PENGHAYATAN NILAI KESETIAAN DALAM PERKAWINAN BAGI KEUTUHAN KELUARGA KATOLIK

  PENGHAYATAN NILAI KESETIAAN DALAM PERKAWINAN BAGI KEUTUHAN KELUARGA KATOLIK S K R I P S I

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

  Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Oleh :

  Maria Regina Mayabubun NIM : 031124021

  PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010

  Skripsi ini kupersembahkan kepada:

  PERSEMBAHAN

  • Bapak Fransiskus Mayabubun dan Ibu Dionisia Warawarin (ayah dan ibuku) yang telah memelihara, membimbing dan membesarkanku. Dari mereka aku belajar tentang arti pentingnya kesetiaan.
  • Dion Remetwa, kekasih jiwaku yang setia mencintaiku.
  • Seluruh keluargaku tercinta.

  

MOTTO

“Kesetiaan itu mudah untuk diucapkan tapi sulit untuk dilaksanakan.

  

Belajarlah untuk berlaku setia kepada apa yang kamu yakini sebagai yang benar dan hiduplah

sesuai dengannya”

(Dimas Che)

  

ABSTRAK

  Judul skripsi ini adalah PENGHAYATAN NILAI KESETIAAN DALAM PERKAWINAN BAGI KEUTUHAN KELUARGA KATOLIK. Judul ini dipilih berdasarkan pada kenyataan bahwa penghayatan terhadap nilai kesetiaan mengalami penurunan. Kenyataan menunjukkan bahwa ada begitu banyak hal yang menyebabkan menurunnya penghayatan terhadap nilai kesetiaan tersebut. Sebut saja misalnya, menurunnya penghormatan terhadap martabat manusia, maraknya kasus perceraian, pengaruh faktor kepribadian, internal keluarga, sosial, ekonomi, factor beda iman dan budaya.

  Fakta ini hadir juga dalam kehidupan keluarga-keluarga Katolik. Oleh karena itu, persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana keluarga-keluarga Katolik, secara khusus suami istri Katolik, menghidupi nilai kesetiaan dalam perkawinannya. Untuk mengkaji persoalan tersebut, maka sebuah studi kepustakaan menyangkut hal tersebut diperlukan. Studi ini penting untuk menganalisis persoalan yang ada dan menemukan pemikiran-pemikiran refleksif (biblis-telogis) yang dapat digunakan sebagai sumbangan bagi usaha melestarikan nilai kesetiaan dalam perkawinan.

  Di tengah berbagai persoalan yang mengancam suami istri dalam menghayati nilai kesetiaan, masih ada setitik harapan. Dengan memohon rahmat kesetiaan dari Allah, suami istri bergerak maju untuk mempertahankan perkawinannya. Selain itu, adalah tanggung jawab kita bersama untuk mengusahakan kondisi yang positif bagi

  

ABSTRACT

  The title of this thesis is THE EXPERIENCING TO THE VALUE OF

  

FIDELITY IN MARRIAGE FOR THE UNION OF CATHOLIC FAMILY. This

  title was chosen based on the fact that the experiencing to the value of fidelity has decreased. The fact indicates that there are so many things that cause the decrease of experience to the value of fidelity. For instance, the respect of human nature is decreased, a glow of divorce case, the impact of individuality, interrelationship family, social, economic, faith and the cultural factors.

  The facts also exist in the Catholic families. Therefore, the main problem in this thesis is how the Catholic families, typically husband and wife who are Catholic, experience the value of fidelity in their marriage. To solve this problem, a library study is needed. This study is important to analyze the currently problem and find out the reflective thoughts (theological-biblical) that can be used as input to preserve the value of fidelity in the marriage.

  Through the various problems that threaten husband and wife in experiencing the value of fidelity, there’s still an expectation. By asking for the grace of fidelity from the almighty God, husband and wife move forward to defend their marriage. On the other hand, we all have our responsibility to carry on the positive condition for the husband and wife to experience the value of fidelity in their marriage.

KATA PENGANTAR

  Allah adalah setia dan Ia tak pernah dapat menyangkal kesetiaan-Nya. Dalam kelemahan dan kekuranganku, makin kusadari kehadiran Allah yang setia itu. Ia tak pernah meninggalkanku. Ia selalu setia menuntunku, dan karena kesetiaan-Nya itu penulis dapat menyelesaikan penulisan karya tulis ini. Menyadari kesetiaan Allah itu, maka bersama Bunda Maria penulis mau berseru: “Jiwaku memuliakan Tuhan dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku” (Luk. 1: 46-47).

  Dalam rangka penulisan skripsi ini, banyak pihak dengan setia telah membantu penulia. Mereka semua telah memberikan kondisi-kondisi yang positif kepada penulis. Karena itu, pantaslah penulis berterima kasih kepada mereka semua. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1.

  Romo Dr. Robertus Rubiyatmoko, PR., yang dengan penuh kesabaran mendampingi, membimbing dan mengarahkan penulis dalam seluruh proses penulisan skripsi ini.

  2. Romo Drs. H. J. Suhardiyanto, SJ., Kepala Program Studi IPPAK Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah memberikan ruang dan waktu bagi penulis untuk berproses selama menempuh studi di tempat ini.

  3. Bapak Drs. L. Bambang Hendarto, Y., M.Hum., sebagai dosen pembimbing akademik yang dengan setia mendampingi penulis selama studi.

  4. Seluruh Staf IPPAK, baik dosen maupun karyawan, yang dengan caranya

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL …………………………………………………………… i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………….. ii HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………….. iii HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………………... iv MOTTO ………………………………………………………………………… v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……………………………………….. vi PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ………………………………………………… vii ABSTRAK ……………………………………………………………………... viii ABSTRACT ……………………………………………………………………. ix KATA PENGANTAR …………………………………………………………. x DAFTAR ISI …………………………………………………………………… xii DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………………. xvi BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………...

  1 A. Latar Belakang Masalah …………………………………………..

  1 B. Rumusan Permasalahan …………………………………………..

  4 C. Tujuan Penulisan ………………………………………………….

  5 D. Metode Penulisan …………………………………………………

  5 E. Sistematika Penulisan ……………………………………………..

  6 BAB II. PROBLEMATIKA KESETIAAN DALAM PERKAWINAN …..

  8 A. Berbagai Problem Aktual Kesetiaan Dalam Perkawinan ………...

  8 1. Menurunnya Penghargaan Terhadap Martabat Manusia ……..

  8

  2. Menurunnya Penghayatan Terhadap Nilai Perkawinan ………

  14 a. Fenomena Perceraian …………………………………….

  15 b. Hidup Bersama de facto Sebagai Sebuah Alternatif ……..

  17

  B. Beberapa Faktor Hidup Yang Berpengaruh Pada Keutuhan Perkawinan ………………………………………………………..

  b. Indissolubilitas ……………………………………………

  c. Klemens dari Alexandria (+ thn. 214) ……………………

  51

  49 b. Tertullianus (+ thn. 220) ………………………………….

  48 a. Ignatius, Uskup Antiokhia di Siria (+ thn. 110) ………….

  48 1. Kesetiaan Perkawinan Menurut Bapa-bapa Gereja …………..

  46 D. Kesetiaan Perkawinan dalam Magisterium ………………………

  43 2. Kristus yang setia kepada Gereja-Nya ………………..............

  1. Yahwe yang setia kepada bangsa Israel ………………………

  43

  41 C. Landasan Biblis tentang Kesetiaan Suami Istri …………………...

  39 B. Kesetiaan Sebagai Konsekuensi Logis dari Hakikat Perkawinan Kristiani …………………………………………………………...

  c. Sakramental ………………………………………………

  38

  37

  18 1. Faktor Kepribadian …………………………………………...

  37 a. Unitas ……………………………………………………..

  3. Sifat-sifat Hakiki Perkawinan Kristiani ………………………

  34

  31 2. Tujuan Perkawinan Kristiani ………………………………...

  31 1. Hakikat Perkawinan Kristiani ………………………………..

  31 A. Perkawinan Kristiani ……………………………………………...

  29 BAB III. AJARAN GEREJA TENTANG KESETIAAN DALAM PERKAWINAN …………………………………………………..

  27 C. Kesimpulan ……………………………………………………….

  25 6. Faktor Budaya ………………………………………………...

  24 5. Faktor Iman/ Agama ………………………………………….

  4. Faktor Ekonomi ………………………………………………

  22

  20 3. Faktor Sosial (relasi dengan orang lain) ……………………..

  18 2. Faktor Internal Keluarga ……………………………………...

  53

  d. Ambrosius dari Milano (+ thn. 397) ……………………...

  4. Kesetiaan seumur hidup ………………………………………

  2. Keharmonisan Suami-Istri Sebagai Tindakan Kongkrit Dalam Masyarakat ……………………………………………………

  75

  1. Peranan Suami-Istri Dalam Hubungannya Dengan Janji Perkawinan Yang Dibina Selama Mereka Hidup ……………

  75

  73 B. Gambaran Pasangan Suami-Istri yang Setia ……………………...

  70 3. Ikut Serta Dalam Hidup dan Perutusan Gereja ……………….

  2. Mengabdi Kehidupan …………………………………………

  67

  67 1. Membentuk Komunitas Pribadi ……………………………...

  67 A. Profil Keluarga Kristiani dalam Magisterium …………………...

  66 BAB IV. USAHA MEMPERTAHANKAN DAN MELESTARIKAN NILAI KESETIAAN DALAM PERKAWINAN ...........................

  65 F. Kesimpulan ………………………………………………………..

  64

  54

  63 3. Kesabaran sebagai buah iman ………………………………...

  62 2. Bijaksana dalam keputusan dan tindakan …………………….

  1. Membina keadilan dan cinta dalam keluarga …………………

  62

  60 E. Beberapa Nilai Dasar Sebagai Penggerak Kesetiaan Dalam Perkawinan ………………………………………………………..

  b. Paus Yohanes Paulus II (+ thn. 2005): Sebuah kebersamaan dalam hidup (Ensiklik Familiaris Consortio) ………………………………………………...

  59

  a. Paus Paulus VI (+ thn. 1979): Eratnya relasi kesetiaan dan cinta (Ensiklik Humanae Vitae) .........................................

  59

  3. Kesetiaan Perkawinan Menurut Dokumen Pasca Konsili Vantikan II ................................................................................

  57

  55 2. Kesetiaan Perkawinan Menurut Konsili Vatikan II …………..

  e. Augustinus dari Hippo (+ thn. 430) ………………………

  77

  C. Cara Menyelesaikan Konflik dalam Keluarga …….........................

  3. Usaha Mengatasi Konflik Suami Istri Yang Bersumber Pada Beberapa Bidang Hidup ………………………………………

  99 E. Kesimpulan ……………………………………………………….. 103

  99 D. Belajar dari Keluarga Kudus Nazareth ……………………………

  d. Mengelola konflik yang kemungkinan ditimbulkan oleh faktor budaya ……………………………………………..

  95

  94 c. Membangun iman keluarga ................................................

  b. Mengelola konflik yang bersumber pada faktor ekonomi …………………………………………………..

  90

  a. Membangun relasi yang sehat, baik relasi “ke dalam” maupun relasi “ke luar” …………………………………..

  89

  89

  80

  88 d. Belajar untuk mendengarkan ..............................................

  c. Membangun komunikasi yang terbuka dan jujur dalam keluarga ..............................................................................

  86

  86 b. Perceraian bukanlah solusi akhir dari sebuah persoalan ....

  85 a. Menghadapi masalah secara bersama .................................

  2. Usaha Untuk Membangun Penghayatan Yang Integral Terhadap Martabat Perkawinan ………………………………

  83

  82 b. Membina persatuan suami istri …………………………..

  82 a. Saling menerima sebagai seorang pribadi ………………..

  1. Membina Persatuan Suami Istri Dengan Membangun Penghargaan Terhadap Masing-masing Pribadi ……………...

  BAB V. PENUTUP ………………………………………………………... 104 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….. 109

DAFTAR SINGKATAN

  A. Singkatan Kitab Suci

  Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Alkitab versi LAI 1974 (Diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia, cetakan kedelapan tahun 2001.

  Seluruh terjemahan dalam Alkitab ini diterima dan diakui oleh Konferensi Waligereja Indonesia).

  B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

  AA: Apostolicam Actuositatem , Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kerasulan Awam, 7 Desember 1965.

  EV: Evangelium Vitae , Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang Nilai dan Martabat Manusia, 25 Maret 1995.

  EN: Evangelii Nuntiandi , Anjuran Apostolik tentang Evangelisasi dalam Dunia Modern, 1975.

  FC: Familiaris Consortio , Ensiklik Paus Yohanes Paulus tentang Keluarga Sebagai Senasib dan Sepenanggungan, diterbitkan tanggal 22 November 1981.

  GS: Gaudium et Spes , Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, 7 Desember 1965.

  HV: Humanae Vitae , Ensiklik Paus Paulus VI tentang Hidup Manusia,

  KGK: Katekismus Gereja Katolik, Paus Yohanes Paulus II, diterbitkan lewat Konstitusi Apostolik Fidei Depositum, 11 Oktober 1992.

  KHK: Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), dipromulgasikan oleh Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983.

  LG: Lumen Gentium , Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja tanggal 21 November 1964.

  RC: Redemptoris Custos , Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II, dipromulgasikan pada tanggal 15 Agustus 1989.

C. Singkatan Lain

  Bdk. : Bandingkan Kan. : Kanon KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia KWI: Konferensi Waligereja Indonesia LK3I: Lembaga Katolik untuk Kesejahteraan Keluarga di Indonesia Lih. : Lihat Thn. : Tahun Vol. : Volume

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Charles Dickens suatu saat menulis bahwa Revolusi Prancis merupakan

  sekaligus masa terbaik dan masa terburuk (Martos, 1997: 32). Hal serupa dapat dikatakan tentang perkawinan masa kini. Di satu sisi, perkawinan tetap merupakan masa-masa terbaik dengan semua perubahannya yang menghantar orang untuk lebih mengenal dengan baik hubungan-hubungan manusiawi, seksualitas, dan komunikasi yang memenuhi dan memperkaya hakikat perkawinan. Di sini, perubahan dalam beberapa dimensi hidup seperti politik, sosial, ekonomi, dan budaya turut memberikan kontribusi yang positif dalam hidup perkawinan. Misalnya, tumbuh usaha-usaha di bidang ekonomi untuk membantu kesejahteraan keluarga-keluarga tak mampu.

  Namun di sisi lain, perubahan dalam beberapa bidang hidup itu sekaligus merupakan hal terburuk dalam perkawinan karena menghantar orang pada sikap lebih mudah menyerah dan memutuskan untuk bercerai apabila mereka tidak menemukan jalan keluar yang mereka harapkan (Martos, 1997: 32). Situasi itu justru memberi ruang bagi meningkatnya perselingkuhan, pertengkaran, dan perselisihan yang berujung pada meningkatnya perceraian.

  Fakta perceraian di masyarakat kita dewasa ini memang amat terjadi di Pengadilan Agama Yogyakarta pada tahun 2003 yang lalu, misalnya, mencapai 568 kasus perceraian. Pada tahun 2008, data di Pengadilan Agama Wates, Yogyakarta, menunjukkan angka perceraian mencapai 234 kasus. Kebanyakan gugatan justru dialami oleh pasangan suami istri yang telah mapan ekonomi.

  Penyebab lain gugatan cerai adalah perkawinan usia muda, tekanan sosial, perselingkuhan, dan persoalan prinsip hidup yang berbeda (“Faktor-faktor yang mempengaruhi perselingkuhan dalan keluarga,” dalam   http://www.skripsi- tesis.com/07/02/ ).

  Dalam lingkup publik, ruang privasi suami istri yang sesungguhnya menjadi milik pribadi mereka justru dipertontonkan di hadapan umum. Ironisnya, hal itu malahan dipandang sebagai sesuatu yang baik. Bertebarannya aneka tayangan tentang trend perceraian, pertengkaran, dan perselingkuhan di kalangan para selebritis melalui media televisi, majalah, dan koran menunjukkan bahwa lembaga perkawinan mengalami kemerosotan nilai.

  Fakta ini sungguh memprihatinkan. Dewasa ini muncul anggapan bahwa hidup dalam perkawinan dengan satu pasang selama hidup itu terlalu sukar untuk dilaksanakan, atau bahkan mustahil. Karena itu, perceraian menjadi semacam solusi alternatif apabila masa sukar dalam hidup bersama itu muncul. Menurut L. C.

  Wrenn, seorang hakim di Rota Romana (pengadilan tingkat kepausan di Roma), kebanyakan orang yang menikah dalam negara-negara modern yang hampir semuanya mengakui kemungkinan perceraian sipil, akan menikah dengan maksud

  Fenomena perceraian hanyalah salah satu dari sekian masalah yang mengancam penghayatan nilai perkawinan (dekadensi nilai perkawinan). Situasi itu tentu saja menyebabkan krisis yang mendalam. Lembaga keluarga menghadapi banyak kesulitan. Keluarga-keluarga di zaman ini menghadapi tantangan yang lebih besar, yakni terjadinya kemerosotan nilai-nilai kehidupan keluarga, makin menipisnya suasana religius dalam keluarga, seringnya terjadi perselingkuhan, perceraian, dan masih banyak lagi hal-hal yang mengancam keutuhan dan kesatuan dalam keluarga.

  Keluarga-keluarga kristiani tidak dapat terlepas dari persoalan ini. Keluarga- keluarga kristiani tengah menghadapi sebuah fenomena universal, yaitu merosotnya nilai kesetiaan dalam perkawinan. Kesetiaan adalah hal terpenting dalam relasi suami dan istri. Kesetiaan adalah suatu keputusan untuk tetap pada komitmen atau tanggung jawab dalam membangun relasi yang tetap. Dalam keluarga-keluarga kristiani, kesetiaan menjadi tolok ukur keutuhan sebuah perkawinan. Dewasa ini nilai kesetiaan itu mengalami kemerosotan yang amat memprihatinkan. Krisis nilai ini bagaikan virus yang begitu cepat menyebar dan menggerogoti kehidupan keluarga- keluarga kristiani.

  Kesulitan di bidang kesetiaan lebih berat lagi diuji apabila pada saat-saat mengecewakan, masing-masing dari pasangan lari dari kenyataan atau bahkan lari mencari orang lain. Banyak pasangan “kandas” di tengah jalan karena ketidakmampuan mereka keluar dari masa krisis itu. Mereka tidak mampu mengatasi kekecewaan dan kejengkelan atau tak mampu memaafkan kesalahan pasangan sehingga akhirnya mereka memilih untuk berpisah.

  Fenomena kemerosotan nilai itu menunjukkan bahwa nilai KESETIAAN belum dihayati secara utuh dalam kehidupan keluarga-keluarga kristiani yang terancam keutuhannya. Kesadaran dan penghayatan akan nilai kesetiaan adalah mutlak perlu sebagai syarat demi keutuhan sebuah ikatan perkawinan, demi keutuhan sebuah keluarga. Memang kesetiaan suami istri bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan dan dihidupi, namun kesetiaan itu tetap merupakan hal yang sangat penting dalam perkawinan.

  Pembahasan tentang nilai kesetiaan dalam perkawinan kristiani adalah perlu dan penting. Mengingat begitu pentingnya nilai kesetiaan dalam perkawinan, maka penulis memutuskan untuk mengangkat tema itu sebagai tema utama dalam seluruh pembahasan skripsi ini. Artinya, dalam karya tulis ini, penulis akan memfokuskan diri untuk membahas tema kesetiaan dalam perkawinan kristiani.

B. Rumusan Permasalahan Munculnya beberapa problem aktual seputar kesetiaan dalam perkawinan.

  Problem-problem itu antara lain menurunnya penghargaan terhadap martabat manusia dan menurunnya penghayatan terhadap nilai perkawinan itu sendiri. Selain itu, perubahan dan perkembangan di bidang relasi internal keluarga, sosial, ekonomi, beda iman / agama, dan budaya juga menjadi faktor yang mempengaruhi merosotnya nilai kesetiaan dalam perkawinan. Kenyataan lain juga menunjukkan bahwa pemahaman umat tentang nilai-nilai perkawinan Kristiani masih kurang atau dangkal.

  Dalam usaha untuk mencari solusi atas problem-problem di atas, penulis berhadapan dengan beberapa persoalan dasar, yaitu:

  1. Apa pandangan Gereja tentang kesetiaan dalam perkawinan?

  

2. Bagaimana usaha yang dilakukan dalam mempertahankan nilai kesetiaan dalam

  keluarga? C.

   Tujuan Penulisan

  Skripsi ini ditulis untuk memberikan masukan kepada para pendamping keluarga-keluarga Katolik agar dapat membantu keluarga-keluarga itu untuk:

  1. Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang ajaran-ajaran Gereja mengenai pentingnya kesetiaan dalam perkawinan.

  2. Melakukan usaha-usaha untuk mempertahankan dan melestarikan nilai kesetiaan dalam kehidupan keluarga mereka.

D. Metode Penulisan

  Penulisan skripsi ini didasarkan pada kerangka metodis utama tinjauan kepustakaan, dengan pendekatan problem solving (pemecahan masalah). Karena itu, penulis juga menggunakan bantuan beberapa metode dalam penguraian dan penjelasan. Metode deskriptif terutama digunakan pada uraian mengenai beberapa problem yang penulis temukan dalam berbagai kepustakaan (literatur).Sementara itu, metode analisa lebih dominan penggunaannya pada bagian ajaran Gereja tentang kesetiaan dalam perkawinan, dan usaha-usaha yang dibuat untuk membantu keluarga-keluarga kristiani menghayati nilai kesetiaan dalam perkawinan.

E. Sistematika Penulisan

  Bab I : Pendahuluan Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penulisan yang mendasari penulis skripsi ini, serta metode penulisan yang digunakan dalam menyelesaikan skripsi ini dan sistimatika yang susun.

  Bab II : Problematika seputar kesetiaan dalam perkawinan Bab ini berisi permasalahan-permasalahan konkret yang mendasari penulisan masalah ini. Bab III : Ajaran Gereja tentang kesetiaan dalam perkawinan Bab ini berisi tentang pengertian dan hakikat perkawinan kristiani, ajaran Gereja katolik tentang nilai kesetiaan dalam perkawinan dan beberapa nilai dasar yang menjadi penggerak nilai kesetiaan dalam perkawinan kristiani. Bab IV: Usaha Mempertahankan dan Melestarikan Nilai Kesetiaan Dalam Perkawinan.

  Dalam bab ini penulis memberikan suatu upaya pastoral untuk membantu keluarga-keluarga kristiani dalam mempertahankan dan melestarikan nilai kesetiaaan suatu perkawinan.

  Bab V : Penutup Dalam bab ini penulis membuat kesimpulan berdasarkan seluruh pembahasan tentang nilai kesetiaan dalam perkawinan kristiani, serta beberapa saran praktis untuk menghayati nilai kesetiaan tersebut.

                                 

BAB II PROBLEMATIKA KESETIAAN DALAM PERKAWINAN Perkawinan kristiani dewasa ini berada dalam konteks budaya yang sangat

  berbeda daripada satu generasi yang lalu. Sejumlah perkembangan mengubah pola dalam mana perkawinan dipilih dan dihayati (Cooke, 1991: 17). Bab ini menggali beberapa problem yang timbul akibat pengaruh perkembangan tersebut dan yang berdampak pada kesetiaan suami istri dalam perkawinan.

A. Berbagai Problem Aktual Kesetiaan Dalam Perkawinan

  Dalam bagian ini akan penulis uraikan tentang beberapa problem aktual yang berhubungan dengan kesetiaan dalam perkawinan. Masalah-masalah ini diangkat untuk menunjukkan pengaruhnya terhadap penghayatan nilai kesetiaan dalam kehidupan suami istri itu sendiri. Disebut masalah aktual karena masalah tersebut selalu ada dalam lingkup kehidupan suami istri.

1. Menurunnya Penghargaan Terhadap Martabat Manusia

  Titik tolak dan landasan untuk berbicara tentang perkawinan kristiani terutama adalah dengan melihat suami istri sebagai manusia. Suami istri adalah person-person yang memiliki otonomi, kebebasan dan tanggung jawab. Masing- masing pribadi, baik suami maupun istri, harus dihormati dan dihargai dalam dan istri akan berdampak positif dalam kehidupan rumah tangga mereka. Sebaliknya, jika tidak ada sikap saling menghargai dan menghormati masing-masing pasangan sebagai seorang person, maka ketidakharmonisan dalam rumah tangga dapat tercipta. Situasi seperti ini tentu mengancam keutuhan suami istri tersebut.

  Pembicaraan tentang suami istri sebagai person yang memiliki otonomi dan kebebasan ini menghantar kita untuk bertanya lebih jauh, siapa sebenarnya manusia itu? Pertanyaan itu sudah berabad-abad lamanya dipikirkan orang. Bermacam- macam aliran filsafat, ideologi, dan pandangan hidup mencoba memberikan suatu jawaban yang pasti. Akan tetapi, jawaban yang paling mendasar kita temukan di dalam Kitab Suci (Kej 1:27): Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Allah, yang secitra dengan-Nya (Gilarso, 2003: 34). Manusia adalah “yang di dunia merupakan satu-satunya makhluk, yang Allah kehendaki demi dirinya sendiri” (GS 24). Hanya dia yang “mampu mengenal dan mencintai Penciptanya” (GS 12).

  Karena manusia diciptakan menurut citra Allah, manusia memiliki martabat sebagai pribadi. Ia bukan hanya sesuatu, melainkan seseorang (KGK 357). Ia adalah person yang memiliki akal budi dan kehendak. Dengan akal budinya manusia dapat memeluk segala apa yang ada dan dengan kehendaknya yang bebas ia sendiri dapat mewujudkan hidupnya (Gilarso, 2003: 34). Ia mampu mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain (KGK 357).

  Manusia adalah seorang pribadi yang memiliki martabat luhur. Martabat sendiri. Ia memiliki nilai yang tidak tergantikan. Nilainya sebagai seorang pribadi yang diciptakan secitra dengan Allah sendiri. Paus Yohanes Paulus II, dalam ensiklik

  

Evangelium Vitae yang dipromulgasikan pada tanggal 25 Maret 1995, menegaskan

  bahwa manusia di dalam hidupnya memiliki “nilai kudus dari sejak awal (kelahiran) sampai akhirnya (mati)” (EV 2). “Nilai kudus” itu dimiliki sama oleh semua orang.

  Perlu juga disadari bahwa manusia ciptaan Allah itu tidaklah seorang diri. Sejak permulaan Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan. Penciptaan itu telah menunjuk dimensi sosialitas manusia (Groenen, 1993: 54). Manusia adalah makhluk sosial yang hanya dapat hidup dan mengembangkan diri di dalam kebersamaan dengan manusia yang lain. Manusia saling bergantung satu sama lain sejak permulaan hidupnya hingga akhir. Dengan kata lain, manusia adalah pribadi hidup bermasyarakat dan itulah yang merupakan dasar bagi segala hubungan yang dalam masyarakat itu (Gilarso, 2003: 34-35).

  Pertanyaan selanjutnya adalah manakah tuntutan-tuntutan pokok yang harus dilakukan oleh manusia dalam hidupnya supaya benar-benar menjadi manusiawi? Pertanyaan ini mendapat aneka jawaban dari zaman ke zaman sesuai dengan lingkungan kebudayaan. Konsili Vatikan II, dalam Gaudium et Spes, menegaskan alasan mengapa manusia terus berusaha memberi jawaban atas pertanyaan tersebut. Konsili berkata, “Injil telah dan masih terus membangkitkan dalam hati manusia tuntutan tak terkendali akan martabatnya” (GS 26). Kesadaran akan tuntutan martabat ini merupakan karya Roh, yang menjiwai, menyucikan, dan meneguhkan keinginan-keinginan luhur manusia supaya membuat hidupnya menjadi lebih berperikemanusiaan (KWI, 1996: 16).

  Setiap orang hanya dapat hidup sebagai pribadi yang terhormat dan mandiri, kalau ia menghayati otonominya dan dengan penuh tanggung jawab membangun serta memelihara kehidupan yang manusiawi. Karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang oleh Allah dikehendaki demi dirinya sendiri, maka kita pun harus menghormati setiap manusia (Gilarso, 2003: 35). Sikap hormat terhadap martabat pribadi setiap orang tersebut juga dipandang sebagai nilai utama dalam tradisi Kristen (KWI, 1996: 16. 17).

  Dewasa ini kesadaran akan martabat luhur manusia bertumbuh subur dalam diri setiap orang. Karena itu, secara individu maupun bersama, manusia berlomba- lomba memberi makna bagi hidupnya. Ada berbagai usaha positif manusia yang mengarah pada pengakuan dan penerimaan dirinya sebagai pribadi yang memiliki akal budi, kehendak, kebebasan, dan tanggung jawab.

  Sejalan dengan kesadaran dan usaha positif manusia itu, muncul juga berbagai usaha dan dampak negatif yang justru melecehkan martabat luhur manusia.

  Manusia dengan kemampuan akal budinya dan kebebasannya membuat perubahan- perubahan dalam hidupnya. Namun, dan banyak kali terjadi, perubahan itu justru membawa manusia jatuh ke titik terendah dengan tanpa pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensinya, terhadap martabatnya sebagai manusia.

  Perubahan dan perkembangan yang berdampak pada menurunnya seperti peperangan, penindasan, pembunuhan, dan berbagai bentuk ketidakadilan lainnya. Dalam lingkup perubahan dan perkembangan seperti itu, manusia tidak lagi dipandang sebagai subjek, yaitu pribadi yang pada dirinya memiliki nilai luhur, melainkan sebagai objek semata. Dengan kata lain, manusia yang adalah ciptaan Allah itu hanya digunakan sebagai sarana belaka demi tujuan tertentu (Rausch, 2001: 258). Di sini dehumanisasi tak terhindarkan.

  Keluarga, yang terdiri dari pribadi-pribadi yang memiliki kehendak dan kebebasan, juga turut mengalami dampak negatif dari perkembangan dan perubahan itu. Konsili Vatikan II menyadari sepenuhnya dampak perubahan dan perkembangan itu dengan menyatakan,

  Adapun dalam kehidupan keluarga muncullah berbagai ketidakserasian, baik karena kondisi-kondisi kependudukan, ekonomi dan sosial, yang serba mendesak, maupun karena kesulitan-kesulitan yang timbul antara angkatan- angkatan yang beruntun, ataupun juga karena hubungan-hubungan sosial yang baru antara pria dan wanita (GS 8). Dapat juga disebutkan di sini beberapa fenomena menurunnya penghormatan terhadap martabat manusia dalam lingkup keluarga. Dewasa ini sering terdengar adanya usaha untuk menggugurkan kandungan (aborsi), kloning anak, perdagangan anak, pelacuran, penganiayaan, dan sebagainya.

  Dalam konteks fenomena tersebut, manusia tidak lagi dilihat sebagai pribadi yang bermartabat luhur, melainkan hanya sebagai objek atau sarana. Congregation for the Doctrine of the Faith dalam Instruction on Respect for Human Life in Its

  

Origin and on the Dignity of Procreation (1987: 18) menegaskan bahwa “tindakan-

  (biological material) yang dapat dibuang”. Aborsi dan kloning, misalnya, dengan mudah membuat kita kehilangan pandangan akan martabat manusia dan kesakralan tindakan kasih suami istri dalam perkawinan. Fakta lain adalah maraknya pelacuran dan perdagangan anak. Dua fakta yang disebutkan terakhir ini telah mengeksploitasi tubuh manusia sebagai sebuah komoditi yang memiliki nilai komersial. Eksploitasi tubuh manusia karena pelacuran tersebut tentu mereduksi martabat luhur manusia ke sekedar materi belaka (Gunawan & Suyono, 2003: 3-4). Dalam konteks perkawinan kita dapat menemukan maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

  Uraian-uraian di atas hendak menunjukkan bahwa martabat manusia itu amat luhur. Kesadaran akan martabat luhur manusia ini terus membangkitkan daya upaya manusia untuk menerima pengakuan dan penerimaan atasnya. Tetapi di sisi lain, perlu juga disadari bahwa bahaya dehumanisasi dapat saja terjadi sebagai akibat dari usaha manusia itu sendiri. Usaha yang dimaksudkan itu tak lain adalah usaha untuk menggugurkan kandungan (aborsi), kloning anak, perdagangan anak, pelacuran, penganiayaan, dan sebagainya.

  Kurangnya penghargaan terhadap martabat manusia akan berdampak pada kehidupan sel terkecil masyarakat, yaitu keluarga. Suami, istri dan anak-anak tidak lagi saling menghargai sebagai seorang pribadi. Yang terjadi justru adalah pengobjekan salah satu pihak. Suami menjadikan istri dan anak-anak hanya sekadar sebagai objek belaka. Dapat juga terjadi sebaliknya, seorang istri menjadikan suami dan anak-anak sebagai objek. Di sini tidak ada lagi sikap saling menghargai satu sama lain, terlebih penghargaan terhadap martabat masing-masing person dalam keluarga itu. Dalam situasi seperti itu, keluarga amat rentan terhadap masalah.

2. Menurunnya Penghayatan Terhadap Nilai Perkawinan

  Seiring dengan perkembangan zaman lembaga perkawinan pun mengalami berbagai tantangan. Tantangan yang paling nyata adalah menurunnya penghayatan terhadap nilai luhur perkawinan itu sendiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terjadi kemerosotan dalam penghayatan nilai perkawinan. Fakta kemerosotan ini dipertegas oleh ajaran iman Gereja yang dinyatakan dalam Konstitusi Pastoral Gereja, Gaudium et Spes,

  Martabat lembaga perkawinan (keluarga) itu sama-sama berhenti semarak, sebab disuramkan oleh poligami, malapetaka perceraian, apa yang disebut percintaan bebas, dan cacat cidera lainnya. Selain itu cinta perkawinan cukup sering dicemarkan oleh cinta diri, gila kenikmatan dan ulah cara yang tidak halal melawan timbulnya keturunan. Kecuali itu situasi ekonomis, sosio- psikologis dan kemasyarakatan dewasa ini menimbulkan gangguan-gangguan yang tak ringan terhadap keluarga. Akhirnya di wilayah-wilayah tertentu dunia ini dengan cukup prihatin munculnya masalah persoalan akibat pertambahan penduduk. Itu semua menggelisahkan suara hati (GS 47). Keluarga-keluarga kristiani juga tak luput dari persoalan ini. Ada banyak keluarga kristiani yang mengalami persoalan dalam menghayati nilai-nilai dasar perkawinan Katolik. Tantangan dan keprihatinan tersebut berkaitan dengan penghayatan terhadap nilai unitas perkawinan dan kesetiaan secara utuh terhadap pasangan hidup.

  Tentu ada banyak hal yang bisa disebutkan sebagai indikator menurunnya bagian ini, penulis hanya mengangkat dua hal sebagai indikator kemerosotan tersebut, yaitu fenomena perceraian dan model hidup bersama de facto. Dua hal ini diangkat bukan karena faktor urutan kepentingannya, melainkan lebih sekadar mau menunjuk bahwa hal-hal tersebut turut menjadi penyebab menurunnya penghayatan terhadap nilai perkawinan.

a. Fenomena Perceraian

  Setiap pasangan suami istri tentunya tidak menghendaki perkawinannya “kandas” di tengah perjalanan. Yang ada dalam pikiran mereka saat mulai menikah adalah bayangan tentang suatu hidup berumah tangga yang penuh kebahagiaan (LK3I KWI, 1994: 15). Namun kenyataan dalam kehidupan bersama membuktikan bahwa ada sekian banyak pasangan suami istri yang tidak dapat merengkuh kebahagiaan itu dan justru memilih untuk mengakhiri perkawinan mereka dengan jalan perceraian.

  Perceraian memang merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk disimak. Di tengah kehidupan masyarakat kita fakta perceraian dipertontonkan sebagai sesuatu yang lumrah. Berbagai media massa, baik media cetak maupun elektronik, terus mempublikasikan kasus-kasus perceraian yang terjadi. Misalnya, ada kasus di mana pasangan suami istri yang baru sehari mengikrarkan janji perkawinannya dengan terbuka telah mengumumkan perceraian keesokan harinya di depan publik.

  Fakta perceraian itu juga terjadi dalam kehidupan keluarga-keluarga Katolik. dewasa ini terdapat banyak orang Katolik yang meminta perceraian menurut hukum sipil dan mengadakan perkawinan baru secara sipil” (KGK 1650).

  Perceraian tidak terjadi dengan sendirinya. Tentu ada sesuatu yang menjadi penyebab dibalik peristiwa perceraian itu (Anonim, 1982: 9). Penyebab perceraian terdiri dari banyak segi. Perceraian dalam keluarga biasanya berawal dari suatu konflik antara anggota keluarga. Bila konflik ini sampai pada titik kritis, maka peristiwa perceraian itu berada di ambang pintu (Dagun, 2002: 114).

  Penyebab lain terjadinya perceraian adalah dinamika kehidupan modern. Makin kompleksnya tuntutan hidup dalam dunia dewasa ini menyebabkan suami istri itu hidup terpisah. Karena tuntutan tugas salah satu dari pasangan, entah suami atau istri, harus berpisah dengan pasangannya dalam jangka waktu tertentu. Dalam situasi seperti itu masing-masing dapat merasa kesepian dan seperti seakan-akan tidak diperhatikan oleh pasangannya. Dalam keadaan seperti itu bisa saja istri atau suami tergoda untuk memutuskan sesuatu sebagai jalan pintas, demi kebutuhan jasmaniahnya (Salawaney, 1998: 73).

  Perceraian juga bisa terjadi karena kurangnya kesempatan untuk berkomunikasi satu dengan yang lain, ketidakdewasaan dalam sikap dan ucapan, sering timbulnya pertentangan, serta bersifat selalu mementingkan diri sendiri dan tidak menghargai pasangannya (Salawaney, 1998: 73). Dapat juga disebutkan faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya perceraian, yaitu faktor ekonomi, relasi dengan orang lain, perkawinan yang tidak dilandasi rasa cinta, kemandulan, beda agama, dan kurangnya

  Adanya fenomena perceraian dalam kehidupan bersama menunjukkan bahwa penghayatan terhadap nilai perkawinan mengalami kemunduran yang sangat besar.

  Orang tidak lagi menghargai keluhuran martabat perkawinan. Perkawinan dianggap seakan-akan sebagai sebuah mainan belaka.

b. Hidup Bersama de facto Sebagai Sebuah Alternatif

  Yang dimaksudkan dengan hidup bersama de facto adalah hidup bersama pria dan wanita sebagaimana layaknya suami istri namun tanpa pengakuan publik oleh lembaga sosial dan keagamaan apapun (FC 81). Pria dan wanita memilih untuk memulai hidup bersama secara diam-diam dan membiarkan keadaan itu berlangsung untuk waktu yang tidak terbatas.

  Dalam konteks masyarakat Indonesia, kita mengenal istilah yang menunjuk pada bentuk hidup seperti itu, yaitu “kumpul kebo”. Istilah tersebut menunjuk pada fakta hidup bersama pria dan wanita sebagaimana layaknya suami istri. Sama seperti kerbau yang berkumpul dan melakukan kawin-mawin tanpa upacara tertentu, demikian juga pria dan wanita yang de facto memilih hidup bersama sebagaimana layaknya suami istri, tanpa upacara dan pengakuan public (Catur Raharso, 2006: 31).

  Ada rupa-rupa alasan yang dapat dikemukakan sebagai penyebab terjadinya hidup bersama de facto itu. Sebut saja misalnya alasan keadaan terpaksa karena kesulitan di bidang ekonomi, budaya atau keagamaan. Biasanya pria dan wanita yang hidup bersama model ini memberi alasan bahwa jika mereka menikah dengan cara akan mengalami diskriminasi (karena pindah agama), atau akan ditolak sebagai anggota suku dan agamanya. Yang lain lagi memilih cara hidup itu karena mereka menolak semua bentuk campur tangan masyarakat dan agama dalam hal kehidupan pribadi mereka. Mereka melawan tatanan sosial dan politik serta agama yang mencampuri urusan pribadi mereka. Sebagian lagi memutuskan untuk hidup bersama

  

de facto karena mereka mengalami situasi yang tidak adil yang menghalangi mereka

untuk menikah secara normal (FC 81).

  Apapun alasan yang diberikan, hidup bersama pria dan wanita seperti itu justru mendiskreditkan nilai perkawinan. Persatuan bersama de facto itu menghilangkan makna religius dari perkawinan (Catur Raharso, 2006: 31). Konsekuensi sosial yang ditimbulkannya juga tidak kecil: hancurnya konsep keluarga, melemahnya rasa kesetiaan dan komitmen pada hal-hal yang serius dalam masyarakat pada umumnya (FC 81).

B. Beberapa Faktor Hidup Yang Berdampak Pada Keutuhan Perkawinan 1. Faktor Kepribadian

  Hakikat perkawinan adalah persatuan antar dua pribadi pria dan wanita yang saling memberi diri atas dasar cinta (Gilarso, 1996: 9). Yang terjadi dalam perkawinan adalah persatuan dua insan (pria dan wanita) yang memiliki sikap dan karakter yang berbeda. Mereka adalah dua pribadi yang berbeda dalam sikap dan karakternya.

  Dalam perkawinan, dua pribadi yang berbeda sikap dan karakternya ini bergerak menjadi satu. Injil Matius memberi gambaran mengenai proses dua menjadi satu ini: “Mereka bukan lagi dua, melainkan satu” (Mat 19:6; Kej 2:24). Namun proses menjadi satu itu dapat terjadi apabila suami istri itu sendiri adalah pribadi yang sudah matang dan siap untuk melupakan diri dan mencintai yang lain. Perkawinan dua pribadi yang belum matang hanyalah merupakan tempat pelarian dan persembunyian. Tentang hal ini Anne Homes (1992: 156) menulis,