BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu - UUN FAJRIANA BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian yang berjudul Implikatur Konvensional pada Slogan Iklan Produk Makanan Ringan di Televisi Periode Maret

  • – April 2017 memiliki relevansi dengan tiga penelitian sebelumnya.

1. Implikatur dalam Tuturan Acara Sentilan Sentilun di Metro TV oleh Ayes Pia Shadora Tahun 2015

  Penelitian berjudul “Implikatur Dalam Tuturan Acara Sentilan Sentilun Di Metro TV” pernah dilakukan oleh Ayes Pia Shadora (2015). Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan jenis-jenis Implikatur yang terdapat pada tuturan tokoh dalam acara sentilan-sentilun Metro TV dan mendeskripsikan bentuk implikatur percakapan yang diwujudkan dalam prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan pada tuturan tokoh dalam acara Sentilan Sentilun Metro TV. Sumber data penelitian ini adalah acara Sentilan-

  

Sentilun Metro TV, datanya berupa tuturan pada acara Sentilan Sentilun, tuturan yang

  dimaksud berupa tuturan yang mengandung implikatur konvensional maupun percakapan. Teknik pengumpulan data menggunakan metode simak, teknik sadap, dan teknik lanjutan berupa SBLC (simak bebas libat cakap). Metode analisis data menggunakan metode padan dengan teknik dasar yang digunakan dalam metode padan pragmatis adalah teknik Pilih Unsur Penentu (PUP). Tahap penyajian data dianalisis dalam wujud laporan tertulis mengenai hal-hal yang sudah dihasilkan dari kerja analisis. Hasil penelitiannya berupa jenis-jenis implikatur yang terdapat pada tuturan acara Sentilan-Sentilun di Metro TV yaitu implikatur konvensional dan

  9 percakapan. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Ayes Pia Shadora dengan penelitian ini terletak pada teori implikatur dan penggunaan metode pada tahap pengumpulan, analisis, dan penyajian data. Sedangkan perbedaannya adalah penelitian Ayes Pia Shadora menggunakan data dan sumber data berupa tuturan pada acara Sentilan-Sentilun di Metro TV, sedangkan penelitian ini menggunakan sumber datanya berupa slogan iklan produk makanan ringan di televisi periode Maret

  • – April 2017.

2. Analisis Implikatur pada Tuturan Kata Bijak Mario Teguh dalam Acara Talk

  Show Mario Teguh Golden Ways di Metro TV Januari 2015 oleh Albina Nur Aeni Tahun 2015

  Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk Implikatur yang terkandung pada tuturan kata bijak Mario Teguh di dalam acara Talk Show Mario yang ditafsirkan melalui konteks tuturan. Data yang digunakan

  Teguh Golden Ways

  dalam penelitian ini berupa tuturan kata bijak Mario Teguh pada acara talk show

  

Mario Teguh Golden Ways . Pengumpulan data menggunakan metode simak dengan

  teknik dasar berupa teknik sadap, kemudian teknik sadap diikuti dengan teknik lanjutan berupa teknik SBLC (Simak Bebas Libat Cakap), teknik rekam, dan teknik catat. Tahap analisis data menggunakan metode padan yang dibagi menjadi dua teknik, yaitu teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasarnya berupa teknik pilah unsur penentu (PUP) dan teknik lanjutan menggunakan teknik hubungan banding menyamakan (HBS). Hasil penelitiannya berupa mengklasifikasikan data yang berhubungan dengan implikatur dalam acara Mario Teguh Golden Ways, kemudian menganalisis data berupa tuturan Mario Teguh. Hasil analisis tersebut selanjutnya disajikan dalam bentuk metode penyajian informal. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Albina Nur Aeni adalah terletak pada teori implikatur dan penggunaan teknik pada tahap pengumpulan, analisis, serta penyajian data. Sedangkan perbedaannya terletak pada data dan sumber data. Data dan sumber data pada penelitian yang dilakukan oleh Albina Nur Aeni yaitu tuturan kata bijak Mario Teguh pada tuturan Mario Teguh Golden Ways di Metro TV, sedangkan penelitian ini menggunakan sumber datanya berupa slogan produk makanan ringan di televisi periode Maret – April 2017.

B. Landasan Teori 1. Pengertian Pragmatik

  Menurut Wijana dan Rohmadi (2011: 4), pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi. Pragmatik sebagai kajian struktur eksternal bahasa mengamati berbagai aspek pemakaian bahasa dalam situasi yang konkret. Situasi yang konkret dalam hal ini mengandaikan sebuah tuturan benar-benar dipandang sebagai produk sebuah tindak tutur yang jelas konteks lingual (koteks) dan konteks ekstralingual (konteks) nya. Konteks ekstralingual digunakan untuk mengungkapkan maksud (makna penutur) yang tersembunyi di balik sebuah ujaran.

  Kemudian menurut Tarigan (2009: 30) pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi-situasi khusus dan memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial. Sedangkan Yule (2006: 3), pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca).

  Berdasarkan pengertian pragmatik menurut para ahli dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan salah ilmu yang mengkaji tentang bagaimana memahami bahasa yang disampaikan orang lain tentang apa yang ada dalam pikiran mereka secara linguistik.

2. Wujud Implikatur dalam Makna Pragmatik Imperatif

  Wujud implikatur dalam makna pragmatik imperatif dapat berupa tuturan yang bermacam-macam. Wujud implikatur dalam makna pragmatik imperatif ini di adopsi dari buku Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia karya Kunjana Rahardi. Pengadopsian teori dilakukan karena adanya kesesuaian teori antara implikatur dengan imperatif. Menurut Rahardi (2005: 93-116), makna pragmatik imperatif di dalam bahasa Indonesia ada 17 macam yaitu imperatif perintah, imperatif suruhan, imperatif permintaan, imperatif permohonan, imperatif permohonan, imperatif desakan, imperatif bujukan, imperatif imbauan, imperatif persilaan, imperatif ajakan, imperatif izin, imperatif permintaan izin, imperatif menizinkan, imperatif larangan, imperatif harapan, imperatif umpatan, imperatif pemberian ucapan selamat, imperatif anjuran dan imperatif ngelulu.

  Dari 17 macam makna pragmatik imperatif, pada implikatur konvensional hanya mengandung beberapa makna pragmatik imperatif diantaranya imperatif, bujukan, persilaan, larangan, ajakan, dan anjuran. Ketujuh belas imperatif yang telah disederhanakan menjadi lima sesuai dengan kalimat slogan dan konteks iklan yang melingkupinya. Artinya implikatur konvensional mengandung implikasi yang diperoleh dari makna kata atau bentuk bahasa yang ada maknanya yang non temporer

  (tahan lama) sehingga hanya memperoleh beberapa makna pragmatik imperatif. Adapun yang dimaksud dengan wujud pragmatik adalah realisasi maksud dengan wujud pragmatik adalah realisasi maksud imperatif dalam bahasa Indonesia apabila dikaitkan dengan konteks situasi tutur yang meletarbelakanginya, makna pragmatik imperatif tuturan yang dimaksud dapat bersifat ekstralinguistik dan dapat pula bersifat intralinguistik.

  Ketujuh belas macam makna pragmatik imperatif tersebut ditemukan baik di dalam imperatif langsung maupun di dalam imperatif tidak langsung. Pada bagian- bagian berikut ini, masing-masing wujud makna pragmatik imperatif tersebut diuraikan secara terperinci.

  a. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Bujukan

  Menurut Rahardi (2005: 102), imperatif yang bermakna bujukan di dalam bahasa Indonesia biasanya, diungkapkandengan penanda kesantunan ayo atau mari.

  Selain itu, dapat juga imperatif tersebut diungkapkan dengan penanda kesantunaan tolong, seperti dapat dilihat pada contoh tuturan (4) berikut ini.

  (4) Ibu kepada anaknya: “Habiskan susunya dulu, ya! Nanti terus ke Malioboro

  Mall.” Tuturan ini disampaikan oleh seorang Ibu kepada anaknya yang masih kecil dan agak sulit disuruh minum susu. Tuturan ini dimaksudkan agar ia mau minum susu.

  b. Tuturan yang Mengandung Pragmatik Imperatif Persilaan

  Menurut Rahardi (2005: 104), imperatif persilaan dalam bahasa Indonesia, lazimnya, digunakan dengan penanda kesantunan silakan. Seringkali digunakan pula bentuk pasif dipersilakan untuk menyatakan maksud pragmatik imperatif persilaan itu. Bentuk yang kedua cenderung lebih sering digunaka pada acara-acara formal yang sifatnya protokoler. Tuturan (5) berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas hal ini.

  (5) Ketua Senat Mahasiswa : “Silahkan Saudara Monik!”

  Monik : “Terima Kasih Saudara Ketua”

  Tuturan ini merupakan cuplikan percakapan yang terjadi di sebuah kampus pada saat berlangsung rapat senat mahasiswa.

  c. Tuturan yang Mengandung Pragmatik Imperatif Ajakan

  Menurut Rahardi (2005: 106), imperatif dengan makna ajakan, baiasaya, ditandai dengan pemakaian penanda penanda kesantunan mari atau ayo. Kedua macam penanda kesantunan itu masing-masing memiliki ajakan. Pemakaian penanda kesantunan itu dalam tuturan dapat dilihat pada contoh tuturan (6) berikut.

  (6) Monik kepada Tante : Mari makan, Tante!”

  Tuturan ini terjadi dalam ruang makan pada sebuah keluarga, orang yang satu mengajak orang lain untuk makan bersama.

  d. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Larangan

  Menurut Rahardi (2005: 109), imperatif dengan makna larangan dalam bahasa Indonesia, biasanya, ditandai oleh pemakaian kata jangan, seperti dapat dilihat pada contoh tuturan berikut.

  (7) Ishak kepada Satilawati : “Jangan kau sangka aku akan bersedih oleh karena ini!” (Satilawati bergerak seperti hendak pergi). Tuturan ini terjadi pada saat keduanya sdang bertengkar di tempat tertentu. Pria dan wanita ini memiliki hubungan khusus yang sangat dekat dan khusus.

e. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Anjuran

  Menurut Rahardi (2005: 114), secara struktural, imperarif yang mengandung makna anjuran, biasanya, ditandai dengan penggunaan kata hendaknya dan sebaiknya.

  Contoh tuturan berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas hal ini.

  (8 ) Orang tua kepada anak: “Sebaiknya uang ini kamu simpan saja di almari.”

  Tuturan ini disampaiakan oleh ibu kepada anaknya yang masih kecil, ia baru saja mendapatkan uang saku dari saudaranya.

3. Pengertian Wacana

  Menurut Mulyana (2005: 1), wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif kompleks dan paling lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh. Namun, wacana pada dasarnya juga merupakan unsur bahasa yang bersifat pragmatis. Apalagi pemakaian dan pemahaman wacana dalam komunikasi memerlukan berbagai alat (piranti) yang cukup banyak. Kemudian menurut Crystal (dalam Wijana dan Romadi, 2011: 68), wacana adalah rangkaian kalimat sinambung bahasa (khususnya lisan) yang lebih luas dari kalimat. Dari sudut pandang wacana sebagai satuan (unit) perilaku maka ia adalah sehimpunan ujaran yang merupakan peristiwa wicara yang dapat dikenali (tanpa merujuk pada penstrukturan kebahasaannya), seperti percakapan, lelucon, khotbah, dan wawancara.

  Sementara itu Tarigan (dalam Wijana dan Rohmadi, 2011: 68), mengatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi ataau terbesar diatas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunya awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tulis. Lebih lanjut menurut Djajasudarma (dalam Wijana dan Rohmadi, 2011: 68) menjelaskan wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain, dan membentuk satu kesatuan. Dari pengertian itu, menjelaskan makna proposisi sebagai isi konsep yang masih kasar yang akan melahirkan pernyataan (statement) dalam bentuk kalimat atau wacana.

  Berdasarkan pendapat oleh para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan kumpulan kalimat. Sebuah kalimat merupakan kumpulan dari beberapa kata dan kata kumpulan dari beberapa suku kata. Dengan demikian wacana merupakan satuan bahasa terlengkap yang terbentuk berdasarkan konteks yang melingkupinya.

a. Unsur-unsur Wacana

  Menurut Mulyana (2005: 7), wacana memiliki dua unsur pendukung utama, yaitu unsur dalam (internal) dan unsur luar (eksternal). Unsur internal berkaitan dengan aspek formal kebahasaan, sedangkan unsur eksternal berkenaan dengan hal- hal di luar wacana itu sendiri. Kedua unsur tersebut membentuk satu kepaduan dalam suatu struktur yang utuh dan lengkap.

  Kemudian menurut Mulyana (2005: 11), unsur eksternal (unsur luar) wacana adalah sesuatu yang menjadi bagian wacana, namun tidak nampak secara eksplisit.

  Sesuatu itu berada di luar satuan lingual wacana. Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap keutuhan wacana. Unsur-unsur eksternal ini terdiri atas implikatur, presuposisi, referensi, inferensi, dan konteks.

1) Implikatur

  Menurut Wijana dan Rohmadi (2011:120) implikatur merupakan salah satu aspek kajian yang penting atau mungkin yang paling penting dalam studi kebahasaan yang berbau pragmatik. Kemudian menurut Chaer (2010: 33) implikatur atau implikatur percakapan adalah adanya keterkaitan antara ujaran dari sesorang penutur dan lawan tuturnya. Namun keterkitan itu tidak tampak secara literal; tetapi dipahami tersirat. Lebih lanjut menurut Rahardi (2005: 42-43), mengemukakan bahwa di dalam pertuturan yang sesungguhnya, penutur dan mitra tutur dapat secara lancar berkomunikasi karena mereka berdua memiliki semacam kesamaan latar belakang pengetahuan tentang sesuatu yang dipertuturkan itu. Diantara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kontrak percakapan tidak tertulis bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu saling dimengerti.

  Pengertian implikatur menurut para ahli dapat disimpulkan bahwa implikatur adalah sebuah penafsiran yang secara tidak langsung atau tidak diungkapkan makna tuturan yang sebenarnya oleh penutur kepada mitra tutur dengan disembunyikan secara implisit sehingga tidak nampak apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh penutur.

  Menurut Grice (dalam Leech, 1993: 17) menyatakan, bahwa “ada dua jenis implikatur, yaitu conventional implicature (implikatur konvensional) dan conversation

  implicature (implikatur percakapan).

a) Implikatur Konvensional

  Menurut Kridalaksana (2008: 91) implikatur konvensional merupakan makna yang dipahami atau diharapkan pada bentuk-bentuk bahasa tertentu tetapi tidak terungkap. Kemudian Grice (dalam Leech, 1993: 17) implikatur konvensional yaitu implikasi pragmatik yang diperoleh langsung dari makna kata, bukan dari prinsip- prinsip percakapan. Lebih lanjut Nababan (dalam Siallagan, 2013), menyatakan bahwa implikatur konvensional mengandung pesan yang diperoleh langsung dari makna kata (yang didengar) bukan dari prinsip percakapan dan tidak didasarkan pada prinsip kerjasama. Sedangkan menurut Yule (2006: 78) implikatur konvensional diasosiasikan dengan kata-kata khusus dan menghasilkan maksud tambahan yang disampaikan apabila kata-kata itu digunakan. Pemahaman terhadap implikasi yang bersifat konvensional mengandalkan kepada pendengar memiliki pengalaman dan pengetahuan umum. Contoh adalah sebagai berikut:

  (9) Muhammad Ali adalah petarung yang indah.

  (10) Lestari putri Solo, jadi ia luwes. Kata petarung pada (2

  3) berarti „atlit tinju‟. Pemaknaan ini dipastikan benar, karena secara umum (konvensional), orang sudah mengetahui bahwa Muhammad Ali adalah atlit tinju, yang legendaris. Jadi, dalam konteks wacana tersebut, orang tidak akan memahami kata petarung dengan pengertian yang lain. Demikian juga implikasi umum yang dapat diambil antara putri Solo dengan luwes pada contoh (24). Selama ini, kota Solo selalu mendapat predikat sebagai kota kebudayaan yang penuh dengan kehalusan dan keluwesan putri-putrinya. Implikasi yang muncul adalah, bahwa perempuan atau wanita Solo umumnya dikenal luwes penampilannya. Pengertian implikatur konvensional yang telah dijelaskan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa implikatur konvensional merupakan penafsiran makna yang secara tidak langsung atau tidak diungkapkan tuturan yang sebenarnya, dan hanya diperoleh dari makna kata untuk memberikan informasi bukan berbentuk dalam sebuah percakapan.

b) Implikatur Percakapan

  Menurut Yule (2006: 69) implikatur percakapan merupakan asumsi dasar percakapan adalah, jikalau tidak ditunjukkan sebaliknya, bahwa peserta-pesertanya mengikuti prinsip kerja sama dan maksim-maksim. Kemudian menurut Grice dalam Leech (1993: 17) implikatur percakapan memiliki makna dan pengertian yang lebih bervariasi. Pemahaman “yang dimaksud” sangat tergantung pada konteks terjadinya percakpan. Grice juga menghubungkan konsep implikatur percakapan dengan penerapan kaidah prisnip kerjasama. Implikatur percakapan memiliki makna dan pengertian yang lebih bervariasi. Pasalnya, pemahaman terhadap hal “yang dimaksudkan” sangat bergantung kepada konteks terjadinya percakapan. Sedangkan menurut Levinson (dalam Mulyana, 2005: 13), implikatur percakapan hanya muncul dalam suatu tindak percakapan (speech act). Oleh karenanya, implikatur tersebut bersifat temporer (terjadi saat berlangsungnya tindak percakapan), dan non konvensional (sesuatu yang diimplikasikan tidak mempunyai relasi langsung dengan tuturan yang diucapkan.

  (11) Ibu : Ani, adikmu belum makan.

  Ani : Ya, Bu. Lauknya apa? Percakapan (11) antara Ibu dengan Ani mengandung implikatur percakapan yang bermakna “perintah menyuapi”. Dalam tuturan itu, tidak ada sama sekali bentuk kalimat perintah. Tuturan yang hanyalah pemberitahuan bahwa „adik belum makan‟. Namun karena Ani dapat memahami implikatur yang disampaikan Ibunya, ia menjawab dan kesiapan untuk melaksanakan perintah ibunya tersebut.

2) Presuposisi

  Menurut Mulyana (2005: 14), presuposisi yaitu anggapan dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuat bentuk bahasa menjadi bermakna bagi pendengar/pembaca. Praanggapan membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa (kalimat) untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Kemudian menurut Chaer (2010: 32) pranggapan atau

  presuposisi

  adalah “pengetahuan” bersama yang dimiliki oleh penutur dan lawan tutur yang melatarbelakangi suatu tindak tutur. Sedangkan menurut Wijana dan Rohmadi (2011: 37), sebuah kalimat dapat mempresuposisikan dan mengimplikasikan kalimat yang kedua (jika dipresuposisikan) mengakibatkan kalimat yang pertama (yang mempresuposisikan) tidak dapat kalimat yang pertama (yang mempresuposisikan) tidak dapat dikatakan benar atau salah. Contohnya adalah sebagai berikut.

  (12) Santo : Aku merasa capai sekali karena berjalan kaki terlalu jauh, tidak ada kendaraan.

  Tono : (Segera ke belakang mengambil air minum dan ia mempersilahkan Santo meneguknya). Santo : Terima kasih. Kau tahu benar aku merasa haus. Dari percakapan di atas dapat diketahui bahwa ketika Santo bercerita tentang proses sampainya ke rumah Tono, Tono beranggapan:

  1) Ada sesuatu yang diminta oleh Santo. 2) Santo ingin minum.

  3) Referensi

  Menurut Mulyana (2005: 56), secara tradisional referensi berarti hubungan antara kata dengan benda (orang, tumbuhan, sesuatu lainnya) yang dirujuknya.

  Referensi merupakan perilaku penulis/pembicara. Jadi, yang menentukan referensi suatu tuturan adalah pihak penulis sendiri, sebab hanya pihak penulis yang paling mengetahui hal yang diujarkan dengan hal yang dirujuk oleh pengujarnya. Pendengar atau pembaca hanya dapat menerka hal yang dimaksud oleh pembicara dalam ujarannya itu. Terkaan itu bersifat relatif, bisa benar, bisa pula salah.

  Kemudian menurut Yule (2006: 27) referensi sebagai suatu tindakan dimana seorang penutur, atau penulis, menggunakan bentuk linguistik untuk memungkinkan seorang pendengar atau pembaca mengenali sesuatu. Menurut Halliday (dalam Mulyana, 2005: 16-17), referensi dilihat dari acuannya dapat dibagi menjadi dua bagian. Kedua bagian tersebut yaitu referensi eksofora dan referensi endofora.

  Referensi eksofora adalah interpretasi terhadap kata yang terletak di luar teks. Referensi endofora adalah interpretasi terletak di dalam teks itu sendiri. Selanjutrnya akan dipaparkan secara lebih jelas mengenai referensi eksofora dan referensi endofora. Contohnya adalah sebagai berikut.

  (13) Pranowo terpilih menjadi lurah di Karangjati. Dia dikenal dekat dengan warganya. Desa itu memang membutuhkan pemimpin yang merakyat. Bentuk “dia” pada kalimat kedua mengacu pada topik/subjek orang yang bernama Pranowo, sedangkan desa “itu” menunjuk pada desa Karangjati.

  4) Inferensi

  Menurut Gorys Keraf (2007: 7), kata inferensi berasal dari kata inferre yang berarti menarik kesimpulan. Dalam logika, juga dalam bidang ilmiah lainnya, kata inferensi adalah kesimpulan yang diturunkan dari apa yang ada atau dari fakta-fakta yang ada. Kemudian menurut Echols dan Hassan (dalam Mulyana, 2005: 19) inferensi atau inference secara leksikal berarti kesimpulan. Selanjutnya menurut Moeliono (dalam Mulyana, 2005: 19) dalam bidang wacana, istilah itu berarti sebagai proses yang dilakukan pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat di dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara/penulis. Pembaca harus dapat mengambil pengertian, pemahaman, atau penafsiran suatu makna tertentu. Dengan kata lain, pembaca harus mampu mengambil kesimpulan sendiri, meskipun makna itu tidak terungkap secara eksplisit. Sedangkan. Contohnya adalah sebagai berikut.

  (14) Becak dilarang beroperasi di Ibukota (15) Jakarta sudah menyaipkan gantinya

  Inferensi yang menjembatani kedua ujaran (kalimat) pada contoh diatas adalah hubungan a ntara “ibukota” pada kalimat (14) dengan “Jakarta” pada kalimat (15) kedua hal tersebut seharusnya dipertalikan oleh satu kalimat lagi sebagai penghubung.

  Mislanya Ibukota Indonesia adalah Jakarta. Kalimat inilah yang sebenarnya disebut sebagai “mata rantai yang hilang”. Kalimat ini ada tetapi tidak perlu ditampakkan secara eksplisit.

5) Konteks Wacana

  Menurut Mulyana (2005: 21), konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialaog/. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat bergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Menurut Alwi dkk (2010: 434), konteks wacana terdiri atas berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan topik, peristiwa, bentuk, amanat, kode, dan saran. Tiga unsur yang terakhir, yaitu bentuk amanat, kode, dan sarana perlu mendapat penjelasan. Bentuk amanat dapat berupa surat, esai, iklan, pemberitahuan, pengunguman, dan sebagainya.

  Menurut Syafi‟ie (dalam Mulyana, 2005: 24) menambahkan bahwa, apabila dicermati dengan benar, konteks terjadinya suatu percakapan dapat dipilah menjadi empat macam yaitu, konteks linguistik (linguistic context) adalah kalimat-kalimat dalam percakapan, konteks epistemis (epistemic context), adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui partisipan, konteks fisik (physical context), meliputi terjadinya percakapan, objek yang disajikan dalam percakapan, dan tindakan partisipan, konteks sosial (social conyrxt), yaitu relasi sosio-kultural yang melengkapi hubungan atau partisispan dala percakapan.

  Konteks situasi adalah lingkungan langsung tempat teks itu benar-benar berfungsi. Dalam kajian sosiolinguistik, Dell Hymes (dalam Mulyana, 2005: 23-24), merumuskan dengan baik sekali ihwal faktor-faktor penentu peristiwa tutur tersebut, melalui akronim SPEAKING. Tiap-tiap fonem mewakili penentu yang dimaksudkan.

  S: Setting and Scene, yaitu latar dan suasana. Latar (setting) lebih bersifat fisik, yang meliputi tempat dan waktu terjadinya tuturan. Sementara suasana adalah latar psikis yang lebih mengacu pada suasana psikologis yang menyertai peristiwa tuturan.

  P: Partisipants, peserta tuturan yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan, baik langsung maupun tidak langsung. Hal-hal yang berkaitan dengan partisipan, seperti usia, pendidikan, latar sosial, dan sebagainya, juga menjadi perhatian.

  E: Ends, hasil, yaitu hasil atau tanggapan dari suatu pembicaraan yang memang diharapkan oleh penutur (ends as outcomes), dan tujuan akhir pembicaraan itu sendiri (ends in view goals).

  A: Act sequences, pesan/amanat, terdiri dari bentuk pesan (message form) dan isi pesan (message content). Dalam kajian pragmatik, bentuk pesan meliputi; lokusi, ilokusi, perlokusi. K: Key, meliputi cara, nada, sikap, atau semangat dalam melakukan percakapan.

  Semangat percakapan antara lain, misalnya: serius, santai, akrab. I: Instrumentalities atau sarana, yaitu sarana percakapan, misalnya: dengan lisan, tertulis, surat.

  N: Norms, atau norma, menunjuk pada norma atau aturan yang membatasi percakapan. Misalnya, apa yang boleh dibicarakan atau tidak, bagaimana cara membicarakannya: halus, kasar, terbuka, jorok, dan sebagainya.

  G: Genres, atau jenis, yaitu jenis atau bentuk wacana. Hal ini langsung menunjuk pada jenis wacana yang disampaikan, misalnya: wacana tetepon, wacana Koran, wacana puisi, ceramaah, dan sebagainya.

  Dari uraian di atas menegenai konteks situasi, peneliti menyimpulkan bahwa konteks situasi adalah proses terbentuknya lingkungan secara langsung mengenai tempat teks menjadi benar-benar berfungsi. Dengan demikian konteks menunjukan peranan penting dalam memberikan tafsiran dalam suatu wacana sehingga dapat diketahui secara benar.

4. Iklan a. Pengertian Iklan

  Menurut Vera (2014: 43), iklan merupakan bagian dalam komunikasi, dimana pesan tersebut berisi informasi tentang suatu produk, baik barang maupun jasa.

  Menurut Wright (dalam Mulyana, 2005: 63), iklan merupakan proses komunikasi yang mempunyai kekuatan penting sebagai sarana pemasaran, membantu layanan, serta gagasan dan ide-ide memalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang bersifsat persuasif. Kemudian menurut Jefkins (1997: 5), periklanan merupakan pesan-pesan penjualan yang paling persuasif yang diarahkan kepada para calon pembeli yang paling potensial atas produk baran tau jasa tertentu dengan biaya yang semurah-murahnya. Umumnya, iklan dipasang di media massa, baik cetak maupun elektronik. Perbedaan antara iklan dengan informasi atau pengumuman bisa terletak pada ragam bahasa, retorika penyampaian, dan daya persuasif yang diciptakan. Pada iklan, bahasanya distrategikan agar berdaya persuasi, yaitu mempengaruhi masyarakat agar tertarik dan membeli.

  Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa iklan merupakan proses penyampaian informasi kepada khalayak umum tentang penawaran barang atau jasa yang dihasilkan oleh produsen.

b. Bahasa Iklan

  Bahasa iklan memiliki ciri dan karakter tertentu. Dalam iklan, penggunaan bahasa menjadi salah satu aspek penting bagi keberhasilan iklan. Oleh karena itu bahasa iklan harus mampu menjadi manifestasi atau presentasi dari hal yang diinginkan pihak pengiklanan kepada masyarakat luas. Tujuannya ialah untuk mempengaruhi masyarakat agar tertarik dengan sesuatu yang diiklankan (Mulyana, 2005: 65).

  Bahasa iklan memegang peranan sangat vital dalam menyampaikan maksud iklan itu sendiri. Di media elektronik, seperti televisi misalnya, terkadang ditemukan iklan yang minim bahasa. Gejala itu tidak dengan sendirinya menafikkan pentingnya bahasa dalam iklan. Persoalan sedikit banyaknya bahasa yang digunakan hanya berkutat pada pemahaman tentang aspek mana yang lebih perlu untuk ditonjolkan dalam iklan, gambar atau bahasa verbal.

  Pada kenyataannya, bahasa (iklan) sebagai kenyataan sosial (social reality) telah ikut mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pandangan, gagasan, dan perilaku mereka. Bahasa iklan yang terus menerus didengar akan merusak dan mengkristal dipikiran dan jiwa masyarakat. Akibatnya, hal yang dilakukan akan secara otomatis dimunculkan tatkala seseorang menghadapi sesuatu persoalan.

  Bahasa iklan dengan demikian telah memperlihatkan fungsinya secara sosio- kultural kepada masyarakat itu sendiri. Berkaitan dengan bahasa iklan, yang sering terjadi ialah gejala pencitraan dalam iklan tentu saja berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat pada umumnya.

c. Iklan di Televisi

  Iklan merupakan pemberitahuan (Poerwadarminta: 2007: 435). Televisi merupakan penyiaran pertunjukan dan sebagainya dengan alat penerima, pertunjukan tadi diwujudkan sebagai gambar hidup (Poerwadarminta, 2007: 1234). Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa iklan televisi adalah pemberitahuan berupa informasi lewat penyiaran pertunjukan yang diwujudkan dengan gambar hidup.

  Televisi merupakan media yang dapat memberikan kombinasi antara suara dengan gambar yang bergerak, dan dapat dinikmati oleh siapa saja (Swastha dan Sukotjo, 1999: 225). Televisi menjadi salah satu kebutuhan bagi manusia selain memberikan informasi, televisi menjadi sarana hiburan bagi masyarakat. Iklan yang dimunculkan di televisi kebanyakan adalah penawaran produk-produk yang di produksi oleh para konsumen. Iklan produk yang disiarkan di televisi umumnya bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat dalam memberikan ketertarikan untuk membeli produk yang dihasilkan. Televisi merupakan sarana hiburan utama bagi keluarga, maka produk-produk yang diiklankan di televisi merupakan sarana hiburan utama bagi keluarga, konsumen, baik yang dikonsumsi setiap hari maupun yang tahan lama (durable goods).

5. Slogan Iklan Produk Makanan Ringan

  Slogan adalah kata-kata yang menarik atau mencolok dan mudah diingat yang dipakai untuk mengiklankan sesuatu (Poerwadarminta, 2007: 1136). Slogan biasanya menggunakan kata yang singkat dan mudah dipahami. Dengan adanya slogan yang singkat dan mudah dipahami memudahkan pemirsa untuk memahami maksud dari slogan tersebut.

  Makanan merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk kelangsungan hidupnya. Melalui makanan, manusia mendapatkan kenikmatan yaitu berupa rasa kenyang dan juga penghilang rasa lapar. Kebutuhan adalah barang apa yang diperlukan (Poerwadarminta, 2007: 199). Makanan ringan atau biasa juga disebut camilan atau dalam bahasa Inggris disebut makanan ringan adalah istilah bagi makanan yang bukan merupakan menu utama (makan pagi, makan siang, atau makan malam). Makanan yang dianggap makanan ringan merupakan makanan untuk menghilangkan rasa lapar sesorang sementara waktu, memberi sedikit pasokan tenaga ke tubuh, atau sesuatu yang dimakan untuk dinikmati rasanya. Makanan ringan juga biasanya di makan dalam keadaan santai sehingga makanan ringan menjadi salah satu pelengkap dalam kebutuhan sehari-hari.

C. Kerangka Pemikiran Implikatur Konvensional Pada Slogan Produk Makanan Ringan Periode Maret – April 2017.

  Pragmatik Wacana

  Bentuk Implikatur Konvensional dalam Makna Imperatif Unsur Eksternal

  Wacana

  1. Implikatur Percakapan

  2. Implikatur Konvensional

  Implikatur Konvensional Imperatif Permintaan Imperatif Bujukan

  Imperatif Persilaan Imperatif Larangan

  Imperatif Anjuran Imperatif Ajakan

  

Slogan Iklan Produk Makanan Ringan di Televisi Periode Maret- April 2017