BAB II TINJAUAN PUSTAKA - MUZAYYANATUL BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan pustaka 1. Antibiotik a. Definisi Antibiotik Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan

  bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia ralatif kecil (Tjai dan Raharja, 2007).

  Obat antimikroba yang ideal memperlihatkan toksisitas selektif. Istilah ini berarti bahwa obat ini merugikan parasit tanpa merugikan inang. Dalam banyak hal, toksisitas selektif bersifat relatif daripada absolut, berarti bahwa suatu obat dapat merusak parasit dalam konsentrasi yang dapat ditoleransi oleh inang (katzung, 1994) b.

   Penggolongan Antibiotik

  Berdasrkan spektrum atau kisaran kerjanya antibiotik dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu: 1) Antibiotik berspektrum sempit (narrow spektrum), yaitu antibiotik yang hanya mampu menghambat segolongan jenis bakteri saja, contohnya hanya mampu menghambat atau membunuh bakteri gram negatif saja atau gram positif saja. Yang termasuk dalam golongan ini adalah penisilin, streptomisin, neomisin, basitrasin. 2) Antibiotik berspektrum luas (broad spektrum), yaitu antibiotik yang dapat menghambat atau membunuh bakteri dari golongan gram positif maupun gram negatif. Yang termasuk golongan ini yaitu tetrasiklin dan derivatnya, kloramfenikol, ampisilin, sefalosporin, carbapenem dan lain-lain.

  (Pratiwi, 2008) Berdasarkan mekanisme aksinya, antibiotik dibedakan menjadi 5 yaitu: 1) Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel

  Antibiotik yang merusak lapisan peptidoglikan yang menyusun dinding sel bakteri gram positif maupun Gram negatif. Contohnya adalah penisilin, monobaktam, sefalosporin, karbapenem, basitrasin, vankomisin dan isoniazid (INH). 2) Antibiotik yang merusak membran plasma

  Antibiotik yang bersifat merusak membran plasma umum terdapat pada antibiotik golongan polopeptida yang bekerja dengan mengubah permeabilitas membran plasma sel bakteri. Contohnya adalah polimiksin B, amfoterisin B, mikonazol, dan ketokonazol. 3) Antibiotik yang menghambat sintesis protein

  Golongan antibiotik ini bekerja dengan menghambat sintesis protein melalui kerja pada ribosom bakteri. Contohnya adalah Aminoglikosida, Tetrasiklin, Kloramfenikol dan Makrolida. 4) Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat (DNA/RNA)

  Penghambatan pada sintesis asam nukleat berupa penghambatan terhadap transkripsi dan replikasi mokroorganisme. Contohnya adalah antibiotik golongan kuinolon dan rifampin. 5) Antibiotik yang menghambat sintesis metabolit esensial

  Penghambatan terhadap sintesis metabolit esensial antara lain dengan adanya kompetitor berupa antimetabolit, yaitu subtansi yang secara kompetitif menghambat metabolit mikroorganisme, karena memiliki stuktur yang mirip dengan substrat normal bagi enzim metabolisme. Contohnya adalah antimetabolit sulfanolamid (sulfa drug) dan PABA (para amino benzoic acid)

  (Pratiwi, 2008) Berdasarkan struktur kimianya antibiotika dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu: 1)

  Antibiotika β-laktam dan penghambat sintesis dinding sel lainnya contohnya adalah penicillin, cephalosporin, obat- obat β-laktam

  (monobactam, inhibitor beta-laktamase dan carbapenem) dan penghambat sintesis dinding sel yang lain (vacomycin, teicoplanin, fosfomycin, bacitracin, dan cycloserine). 2) Chloramphenicol, Tetracycline, Macrolides, Clindamycin dan

  Streptogramin Golongan antibiotik ini bekerja sebagai penghambat sintesis protein pada tingkat ribosom. Chloramphenicol, macrolides, clindamycin dan streptogramin mengikat diri pada situs-situs terdekat pada subunit 50S dari ribosom RNA 70S.

  3) Aminoglycoside dan Spectinomycin Aminoglycoside adalah golongan antibiotik bakteriosid yang memiliki sifat-sifat kimiawi, antimikroba, farmakologis dan toksik yang karakteristik. Golongan ini meliputi Streptomycin, Neomycin, Kanamycin, Amikacin, Gentamicin, Tobramycin, Sisomicin, Netilmicin dan sebagainya.

  4) Sulfonamide, Trimethoprim, dan Quinolone Sulfonamide merupakan analog struktural PABA yang dapat menghambat dihydropteroate synthase secara kompetitif, dengan cara menyekat sintesis asam folat secara reversibel. Contohnya Sulfasitin, sulfamethoksazole, sulfisoksazole, sulfamethizole, sulfadiazine, sulfapiridin, sulfadoxine dan golongan pirimidin.

  (Katzung, 2004) c.

   Resistensi antibiotik

  Manfaat penggunaan antibiotik tidak perlu diragukan lagi, akan tetapi penggunaan antibiotik yang berlebihan akan segera diikuti dengan munculnya kuman kebal antibiotik, sehingga manfaatnya akan berkurang. Infeksi oleh kuman kebal terhadap berbagai antibiotik akan menyebabkan meningkatnya angka kesakitan dan angka kematian, sehingga diperlukan antibiotik pilihan ke dua atau bahkan pilihan ke tiga, dimana efektifitasnya lebih kecil dan kemungkinan mempunyai efek samping lebih banyak serta biaya yang lebih mahal dibanding dengan pengobatan standar (hadi, 2008).

  Bakteri dikatakan resisten bila pertumbuhannya tidak dapat dihambat oleh antibiotika pada kadar maksimum yang dapat ditolerir oleh pejamu. Munculnya resistensi disebabkan karena penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan tidak hati-hati pada keadaan yang mungkin dapat sembuh tanpa pengobatan atau pada keadaan yang tidak membutuhkan antibiotik. 1) Perubahan genetik yang menyebabkan resistensi obat

  Resistensi berkembang akibat kemampuan DNA yang mengalami mutasi spontan dan resistensi obat karena transfer DNA. 2) Perubahan ekspresi protein pada organisme yag resisten obat

  Resistensi obat mungkin terjadi karena beberapa mekanisme seperti kurangnya atau perubahan pada tempat target, rendahnya penetrasi obat karena menurunnya permeabilitas, atau meningkatnya efluks atau adanya enzim-enzim yang menginaktifkan antibiotika.

  (Mycek, 2001) d.

   Prinsip penggunaan antibiotik bijak

  Resistensi tidak dapat dihilangkan, tetapi dapat diperlambat melalui penggunaan antibiotik yang bijak sehingga dapat mencegah munculnya resistensi antimikroba dan menghemat penggunaan antibiotik yang pada akhirnya akan mengurangi beban biaya perawatan pasien, mempersingkat lama perawatan, penghematan bagi rumah sakit serta meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit

  a (Anonim , 2011).

  Prinsip dalam penggunaan antibiotik yang bijak antara lain sebagai berikut: 1) Penngunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik dengan spektrum sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang adekuat, interval dan lama pemberian yang tepat. 2) Kebijakan pnggunaan antibiotik ditandai dengan pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan penggunaan antibiotik lini pertama. 3) Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan pedoman penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara terbatas (restricted), dan penerapan kewenangan dalam penggunaan antibiotik tertentu (reserve

  antibiotic ).

  4) Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegaskan diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan labolatorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. Antibiotik tidak diberikan pada penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limited). 5) Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada:

  a) Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan kuman terhadap antibiotik.

  b) Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi.

  c) Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.

  d) Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.

  e) Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan aman.

  6) Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan dengan langkah sebagai berikut: a) Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan antibiotik secara bijak.

  b) Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang, dengan penguatan pada labolatorium hematologi, imunologi, dan mikrobioligi atau labolatorium lain yang berkaitan dengan penyakit infeksi.

  c) Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidang infeksi.

  d) Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara tim (team work).

  e) Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan antibiotik secara bijak yang bersifat multi disiplin.

  f) Memantau penggunaan antibiotik secara intensif dan berkesinambungan.

  g) Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik secara lebih rinci di tingkat nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dan masyarakat.

  b

  (Anonim , 2011) e.

   Evaluasi penggunaan antibiotik

  Evaluasi penggunaan antibiotik dapat dalakukan secara kantitatif maupun kualitatif. Evaluasi secara kuantitatif dapat dilakukan dengan penghitungan DDD per 100 hari rawat (DDD per

  

100 bed days ), untuk mengevaluasi jenis dan jumlah antibiotik yang

  digunakan. Evaluasi secara kualitatif dapat dilakukan atara lain dengan metode Gyssen, untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik

  a (Anonim , 2011).

  1) Penilaian kuantitas penggunaan antibiotik Kuantitas penggunaan antibiotik adalah jumah pengunaan antibiotik di rumah sakit yang diukur secara retrospektif dan prospektif melalui studi validasi. Evaluasi penggunan antibiotik secara retrospektif dapat dilakukan dengan memperhatikan ATC/DDD (Anatomical Therapeutic Chemical/Defined Daily

  

Dose ). DDD adalah asumsi dosis rata-rata per hari penggunaan

  antibiotik untuk indikasi tertentu pada orang dewasa. Penilaian penggunaan antibiotik di rumah sakit dengan satuan DDD/100 hari rawat; dan di komunitas dengan satuan DDD/1000 penduduk.

  Kuantitas penggunaan antibiotik yang dinyatakan dalam

  

DDD 100 patient-days , dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:

  a) Kumpulkan data semua pasien yang menerima terapi antibiotik

  b) Kumpulkan lamanya waktu perawatan pasien rawat inap (total

  Length Of Stay , LOS semua pasien)

  c) Hitung jumlah dosis antibiotik (gram) selama dirawat

  d) Hitung DDD 100 patient-days dengan formula sebagai berikut: DDD 100 patient days = x

  a

  (Anonim , 2011) 2) Penilaian kualitas penggunaan antibiotik

  Penilaian kualitas penggunaan antibiotik bertujuan untuk perbaikan kebijakan atau penerapan program edukasi yang lebih tepat terkait kualitas penggunaan antibiotik. Penilaian kualitas penggunaan antibiotik sebaiknya dilakukan oleh minimal tiga

  

reviewer yaitu dokter ahli infeksi, apoteker, dan dokter yang

a merawat (Anonim , 2011).

  Berikut ini adalah langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan dalam melakukan penilaian kualitas penggunaan antibiotik di Rumah Sakit: a) Kualitas penggunaan antibiotik dapat dinilai dengan melihat rekam pemberian antibiotik dan rekam medik pasien.

  b) Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan kesesuaian diagnosis (gejala klinis dan hasil labolatorium), indikasi, regimen dosis, keamanan dan harga.

  c) Alur penelitian menggunakan kategori/klasifikasi gyssens.

  d) Kategori hasil penilaian kualitatif penggunaan antibiotik sebagai berikut: Kategori 0 Penggunaan antibiotik tepat/bijak Kategori I Penggunaan antibiotik tidak tepat waktu Kategori IIA Penggunaan antibiotik tidak tepat dosis Kategori IIB Penggunaan antibiotik tidak tepat interval pemberian Kategori IIC penggunaan antibiotik tidak tepat cara/rute pemberian Kategori IIIA penggunaan antibiotik terlalu lama Kategori IIIB penggunaan antibiotik terlalu singkat Kategori IVA ada antibiotik lain yang lebih efektif Kategori IVB ada antibiotik lain yang kurang toksik/lebih aman Kategori IVC ada antibiotik lain yang lebih murah Kategori IVD ada antibiotik lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit Kategori V tidak ada indikasi penggunaan antibiotik Kategori VI data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi

  b

  (Anonim , 2011) Setiap antibiotik yang diresepkan oleh dokter dapat digolongkan dalam tiga tipe, yaitu terapi, profilaksis, dan unknown. Pemberian antibiotik tanpa adanya gejala klinis infeki yang diberikan setengah sampai satu jam sebelum tindakan bedah disebut profilaksis. Peresepan untuk profilaksis diberi label ADP (Antimicrobial Drug Prophylaxis). Pemberian antibiotik tipe terapi dapat dibedakan menjadi ADE (Antimicrobial Drug Empiric Therapy), ADET (Antimicrobial Drug Extended Therapy) dan ADD (Antimicrobial Drug Documented Therapy). ADE merupakan tipe empirik yang digunakan pada 72 jam pertama perawatan dan belum terdapat hasil kultur. ADET adalah terapi empirik luas tanpa diagnosis definitif yang merupakan kelanjutan dari ADE. ADD merupakan terapi yang diberikan setelah diagnosis definitif/tegak setelah hasil pemeriksaan mikrobiologi keluar. Sedangkan untuk tipe terapi unknown diberi label ADU (Antimicrobial Drug Unknown Therapy), yaitu apabila antibiotik diberikan tanpa ada indikasi penggunaan antibiotik

  b (Anonim , 2011).

2. Sectio Caesaria a. Definisi Sectio Caesaria

  Sectio Caesaria (SC) atau operasi sesar adalah suatu tindakan

  untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 g, melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh (Saifuddin, 2002). Dewasa ini cara ini jauh lebih aman daripada dahulu berhubung dengan adanya antibiotika, tranfusi darah, teknik operasi yang lebih sempurna, dan anestesia yang lebih baik. Karena itu kini ada kecenderungan untuk melakukan Sectio Caesaria tanda dasar yang cukup kuat (Wiknjosastro, 2005).

  Menurut statistik tentang 3509 kasus seksio sasarea yang disusun oleh Peel dan chamberlain (1968) indikasi untuk Sectio

  Caesaria adalah:

  Disproporsi janin-panggul 21% Gawat janin 14% Plasenta previa 11% Pernah seksio sesarea 11% Kelainan letak 10% Incoordinate uterine action 9% Pre-eklampsia dan hipertensi 7%

  (Wiknjosastro, 2005)

b. Jenis Sectio Caesaria

  Dikenal beberapa jenis seksio sesarea yaitu: 1) Sectio Caesaria transperitonealis profunda transperitonealis profunda merupakan

  Sectio Caesaria

  pembedahan yang yang paling banyak dilakukan dengan insisi di segmen bawah uterus. Keunggulan pembedahan ini adalah: a) Perdarahan luka insisi tidak seberapa banyak

  b) Bahaya peritonitis tidak besar

  c) Parut pada uterus umumnya kuat, sehingga bahaya ruputura uteri di kemudian hari tidak besar karena dalam masa nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak mengalami kontraksi seperti korpus uteri, sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna. 2) Sectio Caesaria klasik atau seksio sesarea korporal Pada Sectio Caesaria klasik insisi dibuat pada korpus uteri.

  Pembedahan ini dilakukan apabila ada halangan untuk melakukan seksio sesarea transperitonealis porfunda (misalnya melekat- eratnya uterus pada dinding perut karena Sectio Caesaria yang sebelumnya dan lain-lain), atau apabila akan dilakukan histeroktomi setelah janin dilahirkan. 3) Sectio Caesaria ekstraperitoneal

  Sectio Caesaria ekstraperitoneal dahulu dilakukan untuk

  mengurangi bahaya infeksi puerperal, akan tetapi dengan kemajuan pengobatan terhadap infeksi, pembedahan ini sekarang tidak banyak lagi dilakukan. Pembedahan tersebut sulit dalam tekniknya dan sering terjadi sobekan peritoneum.

  (Wiknjosastro, 1999) c.

   Komplikasi pascaoperasi

  Komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul dalam masa pascaoperasi adalah sebagai berikut:

  1) Syok Peristiwa ini terjadi karena insufiensi akut dari sistem sirkulasi dengan akibat sel-sel jaringan tidak mendapat zat-zat makanan dan O dengan akibat terjadi kematian.

  2

  2) Gangguan jalan kencing Gangguan pada jalan kencing ada 3 macam, yaitu retensio urine, infeksi jalan kencing dan distensi perut.

  3) Infeksi Selain infeksi jalan kencing, ada kemungkinan pula adanya infeksi paru-paru pasca pembedahan, walaupun frekuensi komplikasi ini pada pembedahan ginekologi tidak begitu tinggi dibandingkan dengan pembedahan di perut bagian atas.

  4) Terbukanya luka operasi dan eviserasi Sebab-sebab terbukanya luka operasi pascapembedahan adalah luka tidak dijahit dengan sempurna, distensi perut, batuk atau muntah keras, infeksi, dan debilitassi penderita. 5) Tromboflebitis

  Penyakit ini terdapat pada vena yang bersangkutan sebagai radang, dan sebagai trombosis tanpa tanda radang.

  (Wiknjosastro, 1999)

B. Kerangka Konsep

  Kuantitas Jenis dan Jumlah Penggunaan Antibiotik

  Antibiotik (DDD) Penggunaan Antibiotik

  Kualitas Penggunaan Ketepatan Antibiotik (Kriteria penggunaan

  Gyssens) antibiotik Gambar 1. Kerangka konsep