Pengaruh Metode Pre-Treatment Dengan Natrium Hidroksida (NaOH) dan Asam Sulfat (H2SO4) Pada Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Gas Bio

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ECENG GONDOK (EICHHORNIA CRASSIPES)
Eceng gondok (Eichhornia crassipes) adalah salah satu jenis tumbuhan air
yang pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuwan Brazil
bernama Karl Von Mortius pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di
Sungai Amazon Brazilia. Tumbuhan ini di Indonesia merupakan tumbuhan eksotik
yakni didatangkan dari luar, jadi bukan tumbuhan

asli

(native)

Indonesia.

Tumbuhan ini dibawa ke Indonesia di zaman Raffless sebagai gubernur jenderal
pada tahun 1894, ditanam di kolam Kebun Raya Bogor karena warna bunganya
yang menarik. Kemudian tersebar ke sungai dekat Kebun Raya Bogor hingga
selanjutnya berkembang biak dengan cepat di berbagai wilayah perairan [15].
Klasifikasi eceng gondok secara umum adalah [16]

Divisi

: Spermatophyta

Sub divisi

: Angiospermae

Kelas

: Monocotyledoneae

Suku

: Pontederiaceae

Marga

: Eichornia


Spesies

: Eichornia crassipes Solms
Enceng gondok merupakan tanaman yang hidup mengapung di air dan

kadang-kadang berakar dalam tanah. Tingginya sekitar 0,4 – 0,8 meter. Tidak
mempunyai

batang,

pangkalnya meruncing,
daunnya

licin

daunnya
pangkal

dan berwarna


tunggal
tangkai
hijau.

dan

berbentuk

daun

Bunganya

oval.

Ujung

menggelembung.
termasuk

bunga


dan

Permukaan
majemuk

berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan
berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya
merupakan akar serabut [17]. Suhu-suhu ideal untuk pertumbuhan eceng gondok
adalah 28-30°C , tetapi masih dapat mempertahankan tingkat pertumbuhan yang baik
suhu di antara 22 dan 35 ° C . Lebih memilih tropis atau sub - Iklim tropis , dapat
dengan nyaman tumbuh dalam Iklim beriklim sedang, tetapi Suhu di bawah 10°C

7
Universitas Sumatera Utara

akan memperlambat atau menghentikan pertumbuhan. Hal ini dapat bertahan hidup
frosting salju ringan , tapi berat dan berkepanjangan dingin cuaca dapat
menyebabkan kematian tanaman . Biji Namun ,berhasil dapat bertahan musim dingin
[18]. Eceng gondok yang mengandung nutrisi rendah akan mengalami pertumbuhan

yang lambat. Pertumbuhan optimal eceng gondok, dikarenakan jumlah nutrisi, fosfor,
nitrogen dan kalium yang tinggi. Penelitian telah menunjukkan bahwa dengan
kandungan nutrisi yang tinggi dalam eceng gondok akan memperoleh biomassa yang
meningkat delapan kali lipat dibandingkan dengan badan air dengan kandungan
unsur hara yang sedikit.Eceng gondok tidak dapat tumbuh di muara atau air laut yang
,mengandung 3,5% garam.Kematian tanaman eceng gondok akan cepat apabila
terkena 2,0% garam.Pertumbuhan optimal eceng gondok ini pada air yang netral atau
dengan pH sekitar 7,0. Eceng gondok merupakan tanaman yang mudah menyerap
berbagai mineral dari kolam air, termasuk logam berat tanpa mempengaruhi
pertumbuhannya [18].
Enceng gondok berkembang biak dengan sangat cepat, baik secara
vegetatif maupun generatif. Perkembangbiakan dengan cara vegetatif dapat
melipat ganda dalam waktu 7-10 hari [16]. Eceng gondok ini biasanya tumbuh di
kolam-kolam dangkal, tanah basah dan rawa, aliran air yang lambat, danau, tempat
penampungan air dan sungai [19].

Gambar 2.1 Eceng gondok (Eichhornia crassipes) [20]

8
Universitas Sumatera Utara


Adapun bagian-bagian tanaman eceng gondok sebagai berikut :
a) Akar
Bagian akar tanaman eceng gondok ditumbuhi dengan bulu-bulu akar
berserabut, berfungsi sebagai pegangan atau jangkar tanaman. Sebagian besar
peranan akar untuk menyerap zat-zat yang dibutuhkan tanaman didalam air. Pada
ujung akar terdapat kantung akar yang mana dibawah sinar matahari ini berwarna
merah, susunan akarnya dapat mengumpulkan lumpur atau partikel-partikel yang
terlarut dalam air [21]. Di dalam air, akar bisa mencapai panjang sampai 1 m dengan
kaya nutrisi dan akar biasanya jauh lebih pendek .Di perairan dangkal akar dapat
menjadi melekat bagian bawah yang berlumpur , yang memungkinkan tanaman
untuk bertahan selama beberapa minggu setelah tingkat air turun [18].
b) Daun
Daun eceng gondok tergolong dalam makrofita yang terletak diatas
permukaan air, yang didalamnya terdapat lapisan rongga udara dan berfungsi sebagai
alat pengapung tanaman. Zat hijau daun (klorofil) eceng gondok terdapat dalam sel
epidermis. Dipermukaan atas daun dipenuhi oleh mulut daun (stomata) dan bulu
daun. Rongga udara yang terdapat dalam akar, batang, dan daun selain sebagai alat
penampung juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan O2 [21].
c) Bunga

Bunga eceng gondok yang ungu muda yang menarik dengan enam lobus
atau kelopak . itu kelopak teratas memiliki titik kuning di tengah dikelilingi oleh
gelap ungu . Setiap lonjakan terdiri dari sekitar 8 (kisaran 3-35 ) bunga dan individu
bunga berlangsung hanya beberapa hari . Bunga tanaman baru ketika berusia 3 atau 4
minggu. Di bawah kondisi yang menguntungkan , mungkin bunga berulang-ulang
sepanjang tahun ; meskipun intensitas pembungaan dapat bervariasi dengan variasi
musiman dalam tingkat pertumbuhan [22].
d) Buah dan Biji
Buah eceng gondok terdiri dari Kapsul 3 bersel sempit dan panjang 1-1,5
cm , mengandung sampai 300 biji berbentuk oval yang memiliki panjang dan banyak
rusuk memanjang sekitar 1-1,5 mm .Benih dapat berkecambah dalam beberapa hari .
Dalam suhu dingin daerah , mereka tetap aktif selama 15 sampai 20 tahun di lumpur
kering , berkecambah saat dibasahi . Sebuah suhu 20 sampai 35oC biasanya

9
Universitas Sumatera Utara

meningkatkan perkecambahan . di lain kata , pertumbuhan yang cepat terjadi dengan
meningkatnya suhu musim panas [22, 18].
Pertumbuhan eceng gondok dapat mencapai 1,9% per hari dengan tinggi

antara 0,3-0,5 m [17].Pertumbuhan eceng gondok yang cepat sering dianggap gulma
di perairan, karena dapat menutupi permukaan danau dalam waktu singkat yang
akan menyebabkan kandungan oksigen berkurang sehingga mengganggu aktivitas
dalam air [8]. Pada umumnya eceng gondok memberikan pengaruh negatif terhadap
lingkungan yaitu mendangkalkan sistem perairan sehingga ekosistem daerah
perairan terhambat yang akhirnya akan merugikan masyarakat [23]. Adapun
masalah

terbesar tentang eceng gondok yang kita ketahui yaitu Eutrofikasi.

Eutrofikasi adalah pertumbuhan eceng gondok (alga) yang sangat pesat (blooming)
di danau atau sungai yang disebabkan oleh limbah pertanian misalnya fosfat,
mengakibatkan sungai dapat dipenuhi oleh ganggang, kualitas air menurun dan dapat
mengakibatkan ekosistem dalam air tawar akan mati dikarenakan konsentrasi
oksigen terlarut rendah,contohnya ikan dan spesies lainnya tidak dapat bertahan
hidup dengan baik (mati).
Para ahli percaya bahwa eceng gondok sulit untuk di berantas dikarenakan
perkembangan biakan tumbuhan tersebut yang tidak bisa dikendalikan.Dari
pernyataan tersebut, ternyata eceng gondok juga memilki nilai yang positif bagi
manusia yang bersifat obyektif, diantaranya [24, 9] :

(1) Dapat menambah kesuburan tanah terutama dalam hal bahan organik,
(2) Sebagai bahan industri kertas,
(3) Sebagai medium penanaman jamur merang,
(4) Isolator logam-logam berat,
(5) Sebagai penghasil gas bio dan bahan kerajinan
Di beberapa negara eceng gondok yang berhasil digunakan untuk produksi
gas bio . Mereka menyimpulkan bahwa campuran 25 % sapi dan 75 % eceng gondok
kering menghasilkan harga terbaik produksi metana . Hasil penelitian mereka
menunjukkan besar potensi eceng gondok sebagai sumber energi non - konvensional
. Mereka memperkirakan bahwa satu – ton eceng gondok kering dapat menghasilkan
370.000 liter gas bio [14].

10
Universitas Sumatera Utara

Komposisi kimia eceng gondok tergantung pada kandungan unsur hara
tempatnya tumbuh dan sifat daya serap tanaman tersebut.Adapun Komposisi yang
terdapat di dalam eceng dapat dilihat di Tabel 2.1 berikut ini :
Tabel 2.1 Komposisi pada Eceng gongok (Berat Kering)
Senyawa Kimia


Persentasi (%)

Referensi

Selulosa

20

[25]

Hemiselulosa

48,7

[26]

Lignin

3,55


[27]

Silika

5,56

[28]

Abu

13,4

[5]

Total Solids (TS)

5.0-7.6

[26]

Moisture

95.5

[26]

Eceng gondok (Eichhornia crassipes) dengan 64 % metana dan dapat
digunakan untuk pembangkit gas bio [29]. Aplikasi eceng gondok dapat dibagi
menjadi beberapa bagian yang dapat dilihat pada Gambar 2.2 sebagai berikut [25]:

Gambar 2.2 Aplikasi Eceng gondok (Eichhornia crassipes) [256
proses pemanfaatan eceng gondok melalui tahapan proses yang sesuai dengan
tujuan penggunaannya, dapat dilihat dalam diagram alir Pembuatan Gas Bio Dari
Eceng gondok (Eichhornia crassipes) di bawah ini pada Gambar 2.3 [22]:

11
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3 Diagram alir Pembuatan Gas bio Dari Eceng gondok
(Eichhornia crassipes) [22]
2.2 GAS BIO
2.2.1

Pengertian Gas Bio
Gas bio merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang dapat

menjawab kebutuhan dan energi alternatif yang ramah lingkunan dapat digunakan
sebagai sumber energi penggerak generator listrik dan dibakar seperti gas elpiji (LPG)
[30]. Gas bio ini dihasilkan dari anaerobik, dimana anaerobik adalah proses biologi
dimana mikroba mendegradasi bahan organik tanpa adanya oksigen bebas dengan
mencampurkan limbah hewan seperti kotoran sapi, unggas, babi, sampah kota
menjadi gas bio dan produk yang stabil untuk aplikasi pertanian tanpa adanya efek
yang merugikan ke lingkungan [31, 3, 32].
Umumnya suhu operasi merupakan faktor penting mempengaruhi efisiensi
digester. Sebuah digester dapat beroperasi di tiga suhu berkisar: (a) suhu rendah,
Bakteri psychrophilic berkisar, kurang dari 35ºC; (b) suhu sedang, bakteri mesofilik
berkisar 29 sampai 40ºC; dan (c) suhu tinggi, termofilik bakteri berkisar 50 sampai
55ºC [3].
Hasil dari pembuatan gas bio dapat dijadikan sumber energi serta sisa
keluaran
dapat

berupa lumpur (sludge) dapat dijadikan pupuk siap pakai sehingga

menambah

penghasilan

bagi peternak sapi itu sendiri. Gas bio dapat

diproduksi melalui digesti anaerobik dengan bahan kotoran dan limbah. Gas bio yang
dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk berbagai tujuan seperti
memasak serta bisa dikonversi menjadi energi listrik.

12
Universitas Sumatera Utara

Adapun pengaruh komponen-komponen dalam gas bio dapat dilihat pada
Tabel 2.3 di bawah ini [33]:
Tabel 2.3 Pengaruh Komponen-Komponen dalam Gas bio dan Pengaruhnya
Kompenen

Kandungan

Pengaruh

CH4

50-75 (%volume)

Komponen yang mudah terbakar pada
gas bio

CO2

25-50 (%volume)

Mengurangi

nilai

bahan

bakar;

meningkatkan anti-ketukan sifat motor;
menyebabkan korosi (karbonat asam
lemah), jika gas juga lembap itu
kerusakan sel bahan bakar alkali
H2S

0,005 – 0,5 mgS/m3

Korosif pada agregat dan pipa (korosi);
timbul emisi SO2 setelah pembakaran
H2S jika pembakaran tidak sempurna;
keracunan katalis

NH3

0-1 (%volume)

Emisi

NOx

berbahaya

setelah

untuk

sel

pembakaran;
bahan

bakar;

meningkatkan anti-ketuk sifat motor
Uap air

1-5 (%volume)

Berkontribusi terhadap korosi dalam
agregat

dan

pipa;

kondensat

akan

menyebabkan kerusakan instrumen dan
agregat; dapat menyebabkan pipa dan
ventilasi membeku pada suhu beku
Debu

>5 mikrometer

Ventilasi tersumbat dan kerusakan sel
bahan bakar

N2

0-5 (%volume)

Mengurangi nilai bahan bakar dan
meningkatkan sifat anti –ketuk motor

Siloxane

0-50 mg/m3

Hanya dalam bentuk limbah dan gas
TPA

dari

kosmetik,

cuci

bubuk,

tinta cetak dll, bertindak sebagai media
grinding kuarsa dan kerusakan motor

13
Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Prinsip Dasar Gas bio
Prinsip dasar teknologi gas bio adalah proses penguraian bahan-bahan
organik oleh mikroorganisme dalam kondisi tanpa udara (anaerob) untuk
menghasilkan campuran dari beberapa gas, di antaranya metan dan CO2. Gas
bio dihasilkan dengan bantuan bakteri metanogen atau metanogenik. Bakteri ini
secara alami terdapat dalam limbah yang mengandung bahan organik, seperti
limbah ternak dan sampah organik. Proses

tersebut

dikenal

dengan

istilah

anaerobic digestion atau pencernaan secara anaerob [34].
Umumnya, gas bio diproduksi menggunakan alat yang disebut reaktor gas
bio

(digester)

yang kedap udara (anaerob) yang digunakan

sebagai

media

penyimpanan kotoran selama beberapa hari untuk menghasilkan gas dengan
proses penguraian mikroorganisme secara optimal [1, 34]. Proses digesti anaerobik
dapat dgunakan untuk mengolah berbagai limbah organik dan mengubahnya menjadi
bioenergi dalam bentuk gas bio [35]. Jumlah gas yang diproduksi bevariasi sesuai
dengan jumlah bahan organik yang diumpankan ke digester dan temperatur
mempengaruhi laju penguraian dan produksi gas. Digesti anaerobik sangat
menguntungkan karena merupakan proses yang alami dimana teknologinya
menggunakan mikroorganisme, dengan kebutuhan energi yang kecil dan polusi yang
di sebabkannya terhadap atmosfer lebih sedikit dibandingkan dengan teknologi lain
seperti insenerasi dan pirolisis [36].
Keberhasilan proses digesti tergantung pada hasil optimasi kondisi operasi
pada masing masing tahapan proses baik pada proses asidifikasi maupun metanasi
sehingga laju produksi gas bio maksimal [37]. Digesti anaerobik dapat dilakuakan
dengan satu tahap dan dua tahap. Pada proses satu tahap ada empat proses yaitu,
hidrolisis, asidognesis, asetognesis dan metanognesis dilakukan pada reaktor yang
sama. Konversi dari kandungan polimer organik menadi CH4, H2S, NH3 dan CO2
ditemukan pada satu reaktor yag sama. Sedangkan pada proses dua tahap hidrolisis
dan asidognesis dilakukan pada reaktor pertama dan asam dimanfaatkan pada tahap
metanognesis didalam reaktor lain.Berdasarkan hasil yang telah ditemukan bahwa
kinerja digesti anaerobik dengan dua tahap lebih efisien daripada satu tahap [36].
Proses anaerobik dapat berlangsung di bawah kondisi lingkungan yang luas
meskipun proses yang optimal hanya terjadi pada kondisi yang terbatas ( Tabel 2.3).

14
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.4 Kondisi pengoperasian pada proses pencernaan anaerobik [38]
Parameter

Nilai

Temperatur
Mesofilik

35oC

Termofilik

54oC

pH

7-8

Alkalinitas

2500 mg/L minimum

Waktu retensi

10-30 hari

Hasil gas bio

4,5-11 m3/kg VS

Kandungan metana

60-70 %

Komposisi gas bio yang dihasilkan dari proses digestifikasi anaerobik (Tabel 2.5)
Tabel 2.5 Komposisi Gas Bio
Jenis Gas

Jumlah (%)

Referensi

Metana (CH4)

50 - 70

[10]

Karbon Dioksida (CO2)

20-40

[7]

Hidrogen (H2)

0-1

[36]

Hidrogen Sulfida (H2S)

0-3

[39]

0,1-0,5

[39]

Oksigen (O2)

Komposisi gas (%) dalam gas bio yang berasal dari kotoran ternak dan sisa
pertanian. Gas bio memiliki karakteristik yang berbeda jika komposisinya berbeda.
Tabel 2.6 menunjukkan karakteristik gas bio untuk komposisi tertentu.
Tabel 2.6 Karakteristik Gas Bio [38]
Jenis gas

Kotoran sapi

Campuran kotoran ternak
dan sisa pertanian

Metana (CH4)

65,7

55-70

Karbondioksida (CO2)

27,0

27-45

Nitrogen (N2)

2,3

0,5-3,0

Karbonmonoksida (CO)

0,0

0,1

Oksigen (CO2)

0,1

6,0

Tidak terukur

Sedikit sekali

6513

4800-6700

Hidrogen Sulfida (H2S)
Nilai kalor (kkal/m3)

15
Universitas Sumatera Utara

Kegagalan proses pencernaan anaerobik dalam digester gas bio bisa
dikarenakan tidak seimbangnya populasi bakteri metanogenik terhadap bakteri asam
yang menyebabkan lingkungan menjadi sangat asam (pH kurang dari 7) yang
selanjutnya menghambat kelangsungan hidup bakteri metanogenik . Kondisi
keasaman yang optimal pada pencernaan anaerobik yaitu sekitar pH 6,8 sampai 8,
laju pencernaan akan menurun pada kondisi pH yang lebih tinggi atau rendah [38].
Jumlah gas yang diproduksi bervariasi sesuai dengan jumlah bahan organik
yang diumpankan ke digester dan temperatur mempengaruhi laju penguraian dan
produksi gas. Digesti anaerobik sangat menguntungkan karna merupakan proses
yang alami dimana teknologinya menggunakan mikroorganisme, dengan kebutuhan
energi yang kecil dan polusi yang di sebabkannya terhadap atmosfer lebih sedikit
dibandingkan dengan teknologi lain seperti insenerasi dan pirolisis [36].
Konversi bahan organik menjadi gas metana dapat dibagi menjadi empat
tahap utama yaitu hidrolisis , asidogenesis , asetogenesis dan metanogenesis [39].
Tahapan ini digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.4 Proses dalam reaktor biogas [40]
Proses anaerob merupakan proses yang kompleks dengan melibatkan
berbagai kelompok bakteri. Keterlibatan antara kelompok ini saling menguntungkan
satu sama lainnya karena tidak terjadi saling kompetisi antara kelompok dalam
rangka pemanfaatan nutrisi atau substrat. Masing – masing kelompok bakteri yang
terlibat mempunyai substrat tertentu antara lain kelompok bakteri hidrolitik hanya
memanfaatkan substrat berupa senyawa organik dengan molekul besar seperti

16
Universitas Sumatera Utara

karbohidrat, protein dan minyak lemak, kelompok bakteri asidogen hanya dapat
memanfaatkan substrat yang lebih sederhana dengan molekul organik penguraian
dari sebelumnya, sedangkan bakteri astogen hanya memanfaatkan asam organik
rantai sedang. Selanjutnya produk akhir dari kelompok bakteri pembentuk asam
berupa asam asetat akan dimanfaatkan oleh bakteri metanogen asetotrof untuk
membentuk gas metan. Gas yang dihasilkan berupa gas CO2 dan H2 akan
dimanfaatkan oleh kelompok bakteri metanogen hidrogenotrof untuk membentuk gas
metana [40].
2.2.2.1 Hidrolisis
Pada tahap hidrolisis molekul besar seperti protein, polisakarida, dan lemak
dikonversi oleh mikroorganisme menjadi molekul yang lebih kecil yang terlarut
dalam air seperti peptida, sakarida dan asam lemak [36]. Pada umumnya lemak
dihidrolisis lebih cepat daripada protein atau karbohidrat [40]. Proses hidolisis pada
umumnya berjalan lambat dan menjadi laju pembatas pada keseluruhan proses
digesti anaerobik. Polimer diubah menjadi monomer terlarut melalui enzim hidrolisis.
nC6H10O5 + nH2O

Hidrolisis

nC6H12O6

Kelompok terbesar dari bakteri yang mendegradasi selulosa dalam proses
hidrolisis termasuk Bacterioides succinogenes,Clostridium lochhadii, Clostridium
cellobioporus, Ruminococcus flavefaciens, Ruminococcus albus, Butyrivibrio
fibrosolvens,

Clostridium

thermocellum,

Clostridium

stercorarium

dan

Micromonospora bispora [36].
2.2.2.2 Asidogenesis
Proses asidognesis mengkonversi produk metanognesis menjadi molekul
kecil dengan berat molekul rendah seperti asam lemak volatil, alkohol, aldehid dan
gas seperti CO2, H2, dan NH3 dan poduk samping lain [41]. Bakteri asidognesis dapat
menurunkan pH bahan organik menjadi sangat rendah sekitar 4. Monomer dari reaksi
ini akan menjadi substrat pada reaksi asetognesis [36]. Reaksi asidogenesis dapat di
lihat di bawah ini:
C6H12O6
(glukosa)

CH3CH2CH2COOH

+ 2 CO2

+ 2 H2

(asam butirat)

17
Universitas Sumatera Utara

C6H12O6

+ 2 H2

CH3CH2COOH + 2 H2O

(glukosa)

(asam propionat)
Gambar 2.5 Reaksi asidogenesis [42]

Reaksi ini terjadi dalam suasana anaerob oleh bakteri dari genus Clostridium
dan beberapa bakteri yang terdapat dalam isi rumen. Akumulasi bahan organik yang
terurai menjadi asam volatil dapat mengakibatkan penurunan pH secara progresif
dari 7 menjadi 5 yang dapat mengganggu proses dekomposisi terutama bagi bakteri
pembentuk metan yang rentan terhadap pH [13].
2.2.2.3 Asetognesis
Pada proses ini produk asidognesis di konversi menjadi asam asetat, hidrogen,
dan CO2 oleh bakteri asetognesis [36].
Reaksi asetogenesis dapat dilihat di bawah ini:
CH3CH2COOH

CH3COOH + CO2 + 3 H2

(asam propionat)

(asam asetat)

CH3CH2CH2COOH

2CH3COOH + 2 H2

(asam butirat)

(asam asetat)

Gambar 2.6 Reaksi asetogenesis [42]
Bakteri pembentuk oksidasi ini adalah bakteri syntrofik atau bakteri asetogen
atau mikroba obligat pereduksi proton. Salah satunya adalah asam propionat akan
dioksidasi oleh bakteri Syntrophobacter wolinii menjadi produk yang digunakan oleh
bakteri metanogen dalam pembentukan gas metana. Saat bakteri asetogen
memproduksi asetat, hidrogen akan ikut terbentuk [43].
2.2.2.4 Metanogenesis
Pada tahap pembentukan gas metana, bakteri yang berperan adalah
bakteri metanogenesis. Bakteri metanogenesis akan memanfaatkan hasil dari tahap
kedua yaitu asetat, format, karbondioksida, dan hidrogen sebagai substrat untuk
menghasilkan metana, karbondioksida, sisa-sisa gas seperti H2S dan air.
Adanya

kontaminasi

(bakteri metanogenesis)

udara

yang

menyebabkan

merupakan

bakteri

bakteri

penghasil

anaerob

obligat

biogas
akan

mengalami hambatan pertumbuhan bahkan mati Bakteri ini merupakan bakteri
obligat anaerobik dan sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Bakteri
anaerob obligat adalah organisme yang tidak membutuhkan oksigen bebas

18
Universitas Sumatera Utara

bahkan

jika

kontak

dengan oksigen akan mengakibatkan penghambatan atau

mematikan organisme tersebut. Mikroba anaerob obligat dapat hidup melalui
proses fermentasi, respirasi anaerob, atau proses metanogenesis [44,45,46].
Terdapat dua kelompok mikroba
menghasilkan produksi metan yaitu

dalam

aceticlastic

bakteri

metanogen

methanogens

dalam

yang berfungsi

untuk membagi asetat kepada gas metan dan gas karbondioksida, dan hidrogen
memanfaatkan metanogen dengan menggunakan hidrogen meneruskan electron
sementara karbondioksida sebagai penerima elektron untuk menghasilkan gas
metan [45]. Reaksinya dapat dituliskan sebagai berikut ;
CH3COOH
CO2 + 4H2

Metanognesis

CH4 + CO2

Reduksi

CH4 + 3H2O

Atau CO2 dapat di hidrolisis menjadi asam karbonik dan metana
CO2 + H2O

Hidrolisis

4H2 + H2CO3
Genus

bakteri

Methanobacterium,

H3CO3

Reduksi

CH4 + 3H2O

paling

besar

dalam

Methanothermobacter

proses
(formerly

metanognesis

adalah

Methanobacterium),

Methanobrevibacter, Methanosarcina, and Methanosaeta. Kehadiran gas CO2 tidak
diinginkan. Gas ini harus dihilangkan untuk meminimumkan kualitas gas bio sebagai
bahan bakar [36]. Bakteri ini membutuhkan kondisi digester yang benar -benar kedap
udara dan gelap. Temperatur dimana bakteri ini bekerja secara optimum adalah pada
30-450C dengan kisaran pH adalah 6,5-7,5 [47].

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Digestasi Anaerobik
1. Temperatur
Bakteri metana memiliki keadaan optimum pada suhu 350C
0

atau

pada

0

kondisi mesofilik berkisar 20 C – 35 C . Pada dasarnya bakteri metana memiliki
keadaan tidak produksi di saat suhu yang sangatlah tinggi dan juga sangatlah
rendah. Bakteri metana pada umumnya adalah bakteri golongan mesofil yaitu bakteri
yang hidupnya dapat subur hanya pada temperatur disekitar temperature kamar.
Oleh karena itu, pembentukan gas bio harus disesuaikan dengan temperatur
kehidupan bakteri metana [48].

19
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.7 Klasifikasi mikroorganisme berdasarkan suhu [49]
Temperatur yang optimal untuk digester adalah temperatur 30 – 45oC,
kisaran temperatur ini mengkombinasikan kondisi terbaik untuk pertumbuhan
bakteri dan produksi metana di dalam digester dengan lama proses yang
pendek. Bakteri mesophilic adalah bakteri yang mudah dipertahankan pada
kondisi buffer yang mantap (well buffered) dan dapat tetap aktif pada
perubahan temperatur yang kecil, khususnya bila perubahan berjalan perlahan.
Apabila bakteri bekerja pada temperatur 40oC produksi gas akan berjalan dengan
cepat hanya beberapa jam tetapi untuk sisa hari itu hanya akan diproduksi gas yang
sedikit. Perubahan temperatur tidak boleh melebihi batas temperatur yang
diijinkan. Untuk bakteri psychrophilic selang perubahan temperatur berkisar antara 2
o

C / jam, bakteri mesophilic 1oC /jam dan bakteri thermophilic 0.5oC /jam [47].

2. Derajat Keasaman (pH)
Variabel pH ini jelas sangat berpengaruh pada populasi mikroorganisme
yang

ada

pada bioreaktor anaerob ini. Yang dimana menurut Wahyuni 2009,

variabel pH merupakan faktor yang memfasilitasi dan menghambat pada saat
berlangsungnya proses. Mikroba tidak dapat tumbuh dengan maksimal dan bahkan
dapat menyebabkan kematian yang menghambat perolehan gas metana. Nilai pH
yang dibutuhkan untuk digester adalahantara 6,2–8 [45, 50].
Apabila nilai pH turun hingga di bawah 6,5 maka asam organik mulai
terbentuk dengan bantuan bakteri hidrolitik dan tahap fermentasi mulai berhenti.
Tetapi pada kenyataannya, nilai pH pada tahap ini berada pada kisaran netral karena
adanya sistem penyangga (buffering system). Bila derajat keasaman lebih kecil atau

20
Universitas Sumatera Utara

lebih besar dari batas, maka bahan tersebut akan mempunyai sifat toksik terhadap
bakteri metanogenik [44,47].
Tabel 2.7 Bahan kimia yang sering digunakan sebagai sistem penyangga [44]
Bahan Kimia

Formula

Kation Penyangga

Sodium bikarbonat

NaHCO3

Na+

Potassium bikarbonat

KHCO3

K+

Sodium karbonat

Na2CO3

Na+

Potassium karbonat

K2CO3

K+

Kalsium karbonat

CaCO3

Ca2+

Ca(OH)2

Ca2+

NH3

NH4+

NaNO3

Na+

Kalsium hidroksida
Anhydrous

ammonia

(gas)
Sodium nitrat

3. Kandungan Air
Bentuk bubur hanya dapat diperoleh apabila bahan yang dihancurkan
mempunyai kandungan air yang tinggi. Apabila sampah tersebut memiliki
kandungan air yang sedikit maka bisa ditambahkan air supaya pembentukan gas bio
bisa optimal [51].

4. Bahan Baku Isian
Bahan isian dalam pembuatan gas bio harus berupa bubur. Bentuk bubur ini
dapat diperoleh bila bahan bakunya mempunyai kandungan air yang tinggi. Bahan
baku dengan kadar air yang rendah dapat dijadikan berkadar air tinggi dengan
menambahkan air ke dalamnya dengan perbandingan tertentu sesuai dengan kadar
bahan kering bahan tersebut. Bahan baku yang paling baik mengandung 7-9 % bahan
kering [52].
Bakteri anaerob membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi. Level nutrisi
harus lebih dari konsentrasi optimal yang dibutuhkan oleh bakteri metanogenik,
karena

apabila terjadi

kekurangan nutrisi akan

menjadi penghambat bagi

pertumbuhan bakteri. Penambahan nutrisi dengan bahan yang sederhana seperti
glukosa, buangan industri, dan sisa tanaman diberikan dengan tujuan untuk

21
Universitas Sumatera Utara

menambah pertumbuhan di dalam digester. Unsur nitrogen adalah unsur yang
paling penting, disamping adanya selulosa sebagai sumber karbon. Bakteri penghasil
metana dengan nilai 30 (C/N = 30/1 atau karbon 30 kali dari jumlah nitrogen) akan
menciptakan proses pencernaan pada tingkat yang optimal, bila kondisi yang lain
juga mendukung [51]. Berikut adalah tabel yang menunjukkan C/N rasio dari
beberapa jenis bahan organik (Tabel 2.8)
Tabel 2.8 Rasio Karbon Dan Nitrogen Dari Beberapa Bahan [20]
Bahan

Rasio C/N

Kotoran bebek

8

Kotoran manusia

8

Kotoran ayam

10

Kotoran kambing

12

Babi

18

Domba

19

Sapi/kerbau

24

Eceng gondok

25

Kotoran gajah

43

Serbuk gergaji

Di atas 200

Pada proses ini anaerob ini memiliki proses yang berlangsung cukup lama,
yang terdiri dari tiga tahap atau fase yang harus dilewati. Fase pertama

yaitu

dimulai dari hidrolisis saat proses penguraian, kemudian asedogenesis saat-saat
untuk fermentasi atau pengasaman serta fase terakhir yaitu metanogenesis saatsaat pembentukan gas metan [48].
Pada tipe batch bahan organik ditempatkan dalam tangki tertutup dan diproses
secara anaerob selama 1 - 2 bulan tergantung dari jumlah bahan yang dimasukkan.
Isi dari digester biasanya dihangatkan dan dipertahankan temperaturnya. Ruang yang
terbuang dan udara yang terjebak dalam sludge harus dihindari karena akan
menghambat pembentukangas metana. C/N rasio harus dikontrol dengan baik pada
awal proses, karena sulit diperbaiki biladigester telah mulai memproses [51].
Mikroba mulai bekerja setelah melewati fase adaptasi mengurai limbah yang ada
menjadi molekul yang lebih sederhana seperti gula, alkohol dan hidrogen. Molekul

22
Universitas Sumatera Utara

yang sederhana ini akan dikonversi menjadi asam-asam lemak volatil seperti asam
asetat, asam butirat. Asam asetat dikonversi oleh bakteri metanogenik menjadi gas
metan [47]. Tiga kelompok bakteri yang berperan dalam proses pembentukan gas bio
adalah :
1. Kelompok bakteri fermentatif, yaitu : Steptococci, Bacteriodes, dan beberapa
jenis Enterobactericeae
2. Kelompok bakteri asetogenik, yaitu Desulfovibrio
3. Kelompok bakteri metana, yaitu Mathanobacterium, Mathanobacillus,
Methanosacaria dan Methanococcus.
Karena proses anaerobic terdiri dari tiga tahap yaitu tahap hidrolisis,
pembentukan asam dan tahap pembentukan metana, maka pengaturan pH awal
proses sangat penting. Tahap pembentukan asam akan menurunkan pH awal. Jika
penurunan ini cukup besar akan dapat menghambat

aktivitas mikroorganisme

penghasil metana [53]. Beni et al. (2007), juga mengemukakan apabila pH
turun menyebabkan pengubahan substrat menjadi biogas terhambat sehingga
mengakibatkan penurunan kuantitas biogas. Nilai pH yang terlalu tinggi harus
dihindari, karena akan menyebabkan produk akhir yang dihasilkan adalah gas CO2
[46]. Oleh karena itu, terjadi penurunan gas bio secara signifikan pada hari ke- 24
dan hari ke-27.

2.2.4 Pre Treatment
Eceng gondok sangat baik digunakan dalam pembuatan gas bio dengan
beberapa pre-treatment untuk meningkatkan hasil gas bio [10]. Namun,
permasalahan timbul karena biomassa mengandung selulosa dan lignin yang
sulit didegradasi sehingga menyebabkan permasalahan pada proses. Untuk
menanggulangi hal

tersebut,

perlakuan

khusus

perlu

dilakukan

untuk

mendegradasi lignin [48].
Teknologi pretreatment/praperlakuan yang dilakukan pada dasarnya adalah
untuk mengubah atau memindahkan komposisi dan struktur yang menghalangi
proses hidrolisis yang bertujuan untuk meningkatkan laju aktivitas enzimatis dan
hasil fermentasi yang menghasilkan glukosa dari selulosa atau hemiselulosa

23
Universitas Sumatera Utara

[16].Berikut adalah tabel Teknologi Praperlakuan, Deskripsi, Kekurangan dan
Kelebihan (Tabel 2.9)
Tabel 2.9 Teknologi Praperlakuan, Deskripsi, Kekurangan dan Kelebihan
Teknologi Perlakuan
a. Fisik

b. Kimia

c. Biologi

Deskripsi

Kekurangan/.kelebihan

-Pengeringan dan grinding
[10]
-memotong ukuran lebih
kecil (mekanik) [7].
-Menggunakan asam atau
basa -seperti H2SO4 dan
NaOH
-Menggunakan
pelarut
berbahan amoniak
(NH3
dan
hidrazin), pelarut
aprotik (DMSO), logam
kompleks (Feri sodium
tartarate).
- White rot fungi adalah
mikroorganisme
paling
effektif digunakan dalam
pretreatment
biologi
lignoselulosa [48]

- Tidak banyak
mendegradasi lignin.
- Efektif, mudah, dan
murah.
-Dapat
mengurangi
kristalinitas selulosa
-Melepas lignin dari
selulosa dan melarutkan
hemiselulosa.
-Teknologi ini memang
efektif,
akan
tetapi
memerlukan biaya tinggi
Pretreatment
secara
biologis
sangat
memberikan keuntungan
yang banyak, karena
efisiensi biaya dan energi
serta aman terhadap
lingkungan.

Dengan teori diatas maka dalam penelitian dipilih pretreatment kombinasi fisik
dan kimia dengan memotong ukuran biomassa lebih kecil dan penambahan bahan
kimia untuk melepaskan lignin.
Asam sulfat biasanya lebih sering digunakan pada hidrolisis asam ini
sebagai katalis pelarutan hemiselulosa dan lignin pada konsentrasi rendah (0.05-5%),
dan pada temperatur 160°-220°C [3]. Alkali yang dapat digunakan adalah

NaOH.

Pre-treatment ini pada dasarnya merupakan proses delignifikasi, dimana lignin
dapat terlarut dalam jumlah yang cukup besar. Menurut Millet, digestibility pada
hardwood yang telah

dilakukan

pre-treatment dengan

NaOH

mengalami

peningkatan 14%-15% dan menurunnya kandungan lignin dari 24%-55% menjadi
20%.
Disisi lain bakteri pembentuk metan sangat peka terhadap tingkat keasaman
atau sangat sensitif dengan pH yang rendah. Hal ini sangat kontradiksi karena pada
kondisi beban umpan tinggi cenderung memercepat terjadinya pembentukan asam

24
Universitas Sumatera Utara

sehingga menurunkan pH. Penurunan pH ini akan mengganggu kinerja bakteri
pembentuk metan yang belum sempat berkembang. Adanya alkalinitas dalam reaktor
dengan konsentrasi tertentu dapat menjadi penyangga (Buffer) agar pH tetap pada
kondisi netral apabila terjadi penambahan asam, sehingga kesetimbangan proses
secara keseluruhan dapat tetap berjalan dengan normal. Hal ini sangat penting karena
pada pH 3, konsentrasi alkalinitas akan turun hingga 500 ppm dan ini merupakan
kondisi terendah untuk proses dekomposisi bahan organik. Bila pH dibiarkan turun
maka sistem akan berhenti sama sekali karena bakteri pembentuk metan akan mati.
Alkalinitas adalah ukuran kapasitas penyangga medium kultur dalam daerah pH
netral. Dengan demikian, kapasitas medium untuk menerima proton adalah
alkalinitasnya. Alkalinitas medium adalah fungsi bikarbonatnya, karbonate, dan
bagian hidroksida . Dari ketiga bagian tersebut ,bikarbonat adalah yang paling
penting sebab paling bertanggung jawab atas kapasitas penyangga yang netral.
Alkalinitas bikarbonat yang dibutuhkan untuk menjaga pH rata 7,0 tergantung pada
kandungan karbondioksida dalam digester gas (gas bio). Dengan gas CO2 sebesar
25%, diperlukan alkalinitas bikarbonat sebanyak 2.000 mg/L. Kebutuhan alkalinitas
akan menjadi 4.000 mg/L, jika konsentrasi karbon dioksida dari 50% sampai 53%.
Secara umum, kinerja reaktor masih memuaskan jika konsentrasi berkisar antara
1.500 sampai 5.000 mg/L sebagai asam asetat.
Alkalinitas sebagai besaran kemampuan kapasitas buffer merupakan suatu
konsentrasi basa atau komponen yang mampu menetralisisasi keasaman dalam air.
Besaran ini menunjukan kapasitas penyangga dari ion bikarbonat dan pada kondisi
tertentu juga dari ion karbonat dan ion hidroksida. Ketiga ion tersebut akan bereaksi
dengan ion hidrogen sehingga menurunkan kadar keasaman dan menaikkan pH.
Besaran ini ditunjukan dalam ppm atau mg/lt kalsium karbonat (CaCO3). Kondisi ini
merupakan suatu pertahanan terhadap perubahan pH yang berlangsung dengan
adanya alkalinitasyang dituliskan dengan reaksi sebagai berikut:

HCO3 karbonat dalam reaksi ini menggambarkan alkalinitas sedangkan H+
merupakan keasaman. Secara alami penurunan pH akan dinetralkan oleh alkalinitas
yang dihasilkan oleh bakteri pembentuk metan dengan reaksi sebagai berikut :
25
Universitas Sumatera Utara

Konsentrasi bikarbonat antara 1000–5000 mg/lt merupakan batas untuk menyangga
perubahan pH terhadap peningkatan konsentrasi asam. Apabila penyangga tidak
mampu untuk menyangga peningkatan konsentrasi asam yang terbentuk maka pH
akan turun, dan sebaliknya apabila konsentrasi penyangga terlalu berlebih maka pH
akan naik. Pada reaktor yang bekerja secara optimal kesetimbangan antara
pembentukan asam, penetralan oleh larutan penyangga dan pembentukan kembali
larutan penyangga akan selalu terjaga. Reaksi antara penyangga dengan asam adalah
reaksi reversibel (kesetimbangan) sehingga ketika terjadi kelebihan asam akan
langsung dinetralkan oleh penyangga [13]
Menurut teori, eceng gondok mengandung 3,55% lignin dalam berat keringnya
[27]. Tingginya kandungan lignoselulosa menyebabkan proses produksi biogas jadi
terhambat. Dimana, senyawa

lignoselulosa merupakan

senyawa

penyusun

sebagian besar biomassa organik penghasil energi, seperti limbah perkotaan,
kotoran ternak, dan tanaman air. Menurut

Mosier et

al.,

(2005), selulosa

merupakan bahan yang akan diubah menjadi gas metana (CH4) melalui proses
metanogenesis,

namun

keberadaan

lignin menghambat kerja enzim dalam

menghidrolisis selulosa sehingga laju produktivitas biogas yang dihasilkan dari
eceng gondok menjadi rendah [54].Oleh karena itu dilakukan proses treatment
dengan Natrium Hidroksida (NaOH) dan Asam Sulfat (H2SO4). Natrium Hidroksida
dan Asam Sulfat membantu dalam proses hidrolisis dimana Kalium Hidroksida dan
Asam Sulfat dapat membantu memecah lignin dan dinding sel serta melepaskan
semua nutrisi dan bahan yang mudah dicerna dalam waktu yang singkat [6].
Berdasarkan hal diatas maka dilakukanlah penelitian mengenai pre-treatment
Pada Eceng gondok (Eichhornia crassipes) sebagai Bahan Baku Pembuatan Gas bio.
Bahan baku berupa eceng gondok dengan NaOH atau H2SO4 pada masing-masing
konsentrasi dicampurkan dengan starter berupa campuran kotoran sapi dan air
dengan perbandingan kotoran sapi dan air yaitu 1:1. Campuran bahan baku dan
starter difermentasikan dalam digester anaerob sistem batch. Kemudian volume gas

26
Universitas Sumatera Utara

diukur setiap tiga hari. Parameter-parameter yang diamati pada penelitian ini adalah
pH, COD, TSS dan volume gas bio hingga tercapai keadaan tunak.

2.3 PARAMETER
2.3.1 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) menunjukan sifat asam atau basa pada

suatu

bahan.Pengaturan pH dapat dilakukan dengan menjaga umpan tidak terlalu
asam serta mengendalikan jumlah pencampuran agar kesetimbangan reaksi
antara tahap asidogenik dan metanogenik terjaga dengan baik. Pada kondisi
tanpa bantuan penyeimbang pH, maka pada nilai pH dibawah 6 aktivitas bakteri
metan akan mulai terganggu dan bila mencapai 5,5 aktivitas bakteri akan terhenti
sama sekali. Konsetrasi pH di dalam reaktor ini sangat dipengaruhi oleh
jumlah asam lemak volatil (VFA), ammonia, CO2 dan kandungan alkalinitas
bikarbonat yang dihasilkan. Derajat keasaman (pH) menunjukkan sifat asam atau
basa pada suatu bahan. Produksi metana oleh bakteri metanogenik terjadi dengan
baik pada kisaran pH 6,5-8 [45, 47].
Perubahan nilai pH dapat mempengaruhi persentase metana dalam gas bio.
Kondisi pH yang tidak optimal akan menyebabkan terhambatnya perkembangan
bakteri pembentuk metana. Hal tersebut mengakibatkan jumlah populasi bakteri
metanogenik menjadi sedikit dan kemampuan bakteri metanogenik dalam merombak
asam asetat menjadi metana menjadi berkurang. Kemampuan bakteri dan jumlah
populasi bakteri metanogenik yang menurun menyebabkan metana yang dihasilkan
hanya sedikit dan persentasenya menjadi kecil [55].

2.3.2 Chemical Oxygen Demand (COD)
Secara teori, Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen
kimiawi merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh oksidator untuk
mengoksidasi seluruh material baik organik maupun anorganik yang terdapat dalam
air . Mikroba membutuhkan udara dalam mendegradasi substrat, dimana protein
dihidrolisis menjadi asam-asam amino, karbohidrat dihidolisis menjadi gula-gula
sederhana, dan lemak dihidrolisis menjadi asam-asam berantai pendek. Jika
kandungan senyawa organik dan anorganik cukup besar, maka oksigen terlarut di

27
Universitas Sumatera Utara

dalam air dapat mencapai nol sehingga tumbuhan air, ikan-ikan dan hewan air
lainnya yang membutuhkan oksigen tidak memungkinkan hidup [46].
COD dinyatakan dalam miligram per liter (mg/L), yang menunjukkan massa
oksigen yang terlarut per liter larutan, jadi semakin besar nilai kandungan COD maka
kandungan zat organik dalam limbah semakin tinggi [56]. Semakin besar penyisihan
COD, berarti bahan organik yang terdegradasi menjadi asam-asam organik juga
semakin besar. Asam-asam organik inilah yang kemudian terkonversi menjadi
biogas, maka jika penyisihan COD semakin besar maka laju pembentukan biogas
juga semakin besar. Pada fermentasi anaerob penurunan kadar COD terjadi dengan
terkonversinya senyawa organik menjadi gas H2, CO2, NH3 dan CH4. Oleh sebab itu
COD pada residu (slurry) dijadikan parameter dekomposisi senyawa organik [50].

2.3.3 Total Suspended Solid (TSS)
Secara teori, TSS atau total suspended solid adalah padatan total yang
tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2 µm atau lebih besar dari
ukuran partikel koloid. Yang termasuk TSS adalah lumpur, tanah liat, logam
oksida, sulfida, ganggang, bakteri dan jamur. TSS yang relatif tinggi dalam aliran
umpan akan membutuhkan waktu tinggal cairan lebih lama dalam reaktor agar
dapat terlarut (terhidrolisis) dan terurai oleh mikroorganisme anaerob menjadi
senyawa-senyawa lebih sederhana. Penggunaan waktu tinggal cairan 12-24 jam
belum cukup

memadai untuk berlangsungnya proses hidrolisis dan degradasi

biologis kandungan padatan tersuspensi dalam aliran umpan limbah cair [50, 51]
sedangkan pada penelitian ni waktu fermentasi yaitu 27 hari sehingga cukup untuk
proses hidrolisis dan degradasi biologisnya maka persentase penyisihan TSS tinggi.
Dalam penelitian ini, fermentasi dilakukan pada proses batch dimana umpan
sekaligus dimasukkan maka mikroorganisme memiliki waktu yang cukup untuk
mendegradasi kandungan padatan yang ada di dalam limbah sehingga bila
kandungan padatan semakin tinggi maka efisiensi penyisihan juga akan semakin
besar [57].

28
Universitas Sumatera Utara

2.4 POTENSI EKONOMI
Perbandingan terbaik dari penelitian ini yaitu pada perbandingan komposisi
limbah eceng gondok dan air 70:3 0 (w/w) dengan COD awal 19400 mg/L dan
konsentrasi NaOH 6,67 M sehingga berdasarkan hal ini dapat disimpulkan potensi
ekonominya yaitu:
Bahan Baku:
a. Tanaman Eceng Gondok Rp. 0,Bahan Tambahan
a. Kotoran Sapi Rp. 10.000,- / karung
b. Glukosa Rp. 30.000,-/ kg
c. Asam Sulfat Rp.15.000,-/L
Dalam 1 tahun di danau Limboto, Provinsi Gorontalo pada luas danau 3000
Ha rata rata terdapat 2100 Ha eceng gondok dimana setiap 1 hektar menghasilkan 7
ton/ bulan eceng gondok [58] sehingga jumlah total produksi eceng gondok per tahun
sebesar 176.400 ton/tahun.
Untuk perbandingan komposisi eceng gondok dan air 70:30 (w/w) dengan
volume limbah sebanyak 1,5 L menghasilkan 501 mL gas bio dengan lama
fermentasi 27 hari. Untuk 176.400 ton limbah eceng gondok dan gas bio yang
dihasilkan sebanyak:

x = 743.820.000 L = 487.961,5 kg/ tahun
Kotoran sapi dan air = 25% dari volume digester terisi = Total limbah/ 75%
Volume digester terisi = 252.000.000/0,75 = 336.000.000 L
Volume digester total = Volume digester terisi/0,6 = 560.000.000 L
(Anggap 1 digester sekitar 2.000 L, maka dibutuhkan sekitar 280.000 L digester)
Kotoran sapi dan air = 25% x 336.000.000 L = 84.000.000 L
Kotoran sapi : air =1:1 (w/w) maka diperlukan Kotoran sapi = 42.000 ton/tahun
(50 kg/karung sehingga dibutuhkan 840.000 karung)

= Rp. 8.400.000.000,-

Glukosa = 2 kg / digester = 560.000 kg

= Rp. 16.800.000.000,-

29
Universitas Sumatera Utara

Biaya lain-lain
Na2CO3 & NaOH= Rp. 10.000,- x 280.000 digester

= Rp. 2.800.000.000,-

Asam Sulfat = Rp. 15.000 x 280.000 digester

= Rp. 4.200.000.000,-

Transportasi dll

= Rp. 168.000.000.000,-

Digester = Rp. 500.000,- x 280.000 digester

= Rp. 140.000.000.000,-

Total Biaya

Rp. 340.200.000.000,-

Harga biogas di pasaran adalah Rp.6.000/kg [55], sehingga total penjualan 487.961,5
kg biogas

= Rp. 2.927.769.000,-

Harga pupuk cair

= 336.000.000 L x Rp. 10.000 = Rp. 3.360.000.000.000

Total Penjualan

=

Maka Laba kotor

Rp. 3.362.927.769.000
= Total Penjualan – Total Biaya
= Rp. 3.362.927.769.000- Rp. 340.200.000.000
= Rp. 3.022.728.000.000,-

Dengan demikian Total Penjualan > Total Biaya Pengeluaran sehingga potensi
ekonomi dari pemanfaatan limbah fermentasi eceng gondok yang melalui proses pretreatment natrium hidroksida dan asam sulfat menjadi biogas menguntungkan
sehingga layak untuk dikembangkan.

30
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Karakterisasi Dan Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Dari Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes (Mart.) Solms)

21 118 72

Pengolahan Internal Air Boiler Dengan Penambahan Asam Sulfat (H2SO4) 98% dan Kaustik Soda (NaOH) Di PTPN III Pabrik Kelapa Sawit Rambutan Tebing Tinggi

2 56 56

Emisi CO2, Nisbah C/N, dan Temperatur pada Pengomposan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) dengan Menggunakan dan Eisenia fetida

1 37 85

Menaklukan Global Warming dengan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)

0 15 19

Pengaruh Metode Pre-Treatment Dengan Natrium Hidroksida (NaOH) dan Asam Sulfat (H2SO4) Pada Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Gas Bio

2 45 99

Pengaruh Metode Pre-Treatment Dengan Natrium Hidroksida (NaOH) dan Asam Sulfat (H2SO4) Pada Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Gas Bio

0 0 19

Pengaruh Metode Pre-Treatment Dengan Natrium Hidroksida (NaOH) dan Asam Sulfat (H2SO4) Pada Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Gas Bio

0 0 2

Pengaruh Metode Pre-Treatment Dengan Natrium Hidroksida (NaOH) dan Asam Sulfat (H2SO4) Pada Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Gas Bio

0 0 6

Pengaruh Metode Pre-Treatment Dengan Natrium Hidroksida (NaOH) dan Asam Sulfat (H2SO4) Pada Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Gas Bio

0 0 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) 2.1.1. Definisi Eceng Gondok - Pemanfaatan Selulosa dari Eceng Gondok sebagai Bahan Baku Pembuatan CMC (CarboxyMethyl Cellulose ) dengan Media Reaksi Campuran Larutan Metanol – Propanol - PO

0 0 20