BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Deskripsi - DESKRIPSI KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA MENURUT TAKSONOMI SOLO (Structured Of The Observed Learning Outcome) SISWA KELAS XI TKJ 2 SMK N 1 BANYUMAS - repository perpustakaan

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Deskripsi Menurut Santana (2007 : 191) deskripsi merupakan paparan pemikiran

  teoritik melalui gambaran peristiwa yang dikenal masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Suryabrata (1985 : 19) deskripsi merupakan suatu pencandraan mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Menurut Nazir (2005 : 55) deskripsi yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan.

  Menurut Moleong (2010 : 11) pada deskripsi data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, bukan angka-angka. Dari berbagai pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa deskripsi merupakan gambaran suatu kejadian atau peristiwa secara faktual dan sistematis, sehingga dapat dimengerti dan juga mempermudah untuk disimpulkan. Pada deskripsi ini data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, bukan angka.

2. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika a. Masalah Matematika

  Menurut Adji dan Maulana (2006 : 4) masalah matematika merupakan suatu tantangan yang terdapat pada soal untuk diselesaikan, tetapi jika kita tidak mau menerima sebagai tantangan berarti masalah pada soal tersebut menjadi bukan masalah yang terselesaikan. Kata “masalah” mengandung arti yang komprehensif. Oleh karenanya akan

  5 terjadi berbagai tanggapan yang berbeda dalam menghadapi masalah tertentu. Dalam hal ini terjadi perbedaan sikap terhadap suatu kejadian atau kondisi tertentu. Dengan demikian akan terjadi perbedaan penyikapan terhadap masalah tertentu, misalnya suatu pertanyaan merupakan permasalahan bagi siswa tetapi mungkin bukan masalah bagi guru, sebab siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut memerlukan proses yang rumit sedang bagi gurunya untuk menjawab tersebut memerlukan proses penalaran yang rutin. Hal ini sesuai dengan Shadiq (2004 : 10) bahwa masalah matematika merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon. Namun tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi masalah, akan tetapi suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin. Selanjutnya menurut Yaumi dan Ibrahim (2013 : 78) masalah matematika merupakan suatu ketidaktahuan seseorang terhadap permasalahan yang di hadapinya sehingga tidak tau bagaimana cara menyelesaikannya sesuai dengan prosedur.

  Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa masalah matematika merupakan suatu pertanyaan yang harus dijawab, di atasi, dan diselesaikan, karena pada pertanyaan tersebut terdapat sebuah tantangan yang mengakibatkan ketidaktahuan seseorangan dalam menyelesaiakanya. Pada masalah matematika seseorang tidak dapat mengetahui secara langsung pada proses penyelesaianya. Karena pada masalah matematika memerlukan suatu ketrampilan dan kemampuan untuk memecahkannya. Pada pemecahan masalah juga akan terjadi berbagai tanggapan juga dalam menghadapinya, karena sesuatu akan menjadi masalah bagi anak belum tentu menjadi masalah bagi orang dewasa.

b. Klasifikasi Masalah Matematika

  Menurut Suherman dkk (2003 : 94) untuk memudahkan dalam pemilihan soal, perlu dilakukan pembedaan antara soal rutin dan soal tidak rutin. Soal rutin biasanya mencakup aplikasi suatu prosedur matematika yang sama atau mirip dengan hal yang baru dipelajari.

  Sedangkan pada masalah tidak rutin, untuk sampai pada prosedur yang benar diperlukan pemikiran lebih mendalam. Berikut ini contoh masalah rutin dan masalah non rutin sebagai berikut :

1) Contoh masalah non rutin

  Seorang siswa diharuskan mengerjakan 6 dari 8 soal, tetapi nomor 1 sampai 4 wajib dikerjakan . Banyak pilihan yang dapat diambil oleh siswa adalah Jawab :  mengerjakan 6 dari 8 soal, tetapi nomor 1 sampai 4 wajib dikerjakan  berarti tinggal memilih 2 soal lagi dari soal nomor 5 sampai 8  r = 2 dan n = 4

  ( )

2) Contoh masalah rutin

  Tentukan nilai kombinasi dari

  4 C

  2

  jawab : ( )

  Menurut Adji dan Maulana (2006 : 7) masalah matematika dapat dibedakan menjadi 4 yaitu antara lain :

1) Masalah translasi

  Merupakan masalah kehidupan sehari-hari yang untuk penyelesaikanya perlu adanya translasi (perpindahan) dari bentuk verbal ke bentuk matematika. Dalam memindahkan bentuk verbal (kata/kalimat) ke bentuk/model matematika membutuhkan kemampuan penafsirkan atau menerjemahkan kata atau kalimat biasa ke dalam simbol-simbol matematika yang selanjutnya dicari cara penyelesaianya berdasarkan aturan yang berlaku. Dalam memidahkan bentuk verbal ke model matematika ada yang bersifat sederhana dan ada yang bersifat kompleks. Sederhana atau tidaknya tergantung dari informasi (data) yang ada, konsep matematika yang ada, dan banyaknya operasi hitungan yang digunakan.

  Contoh :

  Bila nilai kemungkinan hari esok akan turun hujan 0,45 berapakah nilai kemungkinan bahwa cuaca akan menjadi cerah esok hari? Kata kunci dalam soal tersebut adalah “kemungkinan hari esok akan turun hujan 0,45”. Kata “kemungkinan” diartikan sebagai peluang suatu kejadian”. Sehingga model matematika menjadi : (

  ) ( )

2) Masalah aplikasi

  Merupakan penerapan berbagai teori/konsep yang dipelajari pada matematika. Sebagai guru perlu memberikan kesempatan pada siswa untuk menyelesiakan masalah dengan menggunakan macam- macam ketrampilan dan prosedur matematika. Dengan menyelesaiakan masalah semacam itu siswa dapat menyadari kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

  Contoh :

  Suatu kota kecil mempunyai satu mobil pemadam kebakaran dan satu mobil ambulans untuk keadaan darurat. Peluang mobil kebakaran siap yang diperlukan adalah dan peluang mobil ambulans siap pada saat dipanggil adalah

  . Dalam kejadian kecelakaan karena kebakaran gedung, hitung peluang mobil pemadam kebakaran dan mobil ambulans keduanya siap?

3) Masalah proses

  Masalah proses biasanya untuk menyusun langkah-langkah merumuskan pola dan stategi khususnya dalam menyelesaikan masalah. Masalah semacam ini memberikan kesempatan siswa sehingga dalam diri siswa terbentuk ketrampilan menyelesaikan masalah sehingga dapat membantu siswa menjadi terbiasa menyeleksi masalah dalam berbagai situasi. Dengan demikian siswa terbiasa dengan strategi penyelesaian masalah khusus, misalnya menyusun tabel, dan akan menggunakan waktu beberapa saat dalam menyelidiki suatu permasalahan sehingga strategi tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan penyelesaian terhadap permasalahan yang dihadapi.

  Contoh : Dalam sebuah kantong terdapat 7 kelereng merah dan 3 kelereng biru .

  Bila tiga buah kelereng diambil sekaligus maka peluang terambilnya kelereng merah adalah Permasalahan ini dituntut untuk mengetahui rumus yang digunakan (dalam kasus tersebut adalah menggunakan aturan peluang), untuk dapat menerapakannya harus mengetahui Banyak cara mengambil 3 dari 7, Banyak cara mengambil 3 dari 10, Peluang mengambil 3 kelereng merah sekaligus. Dengan demikian terlihatlah suatu proses yang agak rumit dalam menyelesaikan masalah tersebut.

4) Masalah teka-teki

  Masalah teka-teki dimaksudkan untuk rekreasi dan kesenangan serta sebagai alat yang bermanfaat untuk mencapai tujuan afektif dalam pengajaran matematika. Masalah teka-teki dapat digunakan untuk pengantar suatu pembelajaran, seperti untuk memusatkan perhatian, untuk memberikan ganjaran (penguatan) atau mengisi waktu kelas yang sedang tidak ada pelajaran (waktu luang). Masalah teka-teki itu bervariasi sesuai dengan cabang matematika, seperti logika, bilangan, kombinatorik, geometri. Dalam masalah teka-teki biasanya tidak ada rumus atau cara khusus yang digunakan tetapi apakah teka-teki tersebut masuk akal.

  Contoh :

  Dahulu kala, ada seorang putri raja yang cantik nan cerdas akan dilamar oleh 2 pangeran dari negeri seberang. kedua pangeran ini berwajah tampan, gagah, dan bermoral baik. Oleh karena bingung memilih, Sang Putri meminta kedua pangeran memecahkan masalah berikut. Sang Putri berkata, “Saya memiliki 2 wadah berisi bola. Wadah I berisi 3 bola merah dan 2 bola putih, wadah II berisi 3 bola hijau dan 5 bola biru. Dari masing

  • – masing wadah diambil 2 bola sekaligus secara acak. Berapakah Peluang saya untuk mengambil 2 bola merah dari wadah I dan 2 bola biru dari wadah II,?
Bagi pangeran yang paling cepat dan jawabannya benar, itulah jodoh saya”, kata sang Putri. Coba selesaikan! Dengan contoh-contoh permasalahan yang telah dikemukakan, perlu kita bed akan antara “masalah” dan “soal latihan”. Apabila kita mengajarkan ketrampilan matematika, misalnya menuliskan algoritma penjumlahan bilangan bulat dan pecahan desimal, maka siswa berlatih algoritma dalam bentuk simbol. Kegiatan semacam ini lebih baik dikatakan mengerjakan latihan soal. Dalam kegiatan menyelesaikan masalah siswa tidak sekedar mengerjakan algoritma, tetapi mereka menyusun strategi terlebih dahulu sehingga masalah itu dapat diselesaikan.

  Dari berbagai uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada soal masalah matematika harus dibedakan mana yang termasuk masalah rutin dan mana yang termasuk masalah non rutin. Juga pada masalah matematika adanya sebuah tantangan (challenge) untuk diselesaikan. Oleh sebab itu, pada masalah matematika perlu adanya translasi (perpindahan) dari bentuk verbal ke bentuk matematika. Juga pada masalah matematika perlu adanya aplikasi dalam kehidupan sehari-hari, karena masalah matematika yang berkaitan dengan kehidupann sehari-hari akan melatih ketrampilan siswa dalam menyelesaikanya. Juga pada masalah matematika perlu adanya proses, karena dalam proses tersebut akan mengembangkan cara penyelesaian terhadap masalah. Juga masalah matematika perlu adanya masalah teka-teki karena untuk mengatur pola pikir siswa dan juga sebagai tantangan untuk diselesaikannya.

c. Pemecahan Masalah Matematika

  Problem solving (bahasa inggris), terdiri dari dua kata : problem

  dan solving. Kata problem merupakan kata benda (masalah), dan solving merupakan kata kerja (pemecahan). Artinya kedua adalah “pemecahan masalah”. Oleh karena itu pemecahan masalah adalah mencari cara yang tepat untuk mencari tujuan tertentu (Said dan Budimanjaya, 2015 : 120).

  Hal ini sesuai dengan Solso (2007 : 37) Pemecahan masalah merupakan suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan suatu solusi atau jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik. Kita menemukan banyak masalah dalam kehidupan sehari-hari kita, sehingga kita akan membuat suatu cara untuk menanggapi, memilih, menguji respons yang kita dapat untuk memecahkan suatu masalah.

  Menurut Yaumi dan Ibrahim (2013 : 77) pemecahan masalah (problem solving) adalah proses mental yang merupakan bagian dari proses masalah yang lebih luas yang mencakup temuan dan pembentuk masalah. Pemecahan masalah terjadi ketika suatu kondisi membutuhkan perubahan dari kenyataan yang dihadapi menuju kondisi yang diinginkan.

  Hal ini sesuai dengan Adji dan Maulana (2006 : 7) bahwa pemecahan masalah merupakan proses penerimaan tantangan dan kerja keras untuk menyelesaikan masalah tersebut.

  Dari uraian di atas, maka pemecahan masalah adalah suatu usaha yang dilakukan seseorang untuk mencari solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapinya agar mencapai tujuan tertentu atau cara seseorang untuk mencari jalan keluar dalam menuju garis finish yang telah ditentukan. Pada pemecahan masalah terjadi ketika suatu kondisi membutuhkan perubahan dari kenyataan yang dihadapi menuju kondisi yang diinginkan dengan usaha kerja keras.

  Menurut Nasution (2000 : 170) Pemecahan masalah dipandang sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi aturan-aturan yang telah dipelajarinya lebih dahulu yang digunakannya untuk memecahkan masalah tidak sekedar menerapkan aturan-aturan yang diketahui, akan tetapi juga menghasilkan pelajaran baru. Pada pemecahan masalah itu langkah demi langkah dengan menggunakan aturan tertentu. Menurut Susanto (2013 : 196) Proses merupakan faktor utama dalam pemecahan masalah, pengertian proses dalam hal ini ialah ketika siswa belajar matematika ada proses reinvention (menemukan kembali), artinya prosedur, aturan yang harus dipelajari tidaklah disediakan dan diajarkan oleh guru dan siswa siap menampungya, tetapi siswa harus berusaha menemukannya. Dengan pemecahan masalah matematika ini siswa melakukan kegiatan yang dapat mendorong berkembangannya pemahaman dan penghayatan siswa terhadap prinsip, nilai, dan proses matematika.

  Menurut Walgito (2010 : 199) dalam mencari pemecahan terhadap

  problem solving itu ada kaidah atau aturan (rules) yang akan membawa seseorang kepada pemecahan masalah tersebut. Aturan ini akan memberikan petunjuk untuk pemecahan masalah banyak aturan atau kaidah dalam pemecahan masalah. Ada dua hal pokok aturan yaitu antara lain :

  1) Algoritma merupakan suatu perangkat aturan, dan apabila aturan ini di ikuti dengan benar maka akan ada jaminan adanya pemecahan masalah terhadap masalahnya. 2) Horistik merupakan strategi yang biasanya didasarkan atas pengalaman dalam menghadapi masalah, yang mengarah pada pemecahan masalahnya tetapi tidak memberikan jaminan akan kesuksesan. Hal ini sesuai dengan Adji dan Maulana (2006: 11) pada pemecahan masalah non rutin itu harus diselesaikan dengan aturan/hukum tertentu yang segera dapat digunakan untuk menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut. Jika pada pemecahan masalah tersebut tidak diselesaiakan dengan aturan/hukum tertentu maka pemecahan masalah yang dilakukan tidak akan menemukan jawaban.

  Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa, pemecahan masalah itu menekankan untuk berfikir tentang cara memecahkan masalah dan memproseskan informasi matematika. Dalam menghadapi masalah matematika, khususnya soal cerita, siswa harus melakukan analisis dan interpretasi informasi sebagai landasan untuk menentukan pilihan dan keputusan. Dalam memecahkan masalah matematika, siswa harus menguasai cara mengaplikasikan konsep-konsep dan aturan/hukum dengan menggunakan ketrampilan komputasi/menghitung dalam berbagai situasi baru yang berbeda.

d. Langkah-langkah pemecahan masalah

  Menurut Adji dan Maulana (2006 : 25) kemampuan dalam pemecahan masalah termasuk suatu ketrampilan, karena dalam pemecahan masalah melibatkan segala aspek pengetahuan (ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi) dan sikap mau menerima tantangan. Beberapa ketrampilan atau langkah-langkah untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah antara lain : 1) Memahami Soal

  Pada memahami soal, kita harus memahami dan mengidentifikasi apa fakta atau informasi yang diberikan, apa yang ditanyakan, diminta untuk dicari atau dibuktikan. 2) Memilih Pendekatan atau Strategi Pemecahan

  Pada memilihan strategi pemecahan, misalkan menggambarkan masalah dalam bentuk diagram, memilih dan menggunakan pengetahuan aljabar yang diketahui dan konsep yang relevan untuk membentuk model atau kalimat matematika.

  3) Menyelesaikan Model Pada menyelesaikan model, kita melakukan operasi hitung secara benar dan menerapkan strategi, untuk mendapatkan solusi dari masalah.

  4) Memeriksa Kembali Memeriksa Kembali, yaitu kita harus memperkirakan dan memeriksa kebenaran jawaban, masuk akalnya jawaban, dan apakah memberikan pemecahan terhadap masalah semula.

  Menurut Polya (1973) terdapat empat tahapan utama dalam proses pemecahan masalah yaitu : 1) Memahami Masalah

  Pada langkah ini, siswa harus dapat menentukan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan dalam masalah atau soal yang diberikan. Hal ini harus dilakukan sebelum siswa menyusun rencana penyelesaian dan melaksanakan rencana yang telah disusun. Jika salah dalam mengenai apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam soal maka akan mengalami kesulitan dalam menyusun rencana penyelesaian. 2) Merancang Rencana

  Setelah memahami soal yang diberikan, selanjutnya menyusun rencana penyelesaian soal yang diberikan dengan mempertimbangkan berbagai hal misalnya :

  • Korelasi antara keterangan yang ada pada soal dengan unsur yang ditanyakan
  • Prosedur rutin atau rumus yang digunakan
  • Kemungkinan cara lain yang dapat digunakan

  3) Melaksanakan Rencana Rencana yang telah tersusun selanjutnya dapat digunakan untuk menyelesaikan soal dengan cara melaksanakan rencana yang telah dibuat. Dalam melaksanakan rencana harus memeriksa setiap langkah dan juga dapat dilihat bahwa langkah tersebut sudah benar dan layak digunakan untuk penyelesaiannya. 4) Memeriksa Kembali

  Hasil yang diperoleh dari melaksanakan rencana, kita dapat memeriksa hasilnya, memeriksa argumen, dan dapat memperoleh hasilnya dan juga dapat menggunakan hasilnya atau metodenya untuk diterapkan pada masalah lain.

  Menurut Shadiq (2004 : 11) untuk menyelesaikan masalah, ada empat langkah penting yang harus dilakukan yaitu : 1) Memahami Masalahnya

  Pada langkah ini, para siswa harus dapat menentukan dengan jeli apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, dan juga harus mengetahui arah untuk pemecahan masalahnya. 2) Merencanakan Cara Penyelesaian

  Untuk memecahkan masalah, harus memikirkan apa yang harus dilakukan, dan bagaimana cara agar masalah tersebut terselesaikan. Sehingga akan menemukan solusinya yang akan didapat.

  3) Melaksanakan Rencana Pada langkah ini, kita harus menggunakan strategi atau rencana yang telah dibuatnya untuk menyelesaiakan permasalah tersebut.

  4) Menafsirkan Hasilnya Dalam menafsirkan hasil, harus menggunakan pengetahuan untuk menentukan hasil yang diperoleh sesuai rencana yang telah ditentukan.

  Berdasarkan uraian langkah-langkah di atas menurut para ahli, maka dapat disimpulkan, bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika itu dapat muncul ketika siswa menerapkan ketrampilan atau langkah-langkah pemecahan masalah. Berikut ini langkah-langkah dengan indikatornya yang akan digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah yaitu sesuai dengan langkah-langkah Polya (1973) sebagai berikut:

Tabel 2.1 Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah Berdaskan Langkah-Langkah Menurut Polya Langkah-Langkah Pemecahan Masalah Indikator Menurut Polya

  Memahami Masalah  Siswa dapat menentukan apa yang diketahui dari dalam masalah atau soal yang diberikan.

   Siswa dapat menentukan apa yang ditanyakan dalam masalah atau soal yang diberikan. Merencanakan penyelesaian

   Siswa dapat menyederhanakan permasalahan dengan membagi menjadi bagian-bagian tertentu.  Siswa dapat menentukan rumus mana yang dapat digunakan dalam masalah yang diberikan. Melaksanakan Rencana

   Siswa dapat melaksanakan rencana yang telah dibuat sesuai dengan rumus yang telah ditentukan.  Siswa harus memeriksa setiap langkah dan juga dapat dilihat bahwa langkah tersebut sudah benar dan layak digunakan untuk penyelesaiannya. Memeriksa Kembali

   Siswa harus menanfsirkan hasil yang diperoleh sesuai rencana yang ditentukan.  Siswa dapat memeriksa hasilnya yang telah dikerjakan.

3. Materi Aturan Pencacahan

  Pada pembuatan soal pemecahan masalah berdasarkan pada silabus pembelajaran di SMK N 1 BANYUMAS.

  Kompetensi dasar :

  3.17 Mendeskripsikan konsep peluang dan harapan suatu kejadian dan menggunakannya dalam pemecahan masalah.

  Indikator :

  3.17.1 Menerapkan konsep peluang suatu kejadian dalam pemecahan masalah.

  3.17.2 Menerapkan konsep harapan suatu kejadian dalam pemecahan masalah.

  4.12 Mengidentifikasi, menyajikan model matematika dan menentukan peluang dan harapan suatu kejadian dari masalah kontektual.

  Indikator :

  4.12.1 Mengidentifikasi peluang dan harapan suatu kejadian dari masalah kontekstual.

  4.12.2 Menyajikan model matematika dan menentukan peluang dan harapan suatu kejadian dari masalah kontekstual.

4. Taksonomi SOLO (Structure Of The Observed Learning Outcome)

  Menurut Gagne (Suyono dan Heriyanto, 2014 : 92) dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Menurut Yusuf (2015 : 181) hasil belajar merupakan wujud pencapaian peserta didik, sekaligus merupakan lambang keberhasilan pendidik dalam pembelajaran peserta didik. Hal ini sesuai dengan pendapat Susanto (2013 : 5) hasil belajar merupakan kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar

  

(outcome learning) merupakan hasil penilaian terhadap kemampuan siswa

  setelah menjalani proses pembelajaran. Hasil belajar dapat diketahui dengan melakukan penilaian tertentu yang menunjukan sejauh mana kriteria-kriteria penilaian telah tercapai, dan hasil belajar tersebut berupa hasil belajar kognitif. Penilaian ini dilakukan dengan memberikan tes.

  Pada hasil belajar perlu adanya evaluasi, karena untuk membuat pertimbangan terhadap suatu situasi, nilai atau ide, sehingga mampu memilih satu pilihan yang baik sesuai dengan kriteria (Sudijono, 2011 : 52). Menurut Slameco (1988 : 5) Evaluasi merupakan usaha untuk mengetahui sejauh mana perubahan itu telah terjadi melalui kegiatan belajar mengajar. Evaluasi juga berfungsi untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan serta keberhasilan siswa setelah mengalami atau melakukan kegiatan belajar selama jangka waktu tertentu (Purwanto, 2010 : 5). Oleh karena itu pada hasil belajar perlu dilakukan evaluasi karena untuk mengetahui keberhasilan siswa pada pembelajaran yang telah dilakukan.

  Untuk mengevaluasi hasil belajar siswa maka dapat diukur menurut taksonomi SOLO. Taksonomi yang dirancang oleh Biggs dan Collis (biggs, collis 1982; biggs, 1995, 1999), yang menggambarkan bagaimana kinerja siswa dapat tumbuh mulai dari kompleksitas sampai tingkat abstraksi, ketika menguasai banyak informasi yang diterima, khususnya tugas yang dilakukan disekolah. Taksonomi ini dikenal dengan taksonomi, taksonomi SOLO juga membantu usaha menggambarkan tingkatan kompleksitas pemahaman siswa tentang subjek (Sunaryo, 2012 : 95).

  Menurut Biggs and Tang (1999 : 76) taksonomi SOLO merupakan singkatan dari struktur hasil belajar yang diamati, taksonomi SOLO memberikan cara sistematis yang menggambarkan bagaimana kinerja pelajar tumbuh di kompleksitas ketika menguasai banyak tugas akademik.

  Taksonomi SOLO juga merupakan alat yang berguna untuk memilih kata kerja sesuai tingkat kompleksitas. Taksonomi SOLO juga untuk mengevaluasi hasil belajar sehingga kita tahu apa tingkat individu siswa benar-benar beroperasi.

  Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa taksonomi SOLO merupakan alat evaluasi untuk mengukur kualitas jawaban siswa terhadap suatu masalah berdasarkan pada kompleksitas pemahaman atau kualitas jawaban siswa terhadap masalah yang diberikan. Taksonomi

  SOLO juga dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil pembelajaran, sehingga tingkat kemampuan siswa dapat diidentifikasi.

  Menurut Hattie (2004) taksonomi SOLO juga dapat menggambarkan proses yang terlibat dalam bertanya dan menjawab pertanyaan pada skala kesulitan yang meningkat atau kompleksitas. Hal ini juga diakui bahwa taksonomi yang paling dikenal dalam pendidikan adalah taksonomi bloom.

  Taksonomi yang mengacu pada jenis pemikiran atau pengolahan yang diperlukan dalam menyelesaikan tugas-tugas atau menjawab pertanyaan; yaitu, tahu, memahami, menerapkan, menganalisis, mensitesis, dan mengevaluasi. Tetapi masih banyak kekurangan dari taksonomi bloom untuk menerapkan keenam langkah-langkahnya. Oleh karena itu untuk melengkapi kekurangan taksonomi bloom maka menggunakan taksonomi SOLO. Pada dasarnya ketika menggunakan taksonomi SOLO maka semua pertanyaan- pertanyan dapat diklasifikasikan kedalam tingkatan-tingkatan atau level pada taksonomi SOLO. Dan juga untuk memaksimalkan koresponden antara pertanyaan yang diajukan dan jawaban yang diharapkan. Hal tersebut sesuai dengan Biggs and Tang (2009 : 4) bahwa taksonomi bloom berbeda dengan taksonomi SOLO karena pada taksonomi bloom dapat menggambarkan hasil belajar berdasarkan tingkatnya seperti memahami, mengidentifikasi, menjelaskan, membahas. Sedangkan pada taksonomi SOLO menggambarkan hasil belajar ke dalam tingkatan atau level-level pada taksonomi SOLO seperti, Prestructural, Unistructural, multistructural, Relational, abstrak diperluas .

  Taksonomi SOLO mengklasifikasikan kemampuan peserta didik pada tingkat atau level sesuai kemampuan kognitif peserta didik dalam menyelesaikan pertanyaan tersebut. Taksonomi ini terdiri dari lima tingkat yang berbeda Menurut Sunaryo (2012 : 97) yaitu :

  a.

   Prestructural

  Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas minimal yaitu dengan isyarat dan responnya masih mengalami kebingungan. Juga tidak perlu merasa konsisten pada suatu permasalahan yang diselesaikan.

  b.

   Unistructural

  Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas rendah yaitu dengan isyarat dan satu fakta yang relevan. Juga tidak merasa konsisten dalam mengambil kesimpulan itu lompat-lompatan dalam menyelesaikannya.

  c.

   Multistructural

  Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas sedang yaitu dengan isyarat dan data yang relevan terisolasi. Juga merasa konsisten terus dapat menjangkau kesimpulan yang berbeda dengan data yang sama.

  d.

   Relation

  Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas tinggi yaitu dengan isyarat dan data yang relevan interelasi. Keputusan yang inkonsisten yaitu tidak ada kebutuhan untuk keputusan yang tertutup.

  e.

   Extended abstrack

  Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas maksimum yaitu dengan isyarat dan data yang relevan interelasi dan hipotetik. Kesimpulan yang dilakukan secara terbuka dan kualitas.

  Taksonomi SOLO membagi tingkatan dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi menurut Hooi Lian dan Wun Thiam Yew :

  a. Tingkat (0) Pra-Structural

  Bahwa pada level ini siswa tidak memahami inti dari pertanyaan yang diberikan sehingga siswa mengalami kesulitan dalam menjawabnya, oleh karena itu menjawab dengan pengetahuan yang dimilikinya saja dan juga tidak ada upaya untuk menyelesaiakannya.

  b. Tingkat (1) Uni-Structural

  Bahwa pada level ini siswa mencoba menjawab pertanyaan dengan cara memilih satu penggal atau beberapa informasi yng relevan. Respon siswa pada level Unistructural dalam usaha menyusun struktur tertentu hanya membuat satu hubungan sederhana. Sehingga hubungan yang dibuat tersebut tidak memiliki logika yang jelas.

  c. Tingkat (2) Multi-Structural

  Bahwa pada level ini siswa sudah mampu menghubungkan beberapa informasi, namun informasi-informasi yang dimiliki tidak mampu menjawab inti dari masalah.

d. Tingkat (3) Relational

  Bahwa pada level ini siswa mampu mengaitkan bagian-bagian menjadi satu kesatuan, pemahaman peserta didik terhadap informasi- informasi terintegrasi secara baik.

  e. Tingkat (4) Extended Abstract

  Bahwa pada level ini siswa dapat menggeneralisasikan struktur kedalam situasi abstrak baru. Mungkin ini memberikan generalisasi ke sebuah topik baru atau topik yang lebih luas. Siswa pada tingkat ini berpikir secara konseptual dan dapat melakukan generalisasi (membentuk gagasan atau simpulan umum).

  Dari tingkatan atau level pada taksonomi SOLO menurut para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa level-level taksonomi SOLO antara lain :

a. Prestructural

  Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas minimal, siswa tidak memahami inti dari pertanyaan yang diberikan sehingga siswa mengalami kesulitan dalam menjawabnya, oleh karena itu menjawab dengan pengetahuan yang dimilikinya saja dan juga tidak ada upaya untuk menyelesaiakannya. Dimana siswa mengabaikan pernyataan atau informasi yang diberikan sehingga siswa tidak menuliskan informasi apapun terkait soal.

  b.

   Unistructural

  Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas rendah. Siswa mencoba menjawab pertanyaan dengan cara memilih satu penggal atau beberapa informasi yang relevan. Respon peserta didik pada level Unistructural dalam usaha menyusun struktur tertentu hanya membuat satu hubungan sederhana. Sehingga hubungan yang dibuat tersebut tidak memiliki logika yang jelas.

c. Multistructural

  Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas sedang, siswa sudah menggunakan informasi yang relevan untuk memperoleh solusi tetapi tidak saling berkaitan. Bahwa siswa sudah mampu menghubungkan beberapa informasi, namun informasi- informasi yang dimiliki tidak mampu menjawab inti dari masalah.

  d.

   Relation

  Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas tinggi, siswa dapat menggabungkan semua aspek dari informasi yang diperoleh dengan saling mengaitkan menjadi sebuah struktur yang koheren. Siswa mampu mengaitkan bagian-bagian menjadi satu kesatuan, pemahaman peserta didik terhadap informasi-informasi terintegrasi secara baik.

  e.

   Abstrak diperluas

  Pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas maksimum, dan siswa dapat berpikir secara konseptual melakukan generalisasi (membentuk gagasan atau simpulan umum).

5. Keterkaitan kemampuan pemecahan masalah menurut taksonomi

  SOLO

  Dari langkah-langkah pemecahan masalah matematika menurut Polya maka dapat diklasifikasikan menurut taksonomi SOLO dan dibagi menjadi 5 level menurut taksonomi SOLO yaitu sebagai berikut :

a. Level prastructural :

  Pada level ini siswa tidak dapat melakuan keempat langkah yang diterapkan oleh Polya yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan rencana, Memeriksa Kembali. Oleh karena itu menjawab dengan pengetahuan yang dimilikinya saja dan juga tidak ada upaya untuk menyelesaiakannya. Dimana siswa mengabaikan pernyataan atau informasi yang diberikan sehingga siswa tidak menuliskan informasi apapun terkait soal.

b. Level Unistructural

  Pada level ini siswa hanya mampu memahami masalah pada langkah-langkah diterapkan oleh Polya. Siswa mencoba menjawab pertanyaan dengan cara memilih satu penggal atau beberapa informasi yang relevan.

  c. Level Multistructural

  Pada level ini siswa dapat memahami masalah, merencanakan penyelesaian, pada langkah-langkah yang diterapkan oleh Polya. Siswa sudah menggunakan informasi yang relevan untuk memperoleh solusi tetapi tidak saling berkaitan. bahwa siswa sudah mampu menghubungkan beberapa informasi, namun informasi-informasi yang dimilikinya tidak mampu menjawab inti dari masalah yang diberikan.

  d. Level Relation

  Pada level ini siswa dapat memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan rencana pada langkah-langkah yang diterapkan oleh Polya. Siswa mampu mengaitkan bagian-bagian menjadi satu kesatuan, Pemahaman siswa terhadap informasi-informasi terintegrasi secara baik namun siswa belum dapat menyimpulkan dari informasi yang didapat.

  e. Level Extended Abstrack

  Pada level ini siswa dapat memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan rencana, Memeriksa Kembali pada langkah-langkah yang diterapkan oleh Polya. Siswa pada tingkat ini berpikir secara konseptual dan dapat melakukan generalisasi sehingga siswa mencapai pada tingkat akhir dalam penyelesaiannya.

  Berikut ini contoh penerapan langkah-langkah pemecahan masalah matematika pada level-level menurut taksonomi SOLO antara lain:

  1. Dari suatu kelas yang memiliki 120 siswa, 60 siswa diantaranya belajar matematika, 50 siswa belajar fisika, dan 20 siswa belajar keduanya. Jika dari kelas itu dipilih secara acak, tentukan peluang siswa yang sama sekali tidak belajar matematika maupun fisika.

  a. Prastruktrual

  Dari soal tersebut siswa tidak menjawab sesuai dengan pertanyaan pada soal.

  b. Unistruktural

  Memahami masalah Diketahui : A= Peluang siswa belajar matematika

  ( ) B= Peluang siswa belajar fisika

  ( ) A dan B = Peluang siswa belajar matematika dan fisika ( ) Ditanyakan: peluang siswa yang tidak sama sekali tidak belajar matematika maupun fisika?

  c. Multistructual

  • Memahami masalah Diketahui : A= Peluang siswa belajar matematika ( ) B= Peluang siswa belajar fisika

  ( ) A dan B = Peluang siswa belajar matematika dan fisika ( ) Ditanyakan: peluang siswa yang tidak sama sekali tidak belajar matematika maupun fisika?

  • Merencanakan penyelesaian

  ( ) ( ) ( ) ( ) (( ) ) ( ) d.

   Relation

  • Memahami masalah

  Diketahui : A= Peluang siswa belajar matematika ( ) B= Peluang siswa belajar fisika ( ) A dan B = Peluang siswa belajar matematika dan fisika ( ) Ditanyakan: peluang siswa yang tidak sama sekali tidak belajar matematika maupun fisika?

  • Merencanakan penyelesaian

  ( ) ( ) ( ) ( )

  (( ) ) ( )

  • Melaksanakan rencana

  ( ) ( ) ( ) ( ) (( ) ) ( ) e.

   Abstraks diperluas

  • Memahami masalah

  Diketahui : A= Peluang siswa belajar matematika ( ) B = Peluang siswa belajar fisika ( ) A dan B = Peluang siswa belajar matematika dan fisika ( ) Ditanyakan: peluang siswa yang tidak sama sekali tidak belajar matematika maupun fisika?

  • Merencanakan penyelesaian

  ( ) ( ) ( ) ( )

  (( ) ) ( )

  • Melaksanakan rencana

  ( ) ( ) ( ) ( ) (( ) ) ( )

  • Memeriksa kembali

  ) ( ) (( ) B.

   Penelitian Relevan

  Penelitian oleh Manibuy dkk (2014) tentang analisis kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal persamaan kuadrat berdasarkan

  • – taksonomi SOLO pada kelas X Sma Negeri 1 Plus Di Kabupaten Nabire Papua, menunjukan bahwa pada siswa berkemampuan matematika tinggi (KMT) yang hanya mencapai level unistructural sampai relasional. Sedangkan kesalahan yang dilakukan siswa berkemampuan matematika sedang (KMS) yang hanya mencapai level unistructural sampai

  multistructural . Demikian pula untuk siswa berkemampuan matematika rendah (KMR) yang tidak mencapai level unistruktural.

  Penelitian oleh Sunardi (2013) tentang pengembangan taksonomi

  SOLO mahasiswa dalam aljabar, menunjukan bahwa respon siswa dapat

  dikategorikan ke dalam tujuh level. Level tersebut adalah prastructural,

  unistructural, multistructural, semirelasional, relasional, abstrak dan extended abstract. Adapun deskripsi respons mahasiswa tersebut adalah

  pada level Prastructural, Mahasiswa tidak menggunakan satupun informasi/ pernyataan yang diberikan untuk menyelesaikan masalah. pada level Unistructural, Mahasiswa menggunakan satu informasi yang diberikan, dan tidak dapat menyelesaikan tugas dengan benar. Pada level

  Semirelasional, Mahasiswa dapat memahami soal yang harus diselesaikan

  dengan baik, namun dia gagal menyelesaikan soal yang diberikan. Pada level Relasional, Mahasiswa dapat merepresentasikan semua pernyataan yang diberikan dan melakukan interkoneksitas antar pernyataan tersebut sehingga diperoleh jawaban/pembuktian yang benar, dan diperoleh identitas terpadu. Pada level Abstrak: Mahasiswa dapat menggunakan semua pernyataan yang diberikan untuk menyelesaikan masalah, dia dapat menjelaskan hubungan pernyataan-pernyataan yang diberikan tersebut menjadi suatu argumen dalam menyelesaikan masalah. pada level

  Extended Abstract , Mahasiswa dapat menggunakan pernyataan pernyataan

  yang diberikan secara komprehensif, dan melakukan interkoneksitas antar pernyataan tersebut sehingga diperoleh pembuktian pernyataan dengan benar.

  Penelitian di atas relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, karena di dalam penelitian tersebut mendeskripsikan bagaimana kualitas respon siswa dalam menjawab suatu permasalahan berdasarkan taksonomi SOLO. Pada taksonomi SOLO juga dapat membagi tingkatan siswa ke dalam level-levelnya pada kemampuan siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang rendah. Pada taksonomi SOLO juga mengkategorikan respon siswa dari yang terendah ke tingkat yang abstrak

  diperluas . Oleh karena itu, sesuai dengan penelitian yang akan diteliti

  yaitu Deskripsi kemampuan pemecahan masalah matematika menurut taksonomi SOLO (Struktured Of The Observed Learning Outcome) siswa kelas XI TKJ 2 SMK N 1 BANYUMAS.

C. Kerangka Pikir

  Masalah matematika merupakan suatu pertanyaan yang menunjukan adanya sebuah tantangan yang harus diselesaikan atau dijawab. Pada masalah matematika diperlukan pemecahannya atau mencari solusi bagaimana cara menyelesaikannya. Oleh karena itu, pada masalah matematika diperlukan kemampuan pemecahan masalah matematika. Pada kemampuan pemecahan masalah tersebut dapat diketahui ketika siswa menerapkan langkah-langkah dalam pemecahan masalah seperti memahami masalah, memilih strategi, menerapkan strategi, dan memeriksa kembali. Pada penerapan langkah-langkah pemecahan masalah diperlukan sebuah algoritma/aturan dan konsep. Pada dasarnya dalam pemecahan masalah konsep dan aturan merupakan hal yang harus perhatikan, karena jika tidak memperhatikan hal tersebut maka akan mempengaruhi hasil belajar kognitifnya. Hasil belajar kognitif merupakan hasil penilaian terhadap kemampuan siswa setelah menjalani proses pembelajaran. Untuk mengetahui hasil belajar kognitif pada kemampuan pemecahan masalah matematika maka dapat diukur menurut taksonomi SOLO.

  Taksonomi SOLO merupakan alat evaluasi untuk mengukur kualitas jawaban siswa terhadap suatu masalah berdasarkan pada kompleksitas pemahaman atau kualitas jawaban siswa terhadap masalah yang diberikan. Taksonomi SOLO juga dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil pembelajaran, sehingga tingkat kemampuan siswa dapat diidentifikasi berdasarkan level-level pada taksonomi SOLO.

  Level-level tersebut antara lain Level Prestructural, pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas minimal, siswa tidak memahami inti dari pertanyaan yang diberikan sehingga siswa mengalami kesulitan dalam menjawabnya, oleh karena itu menjawab dengan pengetahuan yang dimilikinya saja dan juga tidak ada upaya untuk menyelesaiakannya. Level Unistructural, pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas rendah. Siswa mencoba menjawab pertanyaan dengan cara memilih satu penggal atau beberapa informasi yng relevan. Multisructural, pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas sedang, siswa sudah menggunakan informasi yang relevan untuk memperoleh solusi tetapi tidak saling berkaitan. Bahwa siswa sudah mampu menghubungkan beberapa informasi, namun informasi-informasi yang dimiliki tidak mampu menjawab inti dari masalah. Level Relation, pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas tinggi, siswa dapat menggabungkan semua aspek dari informasi yang diperoleh dengan saling mengaitkan menjadi sebuah struktur yang koheren. Siswa mampu mengaitkan bagian-bagian menjadi satu kesatuan, Pemahaman peserta didik terhadap informasi-informasi terintegrasi secara baik. Level Abstrack

  diperluas pada level ini dikategorikan kemampuan siswa pada kapasitas

  maksimum, bahwa siswa dapat menggeneralisasikan struktur kedalam situasi abstrak baru. Mungkin ini memberikan generalisasi ke sebuah topik baru atau topik yang lebih luas. Siswa pada tingkat ini berpikir secara konseptual dan dapat melakukan generalisasi (membentuk gagasan atau simpulan umum).

Dokumen yang terkait

BAB II Kajian Pustaka A. Deskripsi Teori a. Tinjauan Tentang Berpikir Reflektif 1. Pengertian Berpikir - ANALISIS BERPIKIR REFLEKTIF SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH TEOREMA PHYTAGORAS DITINJAU DARI KEMAMPUAN MATEMATIKA KELAS VIII SMP NEGERI 1 KAMPAK TAHUN

0 5 62

BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Teoretik 1. Pengertian Media - BAB II KAJIAN TEORETIK

0 1 23

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Pengertian Media Pembelajaran - BAB II KAJIAN PUSTAKA

1 28 23

BAB II IMPLEMENTASI METODE PEMBELAJARAN VALUE CLARIFICATION TECHNIQUE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH A. Deskripsi Pustaka - IMPLEMENTASI METODE PEMBELAJARAN VALUE CLARIFICATION TECHNIQUE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH PADA

0 0 20

BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Konseptual 1. Manajemen a. Pengertian Manajemen Pembelajaran - BAB 2 Revisi Cetak 2017

0 1 28

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Akuntabilitas Manajerial a. Definisi Akuntabilitas - AKUNTABILITAS MANAJERIAL (Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akuntabilitas Manajerial di PTAIS Kopertais Wilayah 1 Jakarta) - Raden Intan Reposito

0 0 122

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Pustaka 1. Pengertian Kurikulum - FILE 5 BAB II

0 0 17

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual Fokus dan Subfokus Penelitian 1. Definisi Pengelolaan - Pengelolaan program ekstrakurikuler di MTs. Negeri 1 Tulang Bawang - Raden Intan Repository

0 0 25

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Pustaka 1. Aṣ-Ṣalātu al-Wus ṭ - FILE 5 BAB II

0 0 42

BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual - NUR EKA SARI BAB II

0 0 32