BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak Usia Prasekolah - Muammar Zaenal Arifin BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak Usia Prasekolah Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan

  lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri. Anak usia

  

prasekolah adalah anak yang berusia 3 sampai 6 tahun (World Health

Organization dalam Supartini, 2004).

  Undang

  • – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, mendefinisikan anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak merupakan individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat menfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasar untuk belajar mandiri (Supartini, 2004).

  Menurut Wong (2000) dalam Supartini (2004), mengemukakan anak secara umum terdri dari tahapan prenatal (usia 0 sampai 28 hari), periode bayi (usia 28 hari sampai 12 bulan), masa anak

  • – anak awal (terdiri atas usia 1 sampai 3 tahun disebut toddler dan usia 3 sampai 6 tahun disebut prasekolah), masa kanak
  • – kanak pertengahan (6 sampai 12 tahun) dan masa kanak – kanak akhir (12 sampai 18 tahun). Setiap individu berbeda dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh beberapa faktor baik secara herediter, lingkungan dan internal.

  16 Pada usia prasekolah kemampuan sosial anak mulai berkembang, persiapan diri untuk memasuki dunia sekolah dan perkembangan konsep diri telah dimulai pada periode ini. Perkembangan fisik lebih lambat dan relatif menetap. Keterampilan motorik seperti berjalan, berlari, melompat menjadi semakin luwes, tetapi otot dan tulang belum begitu sempurna (Supartini, 2004).

B. Tahapan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak 1. Pertumbuhan dan Perkembangan Biologis

  Anak usia prasekolah yang sehat adalah yang periang, cekatan, serta memiliki sikap tubuh yang baik. Pertambahan tinggi rata

  • – rata adalah 6,25 sampai 7,5 cm per tahun dan tinggi rata
  • – rata anak usia 4 tahun adalah 101,25 cm. Pertambahan berat badan
  • – rata adalah 2,3 kg per tahun dan berat badan rata – rata anak usia 4 tahun adalah 16,8 kg (Muscari, 2005).

  Perkembangan fisik atau biologis anak usia prasekolah lebih lambat dan relatif menetap. Pertumbuhan tinggi dan berat badan melambat tetapi pasti dibanding dengan masa sebelumnya. Sistem tubuh harusnya sudah matang dan sudah terlatih dengan toileting. Ketrampilan motorik, seperti berjalan, berlari, melompat menjadi lebih luwes, tetapi otot dan tulang belum begitu sempurna (Supartini, 2004).

2. Perkembangan Psikososial

  Menurut teori perkembangan Erikson masa prasekolah antara usia 3 sampai 6 tahun merupakan periode perkembangan psikososial sebagai periode inisiatif versus rasa bersalah, yaitu anak mengembangkan keinginan dengan cara eksplorasi terhadap apa yang ada disekelilingnya. Hasil akhir yang diperoleh adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu sebagai prestasinya. Perasaan bersalah akan muncul pada anak apabila anak tidak mampu berprestasi sehingga merasa tidak puas atas perkembangan yang tidak tercapai (Supartini, 2004). Anak usia prasekolah adalah pelajar yang energik, antusias, dan pengganggu dengan imajinasi yang aktif. Anak menggali dunia fisik dengan semua indra dan kekuatanya.

  Pada usia prasekolah anak mengembangkan perasaan bersalah ketika orang tua membuat anak merasa bahwa imajinasi dan aktifitasnya tidak dapat diterima. Kecemasan dan katakutan terjadi ketika pemikiran dan aktifitas anak tidak sesuai dengan harapan orang tua (Muscari, 2005).

3. Perkembangan Psikoseksual

  Masa prasekolah merupakan periode perkembangan psikoseksual yang dideskripsikan oleh Freud sebagai periode Falik, yaitu genitalia menjadi area yang menarik dan area tubuh yang sensitif. Anak mulai mempelajari adanya perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki-laki dengan mengetahui adanya perbedaan alat kelamin (Supartini, 2004).

  Menurut Freud, anak prasekolah akan mengalami konflik Odipus. Fase ini ditandai dengan kecemburuan dan persaingan terhadap orang tua sejenis dan lebih merasa nyaman dan dekat terhadap orang tua lain jenis. Tahap odipus biasanya berakhir pada akhir periode usia prasekolah dengan identifikasi kuat pada orang tua sejenis (Muscari, 2005).

4. Perkembangan Kognitif

  Perkembangan kognitif yang dideskripsikan oleh Piaget pada anak usia prasekolah (3 sampai 6 tahun) berada pada fase peralihan antara prakonseptual dan intuitif. Pada fese prakonseptual (usia 2 sampai 4 tahun), anak membentuk konsep yang kurang lengkap dan logis dibandingkan dengan konsep orang dewasa. Anak membuat klasifikasi yang sederhana. Anak menghubungkan satu kejadian dengan kejadian yang simultan (penalaran transduktif) (Muscari, 2005). Pada fase intuitif (usia 5 sampai 7 tahun), anak menjadi mampu membuat klasifikasi, menjumlahkan, dan menghubungkan objek-objek, tetapi tidak menyadari prinsip-prinsip di balik kegiatan tersebut. Anak menunjukan proses berfikir intuitif (anak menyadari bahwa sesuatu adalah benar, tetapi ia tidak dapat mengatakan alasanya). Anak tidak mampu untuk melihat sudut pandang orang lain.

  Anak menggunakan banyak kata yang sesuai, tetapi kurang memahami makna sebenarnya (Muscari, 2005). Menurut Sacharin (1996), anak usia 5 hingga 6 tahun mulai mengetahui banyak huruf-huruf dari alphabet, mengetahui lagu kanak-kanak dan dapat menghitung sampai sepuluh. Anak juga mulai dapat diberi pengertian, bermain secara konstruktif dan imitatif serta menggambar gambar-gambar yang dapat dikenal.

  5. Perkembangan Moral

  Menurut Piaget dalam Sacharin (1996), yang menyelidiki penggunaan aturan-aturan oleh anak-anak dan pandangan mereka mengenai keadilan, dinyatakan bahwa anak-anak dibawah usia 6 tahun memperlihatkan sedikit kesadaran akan suatu aturan. Bahkan aturan yang mereka terima tampaknya tidak membatasi perilaku mereka dalam cara apapun.

  Menurut Kohlberg, anak usia prasekolah berada pada tahap prakonvensional dalam perkembangan moral, yang terjadi hingga usia 10 tahun. Pada tahap ini, perasaan bersalah muncul, dan penekananya adalah pada pengendalian eksternal. Standar moral anak adalah apa yang ada pada orang lain, dan anak mengamati mereka untuk menghindari hukuman atau mendapatkan penghargaan (Muskari, 2005).

  6. Perkembangan Sosial

  Salah satu bentuk sosialisasi anak usia prasekolah dalam kehidupan sehari-hari adalah bermain bersosialisasi dengan keadaan bersama atau dekat dengan anak-anak lain. Selama masa ini anak cenderung bercakap-cakap dengan dirinya sendiri membeberkan individu, dan dunia berpusat dalam kehidupan dirinya (Shacarin, 1996).

C. Kebutuhan Dasar untuk Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

  Menurut Soetjiningsih (2002), kebutuhan dasar untuk pertumbuhan dan perkembangan anak dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu :

1. Asuh (Kebutuhan Fisik – Biomedis)

  Kebutuhan asuh meliputi :

  a. Nutrisi yang cukup dan seimbang Pemberian nutrisi secara mencukupi pada anak harus sudah dimulai sejak dalam kandungan, yaitu dengan pemberian nutrisi yang cukup memadai pada ibu hamil. Setelah lahir, harus diupayakan pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif, yakni pemberian ASI saja sampai anak berumur 4

  • – 6 bulan. Sejak berumur 6 bulan, sudah waktunya anak diberikan makanan tambahan atau makanan pendamping ASI. Pemberian makanan tambahan ini penting untuk melatih kebiasaan makan yang baik dan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang mulai meningkat pada masa bayi dan prasekolah, karena pada masa ini pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi adalah sangat pesat, terutama pertumbuhan otak.

  b. Perawatan kesehatan dasar Untuk mencapai keadaan kesehatan anak yang optimal diperlukan beberapa upaya, misalnya imunisasi, kontrol ke puskesmas atau posyandu secara berkala serta diperiksakan segera bila sakit. Dengan upaya tersebut keadaan kesehatan anak dapat dipantau secara dini, sehingga bila ada kelainan, maka anak segera mendapatkan penanganan yang benar. c. Pakaian Anak perlu mendapatkan pakaian yang bersih dan nyaman dipakai karena aktivitas anak lebih banyak, hendaknya pakaian tersebut dari bahan yang mudah menyerap keringat.

  d. Perumahan Dengan memberikan tempat tinggal yang layak, maka hal tersebut akan membantu anak untuk bertumbuh dan berkembang secara optimal.

  e. Higiene diri dan lingkungan Kebersihan badan dan lingkungan yang terjaga berarti sudah mengurangi risiko tertularnya berbagai penyakit infeksi. Selain itu, lingkungan yang bersih akan memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan aktivitas bermain secara aman.

  f. Kesegaran jasmani (olahraga dan rekreasi) Aktivitas olahraga dan rekreasi digunakan untuk melatih kekuatan otot-otot tubuh dan membuang sisa metabolisme, selain itu juga membantu meningkatkan motorik anak dan aspek perkembangan lainnya.

2. Asih (Kebutuhan Emosi dan Kasih Sayang)

  Kebutuhan asih meliputi :

  a. Kasih sayang orang tua Orang tua yang harmonis akan mendidik dan membimbing anak dengan penuh kasih sayang. Kasih sayang tidak berarti memanjakan atau tidak pernah memarahi, tatapi bagaimana orang tua menciptakan hubungan yang hangat dengan anak sehingga anak merasa aman dan senang.

  b. Rasa aman Adanya interaksi yang harmonis antara orang tua dan anak akan memberikan rasa aman bagi anak untuk melakukan aktivitas sehari- harinya.

  c. Harga diri Setiap anak ingin diakui keberadaan dan keinginannya, tetapi bila anak diacuhkan maka hal ini dapat menyebabkan frustasi.

  d. Dukungan atau dorongan Dalam melakukan aktivitas, anak perlu memperoleh dukungan dari lingkungan, tetapi bila orang tua sering melarang aktivitas yang akan dilakukan, maka hal tersebut dapat menyebabkan anak ragu-ragu dalam melakukan setiap aktivitasnya. Selain itu, orang tua perlu memberikan dukungan agar anak dapat mengatasi stresor atau masalah yang dihadapi.

  e. Mandiri Agar anak menjadi pribadi yang mandiri, maka sejak awal anak harus dilatih untuk tidak selalu tergantung pada lingkungannya.

  f. Rasa memiliki Anak perlu dilatih untuk mempunyai rasa memiliki terhadap barang-barang yang dipunyainya sehingga anak tersebut akan mempunyai rasa tanggung jawab untuk memelihara barangnya. g. Kebutuhan akan sukses, mendapatkan kesempatan dan pengalaman Anak perlu diberikan kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kemampuan dan sifat-sifat bawaannya. Tidak pada tempatnya jika orang tua memaksakan keinginannya untuk dilakukan oleh anak tanpa memperhatikan kemauan anak.

3. Asah (Kebutuhan Stimulasi)

  Stimulasi adalah adanya perangsangan dari lingkungan luar anak yang berupa latihan atau bermain. Stimulasi merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak yang banyak mendapatkan stimulasi yang terarah akan cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang mendapatkan stimulasi. Pemberian stimulasi ini sudah dapat dilakukan sejak masa pranatal dan setelah lahir dengan cara menyusukan bayi pada ibunya sedini mungkin.

  Asah merupakan kebutuhan untuk perkembangan mental psikososial anak yang dapat dilakukan dengan pendidikan dan pelatihan.

D. Hospitalisasi 1. Pengertian Hospitalisasi

  Hospitalisasi atau rawat inap pada anak adalah suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat yang menyebabkan anak harus tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah (Supartini, 2004).

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hospitalisasi

  Menurut Steven (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi hospitalisasi, yaitu: a. Kepribadian Manusia Tidak semua orang peka terhadap hospitalisasi atau rawat inap.

  Kita dapat melihat bahwa ada orang yang sangat menderita dan sangat bergantung pada apa yang diberikan lingkungannya. Ada juga yang menangani sendiri dan tidak bisa menerima keadaan itu begitu saja. Salah satu faktor yang mempunyai pengaruh terhadap hospitalisasi adalah kepribadian manusia itu sendiri.

  b. Kehilangan Kontak dengan Dunia Luar Klien atau keluarga yang tinggal di rumah sakit dengan terpaksa harus kehilangan kontak yang telah dijalaninya selama ini. Kehilangan terhadap sebagian besar dari kehidupannya dan orang-orang yang selalu ia hubungi.

  c. Ada yang Memberikan Pertolongan Ada perbedaan dalam tugas antara klien dan yang memberi pertolongan, ini terlihat jelas dalam kegiatan sehari-hari klien.

  Biasanya klien menunggu dan perawat yang mengetahui hal-hal yang dibutuhkan. Saat perawat menolong dengan giat dan aktif, maka ini sangat mempengaruhi keadaan klien.

  d. Faktor Perawat Faktor yang timbul dari perawat ditentukan oleh sikap perawat, baik dari hubungan antara sesama perawat maupun dengan sikap mereka terhadap klien, termasuk juga cara berpakaian perawat serta suasana lingkungan rumah sakit. Hal tersebut dapat mempengaruhi cepat atau lambatnya dampak hospitalisasi pada klien.

  e. Obat-obatan Obatan-obatan dapat memberikan pengaruh besar pada sikap.

  Beberapa obat-obatan dapat mengakibatkan adanya tanda-tanda yang sama seperti rawat inap dengan sendirinya. Hal ini akan berdampak besar jika menggunakan obat-obatan yang merangsang adanya sikap tersebut.

  3. Keuntungan Hospitalisasi

  Perawatan yang dilakukan di rumah sakit dapat menimbulkan stres pada anak-anak. Namun demikian, terdapat juga keuntungan dari rawat inap, yaitu kesembuhan dari penyakit, memberikan kesempatan kepada anak untuk mendapatkan pengalaman sosial yang baru dan meluaskan hubungan interpersonal (Whaley & Wong, 1999).

  4. Dampak Hospitalisasi

  Rawat inap atau hospitalisasi pada klien anak dapat menyebabkan kecemasan dan stres pada semua tingkatan usia. Penyebab dari kecemasan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor dari petugas (perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya), lingkungan baru maupun keluarga yang mendampingi selama perawatan. Keluarga sering merasa cemas dengan perkembangan anaknya, pengobatan dan biaya perawatan. Meskipun dampak tersebut tidak bersifat langsung terhadap anak, secara psikologis anak akan merasakan perubahan perilaku dari orang tua yang mendampinginya selama perawatan. Anak menjadi semakin stres sehingga hal ini berpengaruh pada proses penyembuhan, yaitu menurunnya respon imun. Adanya penurunan sistem imun inilah yang akan berakibat pada penghambatan proses penyembuhan. Hal tersebut menyebabkan waktu perawatan yang lebih lama, bahkan akan mempercepat terjadinya komplikasi selama perawatan (Nursalam, 2005).

5. Reaksi Anak yang Mengalami Hospitalisasi

  Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak pada anak. Jika seorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut akan mudah mengalami krisis karena anak mengalami stres akibat perubahan baik terhadap status kesehatannya maupun lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari. Selain itu, anak tersebut mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah ataupun kejadian-kejadian yang bersifat menekan. Reaksi anak dalam mengatasi krisis tersebut dipengaruhi oleh tingkat perkembangan usia, pengalaman sebelumnya terhadap proses sakit dan dirawat, sistem dukungan (support system) yang tersedia serta keterampilan koping dalam menangani stres (Nursalam, 2005).

6. Stressor pada Anak yang Dirawat di Rumah Sakit

  Stres merupakan suatu stimulus yang menuntut dan juga akibat dari fisiologis dan emosi pada stimulus lingkungan yang disebabkan oleh adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya (Abraham, 1997). Bila seorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut akan mudah mengalami stres akibat perubahan status kesehatan dan lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari. Menurut Nursalam (2005), stressor pada anak yang dirawat di rumah sakit, yaitu : a. Cemas Karena Perpisahan

  Sebagian besar stres yang terjadi pada anak adalah cemas karena perpisahan. Anak belum mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang memadai dan memiliki pengertian yang terbatas terhadap realita. Hubungan anak dengan ibu merupakan hubungan yang sangat dekat, akibatnya perpisahan dengan ibu akan menimbulkan rasa kehilangan pada anak akan orang yang terdekat bagi dirinya dan akan lingkungan yang dikenal olehnya, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan perasaan tidak aman dan rasa cemas.

  Respon anak akibat perpisahan dibagi dalam 3 tahap, yaitu : 1) Tahap Protes (Phase of Protest)

  Tahap ini dimanifestasikan dengan menangis kuat, menjerit dan memanggil ibunya atau menggunakan tingkah laku agresif, seperti menendang, menggigit, memukul, mencubit, mencoba untuk membuat orang tuanya tetap tinggal dan menolak perhatian orang lain. Secara verbal, anak menyerang dengan rasa marah, seperti mengatakan “pergi”. Perilaku tersebut dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari. Perilaku protes tersebut, seperti menangis, akan terus berlanjut dan hanya akan berhenti bila anak merasa kelelahan. Pendekatan dengan orang asing yang tergesa-gesa akan meningkatkan protes.

  2) Tahap Putus Asa (Phase of Despair) Pada tahap ini, anak tampak tegang, tangisnya berkurang, tidak aktif, kurang berminat untuk bermain, tidak ada nafsu makan, menarik diri, tidak mau berkomunikasi, sedih, apatis, mengompol dan mengisap jari. Pada tahap ini, kondisi anak mengkhawatirkan karena anak menolak untuk makan, minum atau bergerak. 3) Tahap Menolak (Phase of Denial)

  Pada tahap ini, secara samar-samar anak menerima perpisahan, mulai tertarik dengan apa yang ada di sekitarnya dan membina hubungan dangkal dengan orang lain. Anak mulai kelihatan gembira. Fase ini biasanya terjadi setelah perpisahan yang lama dengan orang tua.

  b. Kehilangan Kontrol Diri Anak berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan otonominya.

  Hal ini terlihat jelas dalam perilaku mereka dalam hal kemampuan motorik, bermain, melakukan hubungan interpersonal, melakukan aktivitas hidup sehari-hari dan komunikasi.

  Anak telah mampu menunjukkan kestabilan dalam mengendalikan dirinya dengan cara mempertahankan kegiatan-kegiatan rutinnya tersebut. Akibat sakit dan dirawat di rumah sakit, anak akan kehilangan kebebasan pandangan egosentris dalam mengembangkan otonominya. Hal ini dapat menimbulkan regresi. Ketergantungan merupakan karakteristik dari peran sakit. Anak akan bereaksi terhadap ketergantungan dengan negativitas, terutama anak akan menjadi cepat marah dan agresif. Jika terjadi ketergantungan dalam jangka waktu yang lama (karena penyakit kronis), maka anak akan kehilangan otonominya dan pada akhirnya akan menarik diri dari hubungan interpersonal.

  c. Rasa Takut terhadap Perlukaan Tubuh Konsep tentang citra tubuh (body image), khususnya pengertian mengenai perlindungan tubuh, sedikit sekali berkembang pada anak.

  Biasanya bila dilakukan pemeriksaan telinga, mulut atau suhu pada anus akan membuat anak menjadi sangat cemas. Reaksi anak terhadap tindakan yang tidak menyakitkan sama seperti reaksi terhadap tindakan yang sangat menyakitkan.

  Reaksi anak terhadap rasa nyeri sama seperti sewaktu masih bayi, namun jumlah variabel yang mempengaruhi responnya lebih kompleks dan bermacam-macam. Anak akan bereaksi terhadap rasa nyeri dengan menyeringaikan wajah, menangis, mengatupkan gigi, menggigit bibir, membuka mata dengan lebar atau melakukan tindakan yang agresif, seperti menggigit, menendang, memukul atau berlari keluar.

E. Kecemasan 1. Definisi

  Kecemasan adalah keadaan dimana inividu/kelompok mengalami perasaan gelisah (penilaian atau opini) dan aktivasi sistem saraf otonom dalam berespons terhadap ancaman tidak jelas, non spesifik (Carpenito, 1997).

  Kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respon autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu); perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi ancaman (Herdman, 2012)

  Kecemasan dapat didefinisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa gelisah, ketidak tentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi dari ancaman sumber actual yang tidak nyaman, rasa khawatir akan terjadinya sesuatu dimana sumber kecemasan tidak spesifik menimbulkan respon otonom (NANDA, 2007) 2.

   Tingkat Kecemasan

  Stuard dan Sundeen (1998), membagi cemas menjadi 4 tahap yaitu:

  a. kecemasan ringan Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.

  b. kecemasan sedang Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan hal yang lain. Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.

  c. kecemasan berat Seseorang akan sangat mengurangi lahan persepsinya. Seseorang cenderung akan memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditunjukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.

  d. Panik Berhubungan dengan terperangah, katakutan dan teror. Seseorang mengalami kehilangan kendali, orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Dengan panik, terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian.

  Rentang Respon Cemas

  Respon Adaftif Respon Maladaftif

  Tidak cemas ringan sedang berat panik

Gambar 2.1 Rentang Respon Kecemasan (Stuart dan Sundeen, 1998) Kecemasan diperlukan dalam kehidupan anak dalam taraf ringan.

  Dalam kehidupan sehari-hari, kecemasan anak tidak dapat dicegah. Anak memiliki usia lebih muda, memiliki ego yang belum matang, lebih sedikit kemampuan anak untuk mengatasi kecemasan yang dialami. Sebaliknya pada anak yang memiliki usia lebih tua, terutama pada usia dewasa awal, ego telah berkembang lebih matang, sehingga lebih mudah untuk mengatasi kecemasan secara realistis. Dalam masa perkembanganya, anak harus belajar mengatasi rasa cemas baik yang bersifat sesungguhnya maupun yang bersifat khayal. Anak umumnya kesulitan dalam mengutarakan rasa cemas (Mardaningsih, 2011).

3. Tanda Kecemasan

  Tanda dan gejala kecemasan menurut Keliat ea al (2011) adalah sebagai berikut: a. Fisik, berupa jantung berdebar, susah tidur, pusing, berkeringat, nyeri perut dan tremor. b. Mental, berupa ketegangan mental (bingung, rasa tegang, konsentrasi buruk)

4. Faktor Presipitasi Kecemasan

  Menurut Stuart (2006) faktor presipitasi kecemasan dapat berasal dari sumber internal dan eksternal. Faktor presipitasi kecemasan dapat dikelompokan menjadi dua kategori yaitu : 1) Ancaman terhadap integritas fisik, meliputi penurunan kemampuan untuk melakukan aktifitas sehari-hari. 2). Ancaman terhadap sistem diri, dapat membahayakan identitas, harga diri dan fungsi sosial yang terintegrasi pada individu.

  Sementara Hockenberry dan Wilson (2007) menyatakan faktor- faktor yang mempengaruhi kecemasan anak selama hospitalisasi diantaranya adalah usia, jenis kelamin, dan pengalaman dan pengalaman dirawat dirumah sakit sebelumnya.

5. Gejala Klinis Cemas Menurut Hawari (2004), antara lain:

  a. Cemas, Khawatir firafat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung.

  b. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut

  c. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang d. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan.

  e. Gangguan konsentrasi dan daya ingat f. Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging tinitus, berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan dan sakit kepala.

6. Respon Kecemasan

  Menurut Kaplan (2002), Perasaan kecemasan ditandai dengan rasa tidak menyenangkan, samar, dan seringkali disertai dengan gejala otonomik seperti nyeri kepala, berkeringat, kekakuan pada dada, dan gangguan lambung ringan. Seseorang yang cemas juga merasa gelisah, seperti yang dinyatakan oleh ketidakmampuan untuk duduk atau berdiri lama. Kumpulan gejala kecemasan tersebut akan bervariasi dari tiap individu. Menurut Stuart dan Sundeen (1998), kecemasan dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku dan secara tidak langsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme koping sebagai upaya untuk melawan kecemasan. Intensitas perilaku akan meningkat sejalan dengan peningkatan tingkat kecemasan. Respon kecemasan dapat dibagi terdiri dari respon fisiologis, perilaku, kognitif, dan afektif.

  a. respon fisiologis Sistem kardiovaskuler akan memunculkan tanda palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah meningkat. Respon parasimpatis juga dapat muncul seperti rasa ingin pingsan, tekanan darah menurun dan denyut nadi menurun. Namun pada penelitian lain menunjukan bahwa anak yang menjalani prosedur pembedahan menunjukan peningkatan tekanan darah dan denyut nadi (Tsai, 2007).

  Respon tubuh pada juga akan menunjukan tarikan nafas yang pendek dan cepat, hiperventilasi, berkeringat dingin termasuk telapak tangan, kehilangan nafsu makan, mual atau muntah, nyeri perut, sering buang air kecil, nyeri kepala, tidak bisa tidur, kelemahan umum, pucat dan gangguan pencernaan.

  b. respon perilaku Respon perilaku sering ditunjukan seperti gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, kurang koordinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal, dan menghindar.

  c. respon kognitif Respon kognitif ditunjukan seperti perhatian terganggu, konsentrasi memburuk, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, kreatifitas menurun, bingung, sangat waspada, kehilangan objektivitas, takut kehilangan kontrol, takut pada gambaran visual, takut cedera atau kematian.

  d. respon afektif Respon afektif ditunjukan seperti mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup, waspada, gelisah, kecemasan, dan ketakutan.

  Menurut Mardaningsih (2011), beberapa tanda kecemasan pada anak antara lain:

  1. Menjadi impulsif dan destruktif;

  2. Gugup;

  3. Sulit tidur atau tidur lebih lama dari biasanya;

  4. Tangan berkeringat;

  5. Peningkatan detak jantung dan nafas;

  6. Mual;

  7. Sakit kepala; 8. Sakit perut.

  Dengan beberapa tanda kecemasan ini orang tua diharapkan bisa lebih memperhatikan anaknya bila sedang merasa cemas kerena sesuatu. Menanyakan kepada anak apa yang dirasakan atau sekedar membicarakan keluhan-keluhan anak dapat membantu mengatasi kecemasan pada anak.

7. Penatalaksanaan Kecemasan

  Menurut Kaplan dan Sadock (2002), Penatalaksanakan yang paling efektif untuk pasien dengan gangguan kecemasan adalah sebagai berikut: a. Psikoterapi

  Pendekatan Psikoterapi utama untuk gangguan kecemasan adalah kognitif-perilaku, suportif dan berorientasi tilikan. Teknik terapi kognitif-perilaku memiliki kemanjuran jangka panjang dan jangka pendek. Pendekatan kognitif secara langsung menjawab keluhan somatik. Teknik utama yang digunakan dalam pendekatan perilaku adalah relaksasi dan biofeedback. Teknik relaksasi yang dapat diberikan antara lain terapi musik, nafas dalam dan guidance imagenary. Psikoterapi berorientasi tilikan memuaskan untuk mengungkapkan konflik bawah sadar kekuatan ego. Terapi suportif menawarkan ketentraman dan kenyamanan pada pasien.

  b. Farmakoterapi Dua jenis obat yang harus dipertimbangkan dalam pengobatan gangguan kecemasan adalah buspirone dan benzodiazepin. Obat lain yang mungkin berguna adalah obat trisiklik (imipramin), anti histamin dan antegonis adrenergik beta (propanol).

8. Skala pengukuran kecemasan pada anak

  Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS) pre school Spence children’s Anxiety Sacale (SCAS) pre school adalah

  instrumen kecemasan untuk mengukur kecemasan pada anak pada usia pra sekolah. Skala ini terdiri dari 28 pertanyaan kecemasan. Skala ini dilengkapi dengan meminta orang tua untuk mengikuti petunjuk pada lembar instrumen. Jumlah skore maximal pada skala kecemasan SCAS

  

pre school adalah 112. Dua puluh delapan item kecemasan tersebut

  memberikan ukuran keseluruhan kecemasan, selain nilai pada 6 sub skala masing-masing menekankan aspek tertentu dari kecemasan anak, yaitu kecemasan umum, kecemasan sosial, gangguan obsesif kompulsif, ketakutan cidera fisik dan kecemasan pemisahan (Spence, 2001). Hasil total kuesioner akan menjadi kriteria tingkat kecemasan anak, dengan rentang skore kecemasan sebagai berikt : ringan (score < 28) sedang (score 28-56), berat (score 57-84) dan sangat berat/panik (score >85).

  Jumlah pertanyaan dalam instrumen ini terdiri dari 6 sub skala kecemasan dan pada item pertanyaanm sebagai berikut : 1) Kecemasan umum (1,4,8,14, dan 28) 2) Kecemasan sosial (2,5,11,15,19, dan 23) 3) Gangguan Obsesif kompulsif (3,9,18,21, dan 27) 4) Ketakutan cidera fisik (7,10,13,17,20,24, dan 26) 5) Kecemasan pemisahan (6,12,16,22, dan 25).

F. Reaksi Orang tua terhadap Anaknya yang Dirawat di Rumah Sakit

  Reaksi orang tua terhadap anaknya yang sakit dan dirawat di rumah sakit dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain :

  1. Tingkat keseriusan penyakit anak

  2. Pengalaman sebelumnya terhadap sakit dan dirawat di rumah sakit

  3. Prosedur pengobatan

  4. Sistem pendukung yang tersedia

  5. Kekuatan ego indvidu

  6. Kemampuan dalam penggunaan koping

  7. Dukungan dari keluarga

  8. Kebudayaan dan kepercayaan

  9. Komunikasi dalam keluarga Adapun bentuk reaksi orang tua tersebut, antara lain : 1.

   Penolakan atau ketidakpercayaan (denial or disbelief)

  Menolak atau tidak percaya. Hal ini terjadi terutama bila anak tiba-tiba sakit serius.

  2. Marah atau merasa bersalah atau keduanya

  Setelah mengetahui bahwa anaknya sakit dan harus dirawat di rumah sakit, maka reaksi orang tua, terutama ibu adalah marah dan menyalahkan dirinya sendiri. Mereka merasa tidak merawat anaknya dengan benar, mereka mengingat-ingat kembali mengenai hal-hal yang telah mereka lakukan yang kemungkinan dapat mencegah anaknya agar tidak jatuh sakit atau mengingat kembali tentang hal-hal yang menyebabkan anaknya sakit.

  3. Ketakutan, cemas dan frustasi

  Ketakutan dan rasa cemas dihubungkan dengan seriusnya penyakit dan tipe prosedur medis. Frustasi dihubungkan dengan kurangnya informasi mengenai prosedur dan pengobatan atau tidak familiar dengan peraturan rumah sakit.

  4. Depresi

  Biasanya depresi ini terjadi setelah masa krisis anak berlalu. Ibu sering mengeluh merasa lelah baik secara fisik maupun mental. Orang tua mulai merasa khawatir terhadap anak-anak mereka yang lain yang dirawat oleh anggota keluarga lainnya, oleh teman atau tetangga. Hal-hal lain yang membuat orang tua cemas dan depresi adalah kesehatan anaknya di masa- masa yang akan datang, misalnya efek dari prosedur pengobatan dan juga biaya pengobatan.

G. Intervensi Keperawatan dalam Mengatasi Dampak Hospitalisasi

  Sebagai salah satu anggota tim kesehatan, perawat memegang posisi kunci untuk membantu orang tua menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan perawatan anaknya di rumah sakit karena perawat berada di samping klien selama 24 jam dan fokus asuhan adalah peningkatan kesehatan anak melalui pemberdayaan keluarga. Asuhan yang berpusat pada keluarga dan atraumatic care menjadi falsafah utama dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.

  Untuk itu berkaitan dengan upaya mengatasi masalah yang timbul baik pada anak maupun orang tua selama anaknya dalam perawatan di rumah sakit, fokus intervensi keperawatan adalah meminimalkan stresor, memaksimalkan manfaat hospitalisasi, memberikan dukungan psikologis pada anggota keluarga, dan mempersiapkan anak sebelum dirawat di rumah sakit (Supartini, 2004).

1. Upaya Meminimalkan Stresor atau Penyebab Stres

  Menurut Supartini (2004), upaya untuk meminimalkan stresor dapat dilakukan dengan cara mencegah atau mengurangi dampak perpisahan, mencegah perasaan kehilangan kontrol diri dan mengurangi atau meminimalkan rasa takut terhadap perlukaan tubuh.

  a. Upaya mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan 1) Melibatkan orang tua berperan aktif dalam perawatan anak dengan cara membolehkan mereka untuk tinggal bersama anak selama 24 jam (rooming in);

  2) Bila tidak mungkin untuk rooming in, beri kesempatan orang tua untuk melihat anak setiap saat dengan maksud mempertahankan kontak antar mereka;

  3) Modifikasi ruang perawatan dengan cara membuat situasi ruang rawat seperti di rumah, di antaranya dengan membuat dekorasi ruangan yang bernuansa anak;

  4) Mempertahankan kontak dengan kegiatan sekolah, di antaranya dengan memfasilitasi pertemuan dengan guru, teman sekolah dan membantunya melakukan surat menyurat dengan siapa saja yang anak inginkan.

  b. Upaya mencegah perasaan kehilangan kontrol diri 1) Hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif terhadap petugas kesehatan. Bila anak harus diisolasi, lakukan modifikasi lingkungan sehingga isolasi tidak terlalu dirasakan oleh anak dan orang tua, pertahankan kontak antara orang tua dan anak terutama pada bayi dan anak todler untuk mengurangi stres;

  2) Buat jadwal kegiatan untuk prosedur terapi, latihan, bermain dan aktivitas lain dalam perawatan untuk menghadapi perubahan kebiasaan atau kegiatan sehari-hari;

  3) Fokuskan intervensi keperawatan pada upaya untuk mengurangi ketergantungan dengan cara memberi kesempatan pada anak untuk mengambil keputusan dan melibatkan orang tua dalam perencanaan kegiatan asuhan keperawatan. c. Upaya meminimalkan rasa takut terhadap perlukaan tubuh 1) Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang menimbulkan rasa nyeri, yaitu dengan menjelaskan apa yang akan dilakukan dan memberikan dukungan psikologis pada orang tua;

  2) Lakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan fisik anak, misalnya dengan cara bercerita, mengambar, menonton video kaset dengan cerita yang berkaitan dengan tindakan atau prosedur yang akan dilakukan pada anak.

  3) Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua pada saat dilakukan tindakan atau prosedur yang menimbulkan rasa nyeri terhadap anak, bila anak tersebut tidak dapat menahan diri, bahkan menangis bila melihatnya. Dalam kondisi ini, tawarkan pada anak dan orang tua untuk mempercayakan kepada perawat sebagai pendamping anak selama prosedur tersebut dilakukan.

  4) Tunjukkan sikap empati sebagai pendekatan utama dalam mengurangi rasa takut akibat prosedur yang menyakitkan.

2. Memaksimalkan Manfaat Hospitalisasi pada Anak

  Perawat dapat memaksimalkan manfaat hospitalisasi pada anak dengan cara : a. Membantu perkembangan orang tua dan anak dengan cara memberi kesempatan orang tua mempelajari tumbuh kembang anak dan reaksi anak terhadap stresor yang dihadapi selama dalam perawatan di rumah sakit; b. Hospitalisasi dapat dijadikan media untuk belajar orang tua. Untuk itu, perawat dapat memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang penyakit anak, terapi yang didapat dan prosedur keperawatan yang dilakukan kepada anak, tentunya sesuai dengan kapasitas belajarnya;

  c. Untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri dapat dilakukan dengan memberi kesempatan pada anak mengambil keputusan, tidak terlalu bergantung pada orang lain dan percaya diri. Tentunya hal ini hanya dapat dilakukan oleh anak yang lebih besar dan bukan bayi. Berikan selalu penguatan yang positif dengan selalu memberikan pujian dan dorongan atas kemampuan anak.

  d. Fasilitasi anak untuk tetap menjaga sosialisasinya dengan sesama klien yang ada, teman sebaya atau teman sekolah. Beri kesempatan padanya untuk saling kenal dan membagi pengalamannya. Demikian juga interaksi dengan petugas kesehatan dan sesama orang tua harus di fasilitasi oleh perawat karena selama di rumah sakit, orang tua dan anak mempunyai kelompok sosial yang baru.

3. Memberikan Dukungan kepada Anggota Keluarga Lain

  Perawat dapat memberikan dukungan kepada anggota keluarga lain dengan cara : a. Berikan dukungan kepada keluarga untuk mau tinggal dengan anak di rumah sakit.

  b. Bila diperlukan, fasilitasi keluarga untuk berkonsultasi pada psikolog atau ahli agama karena sangat dimungkinkan keluarga mengalami masalah psikososial dan spiritual yang memerlukan bantuan ahli.

  c. Beri dukungan kepada keluarga untuk menerima kondisi anaknya dengan nilai-nilai yang diyakininya.

  d. Fasilitasi untuk menghadirkan saudara kandung anak bila diperlukan keluarga dan berdampak positif pada anak yang dirawat maupun saudara kandungnya.

4. Mempersiapkan Anak untuk Mendapat Perawatan di Rumah Sakit

  Persiapan anak sebelum dirawat di rumah sakit didasarkan pada adanya asumsi bahwa ketakutan akan sesuatu yang tidak diketahui akan menjadi ketakutan yang nyata. Pada tahap sebelum masuk rumah sakit dapat dilakukan:

  a. Siapkan ruang rawat sesuai dengan tahapan usia anak dan jenis penyakit dengan peralatan yang diperlukan; b. Bila anak harus dirawat secara berencana 1

  • – 2 hari, sebelum dirawat diorientasikan dengan situasi rumah sakit dengan bentuk miniatur bangunan rumah sakit.

  Pada hari pertama dirawat dilakukan tindakan :

  a. Kenalkan perawat dan dokter yang akan merawatnya; b. Orientasikan anak dan orang tua pada ruangan rawat yang ada beserta fasilitas yang dapat digunakan; c. Perkenalkan dengan klien anak lain yang akan menjadi teman sekamarnya; d. Berikan identitas pada anak, misalnya pada papan nama anak;

  e. Jelaskan aturan rumah sakit yang berlaku dan jadwal kegiatan yang akan diikuti; f. Laksanakan pengkajian riwayat keperawatan;

  g. Lakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya sesuai dengan yang diprogramkan.

H. Kerangka Teori Tumbuh Kembang Anak Sehat Sakit Hospitalisasi Stressor Fisik Stressor Psikis

  1. Luka atau Nyeri

  1. Cemas karena perpisahan

  2. Pelayanan Medis

  2. Cemas kehilangan teman

  3. Perubahan Lingkungan sepermainan

  3. Cemas karena kehilangan control Peran Perawat

  1. Perawat peneliti Dampak Hospitalisasi

  2. Perawat pembuat keputusan etik

  3. Perawat Administrasi

  4. Perawat pelaksana

  5. Perawat Pendidik Asuhan Keperawatan

  6. Perawat Konseling Atraumatik care

  7. Perawat Perencana Kesehatan Meminimalkan cidera Meningkatkan Modifikasi lingkungan

  Rooming in fisik maupun psikologis kontrol Orang tua ruang keperawatan Orang Tua Anak Mengevaluasi

  Tingkat Kepuasan Orang Tua Anak

Gambar 2.2 Kerangka Teori Penelitian (Wong,2008; Friedman 1998;

  Supartini,2004)

I. Kerangka Konsep Penelitian

   Variable Bebas

  Variable Terikat

  Kondisi Ruang Anak Kecemasan Sebagai Fasilitas Ruangan Dampak Hospitalisasi pada anak usia Prasekolah Sikap Perawat

Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian J.

   Hipotesis

  Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Sugiyono, 2009). Hipotesis yang di rumuskan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara Kondisi Ruang Anak, Fasilitas Ruangan, dan Sikap Perawat Terhadap Kecemasan Sebagai Dampak Hospitalisasi Anak Usia Prasekolah.