegangi serta keadaan para perawi dalam menerima hadis.
1
M. Rasir Ibrahim, Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Apollo, t. t), h. 105.
2
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Cet.II; PT. Bumi Aksara, Jakarta: 2002), h. 208
3
h.110.
Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Ilmu al Malayin, t.t.),
4
Hadis itu terdiri dari sanad dan matan. Sanad itu ialah para perawi,
dengan sanad lah mana yang diterima, mana yang ditolak, mana yang sah
diamalkan, mana yang tidak. Dialah jalan yang mulia untuk menetapkan
hukum-hukum Islam. Dengan demikian, mengetahui keadaan para perawi
yang menjadi sanad merupakan separuh pengetahuan.4
Para periwayat hadis mulai dari generasi sahabat Nabi sampai generasi
mukharriyul hadis (periwayat dan sekaligus penghimpun hadis) telah tidak
dapat dijumpai secara fisik, karena mereka telah meninggal dunia. Untuk
mengenali keadaan pribadi mereka, baik kelebihan maupun kekurangan
mereka di bidang periwayatan hadis, diperlukan informasi dari berbagai
kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik rijal (periwayat) hadis. 5
Pengetahuan yang membahas berbagai hal yang berhubungan dengan
perawi hadis, tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja, tetapi
juga berkenaan dengan hal-hal yang tercela.6
B. Teknik Menetapkan Jarh wa ta’dil
Para ulama ahli kritik hadis telah menetapkan suatu teknik atau teori
agar penelitian terhadap periwayat hadis dapat lebih objektif, sebagai berikut:
ﻘ ﺷﺪ م ﻰ ﺒ ﺮﺘ
ﺒ ﺎﺚ.1
Artinya: at-ta’dil didahulukan atas al-jarh.7
Maksudnya, bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang
kritikus dan dinilai tercelah oleh kritikus lainnya, maka yang dipilih adalah
4
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Cet.IV;
PT. Pustaka Rizki Putra,) h. 132.
5
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi (Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang,
1992), h.72.
6
Ibid.
7
Ibid., h. 77
5
kritikan yang bersifat pujian. Alasannya, sifat dasar periwayat hadis adalah
terpuji. Sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian.
Karenanya, bila sifat dasar berlawanan dengan sifat yang datang kemudian,
maka yang dimenangkan adalah sifat dasarnya. Pendukung teori ini oleh anNasa’i (w. 303 H/915 M), namun pada umumnya ulama hadis tidak
menerima teori tersebut, karena kritikus yang memuji tidak mengetahui sifat
tercela yang dimiliki oleh periwayat yang dinilainya, sedang kritikus yang
mengemukakan celaan adalah kritikus yang telah mengetahui ketercelaan
periwayat yang dinilainya.
ﺒ ﺮﺘ ﻘ ﺷﺪم ﻰ ﺒ ﺷ ﺪ.2
Artinya: al-jarh didahulukan atas at-ta’dil.8
Maksudnya, bila seorang kritikus dinilai tercela oleh seorang kritikus
dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah
kritikan yang berisi celaan.
Alasannya adalah kritikus yang menyatakan celaan lebih paham
terhadap pribadi periwayat yang dicelanya. Dan dasar untuk memuji seorang
periwayat adalah persangkaan baik dari pribadi kritikus hadis, dan
persangkaan baik itu harus “dikalahkan” bila ternyata ada bukti tentang
ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang bersangkutan. Pendukung
teori ini adalah kalangan ulama hadis, ulama fiqh, dan ulama ushul fiqh.
Dikatakan oleh Imam Ahmad, “setiap rawi yang telah ditetapkan
‘adalah-nya tidak akan diterima pen-tarjih-an dari seseorang kecuali telah
betul-betul dan terbukti bahwa keadaan rawi itu mengandung sifat jarh.”9
8
Ibid., h. 78.
6
ﺒ ﺮﺘ ﺒ ﺷ ﺮ
ﺷﺪل ﺒ ﺒﺛﺒ
ﺒﺛﺒ ﺎ ﺜض ﺒ ﺎ ﺜﺘ وﺒﳌ ﺷﺪل ﺎ.3
Artinya:
Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang
mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang
memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan
tentang sebab-sebabnya.10
Maksudnya, apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus
tertentu dan dicela oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus
dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali bila kritikan yang
mencela menyertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat
yang yang bersangkutan.
Alasannya,
kritikus
yang
mampu
menjelaskan
sebab-sebab
ketercelaan periwayat yang dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi
periwayat tersebut daripada kritikus yang hanya mengemukakan pujian
terhadap periwayat yang sama.
Pendukung teori ini adalah jumhur ulama ahli kritik hadis. Namun,
sebagian dari mereka ada yang menyatakan bahwa penjelasan ketercelaan
yang dikemukakan haruslah relevan dengan upaya penelitian. Dan bila
kritikus yang memuji telah mengetahui juga sebab-sebab ketercelaan
periwayat yang dinilainya itu dan dia memandang bahwa sebab-sebab
ketercelaannya itu memang tidak relevan, maka kritikannya yang memuji
tersebut yang harus dipilih.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kontradiktif antara jarh
dan ta’dil hanya bisa terjadi bila betul-betul tidak ditemukan jalan
9
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, diterjemahkan oleh A.
zarkasyi Chumaidy, Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya (cet.I; Bandung: Gema
Media Pusakatama, 2003), h. 40.
10
M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 78.
7
penyelesaiannya. Sedangkan kontradiktif yang masih memungkinkan
dihilangkan tidak dikatakan kontradiktif, bahkan bisa ditempuh cara lain
yaitu tarjih.11 (dicari yang lebih unggul).
Seperti seorang rawi di-rajh dengan penilaian fasik karena diketahui
kefasikannya, tetapi taubat rawi itupun diketahui. Dengan demikian, rawi
tersebut tidak termasuk jarh/berdusta pada Rasulullah.
ﺷﻘﺔ
ﻘ ﺟﺮ
ﺒﺛﺒ ﺎن ﺒ ﺎﺜﺘ ﺿ ﺎ.4
Artinya:
Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang yang
tergolong da’if, maka kritikannya terhadap orang yang siqah tidak
diterima.12
Maksudnya, apabila yang mengkritik adalah orang yang tidak siqah,
sedangkan yang dikritik adalah orang yang tidak siqah, maka kritikan orang
yang tidak siqah tersebut harus ditolak.
Alasannya, orang yang bersifat siqah dikenal lebih berhati-hati dan
lebih cermat daripada orang yang tidak siqah, dalam hal ini dapat
dikemukakan pernyataan al-A’raj (w.117 H)13 berkata bahwa Abu Hurairah
banyak menerima hadis adri Nabi Muhammad saw, selalu hadir pada majlis
Nabi Muhammad saw. dan tidak akan lupa apa yang telah didengarnya dari
Nabi Muhammad saw. Pernyataan al-A’raj menunjukkan bahwa Abu
Hurairah merupakan periwayat hadis yang siqah, karena Al-A’raj tergolong
kritikus yang siqh.
ﺎ ﰱ ﺒ ﺮو ﲔ
ﺧ ﺔﺒ
ﺪ ﺒ ﺷﺷ
ﻘ ﺒ ﺮﺘ ﺒ.5
Artinya:
11
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, op.cit., h. 79.
12
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, op. Cit., h. 52
13
Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis. Cet. I; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004, h. 52.
8
Al-jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara
cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang
orang-orang yang dicelanya.14
Maksudnya, apabila nama periwayat memiliki kesamaan ataupun
kemiripan dengan nama periwayat lain, lalu salah seorang dari periwayat itu
dikritik dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali telah
dapat dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya
kesamaan atau kemiripan nama tersebut.
Alasanya, suatu kritikan hris jelas sasarannya. Dalam mengkritik
pribadi seseorang, maka orang yang dikritik haruslah jelas dan terhindar dari
keragu-raguan atau kekacauan. Pendukung teori ini adalah ulama ahli kritik
hadis.
ﺷﺪ
ﺪﺒوة ﺚ ﻮﺷﺔ
ﺒ ﺮﺘ ﺒ ﺎ ﺊ.6
Artinya:
Al-jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan
dalam masalah keduniawian tdak perlu diperhatikan.15
Maksudnya, apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu
memiliki perasaan yang bermusushan dalam masalah keduniawian dengan
pribadi periwayat yang dikritik dengan celaan itu, maka kritikan tersebut
harus ditolak.
Alasannya, bahwa pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat
menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak jujur. Kritikus yang bermusuhan
dalam masalah dunia dengan periwayat yang dikritik dengan celaan dapat
berlakuk tidak jujur karena didorong oleh rasa kebencian.16
14
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, op. Cit., h. 80
15
Ibid.,h. 81.
16
Ibid.
9
Dari sejumlah teori yang disertai dengan alasannya masing-masing,
maka menurut penulis, yang harus dipilih adalah teori yang mampu
menghasilkan penilaian yang lebih objektif terhadap para periwayat hadis
baik yang berhubungan dengan intergritas kepribadiannya maupun kapasitas
intelektualnya.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa apabila seorang rawi di-
jarh oleh para ahli kritik yang siqah sebagai rawi yang cacat, maka
periwayatannya harus ditolak. Dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang
yang adil, niscaya periwayatannya diterima.
Para ulama Dalam menetapkan Rijal al-Hadis, telah melaksanakan
sebuah usaha untuk mengkritik perawi dan menerangkan keadaan-keadaan
mereka. Ada tiga peristiwa penting yang mengharuskan adanya kritik atau
penelitian para perawi (sanad) hadis.17 Pertama, pada zaman Nabi
Muhammad saw. tidak seluruh hadis tertulis, kedua, sesudah zaman Nabi
Muhammad saw, terjadi pemalsuan hadis, ketiga, perhimpunan hadis secara
resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya pemalsuan-pemalsuan
hadis. Hadis sebagai sumber ajaran Islam meniscayakan adanya kepastian
validitas bersumber dari Nabi Muhammad saw.
Ulama ahli hadis telah membuat kaidah dalam menetapkan orangorang yang boleh diterima dan ditolak riwayatnya. Mana yang boleh ditulis
hadisnya dan mana yang tidak. Dan mereka menerangkan mana orang-orang
yang tidak boleh sama sekali diterima hadisnya; lahirlah ilmu Jarhi wa
Ta’dil.18
17
Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (cet.I: Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), h.11.
18
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., h. 79.
10
C. Segi-segi Rijal al-Hadis yang Diteliti
Para ulama hadis melakukan penelitian Rijal al-hadis dengan
menggunakan metode yang beragam. Dapat diklasifikasikan menjadi dua
bentuk, pertama, Tarikhur Ruat, kedua, Jarh wat Ta’dil. Untuk memberikan
gambaran tentang kegiatan penelitian mereka dapat dilihat dalam bentuk
buku:
a. Kitab-kitab Tarikh al-Ruwat
Kitab Tarikh al-Ruwat ini berisi sejarah perawi-perawi hadis.
Membahas tentang kapan dan dimana seorang rawi dilahirkan, dari siapa ia
menerima hadis, siapa yang pernah mengambil hadis dari padanya. Dan
diterangkan pula dimana dan kapan ia wafat. 19
Untuk menulis kitab Tarikh al-Ruwat, ulama menggunakan metode
berikut:
1. Mengelompokkan perawi berdasarkan angkatan tertentu yang disebut
Thabaqat .
2. Menyusun periwayat berdasarkan tahun, dalam hal ini penulisnya
menyebutkan tahun wafat perawi, lalu menulis biografinya dan riwayat
yang disampaikan. Ini dapat dilihat dalam kitab Tarikh al-Islam oleh al-
Dzahabi.20
3. Menyusun periwayat secara alfabetis, metode seperti ini sangat membantu
para penulis yang membahas apara periwayat hadis.
4. Menyusun periwayat berdasarkan negeri, penulisnya mengemukakan para
ulama dari satu negeri dan mengemukakan keutaman suatu negeri,
19
Fathur Rahman, Ikhtiar Mushthalahul Hadis (Cet.I; Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1974), h.
292.
20
Lihat, M. Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis’Ulumuhu wa Mushthalahahu (Beirut: Darul
Fikr, 1989), h.225.
11
kemudian menyebutkan para sahabat yang ada disana, menjadikannya
tempat tinggal atau hanya sekedar lewat saja, lalu menyebutkan semua
periwayat secara alfabetis.
5. Menyususn berdasarkan Asma (nama asli) perawi Kun’ya, Alqab Ansab
(keturunan), dan berdasar ikhwah dan akhwat (saudara laki-laki dan
saudara perempuan).
b. Kitab-kitab Al-jarh wa al-Ta’dil21
Sehubungan dengan kitab Tarikh al-Ruwat , kitab Al-jarh wa al-Ta’dil
memberi informasi tentang kualitas pribadi seorang perawi, baik dari segi
integritas kepribadiannya maupun dari segi kapasitas intelektualnya.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa usaha para ulama hadis
dalam mengerahkan segala kemampuannya untuk melakukan penelitian
terhadap rijal al-hadis dalam dalam rangka memberikan justifikasi tentang
kredibilitas para perawi hadis, dan juga sebagai upaya untuk mengenal lebih
dekat para periwayat hadis agar dapat mengetahui lebih rinci tentang kondisi
periwayat tersebut. Sehingga dapat menentukan maqbul atau mardatnya suatu
hadis.
D. Kaidah al-Jarh wa Ta’dil
Jarh menurut bahasa berarti luka. Kata jarh lebih banyak digunakan
dalam bentuk abstrak (non fisik) dan juga dalam bentuk konkrit (fisik).22
Menurut istilah, jarh adalah penolakan seorang rawi yang hafal
(hafidz) dan kuat daya ingatnya (mutqin’) terhadap periwayatan perawi
21
Fathur Rahman, Ikhtiar Mushthalahul Hadis., op.cit., h. 295.
22
M.Rasir Ibrahim, kamus Arab-Indonesian, op.cit., h. 28.
12
karena adanya cacat yang mencederakan atau terhadap periwayat rawi fasik,
rawi tadlis, rawi pendusta, rawi syadz, dan lain sebagainya.23
Jadi Jarh itu adalah pengungkapan kecacatan perawi hadis. Dengan
pengungkapannya itu bisa menggunakan periwatannya karena hal itu
merupakan cacat dalam segi ‘adalah (keta’dilan) atau cacat dalam segi
kedhabit -an mereka.
Adapun Ta’dil menurut bahasa mempunyai beberapa arti: 1)
menegakkan, misalnya orang menegakkan hukum; 2) membersihkan,
misalnya orang membersihkan sesuatu; 3) membuat seimbang, misalnya
orang membuat seimbang dalam penimbangan. Jadi, dalam hal ini ta’dil
mempunyai tiga pengertian, yaitu menegakkan (al-taqwin), membersihkan
(al-tazkiyah) dan membuat seimbang (al-taswiyah).24
Menurut istilah, Ta-dil adalah menyebutkan tentang keadaan rawi
yang diterima periwayatannya. Hal ini merupakan gambaran terhadap sifatsifat seorang rawi yang diterima. 25
Sementara itu, TM. Hasbi Ash Shiddieqy mendefinisikan sebagai
berikut:
ﺪﺒ ﺔ ﻬﺪم ﺒ ﻘ ﻮل ﺮوﺒ
Artinya:
ﺎت ﻮ ﺟ
ﺒ ﺷﺮ ﺒوي
و
Mendefinisikan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang
tersebut adil, yang menjadi puncak penerimaan riwayatnya.26
23
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil,op.cit., h. 28.
24
Ibid. h. 29
25
Ibid.
26
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, op.cit., h. 327
13
Dapat ditegaskan bahwa menetapkan keta’dilan atau jarh kepada
seseorang memegang peranan yang sangat penting, bahkan menurut
Mahmud Ali Fayyad, menetapkan keta’dilan itu sama dengan persaksian
terhadap bersihnya seorang perawi, dan menetapkan jarh itu sama dengan
menetapkan bahwa seorang perawi yang di-jarh itu tidak bermoral
berdasarkan bukti-bukti kecacatan seseorang, betapa pentingnya persaksian
ini karena pengamalan sunnah itu bergantung kepadanya.27
Ilmuan hadis menetapkan kaedah al jarh wa ta’dil, sebagai landasan
dalam menilai rawi dalam hadis. Kaedah-kaedah jarh dan ta’dil adalah
sebagai berikut:
1. Bersandar kepada cara-cara periwayatan hadis, sah periwayatannya,
keadaan perawi, dan kadar kepercayaan mereka. Ini disebut Naqdun
Kharijiun atau kritik yang datang dari luar hadis (kritik yang tidak
mengenai diri hadis).
2. Berpautan dengan hadis sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak dan
apa jalan-jalan keshalihannya dan ketidakshahihannya, ini dinamakan
Naqdun Dakhiliyun atau kritik dari dalam hadis. 28
Dalam kaitannya dengan keadaan para periwayat, ulama ahli hadis
telah menyusun peringkat para periwayat dilihat dari kualitas pribadi dan
kapasitas intelektual mereka. Ulama ahli hadis tidak sepakat tentang jumlah
peringkat yang berlaku untuk al-jarh wa at-ta’dil; sebagian ulama membagi
menjadi empat perangkat; yang laim membagi menjadi lima peringkat; dan
yang lain membagi menjadi enam peringkat.29
27
Mahmud Ali Fayyad, Manhaj al-Muhadditsiin fii Dhabth as-Sunnah, diterjmahkan oleh
A. Zarksy Chumaidy (Cet.I;Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 58.
28
29
TM. Hasbi Ash shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, loc.cit.
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Cet.I; Jakarta: Renaisan,
2005) h. 96.
14
Menurut Arifuddin Ahmad, perbedaan jumlah peringkat bagi para
periwayat hadis mengenai al-jarh wa at-ta’dil, sedikitnya disebabkan oleh
tiga hal yaitu: (1) karena terdapat perbedaan pandangan dalam penetapan
bobot kualitas terhadap periwayatan tertentu; (2) karena terdapat perbedaan
lafal untuk penyifatan kualitas periwayat yang sama; (3) karena dari
kalangan ulama ada yang tidak konsisten dalam menyifati periwayat
tertentu.30
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kritik terhadap para
periwayat, ulama ahli hadis cukup hati-hati, baik dari segi keterpujian
maupun dari segi ketercelaan.
Adapun kritik dari dalam hadis (naqdun dakhiliyun), Arifuddin
Ahmad menegaskan bahwa apabila argumen-argumen yang diujikan untuk
matan hadis bersangkutan telah memenuhi kaidah kesahihan matan hadis,
maka matan hadis bersangkutan adalah sahih. Sebaiknya, apabila argumenargumen yang diajukan tidak memenuhi kaidah kesahihan matan, maka
matan hadis bersangkutan adalah dhaif pula. 31
Berdasarkan keterangan di atas, dapat ditegaskan bahwa, apabila
penelitian itu dilakukan secara cermat dan menggunakan pendekatan yang
tepat maka dapat dipastikan bahwa setiap sanad yang sahih pasti memiliki
matan yang sahih, sebab adanya syadz dan atau illat pada matan tidak
terlepas dari kelemahan pada sanad, hal ini disebabkan pendekatan yang
digunakan dalam mengambil natijah terhadap penelitian sanad ataupun
matan kurang tepat. Misalnya sikap yang longgar dalam menilai seorang
periwayat; penelitian terhadap lambang-lambang periwayatan yang kurang
30
31
Ibid
Ibid., h. 128.
15
cermat dan matan hadis yang diteliti tampak bertentangan dengan matan
hadis atau dalil lain yang lebih kuat dinyatakan sebagai hadis yang dhaif,
padahal, hadis yang bersangkutan mungkin sifatnya berbeda, yang satu
bersifat universal dan yang lain bersifat temporal atau lokal, kekeliruan
disebabkan oleh kesalahan menggunakan pendekatan penelitian.
E. Maratib al-Jarh wa at-Ta’dil
Para perawi yang meriwayatkan hadis bukanlah semuanya dalam satu
derajat dari segi keadilan dan kedhabitan. Diantara mereka ada yang
hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada
pula yang sering lupa dan salah.
Oleh karena itu, para ulama menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil.
Dan lafazh-lafazh yang menunjukkan pada setip tingkatan, sehinga tingkatan
ta’dil ada enam tingkatan, dan tingkatan jarh ada enam juga.32 Hal ini
ditegaskan pula oleh al-Sakhawi dengan membuat tingkatan al-jarh dan al-
ta’dil menjadi enam tingkatan.33
Inilah urutan (tartib) tingkatan al-jarh dan al-ta’dil dengan
menggunakan bentuk genap (berpasangan) secara bertingkat mulai dari
bentuk al-ta’dil yang paling kuat sampai yang terlemah, dan mulai dari
bentuk al-jarh yang paling lemah sampai dengan yang paling kuat.
1. Peringkat ta’dil dan lafal-lafalnya
Tingkat pertama: yang menggunakan bentuk superlatif dalam
penta’dilan atau dengan menggunakan wazan “af ala”34 yang menunjukkan
arti “sangat” dalam kepercayaan, seperti ucapan:
32
Syaikh Manna’ AL-Qaththan, Mabahis, fi Ulumil Hadis, diterjemahkan oleh Mifdhol
Abdurrahman dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadis (cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005),
h. 85.
33
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, op.cit., h. 60.
34
Syaikh Manna’ AL-Qaththan,op.cit., h. 88.
16
a.
= orang yang paling dipercaya
b.
= orang yang paling teguh
c.
= orang yang paling top keteguhan hati dan
lidahnya35
Tingkat kedua: dengan mengulang-ulang lafal ‘adalah dua kali atau
lebih baik yang diulangnya itu, bentuk lafaknya sendiri, seperti
=
orang yang teguh lagi teguh, atau yang diulangnya itu dalam bentuk
maknanya seperti ucapan mereka
hujja dan
= orang yang dipercayai lagi pula
= orang yang dipercayai lagi pula teguh.36
Setiap pengulangan lafal yang lebih banyak, itu menunjukkan atas
kuatnya tingkatan rawi di dalam segi ‘adalah-nya.
Tingkatan ketiga: yaitu lafal yang menunjukkan pada tingkatan rawi
yang mencerminkan kedhabithan, atau menunjukkan adanya pentsiqahan
tanpa adanya penguatan atas hal itu. Seperti ucapan:
(hati dan lidahnya),
= orang yang tsiqah,
= orang yang teguh
= seorang tokoh, dan,
= orang yang meyakinkan (ilmunya).37
Tingkatan keempat : yaitu lafal-lafal yang menunjukkan kepada
tingkatan perawi yang tidak mencerminkan kedhabithan penuh, atau yang
menunjukkan adanya keadilan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan
dan ketelitian. Seperti ucapan
= jujur,
tidak mengapa
dengannya, menurut selain Ibnu Ma’in, sebab menurut ibnu Ma’in kalimat
adalah tsiqah, kemudian
= tsiqah. kemudian
= orang pilihan.
Imam al-Sakhawi berkata setelah menyebutkan tingkatan-tingkatan ta’dil
sebagai berikut” sesungguhnya penetapan pada ahli tingkatan-tingkatan
35
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, Loc. Cit.
36
Ibid., h. 61
37
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil,op.t., h. 62.
17
yang
dijadikan
hujjah
dengan
keempat
tingkatan
yang
pertama,
diantaranya.”38 Ucapannya bersesuaian dengan kelompok mu’tadilin ulama
al-jarh wa al-ta’dil. Para pengkaji mengetahui bahwa sebagian ulama
mengemukakan bahwa pemilik tingkatan keempat, hadisnya ditulis,
diperhatikan, dan diberitahukan hadisnya sehingga diketaui kedhabithannya.
Tingkatan kelima: lafal-lafal yang menunjukkan pada tingkatan
perawi yang terlintas persyaratan dhabith, tetapi lebih kecil kedhabithannya
daripada tingkatan keempat. Seperti ucapannya:39
= sesuatu mendekati hadisnya.
= hadisnya baik
= guru yang baik
Tingkatan keenam yaitu: lafal-lafal yang menunjukkan pada
tingkatan rawi yang memilki sifat-sifat adalah yang tidak kuat seperti
ucapan:40
ءﷲ
= insya Allah dia jujur
= orang yang diharapkan tsiqat atau tidak cacat.
= orang yang sedikit kesalihannya.
= ditulis hadisnya, dan
= dii’tibarkan hadisnya (hanya untuk dipertimbangkan hadisnya)
Adapun hukum tingkatan ini menurut Syaikh Manna al-Qaththan
adalah:
a. Untuk tiga tingkatan yang pertama, dapat dijadikan hujjah, tetapi
meskipun sebagian besar mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
38
Ibid., h. 64
39
Ibid., h. 65.
40
Ibid., h. 67.
18
b. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah,
tetapi hadis mereka boleh ditulis, dan diuji kedhabithan mereka
dengan membandingkan hadis mereka dengan hadis-hadis para tsiqah
yang dhabith, jika sesuai dengan hadis mereka, maka bisa dijadikan
hujjah, jika tidak sesuai maka ditolak, meskipun dia dari tingkatan
kelima yang lebih rendah dari tingkatan keempat.
c. Sedangkan tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis
mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja bukan untuk
pengujian, karena mereka tidak dhabith.
d. Dengan demikian dapat dtegaskan bahwa rawi-rawi yang ditolak
hadisnya untuk dijadikan hujjah, dalam segi keagamaannya ialah
orang-orang baik dan ‘adalah, namun ketercelaanya hanyalah dari segi
kedhabithannya saja (daya hafal dan daya ingat) kurang baik.41
2. Peringkat Jarh dan lafal-lafalnya.
Tingkatan pertama: yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini
yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh (kritikan) seperti:
= lemah hadisnya, atau
dan
= adanya ada kelemahan,
=di dalamnya pembicaraan yang paling rendah.
Tingkat kedua:
yang menunjukkan adanya kelemahan terhadap
perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, seperti:
=tidak bisa
dijadikan hujjah hadisnya; dan
hadis yang
=hadis lemah; serta
= memiliki hadis-hadis munkar.
ditolak dan juga
Tingkatan ketiga: yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh
ditulis hadisnya seperti;
hadisnya,
= lemah sekali,
= hadisnya dibuang,
41
Syaikh Manna’ AL-Qaththan,op.cit., h. 89.
= tidak dicatat
= hadisnya ditolak.
19
Tingkatan keempat:
pemalsuan
yang menunjukkan tuduhan dusta atau
hadis, seperti;
hadisnya ditinggikan;
= tertuduh bohong,
tidak kuat,
=
= perlu diteliti hadisnya.
Tingkatan kelima: yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan
semacamnya, seperti;
penipu;
=orang yang pembohong;
= orang yang pendusta atau pemalsu hadis;
= orang yang
=orang yang
berbohong.
Tingkatan keenam: yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan,
dan ini seburuk-buruk tingkatan, seperti;
= orang yang paling bohong
= orang yang paling dusta
= orang yang paling top kedustaanya42
Adapun hukum tingkatan-tingkatan al-jarh ini, Manna A-Qaththan
menegaskan bahwa:
Untuk dua tingkatan pertama tidak dijadikan sebagai hujjah terhadap
hadis mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja, dan
walaupun orang pada tingkatan kedua lebih rendah daripada tingkatan
pertama sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai
hujjah, tidak boleh ditulis dan tidak boleh dianggap sama sekali.43
Terhadap ta’dil boleh diterima tanpa menyebutkan alasan dan
sebabnya menurut pendapat yang shahih dan masyhur, karena sebabnya
banyak sehingga sulit menyebutkannya.
Sedangkan jarh tidak boleh diterima kecuali dengan alasannya,
karena hal itu terjadi disebabkan satu masalah dan tidak tulis
42
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, op.ci.t., h. 68-73
43
Syaikh Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulumil Hadis, Op.cit.,h. 90
20
menyebutkannya. Dan karena setiap orang berbeda dalam sebab-sebab jarhnya. Ulama yang men-jarh seorang perawi karena berdasarkan pada apa yang
diyakininya sebagai jarh. Belum tentu dapat dijadikan alasan bagi orang lain.
Oleh karenanya harus dijelaskan sebab jarh untuk dapat dilihat apakah itu
benar suatu cacat atau bukan.
F. Sikap Kritikus Hadis dalam Menilai Rijal al-Hadis
Dalam mengemukakan kritikan, sikap ulama ahli kritik hadis ada
yang “ketat” (tasyaddud), ada yang “longgar” (tasahhul), dan ada yang
berada antara kedua sikap itu, yakni “moderat” (tasawut).44
Ulama yang dikenal sebagai mutasyaddid ataupun mutasahil, ada
yang berkaitan dengan sikap dalam menilai kesahihan hadis dan ada yang
berkaitan dengan sikap dalam menilai kelemahan atau kepalsuan hadis. AnNasa’i (wafat 303 H/915 M) dan ‘Ali bin ‘Abdillah bin Ja’far as-Sa’di alMadini (wafat 234 H/849 M) dikenal sebagai mutasyaddid dalam menilai
kesiqaan periwayat, yang berarti juga dalam menilai kesahihan suatu hadis.
Selanjutnya, Al-Hakim an-Naisaburi (Wafat 911 H/1505 M) dikenal
sebagai mutasahil dalam menyatakan kepalsuan suatu hadis, dan az-Zahabi
(wafat 748 H/1348 M) dikenal sebagai mutawasit dalam menilai periwayat
dan kualitas hadis. penggolongan ini bersifat umum dan tidak untuk setiap
penelitian yang mereka hasilkan.45
Adanya perbedaan sikap para kritikus hadis dalam menilai periwayat
dan kualitas hadis tersebut, berarti bahwa dalam penelitian hadis yang nilai
tidak hanya para periwayat hadis saja, tetapi juga para kritikusnya, dan
sekiranya terjadi perbedaan dalam mengetik, maka sikap kritikus harus
44
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Op.cit., h.74
45
Ibid. h.75
21
menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan isi kritik yang lebih
obyektif.
Dalam hubungan ini, ulama telah mengemukakan beberapa syarat
bagi seseorang yang dapat dinyatakan sebagai al-jarh wal-muaddil;
1. Alim
2. Bertaqwa
3. Wara’
4. Jujur
5. Tidak terkena Jarh
6. Tidak fanatic terhadap sebagai perawi
7. Memahami dengan baik sebab-sebab Jarh.46
G. Kitab-kitab Rujukan
Berikut ini dikemukakan kitab-kitab rijal dengan lebih mengacu
kepada susunan yang dikemukakan oleh Mahmud At-Tahhan.
a. Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para sahabat Nabi
ﻹ
Susunan Ibnu’ Abdil-Barr (wafat 463 H/1071 M).
Susunan Izud-Din Ibnul-Asir (wafat 630 H/ 1232 M).
ﻹ
Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani (wafat 852 H/ 1449 M).
b. Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para periwayat hadis yang
disusun berdasarkan tingkatan para periwayat (tabaqatur-ruwah) dilihat
dari segi tertentu:
46
h.177
Noor Sulaiman PL., Antologi Ilmu Hadis. (Cet. II; Gaung Persada Press, Jakarta: 2009),
22
Susunan Ibnu Sa’ad (wafat 230 H).
Susunan Muhammad bin Ahmad az-Zahabi (wafat 748 H/ 1348 M).
c. Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis secara umum:
Susunan al-Bukhari (wafat 256 H/ 870 M).
Susunan Ibnu Abi Hatim ar-Razi (wafat 328 H).
d. Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis untuk kitab-kitab hadis
tertentu:
Susunan Ahmad bin Muhammad al-Kalabazi (wafat 318 H).
Susunan Muhammad bin ‘Ali al-Husaini (wafat 765 H).
kitab yang membahas para periwayat hadis di kitab-kitab hadis dari
keempat tokoh mazhab figh yang tidak dijelaskan oleh Tahzibul-Kamal
karya al-Mizzi di atas.
ﻷ
ﻷﺋ
Susunan Ibnu Hajar al-A’Asqalan.
e. Kitab-kitab yang membahas kualitas para periwayat hadis:
(1) Kitab-kitab yang khusus membahas para periwayat yang nilai
berkualitas siqah oleh penyusunnya:
Susunan Abul-Hasan Ahmad bin’ Abdilah al-‘Ijli (wafat 261 H)
23
Susunan Abu Hatim Muhammad bin Ahmad bin Hibban al-Busti
(wafat 354 H / 965 M)
ء
Susunan ‘Umar bin Ahmad bin Syahin (wafat 383 H).
(2) Kitab-kitab yang khusus membahas para periwayat yang dinilai lemah
(da’if) oleh penyusunnya:
-ء
Susunan al-Bukhari
ﻐ
–ء
Susunan al-Bukhari
ء
Susunan an-Nasa’i.
ء
Susunan Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr al-Uqaili (wafat 323 H).
Susunan Abu Hatim Muhammad bin Ahmad bin Hibban al Busti.
(3) Kitab-kitab yang khusus membahas para periwayat hadis yang
kualitas mereka dipersoalkan:
ء
Susunan Abu Ahmad ‘Abdullah
ﻹ
Susunan Muhammad bin Ahmad az-Zahabi.
Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani
f. Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis berdasarkan Negara
asal mereka:
24
Susunan Bahsyal (Abul-Hasan Aslam bin Syahl) al-Wasiti (wafat 288
H)
ء
Kitab tersebut membahas khusus para periwayat hadis di Shahih al-
Bukhari.
Susunan Ahmad bin ‘Ali al-Asfahani (wafat 428 H).
Susunan Ibnul-Qaisarani (Muhammad bin Tahir ar-Maqdisi) (wafat
507H).
Kitab tersebut membahas khusus para periwayat hadis di Sahih al-
Bukhari dan Sahih Muslim.
ﺆ
Susunan Muhammad bin Yahya at-Tamimi (wafat 416 H).
Kitab tersebut membahas khusus para periwayat hadis di Muatta’
Malik
(6) Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis al-Kutubus-Sittah
(enam macam kitab hadis standar, yakni Sahih al-Bukhari Sahih
Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan at-Tirmizi, Sunan an-Nasa’i, dan
Sunan Ibnu Majah):
ء
Susunan ‘Abdul-Gani al-Maqdisi (wafat 600 H). kitab tersebut
merupakan perintis kitab Rijal yang membahas para periwayat al-
Kutubus Sittah. Kitab-kitab yang berisi penyempurnaan
25
Susunan Abu-Hajjaj Yusuf bin az-Zaki al-Mizzi (wafat 742 H)
Susunan ‘Alaud-Din Muglataya (wafat 762 H).
Susunan Muhammad bin Ahmad az-Zahabi (wafat 748 H/1348 M).
Susunan Muhammad bin Ahmad az-Zahabi.
Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani (wafat 852 H/1449 M).
Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
Susunan Saifud-Din Ahmad ‘Abdillah al-Khazrahji (wafat 924 H).
(7) Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis di sepuluh kitab
hadis, yakni al-Kutubus-Sittah dan kitab-kitab dari keempat tokoh
mazhab fiqh (Muatta’Malik, Musnad asy-Syafi’I Musnad Ahmad, dan
Musnad yang dihimpun oleh Husain bin Muhammad bin Khusr dari
hadis-hadis riwayat Abu Hanafiah):
Susunan Muhammad bin Sa’id al-Qusyairi
Susunan Abu ‘Abdillah ‘Abdul-Jabbar ad-Darani (wafat 370 H).
ﻷ
Susunan Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abdillah al-Asbahani (wafat 430
H).
26
Susunan Abul-Qasim Hamzah bin Yusuf as-Sahmi (wafat 427 H).
ﻐ
Susunan Ahmad bin ‘Ali bin Sabit al-Khatib al-Bagdadi (wafat 463 H).
(8) Kitab-kitab yang membahas ‘illat hadis:
Susunan Ibnu Abi Hatim ar-Razi (wafat 328 H).
Susunan Ahmad bin Hambal
Susunan Ibnul-Madini (wafat 234 H)
Susunan at-Turmuzi (wafat 279 H/892 M).
ﻐ
-
Susunan at-Turmuzi
ﻷ
Susunan a-Daraqutni (wafat 385 H/995 M).47
Judul-judul kitab rijal hadis yang dikemukakan di atas lebih dari empat
puluh macam. Seluruh kitab tersebut termasuk lengkap dan ideal sekali
untuk meneliti sanad hadis.
47
Lihat Mahmud at-Tahhan, Usul at-takhrij wa Dirasat al-Asanid (Riyadl: Maktabah alMa’arif, 1978). h. 168-206.
27
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan sebagai
berikut:
1. Ilmu rijal al hadis adalah ilmu yang sangat tinggi nilainya, dan besar
pengaruhnya. Karena dalam ilmu ini diterangkan berbagai aspek yang
berhubungan dengan para perawi, terutama integritas kepribadian dan
kapasitas keilmuannya.
2. Penetapan teknik oleh para ulama ahli kritik hadis dimaksudkan agar
penelitian terhadap para periwayat hadis dapat lebih objektif dalam
menentukan apakah hadis tersebut daapt diterima atau ditolak.
3. Penelitian terhadap berbagai segi rijal al hadis adalah dalam rangka
memberikan justifikasi tentang kredibilitas para perawi hadis. Juga sebagai
upaya untuk mengenai lebih dekat para periwayat hadis agar dapat
mengetahui secara rinci kondisi periwayat tersebut.
4. Kaedah al-jarh wa ta’dil bertujuan untuk melakukan penelitian secara cermat,
baik terhadap para periwayat maupun terhadap hadis itu sendiri.
5. Para perawi yang meriwayatkan hadis tidak semuanya berada dalam satu
derajat dari segi keadilan dan kedhabitan. Di antara mereka ada yang kurang
dari hafalan, dan ada pula yang sering lupa dan salah. Karena itu, para ulama
ahli kritik menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil beserta lafal-lafalnya untuk
menentukan hadis yang dapat dijadikan hujjah.
6. Sikap kritikus hadis dalam menilai rijal al hadis berbeda-beda, ada yang
“ketat” (tasyaddud), ada yang “longgar” (tasahhul), dan ada yang “moderat”
(tawassut).
28
7. Kitab-kitab rujukan rijal al hadis sebagai dikemukakan oleh Dr. Mahmud atTahhan lebih dari empat puluh macam dan seluruh kitab tersebut termasuk
lengkap dan ideal untuk meneliti para perawi hadis dari berbagai aspeknya.
29
DAFTAR PUSTAKA
Ali Fayyad, Mahmud, Manhaj al-Muhadditsiin fii Dhabth as-Sunnah,
diterjemahkan oleh A. Zarkasyi Chumaidy. Cet. I; Jakarta: CV. Pustaka
Setia, 1998.
Ahmad, Arifuddin, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi. Cet.I; Jakarta:
Renaisan, 2005.
Al-Shahih, Subhi, Ulum al-Hadis wa Mustalahahu. Beirut: Dar al-Ilmu al
Malayin, t.t.
Al-Khatib, M. Ajjaj, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahahu. Beirut: Darul
Fikr, 1989.
At-Qaththan, Syaikh Manna’, Mabahis, fi Ulumil Hadis, diterjemahkan oleh
Mifdhol Abdurrahman dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadis. Cet. I;
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.
At-Tahhan, Mahmud, Usul at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid. Riyadl: Maktabah
al-Ma’arif, 1978.
Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis. Cet. I; Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004.
Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.
Cet.IV; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999.
Heahim, M. Rasir, Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Apollo, t.t.
Ismail, M. Syuhudi, Metodolodi Penelitian Hadits Nabi. Cet.I; Jakarta: Bulan
Bintang, 1992.
Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadis, Cet.II; PT. Bumi Aksara, Jakarta: 2002.
Muhammad Abdullatif, Abdul Mawjud, Ilmu Jarh wa Ta’dil, diterjemahkan oleh
Al-Zarkasyi
Chumaidy,
Kredibilitas
Para
Perawi
dan
Pengimplementasinya. Cet. I; Bandung: Gema Media Pusakatama, 2003.
30
Rahman, Fathar, Ikhtisar Mushthalahul Hadis. Cet.I; Bandung: PT. Al-Ma’arif,
1974.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Quran. Cet. XX; Bandung: Mizan, 1999.
Sulaiman PL., Noor. Antologi Ilmu Hadi. Cet. II; Gaung Persada Press, Jakarta:
2009.
Zuhri, Muh., Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Liberty,
2003.