BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Asmara Indra Perdana BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu ruang lingkup epidemiologi ialah mempelajari faktor faktor

  yang mempengaruhi frekuensi dan penyebaran masalah kesehatan pada manusia. Adapun masalah kesehatan yang dipandang sangat penting ialah yang menyangkut penyakit. Berbagai masalah kesehatan yang bukan penyakit hanya akan mempunyai arti apabila ada hubunganya dengan penyakit, jika tidak demikian maka penanggulangannya tidak akan di prioritaskan.

  Salah satu masalah kesehatan di dunia saat ini adalah penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita. Penyakit ini dapat disebabkan oleh berbagai macam virus dan bakteri yang menginfeksi tubuh balita maupun remaja dengan kekebalan tubuh yang masih lemah (Said, 2010).

  Penyakit ISPA juga merupakan salah satu penyebab kematian terbesar pada anak di negara berkembang. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei mortalitas subdit ISPA pada tahun 2005 di 10 provinsi, diketahui bahwa pneumonia merupakan penyebab kematian terbesar di Indonesia yaitu sebesar 22,30% dari seluruh kematian bayi. Survei yang sama juga menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyebab kematian terbesar pada anak balita yaitu sebesar 23,60%. Sedangkan pada tahun 2007 proporsi kematian pada bayi (post neonatal) karena pneumonia sebesar 23,8% dan pada balita sebesar 15,5% (Depkes RI, 2010).

  Kejadian pneumonia termasuk dalam penyakit infeksi saluran pernafasan atas akut (ISPaA) dan infeksi saluran pernafasan bawah akut (ISPbA). Menurut Depkes Jateng (2010), ISPaA mengakibatkan kematian pada anak dalam jumlah kecil, tapi walaupun demikian ISPaA juga dapat mengakibatkan kecacatan, misalnya otitis media yang menyebabkan ketulian. Hampir seluruh kematian ISPA pada anak kecil disebabkan oleh ISPbA, paling sering adalah pneumonia. Tetapi tidak semua ISPbA itu serius, bronchitis relative sering terjadi pada anak akan tetapi jarang menyebabkan kematian, hali ini ditunjukkan dengan banyaknya anak yang menderita ISPA.

  Di Jawa Tengah, penyakit ISPA merupakan masalah kesehatan utama masyarakat. Menurut Dinas Kesehatan Jawa Tengah (2010), cakupan penemuan penderita Pneumonia Balita di Wilayah Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 mencapai 24,29%. Angka tersebut menurun pada tahun 2008 menjadi 23,63% dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi 25,96%. Di Kabupaten Banyumas, angka kejadian ISPA pada balita di tahun 2009 mencapai 41.608 jiwa atau 38%, sementara pada tahun 2010 jumlah balita terserang ISPA meningkat menjadi 48.288 jiwa atau 48,08%. Dengan begitu, peningkatan kasus ISPA balita di Kabupaten Banyumas terlihat sangat jelas baik jumlah maupun prosentasenya.

  Berdasarkan data Dinas Kesehatan Banyumas tahun 2011 menyebutkan bahwa sebanyak 1155 kasus atau 32, 25 % ISPA balita terjadi di wilayah Puskesmas Kembaran II Kabupaten Banyumas dan data ini lebih besar dari data sebelumnnya tahun 2010 yaitu sebanyak 1105 kasus dan pada tahun 2009 sebanyak 997 kasus. Kejadian ISPA di Puskesmas Kembaran II selalu mengalami peningkatan dari tahun 2009 ke tahun 2011, kejadina ISPA juga meduduki perigkat 1 dari 10 besar penyakit yang terjadi di Puskesmas Kembaran II, oleh karena itu ISPA merupakan peyakit terbesar yang terjadi di Puskesmas Kembaran II.

  Pada umumnya, angka kejadian ISPA yang masih tinggi tersebut dikarenakan masih banyaknya kelemahan-kelemahan, hambatan-hambatan dan permasalahan yang dijumpai untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Hal ini dapat dilihat dari angka kejadian kesakitan dan kematian dari berbagai penyakit yang berhubungan dengan kesehatan lingkungan di wilayah kerja Puskesmas Banyumas seperti ISPA, diare, TB paru dan DBD yang masih tinggi. Penyebab tingginya angka kesakitan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor resiko, diantaranya faktor karakteristik balita dan faktor perilaku pencegahan. Faktor karakteristik balita dipengaruhi oleh faktor individu anak itu sendiri, seperti umur anak, status berat badan lahir, status gizi, status pemberian vitamin A, status pemberian ASI Eksklusif dan status imunisasi.

  Faktor perilaku pencegahan seperti pelaksanaan PHBS yang meliputi cuci tangan sampai bersih dengan sabun, meningkatkan daya tahan tubuh, menjaga kondisi udara dalam rumah tetap sehat melalui tidak merokok dalam rumah. Dari banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya angka kesakitan

  ISPA, imunisasi merupakan salah satu faktor yang cukup berpengaruh terhadap kejadian ISPA (Depkes RI, 2009).

  Imunisasi merupakan salah satu cara untuk memberikan kekebalan terhadap bayi dan anak dari berbagai penyakit, hal tersebut diharapkan agar anak dan bayi tetap tumbuh dalam keadaan sehat. Badan kesehatan dunia WHO mencanangkan program expanded program on immunization (EPI) yang bertujuan untuk meningkatkan cakupan imunisasi pada anak-anak di seluruh belahan dunia sejak tahun 1974. WHO dan UNICEF menetapkan indikator cakupan imunisasi adalah 90% di tingkat nasional dan 80% di tingkat kabupaten. Dalam Rencana Strategis Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2005 – 2009, target universal child immunization (UCI) desa sebesar 98% tercapai pada tahun 2009. Menurut Depkes RI (2010), target UCI desa/kelurahan di tiap kota sebesar 100%. Anak balita pada tahun 1999/2000 sebesar 66,3% yang memiliki cakupan imunisasi lengkap. Angka tersebut masih jauh dari target universal child immunization (UCI) (Ayubi, 2009).

  Menurut data dari Dinas Kesehatan (2010), menyebutkan bahwa cakupan imunisasi Kabupaten Banyumas tahun 2010 mencapai 98%, angka tersebut belum mencukupi target yang ditetapkan UCI yaitu sebesar 100%. Belum tercapainya target UCI dikarenakan masih adanya Puskesmas yang cakupan imunisasinya masih rendah. Puskesmas Kembaran II merupakan Puskesmas yang cakupan imunisasinya terendah di Kabupaten Banyumas yaitu sebesar 88%. Pada tahun 2011, cakupan imunisasi Puskesmas Kembaran II meningkat menjadi 90%, tetapi angka tersebut masih dibawah standar cakupan UCI (Profil Puskesmas, 2011).

  Masih jauhnya angka cakupan imunisasi di Indonesia menjadikan beberapa peneliti melakukan penelitian yang dikaitkan dengan imunisasi, seperti yang dilakukan oleh Abdaie (2004), tentang kelengkapan imunisasi dan status gizi dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut dan diare akut pada balita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada kaitan antara kelengkapan imunisasi dengan kejadian ISPA (p=0,001). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Supardi (2001), juga mengatakan bahwa status imunisasi dapat mencegah terjadinya ISPA. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian imunisai sangat berperan penting dalam kesehatan balita.

  Balita yang tidak mendapat imunisasi sesuai dengan umurnya mempunyai resiko menderita ISPA sebesar 2,6 kali. Pemberian imunisasi dapat mencegah kematian akibat ISPA sebesar 25%. Imunisasi dan menyusui juga memberikan kontribusi dalam menurunkan kejadian ISPA pada balita, sehingga tidak berlanjut menjadi pneumonia (Sadono, Adi & Zain, 2005).

  Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan kelengkapan imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kembaran II Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas.

B. Rumusan Masalah

  Tingginya angka kejadian ISPA di Puskesmas Kembaran II dipengaruhi beberapa faktor. Dari pemaparan informasi diatas dapat disimpulkan bahwa kejadian ISPA merupakan penyakit yang sering menyerang pada balita, di Kabupaten Banyumas khususnya wilayah Puuskesmas Kembaran II pada tahun 2011 angka kejadian ISPA sangat tinggi mencapai 1155 kasus atau 32,25%.

  Disamping angka kejadian ISPA yang tinggi, cakupan imunisasi di Puskesmas Kembaran II juga belum memenuhi target UCI yaitu 100% yaitu masih 90%.

  Beberapa peneliti menyatakan bahwa imunisasi memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian ISPA. Maka dapat dirumuskan masalah “ Apakah ada hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kembaran II”

C. Tujuan Penelitian 1.

  Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan kelengkapan imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kembaran II.

2. Tujuan Khusus a.

  Mendeskripsikan karakteristik balita penderita ISPA dan bukan penderita ISPA berdasarkan umur, BBL dan jenis kelamin.

  b.

  Mendeskripsikan status imunisasi pada balita yang menderita ISPA dan yang tidak menderita ISPA.

  c.

  Untuk mengetahui adanya hubungan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita.

D. Manfaan Penelitian 1.

  Bagi Dinas Kesehatan Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk masukan dalam rangka meningkatkan upaya-upaya pencegahan ISPA pada balita khususnya di wilayah kerja Puskesmas Kembaran II.

  2. Bagi Peneliti Memperluas pengetahuan dan pengalaman serta bekal untuk memanfaatkan hasil penelitian pada saat melakukan upaya pencegahan ISPA.

  3. Bagi Institusi Sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam upaya pencegahan kejadian ISPA dan hasil penelitian dapat dikembangkan oleh peneliti lain dari berbagai konsentrasi keilmuwan E.

   Keaslian Penelitian

  Sejauh yang peneliti ketahui, penelitian yang bertujuan untuk menghubungkan antara kelengkapan imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kembaran II belum pernah dilakukan, namun ada beberapa penelitian terkait dengan masalah yang peneliti angkat, diantaranya adalah: 1.

  Gulo (2008), meneneliti tentang “Faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) pada balita di kelurahan Ilir Gunungsitoli kabupaten Nias tahun 2008”. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa kelengkapan imunisasi mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian ISPA pada balita. Perbedaan penelian Gulo dengan penelitian yang dilakukan yaitu pada penelitian Gulo meneliti tentang analisis faktor, sedangkan dalam penelitian ini meneliti kelengkapan imunisasinya, selain itu subyek dan objek penelitian ini juga berbeda.

  2. Wicaksono (2009), meneliti tentang “Hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu terhadap ketidaklengkapan pemberian lima imunisasi dasar di wilayah Kecamatan Sumbang”. Hasil penelitian ini yaitu, faktor pengetahuan merupakan faktor yang paling dominan yang mempengaruhi kelengkapan imunisasi. Beberapa hal yang membedakan penelitian Wicaksono dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu variabel baik independen maupun dependen berbeda, selain itu subjek dan objek penelitian ini berbeda.