BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja - NUR SAIWAN BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja Masa remaja merupakan salah satu proses pendewasan yang

  merupakan awal dalam mengenal dan mengerti serta menyelami proses kedewasaan, (Gemari, 2006) mendefinisikan remaja sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Dari segi mental, emosi remaja belum stabil, kestabilan emosi umumnya terjadi antara usia 24 tahun karena pada saat itulah orang mulai memasuki masa dewasa. kestabilan emosi remaja menjadi faktor yang penting dalam penyesuaian dan pembentukan karakter pada pada remaja.

  Mahasiswa termasuk dalam kategori tahap remaja akhir atau late

  

adolescence yang merupakan masa konsolidasi dan penyesuaian diri

  menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian 5 hal, yaitu: 1.

  Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

  2. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dalam pengalaman-pengalaman baru.

  3. Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.

  4. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain..

  14

  5. Tumbuh dalam “dinding” yang memisahkan diri pribadi private self dan masyarakat umum the public (Sarwono, 2002).

  Menurut (Yusuf, 2009), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang remaja dalam melakukan penyesuaian diri adalah sebagai berikut: 1.

  Faktor genetik a.

  Faktor keturunan — masa konsepsi; b. Bersifat tetap atau tidak berubah sepanjang kehidupan; c. Menentukan beberapa karakteristik seperti jenis kelamin, ras, rambut, warna mata, pertumbuhan fisik, sikap tubuh dan beberapa keunikan psikologis seperti temperamen.

  2. Faktor eksternal atau lingkungan Faktor eksternal mempengaruhi individu setiap hari mulai konsepsi sampai akhir hayatnya, dan sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan. Faktor eksternal yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya.

  a.

  Keluarga Fungsi keluarga yaitu sebagai tempat bertahan hidup, rasa aman, perkembangan emosi dan sosial, penjelasan mengenai masyarakat dan dunia, dan membantu mempelajari peran dan perilaku. b.

  Kelompok teman sebaya Lingkungan yang baru dan berbeda, memberi pola dan struktur yang berbeda dalam interaksi dan komunikasi, dan memerlukan gaya perilaku yang berbeda. Fungsi kelompok teman sebaya adalah sebagai tempat belajar kesuksesan dan kegagalan, memvalidasi dan menantang pemikiran dan perasaan, mendapatkan penerimaan, dukungan dan penolakan sebagai manusia unik yang merupakan bagian dari keluarga serta untuk mencapai tujuan kelompok dengan memenuhi kebutuhan dan harapan.

  c.

  Pengalaman hidup Pengalaman hidup dan proses pembelajaran membiarkan individu berkembang dengan mengaplikasikan apa yang telah dipelajari.

  d.

  Kesehatan Tingkat kesehatan merupakan respon individu terhadap lingkungan dan respon orang lain pada individu. Kesehatan prenatal (sebelum bayi lahir) mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan dari fetal (janin). Ketidakmampuan untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangan karena kesehatan terganggu akan mengakibatkan tumbuh kembang juga terganggu. e.

  Lingkungan tempat tinggal Musim, iklim, kehidupan sehari-hari dan status sosial ekonomi juga mempengaruhi perkembangan seseorang.

B. Boarding school 1.

  Pengertian Boarding school

  Boarding school terdiri dari dua kata yaitu boarding dan school . Boarding berarti asrama, dan school berarti sekolah. Boarding school adalah sistem sekolah berasrama, dimana peserta didik dan

  juga para guru dan pengelola sekolah tinggal di asrama yang berada dalam lingkungan sekolah dalam kurun waktu tertentu biasanya satu semester diselingi dengan berlibur satu bulan sampai menamatkan sekolahnya. Boarding school atau sekolah berasrama. Murid-murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai- nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah pendidikan dan pengawasan para guru pembimbing (A’la. 2006)

  Pelaksanaan boarding school dalam lembaga pendidikan, dimana para siswa tidak hanya belajar tetapi juga bertempat tinggal dan hidup menyatu dengan di lembaga tersebut. Boarding school mengkombinasikan tempat di rumah, dipindah ke institusi sekolah, dimana di sekolah tersebut disediakan berbagai fasilitas tempat tinggal, ruang tidur, ruang tamu, ruang belajar dan tempat olah raga, perpustakaan, kesenian (Maksudin, 2006).

  Boarding school adalah sekolah yang memiliki asrama, dimana

  para siswa hidup; belajar secara total di lingkungan sekolah. Karena itu segala jenis kebutuhan hidup dan kebutuhan belajar disediakan oleh sekolah. Boarding school bukan sesuatu yang baru dalam konteks pendidikan di Indonesia, karena sudah sejak lama lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia menghadirkan konsep pendidikan boarding

  school yang mengadopsi “Pondok Pesantren” (Mas’ud, 2006).

  Ketika dipertengahan tahun 1990 an masyarakat Indonesia mulai gelisah dengan kondisi kualitas generasi bangsa yang cenderung terdikotomi secara ekstrim-yang pesantren terlalu ke-agama dan yang sekolah umum terlalu ke-duniawian, ada upaya untuk mengawinkan pendidikan umum dan pesantren dengan melahirkan tren baru yang disebut boarding school yang bertujuan untuk melaksanakan pendidikan yang lebih komprehensif-holistik, ilmu dunia (umum) dapat tercapai dan ilmu agama juga dikuasai. Maka sejak itu mulai munculah banyak sekolah-sekolah boarding yang didirikan. Dari banyak sekolah-sekolah boarding di Indonesia, terdapat 3 corak yaitu bercorak agama, nasionalis-religius, dan ada yang nasionalis. Untuk yang bercorak agama terbagi dalam banyak corak ada yang fundamentalis, moderat sampai yang agak liberal (Nurkhamid, 2009).

  Kehadiran boarding school telah memberikan alternative pendidikan bagi para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya.

  Seiring dengan pesatnya modernitas, dimana orang tua tidak hanya

  Suami yang bekerja tapi juga istri bekerja sehingga anak tidak lagi terkontrol dengan baik maka boarding school adalah tempat terbaik untuk menitipkan anak-anak mereka, baik makannya, kesehatannya, keamanannya, sosialnya, dan yang paling penting adalah pendidikanya yang sempurna. Namun juga tidak dipungkiri kalau ada faktor-faktor yang negative kenapa orang tua memilih boarding school yaitu keluarga yang tidak harmonis, dan yang ekstrim karena sudah tidak mau/mampu mendidik anaknya dirumah (Abdullah, 2008).

2. Karakteristik Boarding school

  Menurut Khalidah (2011), boarding school telah mengembangkan aspek-aspek tertentu dari nilai-nilai yang ada pada masyarakat. Sejak awal berdirinya lembaga ini sangat menekankan kepada moralitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemandirian, kesederhanaan, dan sejenisnya. Karakteristik sistem pendidikan

  , diantaranya adalah:

  Boarding school a.

  Dari segi sosial, sistem boarding school mengisolasi anak didik dari lingkungan sosial yang heterogen yang cenderung buruk. Di lingkungan sekolah dan asrama dikonstruksi suatu lingkungan sosial yang relatif homogen yakni teman sebaya dan para guru pembimbing. Homogen dalam tujuan yakni menuntut ilmu sebagai sarana mengejar cita-cita.

  b.

  Dari segi ekonomi, boarding school memberikan layanan yang paripurna sehingga menuntut biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu anak didik akan benar-benar terlayani dengan baik melalui berbagai layanan dan fasilitas.

  c.

  Dari segi semangat religiusitas, boarding school menjanjikan pendidikan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, intelektual dan spiritual. Diharapkan akan lahir peserta didik yang tangguh secara keduniaan dengan ilmu dan teknologi, serta siap secara iman dan amal saleh.

3. Keunggulan Boarding school

  Banyak keunggulan yang terdapat dalam sistem asrama atau

  

boarding school ini. Adanya sistem pesantren atau mondok,

  menjadikan seorang siswa atau santri tidak hanya belajar secara kognitif, melainkan juga afektif dan psikomotor. Salah satu cara terbaik mengajarkan dunia afektif adalah pemberian teladan dan contoh dari para pemimpin dan orang-orang yang berpengaruh di sekitar anak. Mengasramakan anak didik sepanjang 24 jam, tidak hanya mendapatkan pelajaran secara kognitif, melainkan dapat menyaksikan langsung bagaimana perilaku ustadz, guru, dan orang- orang yang mengajarkan mereka. semua siswa bisa menyaksikan langsung, bahkan mengikuti imam, bagaimana cara sholat yang khusuk, misalnya. Ini sangat berbeda dengan pelajaran sholat, misalnya, yang tanpa disertai contoh dan pengalaman makmum kepada imam yang salatnya khusuk. Sedangkan pelajaran di kelas bisa berbeda dengan pelaksanaan di rumah saat murid atau santri melaksanakannya sendiri (Halim, 2005).

  Sistem boarding school mampu mengoptimalkan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor mahasiswa, maka sistem pesantren ini memiliki prasyarat agar para guru dan pengelola sekolah siap mewakafkan dirinya selama 24 jam. Selama siang dan malam ini, mereka melakukan proses pendidikan, baik ilmu pengetahuan, maupun memberikan contoh bagaimana mengamalkan berbagai ilmu yang diajarkan tersebut (Ruben, 2009).

  Kelebihan-kelebihan lain dari sistem ini adalah sistem

  boarding lebih menekankan pendidikan kemandirian. Berusaha menghindari dikotomi keilmuan (ilmu agama dan ilmu umum).

  Dengan pembelajaran yang mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum diharapkan akan membentuk kepribadian yang utuh setiap siswanya. Pelayanan pendidikan dan bimbingan dengan sistem

  boarding school yang diupayakan selama 24 jam, akan diperoleh

  penjadwalan pembelajaran yang lebih leluasa dan menyeluruh, segala aktifitas siswa akan senantiasa terbimbing, kedekatan antara guru dengan siswa selalu terjaga, masalah kesiswaan akan selalu diketahui dan segera terselesaikan, prinsip keteladanan guru akan senantiasa diterapkan karena murid mengetahui setiap aktifitas guru selama 24 jam (

  A’la. 2006).

  Pembinaan mental siswa secara khusus mudah dilaksanakan, ucapan, perilaku dan sikap siswa akan senantiasa terpantau, tradisi positif para siswa dapat terseleksi secara wajar, terciptanya nilai-nilai kebersamaan dalam komunitas siswa, komitmen komunitas siswa terhadap tradisi yang positif dapat tumbuh secara leluasa, para siswa dan guru-gurunya dapat saling berwasiat mengenai kesabaran, kebenaran, kasih sayang, dan penanaman nilai-nilai kejujuran, toleransi, tanggung jawab, kepatuhan dan kemandirian dapat terus- menerus diamati dan dipantau oleh para guru atau pembimbing ( A’la. 2006).

  Sekolah berasrama biasanya mempunyai fasilitas yang lengkap, sebagai penunjang pencapaian target program pendidikan sekolah berasrama. Dengan fsilitas lengkap sekolah dapat mengeksploitasi potensi untuk membangun lembaga pendidikan yang kompeten dalam menghasilkan output yang berkualitas (Khamdiyah, 2013).

  Sekolah berasrama dapat merancang program pendidikan yang komprehensif-holistik dari program pendidikan kaagamaan, academic

  development, life skill sampai membangun wawasan global. Bahkan

  pembelajaran tidak hanya sampai pada tataran teoritis, tapi juga implementasi baik dalam konteks belajar ilmu ataupun belajar hidup ( A’la, 2006).

  Sekolah berasrama semua elemen yang ada dalam kompleks sekolah terlibat dalam proses pendidikan. Aktornya tidak hanya guru atau bisa dibalik gurunya bukan hanya guru mata pelajaran,tapi semua orang dewasa yang ada di Boarding school adalah guru. Siwa tidak bisa lagi diajarkan bahasa-bahasa langit, tapi siswa melihat langsung praktek kehidupan dalam berbagai aspek. Begitu juga dalam membangun religious society, maka semua elemen yang terlibat mengimplmentasikan agama secara baik (Sagala, 2004).

  Sekolah berasrama mampu menampung siswa dari berbagai latar belakang yang berbeda. Siswa berasal dari berbagai daerah yang mempunyai latar belakang sosial, budaya, tingkat kecerdasan, kemempuan akademik yang sangat beraga, keadaan ini sangat kondusif untuk membangun wawasan nasional, dan siswa terbiasa berinteraksi dengan siswa yang berbeda. Sekolah berasrama berupaya secara total untuk menjaga keamanan siswa-siswinya. Makanya, banyak sekolah berasrama yang mengadop pola penidikan militer untuk menjaga keamanan siswa-siswinya. Tata tertib dibuat sangat rigid lengkap dengan sanksi-sanksi bagi pelanggarnya (Yusuf, 2011).

C. Penyesuaian Diri 1.

  Pengertian Penyesuaian diri merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia sejak lahir hingga meninggal, tidak lain adalah melakukan proses penyesuaian diri, sehingga dapat dikatakan bahwa penyesuaian diri dilakukan oleh manusia sepanjang hidup. Manusia memerlukan penyesuaian diri terhadap diri dan lingkungannya dalam menghadapi berbagai permasalahan. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya, karena pada dasarnya setiap manusia ingin mempertahankan eksistensinya. Manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan baik fisik, psikis, maupun sosialnya sejak lahir hingga meninggal. Seseorang bisa dikatakan mampu melakukan penyesuaian diri dengan normal manakala dia mampu secara sempurna memenuhi kebutuhannya, tanpa melebihkan yang satu dan mengurangi yang lain, serta bertanggung jawab terhadap masyarakat tempat dia hidup (Ali Muhammad, 2008)

  Menurut (Hartono & Sunarto 2006) penyesuaian diri dapat diartikan sebagai berikut : a.

  Penyesuaian berarti adaptasi ; dapat mempertahankan eksistensinya, atau bisa survive dan memperoleh kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah, dan dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan sosial.

  b.

  Penyesuaian sebagai konformitas, yang berarti menyesuaiakan sesuatu dengan standar atau prinsip.

  c.

  Penyesuaian sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan respon-respon sedemikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala macam konflik, kesulitan , dan frustasi-frustasi secara efisien. Individu memiliki kemampuan menghadapi realitas hidup dengan cara yang adekuat atau memenuhi syarat. d.

  Penyesuaian sebagai penguasaan dan kematangan emosional.

  Kematangan emosional artinya individu secara positif memiliki respon emosional yang tepat pada setiap situasi.

  Penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku, dimana individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan frustrasi yang dialaminya, sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana dia tinggal. Selanjutnya dia menjelaskan ciri orang well adjusted, yaitu mampu merespon (kebutuhan dan masalah) secara matang, efisien, puas, dan sehat (wholesome). Yang dimaksud efisien adalah hasil diperoleh tidak banyak membuang energi, waktu, dan kekeliruan. Sementara wholesome adalah respon individu itu sesuai dengan hakikat kemanusiaannya, hubungan dengan yang lain, dan hubungan dengan Tuhan (Schneiders dalam Desmita, 2009).

  Penyesuaian diri digolongkan menjadi 3 klompok, menurut (Yusuf, 2008) yaitu: (a) gejala masalah yang meliputi neurotic, psikotik, psikopatik, epileptik; (b) jenis kualitas respon, meliputi : penyesuaian yang normal dan penyesuaian yang tidak normal atau menyimpang, seperti

  deference reactions, escape and with drawing, illness dan anggression;

  dan (c) jenis masalah, meliputi : personal, sosial, keluarga, akademik, vokasional dan marital (pernikahan)

  Penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamika yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku agar terjadi hubungan yang selaras antara dirinya dan lingkungannya. Penyesuaian diri mempunyai dua aspek, yaitu : penyesuaian diri pribadi dan penyesuaian diri sosial. Penyesuaian diri pribadi adalah penyesuaian individu terhadap dirinya sendiri dan percaya pada diri sendiri. Sedangkan penyesuaian individu sosial merupakan suatu proses yang terjadi dalam lingkungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengannya (Hartono & Sunarto, 2006).

  Penyesuaian diri sebagai faktor yang penting dalam kehidupan manusia, hidup manusia sejak lahir sampai mati tidak lain adalah penyesuaian diri. Kelainan-kelainan kepribadian tidak lain adalah kelainan-kelainan penyesuaian diri. Karena itu tidak mengherankan jika seseorang yang menunjukan kelainan-kelainan penyesuaian diri dinamakan mal adjustmen, yang artinya “tidak ada penyesuaian” atau

  “tidak punya kemampuan menyesuaiakan diri “. Misalnya, seorang anak yang mengalami hambatan-hambatan emosional sehingga dia menjadi nakal, anak itu disebut maladjustment Chilld, menurut Gunarsa dalam (Sobur, 2003).

  Sejak lahir manusia telah dihadapkan dengan lingkungan yang menjadi menjadi sumber stress. Cara untuk menghadapi stress setiap orang pun beranekaragam, dan keberhasilanya juga beranekaragam. Bagi yang gagal menyesuaikan diri akan mengalami maladjusment yang ditandai dengan prilaku menyimpang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di lingkungan atau gangguan yang lain (psikotik, neurotik, psikopatik). Stress terjadi apabila seseorang mengalami tekanan pressure dari lingkungan atau mengalami hambatan dalam memenuhi kebutuhannya yang mengakibakan perasaan frustasi dan ia tidak mampu mengatasinya.

  Dalam menghadapi stress ini akan sangat dipengaruhi oleh individu yang bersangkutan, bagaiman kepribadiannya, persepsi, dan kemampuan dalam menyelesaikan masalah (Dariyo, 2007).

  Penyesuaian diri bersifat relatif, karena tidak ada orang yang mampu menyesuaikan diri secara sempurna,. Alasan pertama penyesuaian diri bersifat relatif adalah melibatkan kapasitas seseorang dalam mengatasi tuntutan dari dalam dirinya dan dari lingkungan. Kapasitas ini bervariasi atara setiap orang, karena berkaitan dengan kepribadian dan tingkat perkembangan seseorang. Kedua adalah karena kualitas penyesuaian diri bervariasi antara satu masyarakat atau budaya dengan masyarakat atau budaya lainnya. Ketiga adalah karena adanya perbedaan-perbedaan pada setiap individu, yang mengakibatkan individu mengalami masa naik turun dalam penyesuaian diri (Fatimah, 2006).

  Dari beberapa pengertian di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses atau usaha yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan baik dalam diri sendiri maupun dengan lingkungan di sekitarnya sehingga tercipta hubungan yang baik, serasi, dan seimbang antara diri dan keadaan yang dihadapi

2. Aspek-aspek yang mempengaruhi penyesuaian diri

  Menurut Fromm dan Gilmore (dalam Desmita, 2009:195) ada 4 aspek dalam penyesuaian diri yang sehat antara lain:

  a.

  Kematangan emosional.

  Kehidupan masa remaja memang diliputi oleh keadaan keadaan yang memungkinkan timbulnya ketegangan atau ganguan emosional dan gangguan ini dapat mengakibatkan emosi remaja menjadi tidak stabil. Puncak dari perkembangan emosi adalah kematangan emosional yang merupakan nilai- nilai dasar pribadi. Menurut (Sarwono. 2002), apabila remaja tidak berhasil mengatasi situasi kritis dan terlalu mengikuti gejolak emosi, maka besar kemungkinan akan terprangkap ke jalan yang salah, seperti penyalahgunaan narkoba, sex bebas, atau kenakalan remaja lainya yang sering kali disebabkan oleh kurang adanya kemampuan dalam mengarahkan emosinya secara positif. Kematangan emosi dan konsep diri sebagai konstruksi pesikologi positif yang berkembang dengan baik akan menurunkan potensi remaja terlibat kenakalan.

  Kematangan emosi merupakan kemampuan untuk dapat bersikap toleran, merasa nyaman, mempunyai kontrol diri, perasaan untuk menerima diri sendiri dan orang lain, serta mampu menyatakan emosinya secara konstruktif dan kreatif (Yusuf, 2011).

  Kematangan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol dan mengendalikan emosinya, dalam hal ini orang yang emosinya sudah matang tidak cepat terpengaruh oleh rangsangan atau stimulus baik dari dalam maupun dari luar pribadinya (Dariyo, 2007). (Riyawati, 2006) menambahkan kematangan emosional adalah suatu keadaan atau kondisi untuk mencapai tingkat kedewasaan.

  Menurut Anderson dalam (Riyawati, 2006) ciri-ciri kematangan emosi adalah :

  1. Berorientasi pada tugas bukan pada diri atau ego.

  2. Tujuan-tujuan yang jelas dan kebiasaan-kebiasaan yang efisien.

  3. Mengendalikan perasaan pribadi.

  4. Keobjektifan.

  5. Menerima kritik dan saran.

  6. Pertanggung jawaban terhadap usaha-usaha pribadi.

  7. penyesuaian yang realistik terhadap situasi-situasi yang baru.

  Adapun aspek-aspek kematangan emosional antara lain kemantapan suasana kehidupan emosional, kemantapan suasana kehidupan kebersamaan dengan orang lain, kemampuan untuk santai, gembira dan menyatakan kejengkelan, sikap dan perasaan terhadap kemampuan dan kenyataan diri sendiri. (Desmita, 2009).

b. Kematangan intelektual

  Kematangan intelektual adaalah kemampuan untuk memperoleh berbagai informasi berpikir abstrak, menalar, serta bertindak secara efektif dan efesien (Mudjiran, 2007), adapun aspek-aspek kematangan intelektual antara lain, kemampuan mencapai wawasan diri sendiri, kemampuan memahami orang lain dan keragamannya, kemampuan mengambil keputusan, dan keterbukaan dalam mengenal lingkungan (Desmita, 2009).

  Kematangan Intelektual adalah orang yang mampu menghadapi segala persoalan dengan mempergunakan Nalar Logika, melakukan pertimbangan-pertimbangan yang logis, sistimatis dan efisien berdasarkan ilmu pengetahuan seluas- luasnya. Intelegensi bukanlah suatu yang bersifat kebendaan, melainkan suatu fiksi ilmiah untuk mendiskripsikan perilaku individu yang berkaitan dengan kemampuan intelektual. Kesiapan belajar secara umum adalah kemampuan seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari pengalaman yang ia temukan. Sementara itu kesiapan kognisi berlainan dengan pengetahuan, pikiran, dan kualitas berfikir seseorang dalam menghadapi situasi belajar yang baru. Kemampuan- kemampuan itu bergantung pada tingkat kematangan intelektual. Latar belakang pengalaman, dan cara-cara pengetahuan sebelumnya (Mudjiran, 2007).

c. Kematangan sosial

  Kematangan sosial adalah kemampuan untuk mengerti orang lain dan bagaimana bereaksi terhadap situasi sosial yang berbeda (Goleman, 2007), adapun aspek-aspek kematangan sosial antara lain, keterlibatan dalam partisipasi sosial, kesediaan kerjasama, kemampuan kepemimpinan dan sikap toleransi (Desmita, 2009). Menurut (Chapin, 2003) mendefinisikan kematangan sosial merupakan perkembangan keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan individu yang menjadi ciri khas klompoknya, dengan demikian ciri-ciri kematangan sosial itu ditentukan oleh kelompok sosial di lingkungan tersebut. Kematangan sosial seseorang tampak dalam perilakunya. Perilaku tersebut menunjukkan kemampuan individu dalam mengurus dirinya sendiri dan partisipasinya dalam aktifitas-aktifitas yang mengarah pada kemandirian sebagaimana layaknya orang dewasa.

  Kematangan sosial memungkinkan orang untuk memahami rincian lingkungan sosial dan mengesankan mereka (Atanimath dan Yenagi, 2011). Menurut (Parizadeh & Khadivar, 2007 dalam Sadat, 2014), kematangan sosial adalah merasa tanggung jawab untuk orang lain, mengatasi berbagai perasaan, mengenai pernikahan dan memiliki peranan serta hubungan yang mendalam. Sebagaimana (Afrooz, 2006 dalam Sadat, 2014) menyatakan, kematangan sosial membentuk dasar dari kehidupan setiap orang dan menyebabkan perkembangan mental dan aspek lainnya perkembangan individu sendiri, dan tanpa diragukan, berbicara secara sosial, dimensi yang paling penting karakteristik masyarakat adalah dimensi sosial. kematangan sosial adalah kebutuhan untuk tujuan apakah emosional atau instrumental. Emosional bertujuan rentang membuat teman-teman, dan mendapatkan dengan baik dengan keluarga dan teman-teman, tujuan berperan mencakup keterampilan hidup dan bekerja sukses dalam masyarakat. (Nelson dalam Sadat, 2014).

  Perilaku yang ketat meningkatkan keseimbangan dalam hubungan manusia, yang mampu berperilaku sesuai untuk orang-orang dan untuk melawan mereka tanpa kegelisahan. Untuk mengungkapkan perasaan secara terus terang, dan menggunakan hak kita sendiri tanpa mengabaikan hak orang lain (Alberti dan Emonse, 2011).

d. Tanggung jawab

  Tanggung jawab secara harafiah dapat diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa- apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikapnya oleh pihak lain, (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2006). Menurut (Barbara, 2004) tanggung jawab adalah sikap yang dapat diandalkan, ketekunan, terorganisasi, tepat waktu, menghormati komitmen, perencanaan. Adapun aspek-aspek tanggung jawab menurut (Desmita, 2009), antara lain: Sikap produktif dalam mengembangkan diri, Melakukan

  perencanaan dan melaksanakannya secara fleksibel, Sikap empati, bersahabat dalam hubungan interpersonal, dan Kesadaran akan etika dan hidup jujur.

  Tanggung jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian kehidupan manusia, bahwa setiap manusia pasti dibebani dengan tanggung jawab. Apabila ia tidak mau bertanggung jawab, maka ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab itu. Dengan demikian tanggung jawab itu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain. Tanggung jawab adalah ciri manusia beradab (berbudaya). Manusia merasa bertanggung jawab karena dia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan mengabdian atau pengorbanannya. Untuk memperoleh atau meningkatkan kesadaran bertanggung jawab perlu ditempuh usaha melalui pendidikan, penyuluhan, keteladanan, dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3. Karakteristik Penyesuaian Diri

  Penyesuaian yang normal well adjustment menurut Schneiders (dalam Desmita, 2009) memiliki karakteristik sebagai berikut : a.

  Absence of excessive emotionality (terhindar dari ekspresi emosi yang berlebihan, merugikan atau kurang mampu mengontrol diri).

  b.

  Absence of psychological mechanism (terhindar dari mekanisme

  • – mekanisme psikologis).

  c.

  Absence of the sense of personal frustration (terhindar dari perasaan frustasi, kecewa karena suatu kegagalan).

  d.

  Rational deliberation and self – direction (memiliki pertimbangan dan pengarahan diri yang rasional).

  e.

  Ability to learen (mampu belajar, mampu mengembangkan kualitas dirinya) f.

  Utilization of past experience (mampu memanfaatkan pengalaman masa lalu).

  g.

  Realistic, objective attitude (bersikap objektif, dan realistic mampu menerima kenyataan hidup yang dihadapi secara wajar).

  Dalam melakukan penyesuaian diri secara positif menurut (Hartono & Sunarto, 2006), individu akan melakukannya berbagai bentuk, antara lain :

  a.

  Penyesuaian dengan menghadapi masalah secara langsung. Situasi ini akan membuat individu secara langsung menghadapi masalahnya dengan segala akibat-akibatnya. Ia melakukan segala tindakan sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Misalnya seorang mahasiswa yang terlambat masuk ke kelas, maka ia akan menghadapinya secara langsung, dan menjelaskan alasan keterlambatannya kepada dosen.

  b. Penyesuaian dengan melakukan eskplorasi (penjajahan).

  situasi ini akan membuat individu mencari berbagai bahan pengalaman untuk dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya. Misalnya seorang mahasiswa yang kurang mampu dalam mengerjakan tugas, dia akan mencari bahan dalam upaya menyelesaikan tugas tersebut, dengan membaca buku, konsultasi, diskusi, dan sebagainya.

  c. Penyesuaian dengan trial and error atau coba – coba.

  Individu akan melakukan suatu tindakan coba

  • – coba, dalam arti jika menguntunghan diteruskan dan jika gagal tidak diteruskan. Taraf pemikiran kurang begitu berperan dibandingkan dengan cara eksplorasi.
d.

  Penyesuaian dengan substitusi (mencari pengganti). Jika individu gagal dalam menghadapi masalah, maka dia dapat memperoleh penyesuaian dengan cara mencari pengganti.

  Misalnya jika seseorang gagal menonton film di gedung bioskop, dia pindah menonton TV.

  e.

  Penyesuaian dengan menggali kemampuan diri. Individu akan mencoba menggali kemampuan

  • – kemampuan khusus dalam dirinya, dan kemudian dikembangkan sehingga dapat membantu penyesuaian diri. Misalnya seorang mahasiswa yang mempunyai kesulitan keuangan, melakukan kerja sambilan, dari uang hasil kerjanya dia dapat mengatasi kesulitan dalam keuangan.

  f. Penyesuaian dalam belajar.

  Pembelajaran akan membuat individu banyak memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang dapat membantu menyesuaikan diri. Misalnya seorang mahasiswa akan lebih dapat menyesuaikan diri terhadap pelajaran yang sulit, jika dia banyak belajar tentang pelajaran tersebut.

  g. Penyesuaian dengan inhibisi dan pengendalian diri.

  Penyesuaian diri akan lebih berhasil jika disertai dengan kemampuan memilih tindakan yang tepat dan mengendalikan diri secara tepat pula. Dalam situasi seperti ini individu berusaha memilih tindakan mana yang harus dilakukan, serta tindakan mana yang tidak perlu dilakukan. Cara ini yang disebut inhibisi. Disamping itu, individu harus mampu mengendalikan dirinya dalam melakukan tindakannya.

  Penyesuaian yang menyimpang (maladjustment) merupakan proses pemenuhan kebutuhan atau upaya pemecahan masalah dengan cara

  • – cara yang tidak wajar atau bertentangan dengan norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Penyesuaian diri yang salah atau menyimpang ditandai dengan berbagai bentuk prilaku yang serba salah, tidak terarah, emosional, sikap yang tidak rasional, agresif, dan sebagainya. Menurut Schneider (Desmita, 2009), respon penyesuaian diri yang abnormal adalah sebagai berikut: a.

  Reaksi bertahan (defence reaction = flight from self).

  Individu dikepung oleh tuntutan

  • – tuntutan dari dalam diri sendiri (needs) dan dari luar (pressure dari lingkungan) yang kadang
  • – kadang mengancam rasa aman egonya. Untuk melindungi rasa aman egonya itu, individu mereaksi dengan mekanisme pertahanan diri (defence mechanism).

  b.

  Reaksi menyerang (agresive reaction) dan delinquency.

  Agresi adalah bentuk respon untuk mereduksi ketegangan dan frustasi melalui media tingkah laku yang merusak, berkuasa, atau mendominasi. c.

  Reaksi melarikan diri dari kenyataan (escape withdrawal reaction atau flight from reaclity ).

  

Reaksi escape dan withdrawal merupakan pertahanan diri

terhadap tuntutan, desakan, atau ancaman dari lingkungan.

  

Escape merefleksikan perasaan kejenuhan, atau putus asa;

  sementara withdrawal mengindikasikan kecemasan, atau ketakutan.

  d.

  Penyesuaian yang patologis (flight into illness).

  Penyesuaian yang patologis berarti individu yang mengalaminya perlu mendapat perawatan khusus, dan bersifat klinis, bahkan perlu perawatan di rumah sakit yang termasuk penyesuaian yang patologis adalah “neurosis” dan “psikosis”.

  e.

  Tingkah laku anti sosial (antisocial behavior).

  Tingkah laku anti sosial merupakan tingkah laku yang bertentangan dengan norma masyarakat (baik secara formal = hukum / perundang

  • – undangan, maupun informal = adat istiadat), dan norma agama.

  f.

  Kecanduan dan ketergantungan alkohol, dan obat terlarang.

  Kecanduan alkohol (minuman keras) dan penyalah gunaan Narkoba merupakan perilaku menyimpang (baik secara hukum maupun secara psikologis). Dampaknya sangat buruk terhadap kesehatan fisik (seperti gangguan fungsi otak dan peradangan lambung dan usus) dan psikis (seperti menjadi pemalas, pembohong, penipu, pencuri, dan perasa).

  g.

  Penyimpangan seksual dan AIDS Beberapa prilaku yang menyimpang yang harus mendapat perhatian semua pihak, diantaranya prilaku seksual dan free sex yang dapat mengakibatkan AIDS

  Penyesuaian diri adalah mengubah sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga merubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan) diri. Penyesuaian diri yang pertama disebut penyesuaian diri yang autoplastis (auto = sendiri, plastis = dibentuk), sedangkan penyesuaian diri yang kedua disebut penyesuaian diri yang aloplastis (alo = yang lain). Penyesuaian diri ada yang “pasif”, dimana kegiatan kita ditentukan oleh lingkungan, dan ada yang berarti “aktif”, dimana kita mempengaruhi lingkungan. Penyesuaian diri merupakan interaksi yang dilakuakn individu secara terus menerus terhadap keadaan dirinya, dengan orang lain maupun dengan keadaan disekitarnya dimana individu tersebut berada (Sobur, 2003).

4. Faktor – faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri.

  Secara keseluruhan keperibadian memiliki fungsi sebagai penentu utama terhadap penyesuaian diri. Maksud dari penentu adalah faktor yang mendukung, mempengaruhi, serta menimbulkan dampak dalam proses penyesuaian. Secara utama berarti peroses penyesuaian ditentukan oleh faktor

  • – faktor yang menentukan kepribadian tersebut baik internal maupun eksternal. Faktor – faktor yang menentukan penyesuaian diri menurut (Hartono & Sunarto, 2006) dapat dikelompokan sebagai berikut : a.

  Kondisi fisik Kondisi fisik yang ada meliputi; bentuk tubuh, kesehatan, penyakit, dan sebagainya. Struktur jasmaniah merupakan kondisi primer bagi tingkah laku maka dapat diperkirakan bahwa sistem saraf, kelenjar, dan otot merupakan faktor yang sangat penting dalam penyesuaian diri.

  b.

  Perkembangan dan kematangan, kematangan emosional, intelektual, sosial, dan moral.

  Tingkat kematangan yang dicapai antara individu yang satu dan yang lainnya, sehingga pencapaian pola

  • – pola penyesuaian diri juga berbeda secara individual atau bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan dan kematangan. kondisi perkembangan mempengaruhi setiap aspek kehidupan.

  c.

  Penentu psikologis, termasuk didalamnya pengalaman, belajarnya, deterministik diri, konflik dan penyesuaian.

  Cara seseorang mengatasi masalah seperti, dalam mengatasi frustasi berbeda

  • – beda tergantung dari pengalaman yang dialami setiap individu. Namuan pada intinya berupaya untuk meningkatkan pencapaian tujuan yang diinginkan secara sosial.
d.

  Kondisi lingkungan, khususnya keluarga, masyarakat dan sekolah.

  Lingkungan dimana individu berada memberi andil yang sangat berarti dalam melakukan penyesuaian diri. Hasil pendidikan yang diperoleh individu dapat mempengaruhi prilaku dalam hal penyesuaian diri.

  e.

  Kultur dan agama sebagai penentu penyesuaian diri.

  Kultur dan agama memiliki peran yang penting, secara psikologis agama sebagai penuntun adanya tuntunan hidup yang mutlak.

5. Bentuk – bentuk penyesuaian diri.

  Menurut Gunarsa (dalam Sobur, 2003) bentuk-bentuk penyesuaian diri ada dua antara lain: a.

  Adaptive Bentuk penyesuaian diri yang adaptive sering dikenal dengan istilah adaptasi. Bentuk penyesuaian diri ini bersifat badani, artinya perubahan-perubahan dalam proses badani untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan lingkungan. Misalnya, berkeringat adalah usaha tubuh untuk mendinginkan tubuh dari suhu panas atau dirasakan terlalu panas.

  b.

  Adjustive Bentuk penyesuaian diri yang lain bersifat psikis, artinya penyesuaian diri tingkah laku terhadap lingkungan yang dalam lingkungan ini terdapat aturan-aturan atau norma. Misalnya, jika kita harus pergi ke tetangga atau teman yang tengah berduka cita karena kematian salah seorang anggota keluarganya, mungkin sekali wajah kita dapat diatur sedemikian rupa, sehingga menampilkan wajah duka, sebagai tanda ikut menyesuaikan terhadap suasana sedih dalam keluarga tersebut.

6. Permasalahan – permasalahan penyesuaian diri.

  Permasalahan krusial yang dihadapi remaja dalam kehidupan sehari

  • – hari dan yang menghambat penyesuaian diri adalah masalah hubungan remaja dengan orang dewasa dan teman sebayanya. Tingkat penyesuaian diri dapat dipengaruhi oleh cara keluarga dalam mengasuh anak sehingga membentuk karakter yang baik. sikap orang tua yang otoriter dapat menghambat penyesuaian diri remaja. Permasalahan – permasalahan penyesuaian diri pada remaja, dapat berasal dari suasana psikologis keluarga seperti karakter keluarga, keadaan keluarga yang tidak utuh, perbedaan perilaku antara laki
  • – laki dan perempuan, dan keluarga yang sering berpindah tempat tinggal (Ali, M. & Asrori, M. 2005).

  Penyesuaian diri remaja terhadap kehidupan sekolah, mungkin akan timbul ketika remaja mulai memasuki jenjang sekolah yang baru.

  Mereka mungkin mengalami masalah penyesuaian diri dengan guru atau dosen, teman, mata pelajaran, sebagai akibat dari ketidak mampuannya dalam menyesuaiakan diri di lingkungan sekolah. Permasalahan yang lain yang mungkin timbul adalah penyesuaian diri yang berkaitan dengan kebiasaan belajar yang baik. bagi remaja yang baru masuk sekolah kemungkinan mengalami kesulitan dalam membagi waktu belajar. Yakni adanya pertentangan antara belajar dan keinginan untuk ikut aktif dalam kegiatan organisasi, kegiatan ekstrakulikuler, dan sebagainya (Sobur, 2003).

  Menurut Kartini (2002), pada masa penyesuaian diri peranan orang dewasa dan lingkungan dimana individu berada sangat berpengaruh untuk pencapaian keberhasilan dalam melakukan penyesuaian diri untuk membangun jati diri yang baik. orang dewasa bertugas memberikan teladan dan mengawasi tindak tanduk tetapi tidak dengan pengekangan semua kegiatan, serta memberikan kebebasan kepada remaja untuk berinteraksi dengan lingkungan secara wajar. Kemampuan penyesuaian diri remaja yang dimaksud adalah kemampuan penyesuaian diri yang ditandai dengan beberapa indikator. Indikator

  • – indikator terseebut adalah sebagai berikut : a.

  Remaja memiliki kemampuan tidak menunjukan adanya ketegangan emosional.

  b.

  Remaja memiliki kemampuan tidak menunjukan adanya mekanisme psikologis.

  c.

  Remaja memiliki kemampuan tidak menunjukan adanya frustasi pribadi.

  d.

  Remaja mampu memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri.

  e.

  Remaja mampu dalam belajar. f.

  Remaja memiliki kemampuan dalam menghargai pengalaman.

  g.

  Remaja memiliki kemampuan bersikap realistik dan objektif.

  Penyesuaian diri merupakan suatu syarat yang penting untuk mencapai kesehatan jiwa atau mental individu. Banyak individu yang menderita, gagal dan merasa tidak mampu mecapai kebahagian dalam hidupnya salah satunya adalah remaja, karena ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri baik dalam kehidupan keluarga, perguruan tinggi, dan pergaulan antar teman. Penyesuaian diri remaja yang melakukan transisi dari sekolah ke perguruan tinggi terlebih perguruan tinggi yang menerapkan sistem boarding school, dimana kebiasaan mereka akan berubah mengikuti aturan yang telah ditetapkan.