BAB II CORRY NUR ISTHO RINI PPKn'17

  

9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.

   Hakikat Keluarga 1. Pengertian Keluarga

  Keluarga merupakan sumber inspirasi pertama dalam melakukan contoh tingkah laku baik buruk seseorang. Secara etimologis keluarga dalam istilah Jawa terdiri dari dua kata yakni kawula dan warga. Kawula berarti abdi dan warga adalah anggota. Artinya kumpulan individu yang memilik rasa pengabdian tanpa pamrih demi kepentingan seluruh individu yang bernaung di dalamnya. Hufad (dalam Aziz, 2015 : 15) menjelaskan bahwa keluarga adalah suatu kelompok sosial yang ditandai oleh tempat tinggal bersama, kerjasama ekonomi, dan reproduksi yang dipersatukan oleh pertalian perkawinan atau adopsi yang disetujui secara sosial, yang saling berinteraksi sesuai dengan peranan-peranan sosial.

  Menurut Ahmadi (2007 : 108) menyatakan bahwa : keluarga adalah wadah yang sangat penting di antara individu dan group, dan merupakan sosial yang pertama di mana anak-anak menjadi anggotanya. Dan keluargalah sudah barang tentu yang pertama-tama pula menjadi tempat untuk mengadakan sosialisasi kehidupan anak-anak. Ibu, ayah dan saudara-saudaranya serta keluarga-keluarga yang lain adalah orang-orang yang pertama di mana anak-anak mengadakan kontak dan yang pertama pula untuk mengajar pada anak-anak itu sebagaimana dia hidup dengan orang lain. Sampai anak-anak memasuki sekolah, mereka itu menghabiskan seluruh waktunya di dalam unit keluarga.

  Menurut Sunarto (2008 : 193) menyatakan bahwa keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak- anak dan remaja. Pendidikan keluarga lebih menekankan pada aspek moral atau pembentulan kepribadian daripada pendidikan untuk menguasai ilmu pengetahuan.

  Menurut Mizal (2014 : 177) menyatakan bahwa : keluarga salah satu tri pusat pendidikan, pendidikan pertama yang dikenal anak adalah pendidikan dalam keluarga, kedua orang tuanya menjadi pendidik pertama yang ia kenal, seorang anak anak meniru setiap yang ia lihat, dengar, dan ia rasakan dari orang tuanya. Seorang anak akan mengikut setiap hal-hal yang ia dapatkan dalam lingkungan keluarga. Dalam konsep Islam, sebagaimana dikemukakan Achmad Hufad

  (dalam Aziz, 2015 : 17), menjelaskan bahwa kata keluarga dipresentasikan melalui kata ahl. Kata ini terdapat dalam al- Qur‟an degan mempunyai arti yang bermacam-macam. Misalnya dalam QS. al-Baqarah : 126, kata keluarga diartikan sebagai penduduk suatu negeri. Dalam QS. An-Nisa : 58 mengartikan keluarga sebagai orang yang berhak menerima sesuatu.

  Selebihnya kata ahl dalam al- Qur‟an ditujukkan pada arti kumpulan laki- laki dan perempuan yang diikat oleh tali pernikahan dan di dalamnya terdapat orang yang menjadi tanggungannya, seperti anak.

  Sehingga keluarga merupakan lingkungan terdekat bagi anak sejak anak dilahirkan. Di dalam keluarga anak memperoleh banyak pengalaman dan stimulus untuk tumbuh dan berkembang. Pengaruh keluarga terhadap perkembangan moral anak sangatlah besar. Dengan melihat perilaku orang dewasa di dalam lingkungan keluarga dimana anak tinggal, anak akan memperhatikan perilaku tersebut, kemudian menirunya dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian keluarga merupakan tempat yang sangat efektif untuk menginternalisasikan nilai moral kepada anak.

  Peran orang tua bagi pendidikan anak adalah memberikan dasar pendidikan, sikap, dan keterampilan dasar, seperti agama, budi pekerti, sopan santun, estetika, kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar untuk mematuhi peraturan, dan menanamkan kebiasaan-kebiasaan dalam kebaikan, dan keluarga mengajarkan nilai-nilai dan tingkah laku yang sesuai.

2. Fungsi Keluarga

  Dari sisi fungsi, setiap keluarga pada hakikatnya memiliki berbagai fungsi baik fungsi secara ekonomi, sosial, pendidikan, psikologis, hukum, reproduksi dan fungsi-fungsi lainnya. Fungsi ekonomi berarti keluarga menjadi tulang punggung memperoleh sekaligus mengelola kegiatan ekonomi secara profesional, antara penghasilan dan pengeluaran dapat tersusun dan terencana secara tepat sehingga tidak besar pasak dari pada tiang.

  Fungsi sosial adalah keluarga merupakan sarana pertama dalam proses interaksi sosial dan menjalin hubungan yang erat, baik dalam satu keluarga ataupun secara luas. Begitu pula dengan fungsi psikologi, bahwa keluaga memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan dan kematangan psikologis anggotanya, apabila orang tua menerapkan pola pengasuhan secara keras, maka anak akan mengikuti pola dan irama atas model pengasuhan tersebut sehingga terbentuklah karakter yang keras.

  Sedangkan fungsi reproduksi, tanpa adanya ikatan yang sah dalam sebuah keluarga tidak akan menghasilkan keturunan yang sah pula. Selain beberapa fungsi diatas Helmawati (dalam Aziz, 2015 : 19) juga menambahkan bahwa fungsi keluarga mencakup : pertama, fungsi agama.

  Fungsi ini dilaksanakan melalui penanaman nilai-nilai keyakinan berupa iman dan takwa. Kedua, fungsi biologis sebagai fungsi pemenuhan kebutuhan agar berlangsung hidupnya tetap terjaga.

  Ketiga, fungsi ekonomi yaitu berhubungan dengan peraturan penghasilan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan dalam rumah tangga. Keempat, fungsi kasih sayang yakni bagaimana setiap anggota keluarga harus menyayangi satu sama lain. Kelima, fungsi perlindungan yaitu setiap anggota keluarga berhak mendapatkan perlindungan dari anggota keluarga lainnya.

  Helmawati (2016 : 45-49) mengemukakan bahwa fungsi dalam keluarga yang hendaknya dilaksanakan agar tercipta keluarga bahagia yang didambakan, yang diantaranya sebagai berikut :

  1. Fungsi agama Fungsi agama dilaksanakan melalui penanaman nilai-nilai keyakinan berupa iman dan takwa. Penanaman keimanan dan ketakwaan mengajarkan kepada anggota keluarga untuk selalu menjalankan perintah Tuhan Yang Maha Esa dan menjauhi larangan-Nya.

  2. Fungsi Biologis Fungsi biologis adalah fungsi pemenuhan kebutuhan agar keberlangsungan hidupnya tetap terjaga termasuk secara fisik.

  Maksudnya pemenuhan kebutuhan yang berhubungan dengan jasmani manusia.

  3. Fungsi ekonomi Fungsi ini berhubungan dengan bagaimana peraturan penghasilan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan dalam rumah tangga.

  4. Fungsi Kasih Sayang Fungsi ini menyatakan bagaimana setiap anggota keluarga harus menyayangi satu sama lain. Suami hdendaknya mencurahkan kasih sayang kepada istrinya begitu juga sebaliknya. Dan jika telah memiliki anak maka orang tua hendaknya menunjukkan dan mencurahkan kasih sayang kepada anaknya secara tepat.

  5. Fungsi Perlindungan Setiap anggota berkeluarga berhak mendapat perlindungan dari anggota lainnya. Sebagai seorang kepala keluarga dalam keluarga, seirang ayah hendaknya melindungi istri dan anak-anaknya dari ancaman yang akan merugikan di dunia dan di akhirat.

  6. Fungsi Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk meningkatkan martabat dan peradaban manusia. Sebagai seorang pemimpin keluarga dalam keluarga, seorang kepala keluarga hendaknya memberikan bimbingan dan pendidikan bagi setiap anggota keluarganya; baik itu istri maupun anak-anaknya.

  7. Fungsi Sosialisasi Anak Selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Dalam keluarga, anak pertama kali hidup bersosialisai. Anak mulai belajar berkomunikasi dengan orang tuanya melalui pendengaran dan gerakan atau isyarat hingga anak mampu berbicara.

  8. Fungsi Rekreasi Rekreasi merupakan salah satu hiburan yang baik bagi jiwa dan pikiran. Rekreasi dapata menyegarkan pikiran, menenangkan jiwa, dan lebih mengakrabkan tali kekeluargaan. Rekreasi tidak harus ketempat yang mewah, ramai, jauh dan dapat menghabiskan banyak uang. Rekreasi bersama keluarga dapat dilakukan di tempat yang meringankan keuangan (anggaran/biaya) tetapi bermanfaat banyak.

  Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keluarga satu dengan yang lain memiliki fungsi yang berbeda, fungsi yang saling terkait antara fungsi satu dengan fungsi yang lainnya. Bahwa keterkaitan itu pada prinsipnya sebagai wahana untuk mengembangkan seluruh potensi anggotanya agar dapat menjalankan fungsi di masyarakat dengan baik serta memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera.

3. Pendidikan dalam Keluarga Pendidikan keluarga dipengaruhi oleh pola asuh orang tua.

  Pendidikan menentukan perilaku seseorang. Orang yang berpendidikan lumayan baik akan tampak pada sikap, ucapan, dan pergaulannya.

  Keluarga secara realitas merupakan lembaga pendidikan pertama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak dipersiapkan untuk mampu berbahasa, berpendapat, berkreasi, berimajinasi, hingga mampu memproduk sesuatu adalah berkat pendidikan pertama yang diterimanya dalam keluarga. Aziz (2015 : 20) menyatakan bahwa keluarga adalah pengantar atau bekal bagi setiap anak untuk memasuki pendewasaan secara berpikir, bersikap, bergerak hingga memutuskan sesuatu secara tepat.

  Sehubungan dengan pernyataan tersebut, bentuk aktifitas dalam keluarga sepenuhnya mendukung proses perkembangan anak baik secara fisik, psikologis, spiritual serta penciptaan lingkungan yang lain. Sehingga anak akan tumbuh dan berkembang secara optimal baik dari sisi intelektual, emosional, spiritual maupun fisiknya.

  Dengan kata lain, keluarga merupakan tulang punggung bangsa. Segala aspek kehidupan masyarakat tidak pernah terlepas dari keluarga. Penguatan fungsi-fungsi keluarga diharapkan memungkinkan setiap keluarga makin mampu membangun dirinya menjadi keluarga sejahtera, keluarga yang mandiri dan keluarga yang sanggup menghadapi tantangan masa depan dengan lebih baik.

  Menurut Mizal (2014 : 168) menyatakan bahwa : pendidikan keluarga memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar, agama, dan kepercayaan, nilai moral, norma sosial dan pandangan hidup yang diperlukan peserta didik untuk dapat berperan dalam keluarga dan dalam masyarakat. Pendidikan dalam keluarga pada subtansinya berisi nilai-nilai yang terkait dengan fungsi dasar yang melekat dalam keluarga. Aziz (2015 : 20) menyatakan bahwa pendidikan dalam keluarga berisi nilai-nilai diantaranya memuat nilai kasih sayang, mengatur dan melatih anak, pembebanan tugas dalam keluarga, nilai tanggung jawab, nilai pelaksanaan beribadah (spiritual), nilai hidup cermat dan bermanfaat, nilai akhlak, dan sebagainya. Cakupannya tersebut dapat diperluas tanpa terkait oleh rencana baku pendidikan keluarga.

  Sedangkan Menurut Murati (2016 : 61) mengatakan bahwa the

  

family as a cell acts only with love and respect and it dominates the

understanding, affection, sacrifice and childcare.

  Berdasarkan penjelasan diatas bahwa pendidikan dalam keluarga mengatur, mendidik, memahami dan bertanggung jawab kepada anak dengan memberikan kasih sayang, dan menanamkan akhlak. Menurut Endang Purwaningsih (dalam Aziz, 2015 : 21) menjelaskan bahwa keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama memiliki peran yang amat penting khususnya dalam penyadaran, penanaman dan pengembangan nilai moral sosial dan budaya.

  Menurut Helmawati (2016 : 50) menyatakan bahwa : Keluarga sebagai lingkungan pendidikan yang pertama sangat berpengaruh dalam membentuk pola kepribadian anak. Di dalam keluarga anak pertama kali berkenalan dengan nilai dan norma. Pendidikan keluarga memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar, agama, kepercayaan, nilai-nilai moral, norma sosial dan pandangan hidup yang diperlukan anak. Menurut Fuad Ihsan (dalam Wahyu, 2012 : 247) menyatakan bahwa keluarga bertanggung jawab membahagiakan anak untuk dunia dan akhirat dengan memberinya pendidikan agama sesuai dengan tuntunan Allah sebagai tujuan akhir hidup muslim. Tanggung jawab ini dikategorikan juga sebagai tanggung jawab kepada Allah.

  Bahwa keluarga mendidik anaknya mendasakan pada kaidah- kaidah agama dan menekankan proses pendidikan pada pendidikan agama dengan tujuan menjadikan anak-anaknya menjadi orang yang saleh dan senantiasa takwa dan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian pendidikan keluarga pada hakikatnya merupakan fungsi dari istitusi keluarga itu sendiri yang harus terlaksana secara menyeluruh.

  Sehingga anggota keluarga memiliki pengalaman yang banyak yang diperoleh dari proses pendidikan keluarga yang dilaksanakan. Pendidikan keluarga yang mencakup berbagai nilai dan ruang lingkup secara alami dalam kehidupan sehari-hari.

4. Tujuan Pendidikan dalam Keluarga

  Dunia pendidikan semakin dipertanyakan tingkat keberhasilannya dalam masyarakat yang berakhlak mulia dan matang tingkat spritualitasnya, ketika berbicara kegagalan dunia pendidikan nasional secara umum maka letak kegagalan yang utama pada hakikatnya lahir dari pendidikan dalam keluarga. Menurut Aziz (2015 : 23) menjelaskan bahwa pendidikan keluarga merupakan dasar untuk mengembangkan pendidikan secara umum yang nantinya diperoleh di sekolah ataupun perguruan tinggi. Bahkan pendidikan karakter, pendidikan ahlak, ataupun budi pekerti pada tahap pertama adalah tanggung jawab dalam keluarga. Sehingga keluarga memegang peranan penting dalam menciptakan anggotannya dalam insan yang berkarakter. Disitulah letak pentingnya pendidikan keluarga sebagai dasar penciptaan manusia Indonesia yang unggul secara intelektual maupun emosional.

  Keluarga merupakan unit dasar sosial terkecil di masyarakat yang menentukan suatu kelompok masyarakat menjadi kelompok yang kuat, yang berdampak pula pada suatu bangsa dan negara yang kuat. (Dewi, 2011 : 163). Dengan kata lain, keluraga merupakan tulang punggung bangsa. Segala aspek kehidupan masyarakat tidak pernah terlepas dari keluarga. Maka pendidikan dalam keluarga pada hakikatnya bertujuan menanamkan dasar-dasar pengetahuan secara lahiriah maupun batiniah melalui berbagai upaya agar terlahir manusia yang berakhlak mulia dan unggul dalam berbagai bidang.

  Pendidikan keluarga pada ranah kognitif dan psikomotorik lebih menekankan pada pembekalan manusia yang kreatif, kritis, dan terampil melalui kepemilikan life skills yang matang serta memiliki kesiapan bersaing secara global, melalui pendidikan dalam keluarga seseorang akan menjadi manusia unggul, berkarakter, cerdas, berkualitas dan mampu menjawab berbagai problem yang ada dalam setiap sisi kehidupan.

5. Pola Pengasuhan Anak dalam Keluarga

  Pola pengasuhan anak erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga atau rumah tangga dalam hal memberikan perhatian, waktu, dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Orang tua yang berperan dalam melakukan pengasuhan pada kasus ini terdiri dari beberapa definisi yaitu ibu, ayah, atau seseorang yang berkewajiban membimbing atau melindungi. Orang tua merupakan seseorang yang mendampingi dan membimbing anak dalam beberapa tahap pertumbuhan, yaitu mulai dari merawat, melindungi, mendidik, mengarahkan dalam kehidupan baru anak dalam setiap tahapan perkembangannya untuk masa berikutnya.

  Alfiana (2013 : 7) menjelaskan bahwa pola asuh yaitu sistem, cara atau pola yang digunakan atau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari terhadap anak. Sistem atau cara tersebut meliputi cara mengasuh, membina, mengarahkan, membimbing dan memimpin anak. Pola ini tentu saja dalam setiap keluarga mempunyai pola yang berbeda antara satu keluarga dengan keluarga yang lainnya.

  Pengasuhan merupakan sebuah proses interaksi yang terus menerus antara orang tua dengan anak yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, baik secara fisik, mental maupun sosial, sebagai sebuah proses interaksi dan sosialisasi yang tidak bisa dilepaskan dari sosial budaya dimana anak dibesarkan.

  Menurut Rakhmawati (2015 : 6-7) menjelaskan bahwa pola pengasuhan anak dalam garis besarnya, didefinisikan menjadi tiga macam, antara lain sebagai berikut.

  a. Pola asuh Otoriter Pola asuh otoriter merupakan pengasuhan yang dilakukan dengan cara memaksa, mengatur, dan bersifat keras. Orang tua menuntut anaknya agar mengikuti semua kemauan dan perintahnya. Jika anak melanggar perintahnya berdampak pada konsekuensi hukuman atau sanksi. Pola asuh otoriter dapat memberikan dampak negatif pada perkembangan psikologis anak. Anak kemudian cenderung tidak dapat mengendalikan diri dan emosi bila berinteraksi dengan orang lain. Bahkan tidak kreatif, tidak percaya diri, dan tidak mandiri. Pola pengasuhan ini akan menyebabkan anak menjadi stres, depresi, dan trauma. Oleh karena itu, tipe pola asuh otoriter tidak dianjurkan.

  b. Pola asuh Permisif Pola asuh permisif dilakukan dengan memberikan kebebasan terhadap anak. Anak bebas melakukan apapun sesuka hatinya. Sedangkan orang tua kurang peduli terhadap perkembangan anak. Pengasuhan yang didapat anak cenderung di lembaga formal atau sekolah. Pola asuh semacam ini dapat mengakibatkan anak menjadi egois karena orang tua cenderung memanjakan anak dengan materi. Keegoisan tersebut akan menjadi penghalang hubungan antara sang anak dengan orang lain. Syafie (Rakhmawati, 2015 : 6). Pola pengasuhan anak yang seperti ini akan menghasilkan anak-anak yang kurang memiliki kompetensi sosial karena adanya kontrol diri yang kurang. c. Pola asuh demokratis Pola asuh ini, orang tua memberikan kebebasan serta bimbingan kepada anak. Anak dapat berkembang secara wajar dan mampu berhubungan secara harmonis dengan orang tuanya. Anak akan bersifat terbuka, bijaksana karena adanya komunikasi dua arah.

  Sedangkan orang tua bersikap obyektif, perhatian, dan memberikan dorongan positif kepada anaknya. Pola asuh demokratis ini mendorong anak menjadi mandiri, bisa mengatasi masalahnya, tidak tertekan, berperilaku baik terhadap lingkungan, dan mampu berprestasi dengan baik. Pola pengasuhan ini dianjurkan bagi orang tua. Rakhmawati (2015 : 6-7)

  Berdasarkan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola asuh keluarga saling keterkaitan antara pola asuh satu dengan yang lainnya.

  Pola asuh keluarga yang memiliki cara berbeda-beda dalam mendidik anak merupakan awal dari keluarga dapat mempengaruhi sifat kepribadian dan perilaku anak. Anak menjadi baik atau buruk tergantung orang tua dalam mendidik anak-anaknya atau pola asuh keluarga terhadap anak.

B. Hakikat Moral 1. Pengertian Moral

  Moral meminta untuk melaksanakan apa yang sebaiknya dilakukan, bahkan apa yang sebenarnya tidak ingin melakukannya. Moral berasal dari bahasa latin mos, artinya „tata-cara‟, „adat-istiadat‟ atau „kebiasaan‟. Sedangkan jamaknya adalah mores. Dalam arti adat-istiadat atau kebijaksanaan, kata moral mempunyai arti yang sama dengan ethos (Yunani) yang kemudian menurunkan kata etika. Dalam bahasa Arab kata moral berarti

  “budi pekerti”, adalah sama dengan akhlak. Dalam bahasa Indonesia moral dikena l dengan arti “kesusilaan”.

  Moral atau kesusilaan adalah keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan perbuatan- perbuatan yang baik dan benar. Perlu diingat baik dan benar menurut seseorang, tidak pasti baik dan benar bagi orang lain. Moral dipakai untuk memberikan penilaian atau predikat terhadap tingkah laku seseorang.

  Widjaja (dalam Samsuri, 2015 : 1) menjelaskan bahwa moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak).

  Menurut Kaur (2015 : 22) menyatakan bahwa :

  Moral is defined as right conduct, not only in our immediate social relations, but also in our dealings with our fellow citizens and with the whole of human race.

  Bouman (Daroeso, 1989 : 22) menyatakan bahwa moral adalah suatu perbuatan atau tingkah laku manusia yang timbul karena adanya interaksi antara individu-individu di dalam pergaulan. Pendapat Kusrahmadi (2007 : 123) menjelaskan bahwa moral adalah bidang kebidupan manusia dilihat dari kebaikan manusia. Norma moral dipakai sebagai tolak ukur segi kebaikan manusia.

  Berdasarkan pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa moral adalah perbuatan atau tingkah laku baik dan buruk berdasarkan pergaulan dan interaksi dengan orang lain.

2. Objek Moral

  Perbuatan yang akan dilakukan merupakan obyek yang ada dalam suara hati manusia. Menurut Daroeso (1989 : 25) dalam diri manusia ada dua suara : a. Suara hati yang mengarah ke kebaikan.

  b. Suara was-was yang mengajak ke keburukan.

  Menurut Driyakarya (dalam Daroeso, 1989 : 26) meskipun pada dasarnya manusia itu selalu cenderung berbuat baik, tetapi kesadaran seperti di uraikan di atas tidaklah datang dengan sendirinya. Kesusilaan harus di ajarkan dengan contoh yang baik, sehingga dengan demikian dapatlah terbentuk manusia susila lahir dan batin.

  Kesimpulan dari uraian di atas, bahwa obyek moral adalah tingkah laku perbuatan baik buruk manusia. Menurut Daroeso (1989:26) objek moral adalah tingkah laku manusia, tindakan manusia, baik secara individu maupun kelompok. Dalam melakukan perbuatan tersebut manusia didorong oleh tiga unsur, yaitu :

  a. Kehendak, yaitu pendorong pada jiwa manusia yang memberi alasan pada manusia untuk melakukan perbuatan; b. Perwujudan dari kehendak yang berbentuk cara melakukan perbuatan dalam segala situasi dan kondisi; c. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar dan kesadaran inilah yang memberikan corak dan warna perbuatan tersebut.

3. Perkembangan Moral Anak

  Manusia sejak lahir mempunyai potensi moral yang merupakan peralatan hidup sebagai makhluk sosial. Potensi moral tersebut tumbuh dan berkembang dalam hubungan pergaulan dalam sesama manusia alam dan masyarakat dan akhirnya terbentuklah kesadaran moral dengan tahap- tahap perkembangan seperti :

  a. Teori Perkembangan Moral menurut Jean Piaget Jean Piaget menyusun teori perkembangan moralnya yang dikenl sebagai teori struktural-kognitif. Teori ini melihat perkembangan moral sebagai suatu hasil interaksi antara pelaksana aturan, pengikut atau pembuatnya secara individual dengan kerangka jalinan aturan yang bersangkutan yang menunjukkan esensi moralitasi itu. Fokus teori ini ada pada sikap, perasaan (afeksi), serta kognisi dari individu terhadap perangkat aturan yang bersangkutan, Kurtines (Samsuri, 2015 : 50).

  Menurut Atmaka (Samsuri, 2015 : 51-52) mengatakan bahwa Pengamatan Piaget tersebut dapat diringkaskan dalam skema sebagai berikut.

  Secara rinci skema tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Pada level 1

  Pada anak sekitar usia 1 sampai 2 tahun, pelaksanaan peraturan masih bersifat motor activity, belum ada kesadaran akan adanya peraturan. Semua geraknya masih belum dibimbing oleh pikiran tentang adanya peraturan yang harus ditaatinya.

  2) Pada level II Pada usia sekitar 2 sampai 6 tahun, sudah mulai ada kesadaran akan adanya peraturan, namun menganggap peraturan itu bersifat suci, tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun, merubah peraturan merupakan kesalahan besar. Dalam pelaksanaan peraturan mereka ini masih bersifat egosentrik, berpusat pada dirinya.

  3) Pada level III Pada usia sekitar 7 sampai 10 tahun pelaksanaan peraturan sudah mulai bersifat sebagai aktivitas sosial, sifat egosentrik sudah mulai ditinggalkan. Dalam tahap ini sudah ada keinginan yang kuat untuk memahami peraturan, dan setia mengikuti peraturan tersebut. Sifat heteronomi mulai bergeser pada sifat otonomi. 4) Pada level IV

  Pada usia sekitar 11 sampai 12 tahun kemampuan berpikir anak sudah mulai berkembang. Pada tahap ini sudah ada kemampuan untuk berpikir abstrak, sudah ada kesadaran bahwa peraturan merupakan hasil kesepakatan bersama. Tahap ini merupakan tahap kodifikasi atau tahap pemantapan peraturan.

  Dari kesimpulan di atas bahwa keputusan moral anak berubah seiring dengan pertumbuhan usianya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perkembangan moral terdapat pergeseran yang sifatnya alami, yang terjadi secara bersamaan dengan atau segera setelah peralihan koginitif dari pemikiran praoperasional ke arah pemikiran operasional, di sekitar usia tujuh tahun. Pergeseran berlangsung, sehingga anak yang bersangkutan untuk pertama kalinya menyadari maksud sendiri, dan memanfaatkan informasi daam mengadakan pertimbangan moral yang menyangkut orang lain.

  b. Teori Perkembangan Moral menurut Lawrence Kohlberg.

  Menurut Kohlberg (Budiningsih, 2013 : 28) menjelaskan bahwa tahap perkembangan penalaran moral sebenarnya dipostulatkan pada pemikiran Dewey, yang memandang perkembangan moral ke dalam 3 tingkatan yaitu : (1) tingkat pra-moral atau pre-conventional, (2) tingkat conventional, dan (3) tingkat autonomous.

  Adapun tahap-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg yang disarikan oleh Hardiman (Budiningsih, 2013 : 29) sebagai berikut:

  1. Tingkat Pra-Konvensional Pada tingkat ini seseorang sanggap tanggap terhadap aturan-aturan kebudayaan dan penilaian baik atau buruk, tetapi ia menafsirkan baik atau buruk ini dalam rangka maksimalisasi kenikmatan atau akibat-akibat fisik dari tindakannya (hukuman fisik, penghargaan, tukar-menukar kebaikan). Kecenderungan utamanya dalam interaksi dengan orang lain adalah menghindari hukuman atau mencapai maksimalisasi kenikmatan (hedonistis). Tingkat ini dibagi 2 tahap : Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan

  Pada tahap ini, baik atau buruknya suatu tindakan ditentukan oleh akibat-akibat fisik yang akan dialami, sedangkan arti atau nilai manusiawi tidak diperhatikan. Menghindari hukuman dan kepatuhan buta terhadap penguasa dinilai baik pada dirinya.

  Tahap 2 : Orientasi instrumentalistis Pada tahap ini tindakan seseorang selalu diarahkan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan memperalat orang lain.

  Hubungan antara manusia dipandang seperti hubungan dagang. Unsur-unsur keterbukaan, kesalingan dan tukar-menukar merupakan prinsip tindakannya dan hal-hal itu ditafsirkan dengan cara fisik dan pragmatis. Prinsip kesalingannya adalah, “kamu mencakar punggungku dan aku akan ganti mencakar punggungmu”.

  2. Tingkat Konvensional Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Maka itu, kecenderungan orang pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dan mengindentifikasi dirinya terhadap kelompok sosialnya. Kalau pada tingkat pra-konvensional perasaan dominan adalah takut, pada tingkat ini perasaan dominan adalah malu. Tingkat ini terdiri dari 2 tahap : Tahap 3 : Orientasi kerukunan atau orientasi good boy-nice girl.

  Pada tahap ini orang berpandangan bahwa tingkah laku yang baik adalah yang menyenangkan atau menolong orang-orang lain serta diakui oleh orang-orang lain. Orang cenderung bertindak menurut harapan-harapan lingkungan sosialnya, hingga mendapat pengakuan sebagai “orang baik”. Tujuan utamanya, demi hubungan sosial yang memuaskan, maka ia pun harus berperan sesuai dengan harapan-harapan keluarga, masyarakat atau bangsanya. Tahap 4 : Orientasi ketertiban masyarakat.

  Pada tahap ini tindakan seseorang didorong oleh keinginannya untuk menjaga tertib legal. Orienasi seseorang adalah otoritas, peraturan-peraturan yang ketat dan ketertiban sosial. Tingkah laku yang baik adalah memenuhi kewajiban, mematuhi hukum, menghormati otoritas, dan menjaga tertib sosial merupakan tindakan moral yang baik pada dirinya.

  3. Tingkat Pasca-Konvensional atau Tingkat Otonom Pada tingkat ini, orang bertindak sebagai subyek hukum dengan mengatasi hukum yang ada. Orang pada tahap ini sadar bahwa hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan umum, maka jika hukum tidak sesuai dengan martabat manusia, hukum dapat dirumuskan kembali. Perasaan yang muncul pada tahap ini adalah rasa bersalah dan yang menjadi ukuran keputusan moral adalah hati nurani.tingkat ini terdiri dari 2 tahap : Tahap 5 : Orientasi kontrak sosial

  Tindakan yang benar pada tahap ini cenderung ditafsirkan sebagai tindakan yang sesuai dengan kesepakatan umum. Dengan demikian orang ini menyadari relativitas nilai-nilai pribadi dan pendapat-pendapat pribadi. Ada kesadaran yang jelas untuk mencapai konsensus lewat peraturan-peraturan prosedural. Di samping menekankan persetujuan demokratis dan konstitusional, tindakan benar juga merupakan nilai-nilai atau pendapat pribadi. Akibatnya, orang pada tahapan ini menekankan pandangan legal tapi juga menekankan kemungkinan mengubah hukum lewat pertimbangan rasional. Ia menyadari adanya yang mengatasi hukum, yaitu persetujuan bebas antara pribadi. Jika hukum menghalangi kemanusiaan, maka hukum dapat diubah. Tahap 6 : Orientasi prinsip etis universal.

  Pada tahap ini orang tidak hanya mengundang dirinya sendiri sebagai subyek hukum, tetapi juga sebagai pribadi yang harus dihormati. Respect for person adalah nilai pada tahap ini. Tindakan yang besar adalah tindakan yang berdasarkan keputusan yang sesuai dengan suara hati dan prinsip moral universal. Prinsip moral ini abstrak, misalnya : cintailah sesamamu seperti mencintai dirimu sendiri, dan tidak kongkrit. Di dasar lubuk hati terdapat prinsip universal yaitu keadilan, kesamaan hak-hak dasar manusia, dan hormat terdapat martabat manusia sebagai pribadi.

  Selanjutnya dengan adanya tahap-tahap perkembangan moral, Lawrence Kohlberg mengemukakan empat sifat dalam perkembangan moral itu. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut : a) Pekembangan setiap tahap selalu sama (stage development is invariant).

  Seseorang harus mengikuti tahap demi tahap secara berurutan dan seseorang tidak dapat mencapai suatu tahap dengan tidak melalui tahap-tahap sebelumnya.

  b) Dalam perkembangan tahap, seseorang tidak dapat memahami penalaran moral.

  Dalam perkembangan moral seseorang, orang yang berada dalam tahap kedua, kiranya tidak dapat memahami penalaran pada tahap keempat; paling bisa tahap ketiga.

  c) Dalam perkembangan tahap, seseorang secara kognitif tertarik untuk berfikir satu tahap di atas tahapnya sendiri.

  Seseorang yang berasa dalam tahap pertama akan dirangsang untuk berfikir pada tahap kedua, dan tahap kedua oleh tahap ketiga dan seterusnya, menurut Lawrence Kohlberg bahwa berfikir secara kognitif pada tahap yang lebih tinggi lebih memadai bilamana dibandingkan dengan cara berfikir pada tahap di bawahnya, sebab dapat memecahkan masalah secara lebih baik.

  d) Dalam tahap perkembangan ini, tindakan dari tahap ketahap disamping oleh terciptanya oleh cognitive disequeilibrium.

  Bilamana seseorang merasa tidak cukup mampu untuk menyelesaikan suatu dilema moral yang dihadapinya, ia akan dirangsang untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih memadai dalam memecahkan dilema moral yang dihadapinya.

  Akhirnya tahapan-tahapan dari Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg mengandung 3 karakteristik sebagai berikut : 1) Tahapan itu adalah keseluruhan yang terstruktur atau sistim berfikir yang terorganisasi. Setiap individu konsisten pada tingkat pertimbangan moral. 2) Tahapan membentuk satu keteraturan gerakan dari satu tahap kepada tahap yang lebih tinggi dan tidak pernah mundur. Setiap individu tidak pernah meloncati sesuatu tahap. Ini berarti keseluruhan tahapan itu dialami dan dilalui secara maju dari tingkat terendah sampai kepada tingkat tertinggi. 3) Tahapan berintegrasi secara hirarkis. Bersifat pada tahapan yang lebih tinggi termasuk atau lengkap di dalamnya berfikir dalam tahapan yang lebih rendah. Seorang berfikir pada tahap keempat, yakni “Orientasi pada hukum dan ketertiban”, berarti dalam konteks itu secara serempak ia juga berfikir dalam tahap-tahap satu, dua dan tiga. Tetapi belum berfikir pada tahap lima dan enam.

  Demikianlah perkembangan moral seseorang yang diteliti oleh Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg setelah mengadakan penelitian perkembangan moral dengan tahap-tahapnya selama puluhan tahun.

  Dari dua teori perkembangan moral diatas sebagaimana yang telah dipaparkan dapat dijadikan pengetahuan dan membuka pemahaman terhadap perkembangan moral.

4. Kondisi Moral Anak di Indonesia

  Masalah yang terjadi pada pemuda Indonesia pada saat ini terdiri atas 2 masalah, yaitu masalah sosial dan masalah kebangsaan, kedua masalah tersebut dijabarkan dalam tabel sebagai berikut. 1) Masalah Sosial

  No. Masalah Sosial Angka Penyimpangan Tahun Sumber

  1. Penyalahgunaan - 1,5% pemakai narkoba 2004 Badan Narkoba Narkoba - 78% korban tewas akibat Nasional (BNN) narkorba berusia antara 19-

  21 tahun

  2. Hubungan seksual - 17% kehamilan di luar 2010 BKKBN Jurnal pranikah dan aborsi nikah Nasional

  • 2,4 jiwa pelaku bermuara

  4. Perkelahian, tawuran, dan kekerasan Kriminalitas remaja pelaku aborsi hamil diluar nikah

  No. Masalah Sosial Angka Penyimpangan Tahun Sumber 3.

  • 21.77 kasus HIV/AIDS
  • 48,1% HIV positif perilaku usia 20-29 tahun
  • 49,3% penular di kalangan heteroseksual
  • 40,4% penular melalui jarum
  • 54% berkelahi
  • 87% berbohong
  • 8,9% mencoba narkoba
  • 28% merasakan kekerasan adalah hal biasa
  • 17% melukai diri sendiri
  • 13% ketergantungan obat atau minuman
  • 12% depresi
  • 47% remaja mengaku nakal di sekolahan
  • 33% tidak memedulikan peraturan sekolah
  • 93% anak pernah mengalami tindakan kekerasan dirumah dan disekolah
  • 82% remaja menganggap orangtua otoriter

  2003 2013

  Hasil survei FEKMI Salahudin (2013 : 33) No. Masalah Sosial Angka Penyimpangan Tahun Sumber

  • 50% mendapatkan hukuman fisik
  • 39% mengatakan orangtua pemarah

Tabel 2.1 Masalah Sosial di Indonesia (dalam Salahudin, 2013 : 32-33)

  Begitu mengerikan permasalah sosial terjadi karena terdapat perilaku menyimpang perlu membedakan adanya perilaku yang menyimpang disengaja maupun tidak disengaja, diantaranya karena pelaku kurang perhatian dari orang tua, dan ingin diperhatian, sehingga mencari sensasi membuat permasalahan yang merugikan dirinya sendiri dan bahkan merugikan orang lain. Bentuk pelanggaran seringkali terjadi pada remaja-remaja yang gagal menjalani proses perkembangan jiwanya. 2) Masalah Kebangsaan

  Adapun masalah kebangsaan yang terjadi saat ini, yaitu: 1) Solidaritas sosial rendah; 2) Semangat kebangsaan rendah; 3) Semangat bela negara rendah 4) Semangat persatuan dan kesatuan rendah.

  Adapun menurut Lickona, profesor pendidikan dari Cortland

  University

  mengungkapkan sepuluh tanda kehancuran bangsa : 1) Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; 2) Penggunaan kata-kata yang buruk;

  3) Pengaruh peer group yang kuat dalam tindakan kekerasan; 4) Meningkatnya perilaku merusak diri; 5) Semakin kaburnya pedoman moral; 6) Menurunnya etos kerja; 7) Rendahnya rasa hormat kepada guru dan orang tua; 8) Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan masyarakat; 9) Membudayanya ketidakjujuran; 10) Adanya rasa curiga dan kebencian di antara sesama.

  Perilaku amoral dan inkonstitusional itu menyebabkan ketidakmampuan dalam hal : 1) Mengembalikan emosi; 2) Mengontrol perilaku; 3) Menganalisis masalah; 4) Mencari solusi; 5) Belajar dari pengalaman; 6) Berpikir panjang; 7) Berpikir kreatif. (Salahudin, 2013 : 35)

  Berdasarkan penjelasan di atas, sudah saatnyaorang tua menjaga dan mendidik anak dengan pendidikan keluarga untuk membina moral yang baik untuk anak-anaknya, sehingga anak tidak terjerumus dalam penyimpangan remaja.

C. Kerangka Berpikir

  Peran Keluarga dalam membina moral anak di Desa Mandiraja Wetan

  Penerapan

  Pola asuh Pendidikan Peraturan

  norma sosial

  keluarga keluarga Agama Hasil yang diharapkan dapat Membina moral anak melalui proses Pendidikan dalam lingkungan keluarga

Bagan 2.2 Kerangka berfikir D.

   Pertanyaan Penelitian

  Pertanyaan-pertanyaan adalah salah satu cara untuk mendapatkan data dari informan. Pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada informan sebagai berikut :

  1. Bagaimana bentuk perhatian yang diberikan keluarga kaitannya dengan membina moral anak ?

  2. Bagaimana pendidikan agama yang diberikan keluarga kaitannya dengan membina moral anak ?

  3. Bagaimana kebiasaan keluarga dalam membina moral anak ?

  4. Bagaimana peraturan yang diberikan keluarga kaitanya dengan membina moral anak ?

  5. Bagaimana fungsi keluarga dalam membina moral anak ?

  6. Bagaimana tujuan pendidikan dalam keluarga dalam membina moral anak ?

  7. Bagaimana pola pengasuhan anak dalam membina moral anak ? E.

   Penelitian yang Relevan

  1. Peran Keluarga Darosy Endah Hysocyamina (UNDIP : 2011) dalam skripsinya yang berjudul “Peran Keluarga dalam Membangun Karakter Anak”, mengungkapkan bahwa peran keluarga faktor yang penting dalam pembentukan kepribadian anak. Anak dapat diibaratkan seperti selembar kertas putih kosong yang harus diisi, dalam hal ini peran orang tualah yang sangat dominan. Orang tua harus mendidik anak semenjak dini agar mereka dapat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan. Komunikasi dua arah yang efektif sangat diperlukan untuk membentuk hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak. Orang tua harus berusaha mendengar dan memahami kemauan anak, dan orang tua harus mampu mengarahkan dan membimbing anak, karena perilaku, tindakan dan sikap anak berawal dari keluarga. Ciptakan suasana agamis di rumah sehingga akan lebih mudah membentuk Kecerdasan Emosi (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ) anak. Pilihkan sekolah untuk anak tingkat TK dan SD di sekolah yang dasar agama Islamnya bagus sehingga dia akan terbiasa dengan ibadah, doa-doa dan akhlak mulia. Berikan perhatian dan kasih sayang, serta kejujuran dan saling pengertian dalam keluarga. Seni dan minat belajar harus ditanamkan pada anak sejak usia dini (pra sekolah) agar anak lebih peka, tidak egois dan tidak malas belajar.

  2. Pembinaan Moral Fajar Wahyu Ningrum (UNNES : 2010) dalam skripsinya yang berjudul “Pembinaan Moral Remaja dalam Keluarga di Lingkungan Lokalisasi Pekerja Seks Komersial Sunan Kuning Kalibanteng Kulon Kecamatan Semarang Barat

  ”, mengungkapkan bahwa pembinaan moral remaja dalam keluarga di lingkungan lokalisasi Sunan Kuning melalui empat cara yaitu penanaman etika sejak dini, keteladanan orang tua, penanaman nilai agama sejak dini, dan kejujuran dengan menggunakan model klarifikasi nilai dan analisis nilai yaitu orang tua mengarahkan remaja untuk menjadi dirinya sendiri dengan melihat apa yang baik dan apa yang buruk untuk dilakukan dan memberi kebebasan untuk memahami permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan moral. Perilaku remaja yang ada di lingkugan lokalisasi Sunan Kuning mayoritas mereka pernah berbicara kotor atau kurang sopan, merokok, keluar rumah tanpa ijin selama masih terdekat.

  Selain itu mereka juga mempunyai sifat individual dengan kata lain tidak ikut campur, cuek atau masa bodoh urusan dengan para WPS (Wanita Pekerja Seks) maupun masalah pribadi tetangganya, tetapi saling mengormati dan menghargainya cukup tinggi, rasa sosialnya juga cukup baik. Perilaku remaja yang seperti itu terbentuk melalui kebiasaan yang dilakukan remaja, pengertian dari orang tua, dan model yang dilihat setiap harinya. Faktor peghambat pembinaan moral remaja dalam keluarga di lingkungan lokalisasi Sunan Kuning karena faktor dari dalam (internal) dan faktor dari luar (eksternal). Faktor dari dalam diri sendiri (internal) seperti rasa malas untuk berubah, gengsi, individualis, dan mudah terpengaruh. Sedangkan faktor yang berasal dari luar (eksternal) seperti lingkungan lokalisasi penuh dengan perilaku menyimpang yang ditunjukkan oleh para WPS maupun pelanggannya menjadi faktor terbesar dalam menghambat pembinaan moral, selain itu media massa (seperti televisi dan internet) juga menjadi faktor penghambat orang tua dalam melakukan pembinaan moral bagi remaja.

  3. Peran Keluarga dalam Membina Moral Anak Ahmad Choyruddin (UMS : 2015) dalam skripsinya yang berjudul “Pendidikan Moral Remaja dalam Keluarga Single Parent di Desa

  

Moggot Kecamatan Geyer Kabupaten Grobogan Tahun 2015

,

  mengungkapkan bahwa pendidikan moral dalam keluarga single parent bisa berjalan dengan baik apabila orang tua tersebut mampu menerapkan menerapkan metode sesuai dengan kepribadian anaknya serta memiliki solusi yang bervariasi dalam menangani berbagai kendala, baik itu kendala intern maupun ekstern. Metode atau cara yang digunakan oleh responden dalam mendidik moral dalam keluarga mereka adalah menggunakan metode teladan, metode pembiasaan yang baik, metode nasihat, metode pengamatan pengawasan dan metode hukuman. Sebagian besar faktor yang menghambat pendidikan moral dalam keluarga single parent adalah karena faktor anak yang sering mengabaikan perkataan orang tua, sifat anak yang cenderung pendiam, kesibukan dan keterbatasan waktu orang tua single parent, rendahnya pengetahuan agama orang tua single parent, dan keterbatasan ekonomi yang menyebabkan anak mengalami krisis moral akibat tidak adanya biaya untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi. Diharapkan studi tentang pendidikan moral dalam keluarga single parent di Desa Monggot Kecamatan Geyer Kabupaten Grobogan ini, dapat disempurnakan dengan mengadakan penelitian lebih lanjut dari segi lain, sehingga dapat memberikan gambaran yang lengkap pada pendidikan moral.