T PS 1403032 Chapter1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Penataan kota dari aspek kebersihan merupakan isu nasional yang tidak
kunjung selesai di setiap kota di Indonesia. Penyebabnya adalah tingkat populasi
penduduk yang semakin tinggi ditambah dengan tingkat kepedulian masyarakat
yang

lemah

dalam menjaga kebersihan,

seperti membuang sampah pada

tempatnya, bangunan dan fasilitas kota yang tidak teratur, begitu pula dengan
bertambahnya sampah visual (baliho, iklan produk, iklan politik, dan seterusnya).
Permasalahan ini muncul setiap tahun seiring dengan meningkatnya kebutuhan
kota yang semakin kompleks. Peran pemerintah dan agen pembaharu (agent of
change) serta masyarakat luas merupakan indikator utama dalam menyelesaikan
masalah tersebut. Akan tetapi karena hilangnya kemitraan antara pemerintah, agen

pembaharu

(agent

of

change)

dan

masyarakat

tentu

akan

melahirkan

kesembrautan sistem maupun regulasi penanganan kebersihan dan keindahan
kota.

Wacana kebersihan khususnya tentang problematika penanganan sampah
yang menjadi trending topic dalam pemberitaan media massa dan media
elektronik memberikan penegasan bahwa kebersihan masih menjadi persoalan
sosial yang mengepung kehidupan kota. Lalu yang menjadi pertanyaan besar saat
ini adalah dimanakah pertautan antara visioner kota dalam aspek kebersihan,
keindahan dan kerapihan (3K) Kota dengan prilaku sosial yang cenderung
mengingkari visi tersebut. Tentu untuk menjawabnya dibutuhkan penelusuran
dalam berbagai dimensi sosial.
Kota Makassar sebagai salah satu kota terbesar, sekaligus merupakan
gerbang ilmu pengetahuan di wilayah timur Indonesia yang ditandai dengan
meningkatnya arus migrasi pendidikan, ekonomi dan sosial-politik wilayah timur.
Tentunya tidak terlepas dari problematika penataan kota khususnya masalah
kebersihan sebagaimana yang dialami oleh kota-kota lain.
1
Hamsah, 2016
PENGEMBANGAN MOD AL SOSIAL D ALAM MEWUJUD KAN PROGRAM MAKASSAR TID AK RANTASA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Berdasarkan survey dari Ikatan Ahli Perancangan Indonesia (IAP) yang
telah merilis daftar kota di Indonesia yang dianggap nyaman untuk ditinggali atau

Indonesia Most Livable City Index 2014. Dari survey yang dilakukan tersebut ada
tujuh kota yang memiliki nilai di atas rata-rata yang paling nyaman untuk
dikunjungi dan ditinggali (Balikpapan, Solo, Malang, Yogyakarta, Makassar,
Palembang, Bandung). Survey tersebut didasarkan pada kriteria diantaranya:
kualitas penataan kota, jumlah ruang terbuka, perlindungan bangunan bersejarah,
kualitas kebersihan lingkungan,

tingkat pencemaran lingkungan,

ketersediaan

angkutan umum, kualitas kondisi jalan, dan kualitas fasilitas pejalan kaki. Hasil
survey tersebut menyebutkan Kota Makassar masuk dalam tujuh daftar kota di
Indonesia

yang

paling

nyaman


untuk

dikunjungi

dan

ditinggali.

(http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/08/12/071700026/Inilah.Tujuh.Kot
a.di.Indonesia.yang.Paling.Nyaman.Ditinggali)
Makassar semakin gencar mempromosikan dirinya sebagai destinasi Kota
dengan jargon “Menuju Kota Dunia”. Salah satu contohnya pada masa
pemerintahan Walikota Iham Arief Sirajuddin selama dua periode (tahun 20032008 dan 2009-2014) menyebutkan bahwa kota Makassar sebagai kota dunia yang
berbasiskan

kearifan lokal.

Selanjutnya pada tahun 2009


diterbitkan lagi

sloganatau tagline “Maccassart the Great Expectation”, yang diharapkan mampu
membangun image kota Makassar ke arah yang lebih baik. Selain tagline tersebut
ada beberapa pula istilah-istilah dalam berbagai bidang, misalnya Makassar hijau,
Makassar bersih, Makassar gemar membaca. Terakhir tahun 2014 setelah
pemerintah wali kota terpilih Ir. Ramdhan Pomanto, meluncurkan kembali sebuah
tagline berupa Makassar Sombere’(ramah) atau Makassar great hospitality,
dengan salah satu program berupa “Makassar tidak rantasa”, yang dimana
program tersebut menjadi inovasi baru dari pemerintah Kota Makassar dalam
menata Makassar lebih baik ke depan.
Program

Makassar

tidak

rantasa

berbanding


terbalik

dengan

permasalahan kota Makassar. Hal ini dapat dilihat dari beberpa aspek seperti:
Mentalitas masyarakat yang belum berubah (an progres), aspek penataan kota
mulai dari gang sampai jalanan umum belum tertata rapi, aspek kebersihan
2
Hamsah, 2016
PENGEMBANGAN MOD AL SOSIAL D ALAM MEWUJUD KAN PROGRAM MAKASSAR TID AK RANTASA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

dengan tata kelola sampah yang belum memadai sampai pada fasilitas sampah
(termasuk kendaraan sampah) yang masih minim. Walaupun inisiatif pemerintah
kota

telah

menambah


kendaraan

kebersihan,

namun

populasi masyarakat

Makassar yang terus meningkat tidak berbanding lurus dengan jumlah fasilitas
kebersihan yang ada di Kota Makassar.
Permasalahan kota dari aspek kebersihan juga didukung oleh karakter atau
perilaku masyarakat yang beragam sehingga hal ini menarik untuk ditinjau secara
holistik. Perilaku masyarakat Makassar yang relatif tidak peduli dalam menyikapi
masalah kebersihan erat kaitannya dengan sistem kebudayaan (pendidikan atau
pengetahuan, system kelembagaan, industri, agama, estetika, system ekonomi dan
seterusnya). Hal ini tentu dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat yang sudah
berjalan dalam waktu yang lama sehingga membentuk paradigma dan pola hidup
yang semakin kuat. Hilangnya sadar kebersihan kota akan membentuk tradisi baru
dalam mereduksi program kebersihan


yang

mengakibatkan

Kota menjadi

memprihatinkan. Hal demikian berimplikasi pada resiko kehidupan sosial dalam
segala aspek sektorial.
Berdasarkan data yang masuk tahun 2015 pada Sub Bagian Pengaduan
pada Bagian Humas Sekretariat Kota Makassar, total jumlah aduan pada bulan
April, sebanyak 133 aduan, enam diantaranya terkait kebersihan. Sedangkan di
bulan Mei sebanyak 126 aduan, sembilan diantaranya terkait masalah kebersihan.
Pada tanggal 12 Juni pengaduan tentang kebersihan mengalami peningkatan
menjadi 13 aduan.(Sumber: Humas sekretariat Kota, 2015).
Kota Makassar terdiri dari 14 kecamatan dan 143 kelurahan, 980 RT dan
4.867 RW sebagaimana dengan tabel berikut:

1
2

3
4
5

Kode.
Wil.
010
020
030
031
040

6

050

No.

Mariso
Mamajang

Tamalate
Mamajang
Makassar

Luas
(km2 )
1,82
2,25
20,21
9,23
2,52

Persentasi
Luas (%)
1,04
1,28
11,50
5,25
1,43


U. Pandang

2,63

1,50

Kecamatan

Kel.

RT

RW

9
13
10
10
14

47
56
69
37
45

246
238
369
139
169

10

57

257
3

Hamsah, 2016
PENGEMBANGAN MOD AL SOSIAL D ALAM MEWUJUD KAN PROGRAM MAKASSAR TID AK RANTASA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

7

060

Wajo

1,99

1,13

8

77

464

8

070

Bontoala

2,10

1,19

12

50

199

9

080

Ujung Tanah

5,94

3,38

12

90

473

10

090

Tallo

5,83

3,32

15

108

532

11

100

Panakukkang

17,83

9,70

11

105

505

12

101

Manggala

24,14

13,73

6

66

366

13

110

Biringkanaya

48,22

27,43

7

106

566

14

111

Tamalanrea

31,84

18,12

6

67

330

175,77

100 %

143

980

4.867

Makassar

Sumber : Bappeda - BPS, Makassar dalam Angka 2013.

Salah satu Kecamatan yang ada di Kota Makassar yaitu Kecamatan Mariso
yang memiliki jumlah Kelurahan sebanyak 9, RT sebanyak 47 dan RW sebanyak
246 (Bappeda-BPS, Makassar dalam Angka 2013). Kecamatan Mariso menjadi
target dari program Makassar tidak rantasa karena
merupakan daerah yang terletak di pinggir kota

kecamatan tersebut

yang berbatasan dengan Pantai

dan memiliki variasi kehidupan perumahan masyarakat yang tergolong kumuh
dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Berbagai upaya yang telah dilakukan
pemerintah kota untuk mengatasi hal tersebut. Salah satu usaha yang dilakukan
pemerintah kota membuat program Makassar tidak Rantasa sebagai suatu inovasi
dan solusi dalam menangani permasalahan kebersihan yang ada.
Berangkat dari permasalahan ini dan survey dilapangan, maka Walikota
Makassar membuat kebijakan yaitu program Makassar tidak rantasa.

Hal

tersebut

No:

ditegaskan

660.2/1087/Kep/V/2014
perangkat

daerah

dalam

Keputusan

tentang

Pembagian

pelaksanaan

Walikota
wilayah

Makassar

binaan

program Makassar tidak

satuan

rantasa

kerja
dengan

mewajibkan kepada para Camat untuk segera membentuk Forum Kampung Bersih
dan Hijau tingkat Kecamatan guna mendukung program Makassar tidak rantasa
dengan melibatkan para pasilitator dan kader lingkungan wilayah masing-masing.
Sebagai bentuk solusi untuk menangani permasalahan kebersihan yang ada.
Sekaligus

program tersebut menjadi harapan dan filosofi Makassar yang

4
Hamsah, 2016
PENGEMBANGAN MOD AL SOSIAL D ALAM MEWUJUD KAN PROGRAM MAKASSAR TID AK RANTASA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

memegang prinsip siri’ (malu) dalam hal ini Makassar akan malu ketika terlihat
jorok atau sembraut dalam penataannya.
Persoalan rantasa bukan hanya pada persoalan kebersihan semata, tetapi
juga pada pola pikir dan perilaku masyarakat. Masyarakat cenderung memiliki
pola pikir gengsi, contohnya tidak mau memungut sampah orang lain karena
merasa akan dianggap sebagai pembantu, rendahan dan lain-lain. Selanjutnya
perilaku atau kultur masyarakat yang sudah terbiasa membuang sampah bukan
pada tempatnya menjadi pemicu dan tantangan dalam mewujudkan Makassar
yang tidak rantasa. Melalui program ini diharapkan akan menjadi langkah awal
untuk merubah pola pikir dan perilaku masyarakat Makassar untuk lebih disiplin
dan peduli, dan ini tentunya harus dimulai dari para pemimpin dan masyarakat
luas itu sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2005) yang
berjudul sosialisasi program Makassar tidak rantasa dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut: formulasi swot yang menunjukkan bahwa kekuatan program
Makassar tidak rantasa adalah tingginya partisipasi masyarakat yang berperan
dalam pelaksanaan program Makassar tidak rantasa dan didukung oleh sarana
dan prasarana dalam pelaksanaan program Makassar tidak rantasa, sedangkan
kelemahan yang dihadapi saat ini adalah kurangnya sosialisasi dengan program
Makassar tidak rantasa, dan selain itu masih rendahnya partisipasi masyarakat
untuk membuang sampah di tempat yang tersedia. Kemudian dilihat dari peluang
yang dihadapi saat ini adalah adanya peran serta, mobilisasi dan kegiatan gotong
royong dalam pelaksanaan program Makassar tidak rantasa, dan disamping itu
ancaman yang dihadapi adalah dalam pelaksanaan program Makassar tidak
rantasa masih kurangnya sinergi antara Pemerintah kota Makassar dengan Dinas
Kebersihan lain seperti RT/RW dalam program Makassar tidak rantasa dan selain
itu kebijakan program Makassar tidak rantasa belum efektif berjalan, dimana
masih kurangnya kesadaran masyarakat dalam membuang sampah pada tempat
yang tersedia.
Jadi, pada hakikatnya program Makassar tidak rantasa yang menjadi
program pemerintah kota Makassar haruslah disertai dengan partisipasi yang
5
Hamsah, 2016
PENGEMBANGAN MOD AL SOSIAL D ALAM MEWUJUD KAN PROGRAM MAKASSAR TID AK RANTASA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

tinggi oleh agen pembaharu (agent of change),masyarakat dan pemerintah.
Keterlibatan

masyarakat

sangatlah

dibutuhkan

dalam mewujudkan program

tersebut serta keteladanan dari agen pembaharu (agent of change) juga menjadi
kunci terhadap berhasilnya sebuah program khususnya program Makassar tidak
rantasa. Hal ini juga diungkapkan oleh Rogers (dalam Hanafi,1986, hlm. 98),
bahwa agen pembaharu merupakan “tangan-tangan” lembaga pembaharu, yakni
badan, dinas instansi atau organisasi yang bertujuan mengadakan perubahanperubahan di masyarakat.
Selanjutnya, kesuksesan program Makassar tidak rantasa tidak cukup
hanya dengan mengandalkan modal materi atau ekonomi semata. Tetapi juga
dibutuhkan modal-modal yang lain. Modal yang dimaksud adalah modal sosial
dari masyarakat. Modal sosial (social capital) adalah salah satu faktor penting
yang menentukan sebuah program dapat berjalan dengan baik. Peranan modal
sosial, tidak kalah pentingnya dengan infrastruktur lainnya, sehingga upaya untuk
membangun

modal

sosial

perlu

diprioritaskan

demi

kesuksesan

program

Makassar tidak Rantasa. Pembentukan modal sosial dapat mempercepat dalam
merealisasi sebuah program dengan adanya jaringan (networks), norma (norms),
dan kepercayaan (trust) di dalamnya yang menjadi kolaborasi (koordinasi dan
kooperasi) sosial untuk kepentingan bersama.
Fukuyama (2002, hlm 109) aspek kepercayaan atau trust merupakan unsur
yang sangat esensial di dalam membentuk modal sosial. Kepercayaan merupakan
inti dari modal sosial (core of social capital). Modal sosial sebagai serangkaian
nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para
anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara
mereka. Selanjutnya modal sosial sebagai sesuatu yang merujuk kepada dimensi
institusional,

hubungan-hubungan

yang

tercipta

dan

norma-norma

yang

membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam
spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga
kesatuan anggota masyarakat secara bersama-sama.
Terkait dengan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini saya akan
mendeskripsikan tentang “Pengembangan Modal Sosial Masyarakat dalam
6
Hamsah, 2016
PENGEMBANGAN MOD AL SOSIAL D ALAM MEWUJUD KAN PROGRAM MAKASSAR TID AK RANTASA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Mewujudkan Program Makassar Tidak Rantasa” yang akan menjadi bahan
pertimbangan dalam proses perumusan kebijakan kota Makassar.

B. Rumusan Masalah Penelitian
Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah:
1. Bagaimana nilai-nilai modal sosial masyarakat di Kecamatan Mariso
untuk mendukung program Makassar tidak rantasa ?
2. Bagaimana munculnya agen pembaharu (agent of change) dalam
kehidupan masyarakat?
3. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh agen pembaharu (agent of
change) dalam merekrut pengikutnya untuk mewujudkan program
Makassar tidak rantasa?
4. Bagaimana agen pembaharu (agent of change) memanfaatkan modal
sosial yang dimiliki oleh masyarakat untuk mendukung program
Makassar tidak rantasa?
5. Bagaimana hambatan yang dihadapi dan upaya yang dilakukan oleh
agen

pembaharu

of

(agent

change)

dan

pengikutnya

dalam

mewujudkan program Makassar tidak rantasan?
6. Apa hasil yang diperoleh atau dirasakan oleh masyarakat dari program
Makassar tidak rantasa?
7. Bagaimana perubahan yang diharapkan dalam kehidupan masyarakat
dengan adanya program Makassar tidak rantasa?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan pertanyaan, maka tujuan penelitian ini untuk:
1. Untuk

mengetahui

masyarakat

di

dan

mendeskripsikan

Kecamatan

Mariso

nilai-nilai modal sosial

untuk

mendukung

program

Makassar tidak rantasa.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan munculnya agen pembaharu
(agent of change) dalam kehidupan masyarakat.
7
Hamsah, 2016
PENGEMBANGAN MOD AL SOSIAL D ALAM MEWUJUD KAN PROGRAM MAKASSAR TID AK RANTASA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

3. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan upaya yang dilakukan oleh
agen pembaharu (agent of change) dalam merekrut pengikutnya untuk
mewujudkan program Makassar tidak rantasa.
4. Untuk

mengetahui dan mendeskripsikan upaya agen pembaharu

(agent of change) dalam memanfaatkan modal sosial yang dimiliki
oleh masyarakat untuk mendukung program Makassar tidak rantasa.
5. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan hambatan yang dihadapi dan
upaya yang dilakukan oleh agen pembaharu (agent of change) dan
pengikutnya dalam mewujudkan program Makassar tidak rantasan?
6. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan

hasil yang diperoleh atau

dirasakan dari program Makassar tidak rantasa?
7. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan perubahan yang diharapkan
dalam kehidupan masyarakat dengan adanya program Makassar tidak
rantasa?
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan ada manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis.
1. Secara Teoritis:
a. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dan
sumbangan pemikiran mengenai pentingnya modal sosial dan peran
agen pembaharu (agent of change) dalam mewujudkan program
Makassar tidak rantasa.
b. Hasil

penelitian

menyusun

diharapkan

kebijakan-kebijakan

menjadi bahan
pemerintah

umumnya dan mengenai pentingnya

pertimbangan

kota

dalam

Makassar

pada

agen pembaharu (agent of

change) dalam mewujudkan Makassar tidak rantasa pada khususnya.
2. Secara Praktis:
a. Bagi peneliti diharapkan dapat memberikan kontribusi aktif kepada
penyelenggara

program

Pemerintah

khususnya

tentang

program

Makassar tidak rantasa sebagai wujud kepedulian terhadap masalah
8
Hamsah, 2016
PENGEMBANGAN MOD AL SOSIAL D ALAM MEWUJUD KAN PROGRAM MAKASSAR TID AK RANTASA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

penataan kota serta dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam
khasanah

penelitian

sosial

dalam

rangka

pengembangan

Ilmu

Pengetahuan Sosial pada umumnya dan sosiologi pada khususnya.
b. Bagi pemerintah dan instansi/lembaga diharapkan dapat dijadikan
bahan referensi dan memperkaya hasil penelitian sejenis dalam
memperkaya informasi tentang pelaksanaan program Makassar tidak
rantasa.

9
Hamsah, 2016
PENGEMBANGAN MOD AL SOSIAL D ALAM MEWUJUD KAN PROGRAM MAKASSAR TID AK RANTASA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu