STRATEGI KELUARGA DALAM MENERAPKAN NILAI

1

ABSTRAK
STRATEGI KELUARGA DALAM MENERAPKAN NILAI-NILAI
AGAMA UNTUK PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ANAK
(STUDI DI KELURAHAN DAPU-DAPURA)
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis strategi
yang dilakukan oleh keluarga dalam menerapkan nilai-nilai agama untuk
pembentukan kepribadian anak, selain itu untuk mengidentifikasi dan
menganalisis kendala yang dihadapi keluarga dalam menerapkan nilai-nilai agama
untuk pembentukan kepribadian anak.
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Dapu-Dapura Kecamatan
Kendari Barat Kota Kendari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi
keluarga dalam menerapkan nilai-nilai agama untuk pembentukan kepribadian
anak, dilakukan dengan cara: strategi keluarga dalam menentukan tindakan
preventif yaitu, melaksanakan kewajiban sebagai orangtua untuk memenuhi hakhak anak, mendidik anak dengan kasih sayang, menanamkan nilai agama sejak
dini, menghindari anak dari pengaruh negatif, strategi keluarga dalam menentukan
pola hubungan dalam keluarga yaitu: menghindari pola sosialisasi represif
(otoriter), menghindari pola sosialisasi permisif, dan dengan pemberian pola
sosialisasi partisipatoris (demokratis); Strategi keluarga dalam menentukan
metode untuk menerapkan nilai-nilai agama yaitu: menggunakan metode ganjaran

dan hukuman, menggunakan metode didacticteaching (nasihat), dan menggunakan
metode pemberian contoh teladan. Kendala-kendala atau tantangan yang dihadapi
keluarga dalam menerapkan proses sosialisasi terdiri dari sosialisasi dalam
lingkungan keluarga, sosialisasi dalam lingkungan sekolah, dan sosialisasi dalam
lingkungan masyarakat. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian anak yaitu
keturunan (warisan biologis), lingkungan alam dan lingkungan sosial. nilai-nilai
agama untuk mengembangkan kepribadian anak yaitu: berupaya mengatasi
kendala yang berasal dari faktor internal anak, kendala dari pengaruh teman
sepergaulan anak, kendala dari pengaruh perubahan lingkungan sosial dan media
massa (globalisasi).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah keseluruhan strategi yang dilakukan
oleh keluarga dalam menerapkan nilai-nilai agama ini, saling berhubungan satu
sama lain dan bersifat komplementer, sehingga keseluruhan strategi ini mutlak
dilakukan untuk bisa mengembangkan kepribadian anak yang baik. Akan tetapi
strategi yang paling efektif adalah penanaman pendidikan agama sejak dini dan
pemberian contoh teladan merupakan aspek yang paling penting.
Kata kunci: Strategi keluarga, nilai-nilai agama, kepribadian anak.

2


FAMILY STRATEGIES FOR IMPLEMENTING RELIGIOUS
VALUES TO SHAPE CHILD’S PERSONALITY
(A STUDY IN DAPU-DAPURA VILLAGE)
By : Hasmira Said Dan Kabiba
ABSTRACT
This study aimed to describe and analyse the strategies used by family for
implementing religious values to shape child’s personality, as well as to describe
and analyse challenges faced by family in implementing religious values to shape
child’s personality. The study was conducted at Dapu-dapura village in Kendari
sub district, of Kendari regency.. The results of the study indicated that to
implement religious values that can shape child’s personality, the family use the
followings:the strategiesused by family to determine preventive actions, which
include doing parents’ obligation to fulfill their children’s rights, educating with
love, instilling religious values at early ages, protecting children from negative
influences; the strategiesused to determine patterns of relationship within the
family, which include avoiding patterns of repressive (authoritative) socialization,
avoiding patterns of permissive socialization, and implementing patterns of
participatory (democratic) socialization; the strategies used to determine methods
of applying religious values, which include rewards and punishment method,
didactic teaching method, and exemplary actions of well-mannerism. The

religious values to develop children’s personality include: efforts to overcome
challenges that come from the internal factors of the child, from the influences of
friends, and from the influences of social environmental changes and mass media
(globalization). This study concluded that all strategies employed by family to
implement religious values are interconnected and complementary in nature, so
that all the strategies must definitely be used in order to develop child’s good
personality. However, the most effective strategy is instilling religious values at
early ages and the most important one is demonstrating examples of good
behaviors
Keywords: family strategy, religious values, child’s personality

3

I PENDAHULUAN
Memasuki era globalisasi seperti
sekarang ini, kemajuan teknologi dan
informasi semakin terbuka lebar tanpa ada
batas geografis dan wilayah. Keterbukaan ini
mengakibatkan timbulnya masalah sosial
yang semakin kompleks, termasuk nilai baik

dan buruk yang menjadi bingkai dan pola
tingkah laku kehidupan keluarga dalam
masyarakat. Salah satu akibat yang dirasakan
adalah semakin beratnya tugas yang diemban
orang tua khususnya dalam menerapkan
nilai-nilai
agama
untuk
membentuk
kepribadian anak-anaknya. Pendidikan anak
merupakan proses yang sangat penting dan
mendasar bagi keluarga untuk membentuk
anak menjadi dewasa dan memiliki
kepribadian yang baik dalam kehidupan di
lingkungan keluarga maupun di lingkungan
masyarakat, yang tercermin terutama pada
keimanan kepada ajaran agamanya dan
tingkah laku (akhlak) yang dapat diteladani.
Keluarga (terutama orang tua) adalah
institusi

pendidikan
informal
yang
mempunyai
tugas
mengembangkan
kepribadian anak dan mempersiapkan
mereka menjadi anggota masyarakat yang
baik. Penerapan nilai-nilai agama akan
sangat berpengaruh terhadap perkembangan
intelektualitas dan emosi anak. Adapun
perkembangan agama pada anak sangat
ditentukan oleh peran orang tuanya. Anak
yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga
beriman
(religius)
akan
memiliki
penghayatan dan pengamalan agama yang
baik, karena anak cenderung mengikuti orang

tuanya. Sedangkan anak yang diasuh dalam
lingkungan keluarga yang tidak taat dalam
menjalankan ajaran agama,
besar
kemungkinan tidak menjalankan ajaran
agama baik, atau mungkin tidak sama sekali,
sebab tidak ada figur yang dia teladani.
Menurut Darajat, perkembangan
agama pada anak sangat ditentukan oleh
pendidikan dan pengalaman yang dilalui
sebelumnya, terutama ketika anak memasuki
masa pertumbuhan yakni antara usia 0 s/d 12
tahun. Jika pada pada masa pertumbuhan
pertama seorang anak tidak mendapatkan
pendidikan dan pengalaman keagamaan,

maka setelah menginjak usia dewasa ia akan
cenderung
bersifat
negatif

terhadap
agama(Barmawi, 1993: 50).
Agama sebagai salah satu “ ruh “
masyarakat dalam arti konstruksi nilai yang
menjiwai kehidupan masyarakat, menurut
Durkheim merupakan salah satu bentuk
implikasi sosiologis yang riil dan dipastikan
ada di setiap sejarah suatu komunitas sosial
manapun (Durkheim, 2005).Oleh karena
itu,hubungan antar agama dan masyarakat
ibarat saudara kembar dan tidak dapat
dipisahkan (R. Scarf, 1995:29-69).
Dengan demikian, di tengah proses
interaksi sosial yang terjadi, agama sudah
barang tentu tidak bisa dilepaskan dengan
keberadaan sebuah keluarga sebagai sub
sistem institusi terkecil dibandingkan dengan
sistem sosial yang lainnya.
Peningkatan peran keluarga serta
pemberdayaannya dalam mendidik anak

menghadapi masa depan, terkait dengan
suatu strategi yang mengacu kepada
hubungan ayah dan ibu, sebab pendidikan
anak tersebut berada ditangan kedua orang
tuanya. Sekolah dan lembaga pendidikan
formal lainnya yang difasilitasi oleh
pemerintah atau swasta tidaklah cukup dalam
pembentukan sumberdaya manusia yang
berkarakter dan bermoral.
Penyimpangan norma agama, norma
sosial serta kemerosotan moral ditengah
kehidupan yang serba materialistik dan
hedonistik mewarnai kehidupan di dalam
masyarakat sekitar kita. Dunia pendidikan
sering tercoreng oleh prilaku anak didiknya
seperti tindakan amoral, seks bebas (free
sex), tawuran, penyalahgunaan narkoba dan
sebagainya. Lebih jauh lagi trend korupsi
merasuki
semua

level
kehidupan,
pemerintahan, dunia usaha sampai pada
penegak hukum itu sendiri.
Kasus-kasus penyimpangan norma
sosial dan agama tersebut di atas
mengindikasikan
kerapuhan
bahkan
merupakan
bentuk
kegagalan
sistem
pendidikan di negeri ini, sebab lebih dari
90% konten pendidikan di Indonesia
mengedepankan ilmu pengetahuan dan
teknologi (Iptek). Sedangkan moralitas dan

4


akhlak hanya mendapat porsi 10 % (Anwar,
Suara Hidayatullah, 2008:72).
Kelurahan Dapu-dapura sebagai
lokasi penelitian berada tepat di tengahtengah pusat keramaian kota yang dikelilingi
oleh berbagai fasilitas hiburan dan pusat
perdagangan (perekonomian). Hal ini
nampak pada berbagai bangunan yang
menyediakan
berbagai
sarana
untuk
keperluan tersebut, antara lain: sarana
hiburan malam seperti cafe dan hotspot,
lounge dan sebagainya. Selain fasilitas
hiburan,lokasi inipun di kelilingi oleh
berbagai pusat perbelanjaan seperti pusat
pertokoan emas, toserba, pasar sentral
Kendari yang menyediakan berbagai produk
dagangan.
Kondisi

wilayah
ini
yang
menawarkan berbagai sarana tersebut di atas,
cenderung memberikan pengaruh bagi
prilaku masyarakat yang menempati atau
bermukim di sekitar lokasi tersebut. Hal ini
terlihat dari berbagai perilaku yang
ditonjolkan oleh anggota masyarakat
khususnya kaum remajanya. Sebagian
anggota masyarakat cenderung berperilaku
yang mengarah kepada kehidupan yang serba
pragmatis,hedonistis, terlihat dari segi
penampilan dan gaya hidup mereka yang
mencerminkan kehidupan yang lebih
mengutamakan
aspek materialistik dan
hedonistik, dengan menikmati sebanyakbanyaknya segala fasilitas yang bersifat
duniawi tersebut.
Berbeda dengan hal di atas, ditengah
fenomena kehidupan yang serba hedonis
tersebut, terdapat sebagian masyarakat yang
cenderung masih memegang nilai-nilai
agama (Islam) tanpa terjebak ke arus
kehidupan yang materialistik. Hal ini terlihat
dari kepribadian anggota masyarakat
lainnya,baik kaum muda maupun kaum
tuanya, yang masih mempertahankan dan
mengutamakan nilai-nilai agama ketimbang
nilai materialistik.
Agama yang banyak dianut oleh
penduduk Kelurahan Dapu-dapura adalah
agama Islam. Kondisi toleransi beragama
terjalin dengan baik, sehingga perbedaan
keyakinan diantara warga tersebut tidak
menjadikan timbulnya konflik masyarakat.

Ini terlihat sarana peribadatan mesjid dan
gereja berdampingan.
Kondisi
kehidupan
masyarakat
khususnya pola hidup masyarakat yang
berbeda pada lingkungan sosial ini,
menimbulkan berbagai asumsi yang menarik
untuk dikaji, khususnya bagaimana keluarga
menyikapi fenomena mengenai kondisi sosial
yang kompleks dan implikasi negatifnya
mengarah kepada budaya materialisme dan
hedonisme,
serta
menjurus
kepada
pembentukan kepribadian yang negatif.
Berangkat dari beberapa asumsi di
atas, maka penulis mencoba mengangkat
masalah tersebut dalam bentuk penelitian
ilmiah, untuk melihat dan menganalisis
strategi keluarga dalam menerapkan nilainilai agama untuk pembentukan kepribadian
anak di Kelurahan Dapu-dapura.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan umum yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis
penerapan nilai-nilai agama untuk
pembentukan kepribadian anak di
Kelurahan Dapu-dapura.
2. Untuk mengidentifikasi dan menganalisis
peran keluarga dalam mewariskan nilainilai
agama
untuk
pembentukan
kepribadian anak di kelurahan Dapudapura.
3. Untuk mengidentifikasi dan menganalisis
kendala-kendala yang dihadapi keluarga
dalam menerapkan nilai-nilai agama
untuk pembentukan kepribadian anak di
Kelurahan Dapu-dapura.
Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat
merangsang
adanya
pengembangan
penelitian-penelitian sejenis lainnya di
masa yang akan datang sehingga
ditemukan konsep-konsep baru yang
berkaitan dengan penerapan nilai-nilai
agama untuk pembentukan kepribadian
anak.
2. Secara Praktis
a. Sebagai
sumbangan
bahan
pertimbangan dan sumber data bagi

5

orang tua guna perbaikan dan
peningkatan perannya dalam upaya
pembentukan kepribadian anak.
b. Menambah wawasan dan memberi
manfaat yang besar bagi penulis
sebagai orang tua dan bagi pembaca
lainnya akan pentingnya nilai-nilai
agama
dalam
pembentukan
kepribadian anak.
II METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di
Kelurahan Dapu-dapura Kecamatan Kendari
pada bulan Januari 2015 hingga Maret 2015.
Dipilihnya lokasi ini dengan pertimbangan
dan asumsi bahwa, kondisi lingkungan yang
mudah
mengalami
perubahan
dan
perkembangan
dari
berbagai
aspek,
menyebabkan
berbagai dampak dalam
kehidupan masyarakat, bauk yang bersifat
positif maupun negatif.
Informan Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi
informan adalah individu yaitu orangtua
yang memiliki anak-anak yang sudah dewasa
dan dapat memberikan informasi tentang
bagaimana
strategi
keluarga
dalam
menerapkan
nilai-nilai
agama
untuk
pembentukan kepribadian, sejak anak-anak
mereka masih kecil hingga dewasa.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data
yang
digunakan dalam penelitian ini melalui tiga
cara yaitu :
a. Teknik Observasi
Teknik observasi dilakukan pada
awal penjajakan atau pengumpulan
informasi mengenai
keadaan lokasi
penelitian,
sampai
melakukan
pengamatan terhadap aktivitas keluarga
sehari-hari.
b. Teknik Wawancara
Wawancara yaitu dialog yang
dilakukan oleh pewawancara
untuk
memperoleh
informasi
dari
terwawancara. Interview yang digunakan
adalah interview terpimpin di mana

pewawancara
terlebih
dahulu
menggunakan kuisioner yang akan
diajukan kepada informan (interview
guide), tetapi penyampaian pertanyaan
bisa secara bebas (Dudung, 2000:63).
c. Teknik Dokumentasi
Penelaahan dokumen tertulis
(studi kepustakaan), diperoleh data
melalui penelusuran literatur melalui
berbagai macam sumber, seperti buku,
majalah, jurnal ilmiah, maupun hasil
penelitian yang dianggap relevan.
Teknik Analisis Data
Teknis analisis data dalam penelitian
ini menggunakan model analisis interaktif
(Miles dan Huberman 1984 ; 15-21),
1. Reduksi Data
Dari lokasi penelitian, data
lapangan dituangkan dalam uraian
laporan yang lengkap dan terinci. Data
dan
laporan
lapangan
kemudian
direduksi, dirangkum, dan kemudian
dipilah-pilah hal yang pokok, difokuskan
untuk dipilih yang terpenting kemudian
dicari tema atau polanya (melalui proses
penyuntingan, pemberian kode dan
pentabelan).
2. Penyajian Data
Penyajian data (display data)
dimasudkan agar lebih mempermudah
bagi peneliti untuk dapat melihat
gambaran secara keseluruhan atau
bagianbagian
tertentu
dari
data
penelitian.
3. Penarikan Kesimpulan / Verifikasi
Pada
penelitian
kualitatif,
verifikasi data dilakukan secara terus
menerus sepanjang proses penelitian
dilakukan. Sejak pertama memasuki
lapangan
dan
selama
proses
pengumpulan data, peneliti berusaha
untuk menganalisis dan mencari makna
dari data yang dikumpulkan, yaitu
mencari pola tema, hubungan persamaan,
hipotetsis dan selanjutnya dituangkan
dalam bentuk kesimpulan yang masih
bersifat tentatif.
Ketiga komponen berinteraksi
sampai didapat suatu kesimpulan yang
benar. Dan ternyata kesimpulannya tidak

6

memadai, maka perlu diadakan pengujian
ulang, yaitu dengan cara mencari
beberapa data lagi di lapangan, dicoba
untuk diinterpretasikan dengan fokus
yang lebih ter arah. Dengan begitu,
analisis data tersebut merupakan proses
interaksi antara ke tiga komponan
analisis dengan pengumpulan data, dan
merupakan suatu proses siklus sampai
dengan aktivitas penelitian selesai.
III Hasil dan Pembahasan
Pembahasan
1. Strategi Keluarga Dalam Menerapkan
Nilai-nilai Agama Untuk Pembentukan
Kepribadian Anak.
Meningkatnya fenomena anak yang
berkepribadian buruk saat ini, sangat
mencemaskan keluarga dan masyarakat.
Namun kita harus selalu optimis, jangan
menyerah dalam melakukan pendidikan
terhadap anak, karena banyak cara yang bisa
ditempuh agar anak kelak memiliki
kepribadian yang baik. Untuk mengatasi
berbagai masalah di atas, perlu dikaji
kembali pola pendidikan yang selama ini
dilakukan oleh keluarga. Pola pendidikan
yang cenderung bertujuan memenuhi ambisiambisi kekuasaan dan pencerdasan otak
tanpa diimbangi pembentukan karakter dan
kepribadian manusia, tampaknya bukan
hanya tidak cocok bagi umat manusia,
melainkan justru menjerumuskan mereka
pada kepribadian yang materialisme.
Selayaknya pendidikan dimulai dari
lingkungan keluarga, terlebih lagi pendidikan
akhlak anak (sosialisasi nilai-nilai). Pola
pendidikan dalam keluarga harus dilakukan
setiap waktu, tanpa mengenal adanya waktu
yang terbuang dengan percuma tanpa adanya
pendidikan orang tua. Orang tua harus
memastikan bahwa setiap tingkah lakunya
adalah sebuah proses pendidikan (sosialisasi)
yang akan diserap oleh anak, baik atau
buruknya kepribadian anak tergantung dari
pola asuhnya. Dengan demikian, sosialisasi
akan menghasilkan pribadi-pribadi luhur
demi masa depan umat manusia yang lebih
baik.

a. Strategi
Dalam
Menentukan
Tindakan-Tindakan
Preventif
Keluarga Dalam Proses Nilai-Nilai
Agama Pada Anak.
Strategi yang paling mendasar
dalam proses sosialisasi pada anak adalah
dengan melakukan tindakan-tindakan
preventif. Penentuan tindakan preventif
akan memberikan landasan yang kuat
bagi anak untuk menghindari pengaruh
negatif dari berbagai aspek. Berikut ini
terdapat beberapa tindakan preventif
yang digunakan oleh keluarga dalam
upaya mendidik nak-anaknya.
1. Mengajarkan Kepada Anak Tentang
Penguasaan Diri
2. Melaksanakan Kewajiban Sebagai
Orang Tua Untuk Memenuhi HakHak Anak
3. Mendidik Anak Dengan Kasih
Sayang
4. Menanamkan Nilai Agama Sejak Dini
5. Menghindari Anak dari Pengaruh
Negatif
6. Upaya
Bila
Anak
Terlanjur
Bermasalah
a. Sabar dan Optimis.
Pijakan awal yang harus
dipegang oleh orang tua adalah
bersikap sabar dan optimis. Orang tua
harus menahan diri agar tidak
mencela dan menjauhi anaknya.
Orang tua harus tetap bertahan dalam
keadaan tersebut dan tidak putus asa
untuk melakukan usaha untuk
mengubah sikap anaknya.
b.
Menegakkan Kembali Fungsi
Keluarga
Hal ini harus menjadi perhatian
penuh mengingat kehidupan modern
bisa
berpotensi
menghilangkan
fungsi-fungsi keluarga. Orang tua
harus mengintropeksi diri apakah
fungsi keluarga sudah berjalan secara
baik atau belum, jika belum maka ia
harus segera menjalankan fungsifungsinya.
c. Memberi Teladan
Tunjukkan bahwa kita adalah
orang tua yang patut menjadi cermin
bagi anak-anaknya. Apabila orang tua

7

menghrapan anak-nak tidak larut
dalam perilaku buruk, maka orang tua
harus memberi contoh rill bahwa
mereka adalah orang yang memiliki
perilaku yang mulia.
d. Adil dalam mendidik
Orang tua harus mencabut
perilaku tidak adil pada anakanaknya. Mengubah sikap menjadi
adil pada semua anak-anaknya, tanpa
membeda-bedakan anak dari sudut
kemampuannya, tentu merupakan
jalan yang terbaik agar anak-anak
kembali merasakan cinta kasih dari
orang tuanya.
e. Perbaiki pola hubungan dengan
anak
Hal paling mendasar dalam
hubungan orang tua dan anak adalah
komunikasi, modal dasarnya adalah
berempati dengan remaja, hindarilah
ucapan yang bernada menggurui,
menyalahkan, dan ucapan-ucapan lain
yang mengandung pemaksaan.
f.
Memberitahu balasan yang
diberikan Allah
Langkah ini bisa dilakukan jika
tingkah laku anak sulit diperbaiki.
Memberi tahu akibat buruk dari
perilaku yang menyimpang, dan janji
manis dari perilaku yang mulia. Hal
ini penting dilakukan, akan tetapi hal
ini hendaknya tidak dilakukan secara
frontal kepada anak, sampaikan
dalam bentuk cerita ringan disela-sela
interaksi antara anak dan orang
tuanya.
g. Berdo’a dan tawakkal
Do’a orang tua yang dipanjatkan
secara khususdan mengharap penuh
pada Allah agar anaknya berubah
menjadi anak yang berperilaku baik,
hal ini sangat penting, karena doa
orang tua untuk anaknya sangat
mungkin dikabulkan oleh Allah SWT.
Selain itu, tawakal tau memasrahkan
semua hasil mendidik, membimbing,
dan mendoakan anak kepada Allah
SWT.

b. Strategi Keluarga dalam Menentukan
Pola-Pola Sosialisasi Nilai-Nilai Agama
pada Anak
Keluarga dalam melaksanakan fungsi
sosialisasinya, dapat memilih dan
menggunakan pola sosialisasi atau gaya
mendidiknya. Terdapat beberapa pola
sosialisasi yang berbeda-beda yang
dijumpai pada setiap keluarga. Pola-pola
sosialisasi antara lain dibagi menjadi tiga
pola, yaitu: sosialisasi otoriter atau
represif,
sosialisasi
permisif
atau
pemberian
kebebasan
penuh,
dan
sosialisasi partisipatoris atau demokratis.
1. Menghindari
Pemberian
Pola
Sosialisasi Represif (Otoriter)
Orang tua memiliki pola
tersendiri dalam menjalin hubungan
dengan anak-anaknya. Salah satunya
adalah pola otoriter. Otoriter atau
authoritarian alias penguasa mutlak
masih sering dipilih para orang tua
disekitar kita dalam mendidik anakanaknya.
Orang tua yang otoriter
biasanya beralasan bahwa tindakan
otoriter
tersebut
adalah
demi
kebaikan anaknya atau agar ia patuh
kepadanya. Padahal, secara tidak
sadar ia telah memaksakan mereka
dengan ego mereka kepada anakanaknya. Anak tidak dipandang
sebagai individu yang merdeka yang
memiliki pikiran dan kecendrungan
yang unik dan berbeda dengan orang
tuanya. Sehubungan dengan pola
pendidikan yang otoriter ini dapat
dilihat pada pola atau gaya ini
diterapkan oleh para informan dalam
mendidik anak-anaknya.
Berdasarkan hasil wawancara
tersebut, kami simpulkan bahwa
sebagian besar informan tidak
menggunakan perilaku represif atau
terlampau
otoriter
dalam
mensosialisasikan nilai-nilai agama
pada anak. Hal ini disebabkan karena
para informan tersebut mempunyai
banyak informasi tentang akibat dari
penerapan pola ini. Berdasarkan hasil
observasi,
umumnya
informan

8

memiliki pendidikan yang cukup baik
dan
memiliki
wawasan
serta
pergaulan yang cukup luas tentang
dampak
dari
pemberian
pola
pendidikan
tertentu
terhadap
perkembangan kepribadian anak.
Orang tua yang otoriter
biasanya cenderung kaku, ia selalu
ingin anaknya mentaati keinginannya
dan melakukan perbuatan yang sesuai
dengan keinginannya, entah anak
suka atau tidak dengan keinginan
tersebut. Setiap kali ingin melakukan
sesuatu, orang tua yang otoriter
cenderung
mengatakan
“tidak”
daripada “ya”. Kondisi demikian
menurut istilah Freire (2002:19)
disebut
dehumanization
(penidakmanusiaan), lawan dari
humanization
(pemanusiaan)
sehingga anak tampak seperti robot
atau boneka bagi orang tuanya. Orang
tua
memerintah,
anak
harus
melaksanakan, dan orang tua
mengatur, anak diatur. Singkatnya
orang tua sebagai subyek, sedangkan
anak sebagai obyek. Dehuminisasi
terjadi pada anak dan orang tua
sekaligus, dengan dehumanisasi
orang tua menyalahi kodratnya
sebagai pendidik dan pengasuh yang
seharusnya memenusiakan anknya,
sedangkan anaknya menjadi tidak
manusiawi karena hak-hak asasi
mereka dinistakan.
2. Menghindari
Pemberian
Pola
Sosialisasi Permisif (Membebaskan)
Pola sosialisasi permisif adalah
kebalikan dari pola sosialisasi
otoriter,
jika
otoriter
adalah
penggunaan kekuasaan secara mutlak
maka permisif berarti tidak ada
penggunaan kekuasaan secara berarti,
bahkan member kebebasan seluasluasnya pada anak. Orang tua yang
permisif tidak memberikan pedoman
dan prinsip hidup kepada anakanaknya. Anak dibiarkan berperilaku
sesuai keinginannya tanpa control dan
hukuman. Gaya permisif yang
digunakan orang tua biasanya

didorong
oleh
faktor-faktor.
Keputusasaan orang tua dalam
mengubah perilku anak, takut
kehilngan cinta dari anaknya,
lemahnya tekad dan kemampuan
orang tua, ketidakkompakan ayah dan
ibu dalam memilih pola sosialisasi,
tidak
tega
melihat
anaknya
mengalami kekurangan dalam hal
materi, orang tua sibuk dengan
pekerjaam dan tuntutan karir.
Mengenai pola sosialisasi
permisif ini, para informan umumnya
tidak menerapkan dalam mendidik
anak-anak,
karena
dengan
memberikan kebebasan penuh dan
memanjak
anak
kelak
akan
menyusahkan dan membebani orang
tua. Berdasarkan Hasil wawancara
dari beberapa informan, menunjukkan
bahwa pada umumnya mereka
menghindari sifat permisif ini, karena
mereka menyadari akibat yang sangat
fatal jika memberikan kebebasan
penuh dan memanjakkan anak secara
belebihan. Dari hasil observasipun
Nampak bahwa para informan ini
sangat
memperhatikan
masalah
pendidikan dan kedisiplinan anak,
Nampak anak-anak meskipun sudah
dewasa
selalu
memperlihatkan
kehidupan yang teratur, hal ini
terbukti anak-anak mereka umumnya
dapat menyelesaikan pendidikannya
sampai pada jenjang yang tinggi.
Berdasarkan hasil pengamatan
penulis di rumah para informan,
setiap anggota keluarga memiliki
berbagai
tugas
masing-masing
dirumah yang harus dilakukn sesuai
dengan kemampuan masing-masing.
Anak-anak para informan tidak
dimanjakan oleh orang tua mereka,
hal ini terbukti bahwa setiap anak
terlihat melaksanakan tugas mereka
dengan baik, seperti menyapu dan
halaman,
membantu
mengurus
tanaman, mencuci kendaraan yang
mereka miliki, atau membantu dari
tugas-tugas lain dari orang tua.
Penampilan para informan dan anak-

9

anaknya juga terlihat sederhana dan
bersahaja,
tanpa
menggunakan
barang-barang yang mewah dan
berlebihn.
3. Pemberian
Pola
Sosialisasi
Partisipatori (Demokratis)
Pola Pengasuhan partisipatori
atau demokrasi yang diterapkan orang
tua dalam anaknya adalah pola yang
paling ideal diterapkan pada masa
sekarang ini. Pola ini didasarkan atas
orang tua melibatkan anak untuk
berpartisipasi dalam menentukan
kegiatan-kegiatan dalam keluarga.
Orang tua yang menerapkan
pola demokratis dalam mendidik
anak-anaknya,
lebih
banyak
melakukan diskusi dan memberikan
penjelasan dan alasan-alasan yang
membantu anak agar mengerti
mengapa ia diminta melakukan suatu
aturan.
Sebagian besar informan
dalam penelitian ini menerapkan pola
hubungan dalam mendidik anaknya
dalam pola demokratis tersebut.
Umumnya
mereka
beranggapan
bahwa pola otoriter apalagi pola
permisif
mempunyai
banyak
kelemahan dan tidak sesuai lagi
diterapkan secara utuh pada anakanak zaman sekarang ini.
Berdasarkan hasil wawancara
tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa sebagian besar informan
menggunakan pola sosilisasi yang
partisaporis
(demokratis)
dalam
mendidik anak, karena pola ini
didasarkan merupakan pola hubungan
yang paling sesuai dan bermanfat
disbanding pola sosialisasi yang lain.
Pola demokrasi lebih mengutamakan
adanya kebersamaan antara seluruh
anggota keluarga. Agaknya kunci
yang pokok adalah hubungan yang
akrab antara orang tua dengan anakanaknya, apalagi bagi anak yang
menginjak usia remaja. Tekanan yang
terlalu kuat pada spritualisme akan
mengakibatkan anak sulit untuk
mempelajari dan memahami realita

kehidaupan
sehari-hari.
Kalau
tekanannya terlampau kuat dengan
kebendaan, maka anak tidak akan
dapat menghargai hasil-hasil yang
dicapai dengan jerih payah, dia tidak
mengenal artinya bekerja keras untuk
mencapai sesuatu secara jujur.
c. Strategi Keluarga Dalam Menentukan
Metode Untuk Menerapkan Nilai-Nilai
Agama Pada Anak
Berbeda dengan motivasi internal,
motivasi eksternal berasal dari luar, misalnya
pujian dan janji (memberi sesuatu) atau
ancaman yang berasal dari orang lain.
Motivasi eksternal berlaku sementara atau
mudah hilang. Tujuannya agar anak
melakukan sesuatu secara suka rela,
maksimal, tidak terpaksa, sebagaimana
diharapkan orang tua. Jadi, tidak ada
salahnya memotivasi anak dengan pujian
atau janji memberi hadiah-hadiah lain yang
bersifat simbolis dan mendidik setelah anak
melakukan kegiatan yang diinginkan orang
tua. Pemberian janji dan ancaman dalam
batas-batas tertentu memang wajar, namun
demikian hal ini bukan berarti orang tua
bebas memberikan hadiah agar anaknya
berkelakuan baik.
Selain itu cara memberi motivasi
kepada anak untuk mengerjakan sesuatu atau
menghindari sesuatu adalah dengan metode
pemberian nasehat-nasehat atau ceramahceramah yang berguna bagi pengembangan
kepribadian. Juga yang sangat penting dari
semua metode untuk memotivasi anak agar
berkepribadian
mulia
adalah
dengan
memperlihatkan
keteladanan
yang
dicontohkan oleh orang tua. Berikut ini akan
dijelaskan tentang strategi penggunaan
metode atau cara kerja yang diterapkan bagi
informan penelitian untuk memberikan
motivasi pada anak-anak agar mengikuti
harapan orang tuanya:
1. Menggunakan
Metode
Ganjaran
(Hadiah) dan Hukuman
Kebanyakan
orang
tua
menganggap
memberi
hukuman
merupakan tindakan korektif yang efektif
terhadap perilaku yang tidak dikehendaki

10

pada anak-anaknya. Namun harus
dipahami,
dibandingkan
dengan
hukuman, memberi imbalan (penguatan
positif) akan jauh lebih efektif dalam
membangun pola perilaku baru. Efek
hukuman sifatnya menekan, sehingga
hukuman selalu harus diberikan dengan
cara yang memiliki makna bagi anakanak. Supaya hukuman efektif, penting
sekali bagi anak untuk mengetahui
dengan
jelas
hubungan
antara
perbuatannya dengan hukuman yang ia
terima. Hukuman akan sangat kurang
efektif kalau dilaksanakan lama setelah
perbuatan tercela dilakukan, hukuman
yang tertunda akan mengaburkan
tujuannya, setidaknya bagi anak-anak
yang masih kecil.
Memberikan penjelasan dan
alasan mengapa anak diberikan ganjaran
atau dihukum, akan meningkatkan
efektifitas ganjaran dan hukuman itu,
karena alasan dan penjelasan mempunyai
peranan yang sangat penting dalam
mengembangkan pengendalian diri di
kalangan anak-anak utamanya anak yang
lebih
besar.
Penggunaan
metode
sosialisasi berupa ganjaran (pemberian
hadiah) dan hukuman juga diterapkan
oleh para informan dalam penelitian ini.
Menyimak hasil wawancara
dari beberapa informan, maka dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar
informan menggunakan metode ganjaran
dan hukuman sesuai dengan kondisi dan
perilaku anak. Untuk perilaku anak yang
positif biasanya diberikan motivasi yang
positif pula, akan tetapi sebaliknya jika
anak berperilaku negatif, maka orang tua
pada umumnya memberi hukuman yang
menyadarkan kesalahan yang telah dibuat
oleh anak, tetapi umumnya mereka
menghindari hukuman yang menyakiti
anak. Hukuman dari orang tua yang
selalu
mempraktekkan
apa
yang
dinasihatkan, biasanya lebih efektif dari
pada orang tua yang tidak memberi
keteladanan.
2.

Menggunakan Metode Didactic
Teaching (Ceramah/Nasehat)

Selain metode tersebut di atas,
metode didactic teaching juga digunakan
dalam proses sosialisasi nilai-nilai sosial
agama. Dengan metode ini kepada anak
diajarkan berbagai macam pengetahuan
dan pembentukan kepribadian melalui
pemberian
informasi,
ceramah,
penjelasan, dan nasihat. Metode ini
digunakan dalam mendidik anak dalam
keluarga, agar anak bisa memahami suatu
perilaku yang patut atau tidak patut
dilakukan, melalui media komunikasi
dengan orang tuanya.
Mengenai pola hubungan anak
dengan orang tuanya melalui metode
komunikasi secara langsung seperti
pemberian
informasi,
penjelasan
ceramah, atau nasihat dari orang tua,
maka pada umumnya para informan juga
menjelaskan bahwa metode ini juga
merupakan cara yang efektif dan penting
dilakukan dalam mendidik anak-anaknya.
Berdasarkan hasil wawancara
dari
beberapa
informan,
dapat
disimpulkan bahwa metode dengan
memberikn penjelasan, ceramah, nasihat,
dan sebagainya, merupakan metode yang
digunakan
oleh
informan
dalam
penelitian ini, karena mereka merasakan
perlunya pemberian motivasi kepada
anak melalui komunikasi verbal ini,
disamping itu anak juga membutuhkan
perhatian seperti iyu untuk memperluas
perhatian mereka tentang hal-hal yang
positif
ataupun
negatif
dalam
kehidupannya.
Penggunaan metode Didactic
Teaching ini memberikan banyak
manfaat bagi perkembangan kepribadian
anak, akan tetapi dalam penggunaannya
hendaknya dihihindari beberapa hal
berikut iniagar tidak memberikan
dampak yang tidak diinginkan oleh
orang tua ( Arifuddin, 2009:102 ), antara
lain:
1. Komunikasi
satu
arah,
yaitu
komunikasi yang dilakukan orang
tua tanpa meminta tanggapan dari
anak, hal ini biasanya terjadi ketika
orang
tua
menasihati
dan
memerintahkan sesuatu, sehingga

11

dalam berbicara tampak bahwa orang
tua tidak mau memahami kondisi
anak.
2. Memerintah
tanpa
memberi
penjelasan, yaitu percakapan orang
tua sering diwarnai oleh kata-kata
yang bernada perintah.
3. Menghina dengan perkataan dan
tertawaan, yaitu; penghinaan atau
pelecehan bisa terjadi oleh kata-kata
atau tawa yang menyakitkan.
4. Selalu mengancam, yaitu : intimidasi
atau gertakan agar anak yang
digertak takut dan menurut, akibat
yang ditimbulkan oleh ancaman
tersebut sangat buruk bagi anakanak.
3. Menggunakan
Metode Pemberian
Contoh
Keteladanan
itu
lebih
utama,
mendidik anak akan lebih berhasil
dengan memberi teladan, dari pada
menasihati atau menyuruh meskipun
dengan halus, lebih-lebih dengan
kekerasan. Karena itu, berilah teladan
yang baik terhadap keluarga, lakukanlah
kebaikan-kebaikan sebelum menyuruh
orang lain terutama anak untuk berbuat
kebaikan.
Mengenai pentingnya orang
tua memberikan keteladan yang baik
pada anak-anaknya, dapat diketahui dari
pendapat para informan yang umumnya
menyatakan bahwa menunjukkan contoh
teladan adalah metode yang paling tepat
dan efektif dalam mendidik anakanaknya untuk menjadi pribadi yang
berakhlak mulia.
Berdasarkan informasi dari
para informan, kita bisa menyimpulkan
bahwa
metode
mendidik
dengan
memberikan keteladanan kepada anak
merupakan metode yang paling penting
dibanding metode yang lain misalnya
memberi nasihat atau ganjaran dan
hukuman kepada anak Hal ini bukan
berarti kedua metode yang disebutkan
terakhir tidak penting, melainkan seluruh
metode mendidik itu perlu diterapkan
karena memiliki kunggulan tersendiri

sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya. Akan tetapi tanpa adanya
metode ontoh teladan maka metode
mendidik yang lainnya tidak akan efektif
menghasilkan anak yang berkepribadian
baik.
2. Peran Keluarga Dalam Mewariskan
Nilai-nilai Agama
Salah satu fungsi keluarga atau
orang tua yang penting adalah sebagai
seorang
pendidik,
yang
dapat
menanamkan nilai-nilai agama (akhlak)
melalui contoh yang baik atau
keteladanan
untuk
anak-anaknya.
Menanamkan kecerdasan agama kepada
anak jauh lebih sulit daripada kecerdasan
intelegensinya.
Orang
tua
dapat
menanamkan nilai-nilai agama kepada
anak melalui berbagai cara dengan
terlebih dahulu menyepakati nilai-nilai
agama yang akan dikembangkan.
Beragam nilai-nilai agama yang
diajarkan oleh orang tua kepada anaknya,
juga disosialisasikan
oleh
semua
informan kepada anaknya,
a. Menanamkan Nilai Keimanan dan

Ketaqwaaan.
iman adalah mempercayai
adanya Allah, Tuhan Yang Maha
Kuasa,
Iman
adalah
fondasi
keagamaan
seseorang,
tanpa
keimanan seseorang tidak akan
menjalankan segala ajaran agmanya.
Sedangkan
ketaqwaan
adalah
mengamalkan
segala
yang
diperintahkan dan menghindari segala
yang dilarang oleh Tuhan. Belum
sempurna keimanan seseorang bila
tidak disertai dengan ketaqwaan.
Menanamkan nilai keimanan dan
ketaqwaan kepada anak, berhubungan
dengan kemampuan orang tua dalam
memberikan nilai-nilai keagamaan
agar dapat menjalankan ajaran agama
dengan penuh kesadaran. Dalam
menerapkan nilai keimanan dan
ketaqwaan kepada anak, sebaiknya
dilakukan orang tua dengan cara
memberikan contoh.

12

b. Mengajarkan Nilai Sopan Santun
Menanamkan nilai sopan santun
dapat diawali orang tua dengan cara,
antara lain: mengucapkan salam
ketika akan masuk rumah; berpamitan
saat akan keluar rumah; bersikap
sopan dalam pergaulan dan saat
berkomunikasi
dengan
anggota
keluarga; tidak berkata yang tidak
sopan atau melecehkan lawan jenis;
bila meminta bantuan sebaiknya tidak
dengan
memperlihatkan
sikap
memerintah; ajarkan pada anak agar
meminta izin/mengetuk pintu terlebih
dahulu saat akan masuk kamar orang
lain; mengingatkan anak untuk
menghargai aturan-aturan atau nilai
budaya lain, dan sebagainya.
Beragam jenis nilai-nilai
agama yang diajarkan oleh orang tua
kepada anaknya,juga disosialisasikan
oleh
semua
informan
kepada
anaknya.
Berdasarkan hasil wawancara
tersebut di atas yang pada umumnya
senada dengan seluruh informan
dalam penelitian ini, maka dapat
didefinisikan
bahwa
terdapat
beberapa nilai moral yang dapat
dijadikan fokus pendidikan karakter
atau kepribadian, antara lain: nilainilai agama.
c. Mengajarkan Nilai Kejujuran
Kejujuran merupakan nilai
yang harus diaktualisasikan dalam
segala hal, oleh siapa saja dan dimana
saja. Kejujuran perlu ditanamkan oleh
orang tua terhadap anak-anaknya,
baik dalam keluarga maupun di
masyarakat. Hilangnya kejujuran
akan menimbulkan saling curiga
sehingga akan membuat hidup tidak
tenteram.
Menanamkan
nilai
kejujuran dalam keluarga, berkaitan
dengan kemampuan orang tua dan
anak untuk mengatakan yang
sebenarnya
yang
terjadi
dan
mendorong
orang
lain
untuk
membuat hal serupa. Selain dengan

memberikan teladan, orang tua dapat
menerapkan sifat jujur terhadap anakanak dengan tidak mencurigai
kejujuran salah seorang anak.
d. Mengajarkan Nilai Kerajinan
Ciri orang yang rajin adalah
selalu dengan melaksanakan tugas
dengan baik dan benar, menyediakan
waktu untuk menyelesaikan tugas,
dan
bertanggungjawab
terhadap
pekerjaan. Kewajiban orang tua untuk
senantiasa
memotivasi
atau
memperhatikan kecendrungan sikap
dan perilaku anaknya, apakah
termasuk anak yang pemalas atau
rajin. Selain dengan memberikan
teladan untuk menerapkan nilai ini,
orang tua dapat mengajak anakanaknya untuk melaksanakan tugas
bersama-sama (sebelum atau setelah
sekolah), dan mengkoreksi hasil dari
tugas yang dikerjakan oleh anak..
e. Mengajarkan Nilai Disiplin
Disiplin adalah suatu sikap
yang selalu menepati waktu dan
mematuhi
aturan
yang
telah
disepakati. Disiplin merupakan sikap
yang harus tertanam dalam peribadi
setiap orang. Setiap anggota keluarga
sebaiknya menjadi orang yang
disiplin, karena dengan disiplin
semua hal menjadi tertib danlancar.
Orang tua seyogyanya menerapkan
nilai disiplin yang dimulai dari
keluarga, dengan penekanan yang
sama kepada seluruh anggota
keluarga.
Hindari
memberikan
toleransi kepad anak yang tidak
mematuhi aturan karena anak tersebut
perlu mendapat perhatian lebih.
f. Mengajarkan Nilai Kesabaran
Penanaman nilai kesabaran
dalam kehidupan keluarga berkenaan
dengan kemampuan orang tua dan
anak dalam menahan diri/bersikap
tenang ketika menginginkan sesuatu
dan ketika menghadapi kesulitan,
tidak cepat puas, dan tidak mudah
marah. Berikut ini adalah contohcontoh perilaku orang tua dalam

13

menanamkan nilai kesabaran kepada
anak, yaitu: menyadarkan agar
bersikap tenang dan tidak tergesagesa pada saat melakukan sesuatu;
Tidak selalu menekankan bahwa anak
perempuan yang harus lebihah sabar;
Saat anak menginginkan sesuatu,
selalu menekankan untuk bersabar
(karena orang sabar disayang Tuhan);
Memberi contoh cara bersabar
dengan tidak gampang meluapkan
sikap amarah, dan tidak bertindak
gegabah
ketika
diejek
orang;
Menginginkan
untuk
tidak
melaksanakan pekerjaan secara asalasalan, dan tidak berprinsip yang
penting
selesai;
menanamkan
pentingnya bersabar agar tidak
menuruti hawa nafsu untuk berbuat
amoral; Mengajak anak untuk tidak
emosional
dalam
menghadapi
kesulitan; Menunjukkan kesediaan
untuk memaafkan kesalahan atau
kekhilafan
anak
sertaanggota
keluarga lainnya, sehingga anak dapat
mencontohnya.

dipengaruhi oleh faktor-faktor
dari dalam setiap individu seperti
pembawaan, minat, konstitusi
tubuh, dan cenderung bersifat
stabil. Selain itu, bahwa dalam
setiap individu terdapat beberapa
sifat yang saling berhubungan
satu sama lain dan kesemuanya
merupakan pola tingkah laku
yang menentukan bagaimana
watak atau karakter seseorang.
Mengenai kendala-kendala yang
dihadapi orang tua dalam
mendidik anak yang berasal dari
faktor internal anak seperti sifat
bawaan.
Berdasarkan
penuturan
para informan, maka disimpulkan
bahwa terdapat tantangan atau
hambatan dalam mendidik anak,
yang
disebabkan
sifat
kecendrungan pembawaan anak
yang berbeda-beda dengan sifat
anak-anak lainnya meskipun
mereka lahir dari lingkungan
yang sama

3. Kendala-kendala
Yang
Dihadapi
Keluarga Dalam Menerapkan NilaiNilai Agama Untuk Pembentukan
Kepribadian Anak.
a. Kendala-Kendala Yang Berasal
dari Faktor Internal Anak
1. Sifat Bawaan Dari Anak
Manusia
pada
kenyataannya sangat beragam,
antara manusia yang satu
mempunyai perbedaan dengan
yang lainnya, baik dalam hal
berfikir,
bertingkah
laku,
bersikap, perasaan, maupun
gerik-geriknya.
Keragaman
tersebut dapat dilihat pada
perbedaan dua anak bersaudara
dalam sebuah keluarga. Menurut
sebagian psikolog, hal demikian
dapat terjadi karena disebabkan
oleh dua faktor pokok, yaitu
faktor pembawaan dan faktor
lingkungan.
Sifat merupakan cirri-ciri
tingkah laku yang banyak

2. Tempramen/watak
Salah satu faktor internal
penyebab perbedaan manusia
adalah
yang
menyangkut
temperamen, yaitu sifat-sifat jiwa
yang erat hebungannya dengan
konstitusi tubuh. Yang dimaksud
dengan konstitusi tubuh adalah
keadaan jasmani seseorang yang
terlihat dalam hal-hal yang khas
baginya, seperti keadaan darah
pekerjaan kelenjar, pencernaan,
pusat syaraf, dan lain-lain. Dalam
tubuh
seseorang
terdapat
beberapa cairan yang mempunyai
pengaruh atau kekuatan yang
dapat member dasar sifat-sifat
seseorang yang dibawa sejak
lahir. Jadi,cairan yang ada
didalam tubuh seseorang itu
sifatnya relatif konstan. Oleh
karena itu temperamen sukar
diubah,
dan
tidak
dapat
dipengaruhi oleh kemauan atau

14

kata
hati
orang
yang
bersangkutan. (Purwanto dalam
Baharuddin,2007:92).
b. Kendala-kendala Yang Berasal
Dari Faktor Eksternal
1. Kendala-Kendala Dari Teman
Sepergaulan
Salah satu kendala atau
tantangan yang dihadapi oleh
orang tua dalam mendidik anak
adalah besarnya pengaruh negatif
yang dibawa oleh teman-teman
sepergaulan anak, khususnya
ketika anak mulai beranjak
remaja.
Berdasarkan
uraian
pengalaman beberapa informan,
dapat diketahui bahwa salah satu
tantangan atau hambatan dalam
memberikan sosialisasi pada
anak, adalah ketika anak mulai
memiliki teman sepergaulan yang
condong mengajak anak untuk
menentang orang tua. Pengaruh
teman sepergaulan anak mulai
nampak ketika anak berusia
remaja..
2. Kendala-Kendala Dari Pengaruh
Perubahan Lingkungan Sosial dan
Media
Massa
(Pengaruh
Globalisasi)
Kehidupan keluarga yang
merupakan
bagian
dari
masyarakat tidak terlepas dari
“serangan”
budaya
global
melalui media-media ini. Gaya
hidup, relasi-relasi terlebih pola
piker masyarakat yang juga
anggota keluarga sedikit-demi
sedikit akan berubah mengikuti
aneka kebudayaan yang masuk.
Inilah yang menjadi tantangan
kehidupan keluarga di era
globalisasi ini.
Berdasarkan
penuturan
beberapa informan, maka dapat
disimpulkan
bahwa
pada
umumnya informan penelitian
menyadari
tentang
dampak
positif dan dampak negatif yang

ditimbulkn
oleh
pengaruh
globalisasi khususnya kemajuan
teknologi dan media masa
terhadap
perkembangan
kepribadian
anak.
Untuk
mencegah dampak negatifnya,
maka sejak awal mereka sudah
mengantisipasi
kmungkinan
tersebut.
IV PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan mengenai strategi keluarga
dalam menerapkan nilai-nilai agama untuk
pembentukan kepribadian anak, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Strategi keluarga dalam menerapkan
nilai-nilai agama untuk pembentukan
kepribadian anak yang baik, adalah
dengan cara : menentukan dan memilih
tindakan-tindakan preventif, menentukan
dan memilih pola-pola nilai-nilai agama
pada anak, dan strategi keluarga dalam
menentukan dan memilih metode untuk
menerapkan
nilai-nilai
agama.
Keseluruhan strategi yang dilakukan oleh
keluarga dalam menerapkan nilai-nilai
agama, saling berhubungan satu sama
lain dan bersifat komplementer, sehingga
keseluruhan strategi ini mutlak dilakukan
untuk bisa mengembangkan kepribadian
anak yang baik.
2. Peran Keluarga dalam mewariskan nilainilai
agama
untuk
pembentukan
kepribadian anak adalah antara lain
dengan megajarkan nilai sopan santun,
nilai kepedulian, mengajarkan nilai suka
menolong,
mengajarkan
nilai
bertanggung jawab, nilai,nilai kesabaran,
nilai keimanan dan ketakwaan dalam
menjalankan
syariat
agama
dan
sebagainya.
3. Kendala-kendala atau tantangan yang
dihadapi keluarga dalam menerapkan
nilai-nilai agama untuk pembentukan
kepribadian anak, yaitu: yang berasal dari
fakor internal ini biasa disebut juga
individualitas yang banyak dipengaruhi
setiap individu seperti pembawaan,
minat, dan cenderung bersifat stabil.

15

Selain itu, setiap individu terdapat
beberapa sifat yang saling berhubungan
satu sama lain kesemuanya merupakan
pola tingkah laku yang menentukan
bagaimana
watak
atau
karakter
seseorang;
kendala-kendala
dari
pengaruh teman sepergaulan anak,
besarnya pengaruh negatif yang dibawa
oleh teman-teman sepergaulan anak;
kendala-kendala dari media massa dan
media elektronik (globalisasi), timbulnya
gejala-gejala distorsi moral yang
diakibatkan oleh serangan budaya global
melalui media massa dan media
elektronik. Keseluruhan kendala ini
merupakan tantangan yang harus diatasi
oleh keluarga.
Saran
Berdasarkan
temuan
hasil
penelitian
sebagaimana telah disimpulkan di atas, maka
disarankan:
1. Agar anak-anak memiliki kepribadian
yang baik dan terhindar dari pengaruhpengaruh pelanggaran nilai-nilai agama
yang dapat merusak moral (akhlak)
maka penerapan nilai-nilai agama dalam
keluarga perlu diberikan kepada anak
sejak dini. Mengingat besarnya peranan
yang
dimainkan keluarga
dalam
penanaman nilai-nilai moral (agama)
terhadap anak maka perlu dilakukan
kerjasama yang baik antara pihak
lembaga keluarga, lembaga pendidikan
Formal (sekolah) dengan masyarakat.
2. Mengingat besarnya peranan orang tua
dalam penanaman nilai-nilai moral
(agama) pada anak maka pengetahuan
tentang nilai-nilai agama tidak hanya
penting diberikan kepada anak, tetapi
juga terhadap orang tua. Minimnya
pengetahuan agama pada orang tua juga
mempengaruhi kualitas kepeibadian
anak. Oleh karena itu dipandang perlu
untuk merumuskan pola-pola pembinaan
orang tua secara terencana oleh
pemerintah bekerjasama dengan pihak
sekolah.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar

dan Arsyad Ahmad, 2007,
Pendidikan Anak Dini Usia (Panduan
Praktis Bagi Ibu dan Calon Ibu).
Bandung, Alfabeta, CV.
Abdurrahman, Dudung, 2000, Pengantar
Metode Penelitian. Yogyakarta :
Galang Press
Arifuddin, 2009, Hubungan Antara Motivasi
dan Prestasi Belajar Siswa pada Mata
Pelajaran Geografi di Kelas XI IPS
SMA Negeri 2 Singaraja, Program
Pascasarjana IKIP Negeri Singaraja.
Baharuddin, 2007, Psikologi Pendidikan,
Refleksi teoritis Terhadap Fenomena,
Jogyakarta. Penerbit Ar-Ruzz Media
Group.
Barmawi, Bakir Yusuf, 1993, Pembinaan
Kehidupan Beragama Islam Pada
Anak, Semarang: Dina Utama.
Durkheim, Emile, 2005, The Elementary
Forms of The Religious Life. terj.
Inyiak Ridwan Muzir,Yogyakarta:
IRCiSod.
Freire, Paulo, 2002, Politik Pendidikan:
Kebudayaan,
Kekuasaan,
dan
Pembebasan judul asli The Politic of
Education: Culture, Power and
Liberation terj. Agung Prihantoro,
Fuad Arif Fudiyartanto, (Yogyakarta:
ReaD bekerjasama dengan Pustaka
Pelajar), Cet. IV.
Miles, M.B. dan Huberman, A.M., 1984.
Analisis Data Kualitatif. Buku
tentang
Sumber-sumber
Baru.
Terjemahan dari Qualitative Data
Analysis : A Sourcebook of New
Methods. Jakarta : UI Press
Scharf, Betty R, 1995, Kajian Sosiologi
Agama, Yogyakarta, PT Tiara
Wacana.