BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan - Dewi Puspita Sari BAB II

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan Penellitian dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra telah banyak

  dilakukan oleh beberapa mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto khususnya Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Namun belum ada penelitian tentang kepribadian tokoh pada novel

  

Nawang karya Dianing Widya Yudhistira. Penelitian sejenis yang dijadikan sumber

  referensi tambahan dalam penelitian ini yaitu:

  Pertama, penelitian yang berjudul Dinamika Kepribadian Tokoh Utama dalam

Novel Para Pelukis Langit karya Bung Pram . Penelitian tersebut dilakukan oleh Beny

  Kurniawan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, tahun 2014. Beny Kurniawan meneliti tentang dinamika kepribadian yang menghasilkan dua tahap perkembangan kepribadian yaitu usia remaja (12-20) dan usia dewasa awal (20-30). Usia remaja yang dialami oleh tokoh utama menghasilkan perubahan kepribadian, pencarian identitas diri, dan keinginan untuk mengejar cita-cita. Usia dewasa awal yang dialami oleh tokoh utama mengalami tiga dinamika kepribadian yaitu pencarian identitas diri, pencarian jalan hidup, dan keyakinan terhadap jalan hidup.

  Perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu terletak pada sumber data dan objek penelitian. Sumber data yang dilakukan oleh Beny Kurniawan adalah novel

  

Para Pelukis Langit karya Bung Pram, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh

peneliti menggunakan sumber data novel Nawang karya Dianing Widya Yudhistira.

  7 Dalam penelitian yang dilakukan oleh Beny Kurniawan, objek penelitiannya yaitu dinamika kepribadian, sedangkan peneliti objek penelitiannya adalah kepribadian tokoh yang ada dalam novel Nawang.

  Kedua, penelitian yang berjudul Kepribadian Tokoh Utama pada Novel Dalam

Mihrab Cinta karya Habiburahman El Shirazy . Penelitian tersebut dilakukan oleh

  Riko Anggih Dwi Utomo mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UMP, tahun 2014. Pada penelitian ini kepribadian tokoh utama merupakan hasil tindakan dan perilaku Syamsul yang diakibatkan oleh problema kehidupan yang bergejolak karena adanya kejadian pemfitnahan terhadap dirinya. Wujud kepribadian tersebut meliputi rajin dan tekun, berani, jujur, bertanggung jawab, dan religious. Hal itu dapat dilihat dari tindakan penggambaran diri terhadap lingkungan. Kepribadian tersebut merupakan hasil interaksi dari id, ego, dan superego. Perbedaan pada penelitian yang dilakukan oleh Riko Anggih Dwi Utomo dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu terletak pada sumber data. Sumber data yang digunakan oleh Riko Anggih Dwi Utomo adalah novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburahman El Shirazy, sedangkan pada penelitian peneliti menggunakan novel Nawang karya Dianing Widya Yudhistira.

  Ketiga, penelitian yang berjudul Perkembangan Kepribadian Tokoh Utama

pada Novel Emak Aku Minta Surgamu, Ya… karya Taufiqurrahman al-Azizy.

  Penelitian tersebut dilakukan oleh Ayu Puspasari mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UMP, tahun 2015. Ayu Puspasari meneliti tentang perkembangan kepribadian tokoh utama yang menghasilkan: separuh kehidupan pertama, krisis paruh baya, dan usia senja.

  Penelitian ini juga membahas faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian dari tokoh utamanya yaitu faktor fisik, faktor intelegensi, faktor keluarga, faktor teman sebaya, dan faktor kebudayaan.

  Perbedaan penelitian Ayu Puspasari dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu terletak pada sumber data dan objek penelitian. Sumber data yang digunakan oleh Ayu Puspasari adalah novel Emak, Aku Minta Surgamu Ya... karya Taufiqurrahman al-Azizy, sedangkan pada penelitian yang dilakukan peneliti sumber data yang digunakan adalah novel Nawang karya Dianing Widya Yudhistira. Dalam penelitian yang dilakukan Ayu Puspasari objek penelitiannya yaitu perkembangan kepribadian, sedangkan pada penelitian peneliti objek penelitiannya adalah kepribadian tokoh.

  Penelitian-penelitian yang telah dilakukan di atas, benar-benar berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Dengan demikian menurut anggapan peneliti penelitian ini perlu dilakukan.

B. Landasan Teori

  Landasan teori berisi berbagai macam teori yang digunakan oleh peneliti sebagai pedoman dalam penelitian ini. Landasan teori dijadikan sebagai alat bantu bagi peneliti untuk menganalisis data-data yang telah didapat. Menjadikan landasan teori sangat penting, agar penelitian menjadi terarah. Untuk dapat menganalisis kepribadian tokoh dalam novel Nawang karya Dianing Widya Yudhistira dengan baik, diperlukan teori-teori pendukung. Teori tersebut akan dijabarkan lebih jelas dalam bab ini, yaitu:

  1. Pengertian Novel

  Menurut Djuanda dan Pradana (2006: 165), novel berasal dari kata novella (Italia) yang secara harfiah berarti “sebuah barang baru yang kecil”. Sejalan dengan Djuanda dan Pradana, Suyitno (2009: 35) berpendapat, dikatakan baru karena bentuk novel adalah bentuk karya sastra yang datang kemudian dari bentuk karya sastra lainnya seperti puisi dan drama. Menurut Sayuti (2000: 7) novel adalah prosa fiksi yang dibentuk oleh elemen plot, tokoh, latar, dan lain-lain. Sedangkan menurut Aziez dan Abdul Hasim (2010: 2), novel merupakan suatu karya fiksi, yaitu karya dalam bentuk kisah atau cerita yang melukiskan tokoh-tokoh dan peristiwa rekaan.

  Walaupun peristiwa dan tokoh-tokohnya bersifat rekaan, mereka memiliki kemiripan dengan kehidupan sebenarnya.

  Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Hal itu mencakup unsur cerita yang membangun novel itu (Nurgiyantoro, 2007: 11). Jadi dapat disimpulkan bahwa cerita yang ada pada novel biasanya bersifat kompleks dan meluas. Hal tersebut juga mencakup unsur cerita yang membangun novel. Oleh sebab itu seorang pengarang diberi kesempatan untuk mengembangkan tokoh dan alur dengan leluasa. Cerita yang ada di dalam novel biasanya memotret banyak hal dari kenyataan hidup yang berkembang dari masyarakat khususnya di sekitar pengarang.

  2. Tokoh dan Penokohan a. Tokoh

  Menurut Nurgiyantoro (2013: 222-223), tokoh cerita dimaksudkan sebagai pelaku yang dikisahkan perjalanan hidupnya dalam cerita fiksi lewat alur baik sebagai pelaku maupun penderita berbagai peristiwa yang diceritakan. Sedangkan menurut Lukens dalam Nurgiyantoro (2013: 223), tokoh-tokoh cerita fiksi hadir sebagai seseorang yang berjati diri, bukan sebagai sesuatu yang tanpa karakter. Justru karena tiap tokoh hadir dengan kualifikasi tersebut kemudian dapat dibedakan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Menurut Sugihastuti dan Suharto (2013: 50), tokoh adalah orangnya. Sebagai subjek yang menggerakkan peristiwa-peristiwa cerita, tokoh tentu saja dilengkapi watak atau karakteristik tertentu.

  Para tokoh dalam sebuah novel yang baik itu menarik, menimbulkan rasa ingin tahu, konsisten, meyakinkan, kompleks, dan realistik. Bila seorang pengarang telah menciptakan seorang tokoh yang sangat hidup dan berpribadi, maka kita sebagai pembaca, akan menganggap tokoh itu menarik, terlepas dari apakah kita menyukainya atau tidak (Reader dan Woods dalam Aziez dan Abdul Hasim, 2010:61). Jadi dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah pelaku dalam cerita. Tokoh merupakan elemen struktural fiksi yang melahirkan peristiwa. Dalam kaitan ini, tokoh diciptakan sangat hidup dan berjati diri yang menggerakkan peristiwa-peristiwa dalam cerita.

b. Penokohan

  Pembicaraan mengenai penokohan dalam cerita rekaan tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan tokoh. Istilah ‘tokoh’ menunjuk pada pelaku dalam cerita.

  S edangkan ‘penokohan’ menunjuk pada sifat, watak atau karakter yang melingkupi diri tokoh yang ada. Penokohan bisa disebut juga sebagai penciptaan citra tokoh dalam cerita. Tokoh harus tampak hidup dan nyata sehingga pembaca merasakan kehadirannya. Menurut Suyitno (2009: 126), penokohan sebagai unsur karya prosa, yaitu memberikan corak baru (kebaruan) terhadap konvensi penulisan prosa yang telah ada. Menurut Djuanda dan Prana (2006: 226), penokohan lebih luas daripada tokoh dan perwatakan, sebab penokohan sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan, serta pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

  Sedangkan penokohan menurut Nurgiyantoro (2007: 165) yaitu watak, perwatakan, dan karakter, menunjukkan pada sifat dan sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh.

  Lebih lanjut menurut Sayuti (2000: 89), cara penggambaran tokoh dapat dilakukan dengan cara “analitik” dan “dramatik”. Metode analitik adalah cara penggambaran tokoh yang dilakukan oleh pengarang dengan cara menceritakan kepada pembaca tentang karakter, sifat dan tingkah laku tokoh. Metode dramatik adalah cara penggambaran tokoh yang dilakukan oleh pengarang dengan cara membiarkan tokoh-tokohnya untuk menyatakan diri mereka sendiri melalui kata-kata, tindakan-tindakan, serta perbuatan mereka sendiri. Sedangkan teknik pelukisan tokoh menurut Nurgiyantoro (2007: 194-210), yaitu dibagi menjadi dua jenis yaitu teknik ekspositori dan teknik dramatik. Berikut akan dibicarakan kedua teknik tersebut satu per satu.

  1) Teknik ekspositori atau analitik, yaitu pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang ke hadapan pembaca secara tidak berbelit- belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya, yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya. 2) Teknik dramatik, yaitu dilakukan secara tak langsung. Pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh.

  Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi. Pelukisan tokoh dengan teknik dramatik ini dapat memiliki beberapa wujud untuk menggambarkan tokoh, antara lain:

  a) Teknik cakap atau karakter tokoh, yaitu Percakapan yang dilakukan oleh tokoh- tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan.

  b) Teknik tingkah laku, yaitu penggambaran tokoh menunjuk pada tindakan yang bersifat nonverbal dan fisik, yang dapat menunjukkan karakteristik dan kedirian dari tokoh tersebut.

  c) Teknik pikiran dan perasaan, merupakan penggambaran tokoh melalui hasil perbuatan, pembicaraan dan pemikiran tokoh yang ditampilkan agar pembaca dapat menafsirkan watak atau sifat tokoh tersebut.Teknik ini akan dijabarkan melalui apa yang terlintas di dalam pikiran dan perasaan, yaitu yang dipikirkan dan dirasakan oleh tokoh untuk menggambarkan sifat-sifat kediriannya.

  d) Teknik arus kesadaran, yaitu merupakan sebuah teknik yang berupa percakapan hanya terjadi dalam diri sendiri, pada umumnya ditampi lkan dengan gaya “aku”, berusaha menangkap kehidupan bantin, urutan suasana kehidupan batin, pikiran, perasaan, emosi, kesadaran, yang dapat mengungkapkan kedirian tokoh.

  e) Teknik reaksi tokoh, yaitu reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah keadaan, kata, dan sikap tingkah laku orang lain, dan sebagainya yang berupa “rangsang” dari luar diri tokoh yang bersangkutan dapat menunjukkan kedirian tokoh tersebut. f) Teknik reaksi tokoh lain, yaitu reaksi tokoh lain terhadap suatu kejadian yang dilakukan oleh sang tokoh dapat menunjukkan kedirian tokoh itu. Dengan kata lain ini merupakan opini tokoh-tokoh lain terhadap tokoh tertentu yang dapat berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain.

  g) Teknik pelukisan latar, yaitu tempat dimana suatu cerita terjadi, dapat menunjukkan karakter dari tokoh tersebut. Pelukisan latar tidak hanya akan menunjukkan karakter tokoh, tetapi juga penyituasian suasana cerita.

  h) Teknik penampilan fisik, yaitu keadaan fisik seseorang berhubungan langsung dengan ciri-ciri sang tokoh karena pengarang mendeskripsikan tokoh itu dengan maksud tertentu. Teknik ini sangat penting dalam penokohan, karena sangat efektif.

3. Psikologi Kepribadian

  Menurut Alwisol (2009: 1), psikologi lahir sebagai ilmu yang berusaha memahami manusia seutuhnya, yang hanya dapat dilakukan melalui pemahaman tentang kepribadian. Teori kepribadian bersifat deskriptif dalam wujud penggambaran organisasi tingkah laku secara sistematis dan mudah dipahami. Tidak ada tingkah laku yang terjadi begitu saja tanpa alasan; pasti ada faktor-faktor antedense, sebab- musabab, pendorong, motivator, sasaran-tujuan, dan atau latar belakangnya. Dari hal tersebut tokoh dan penokohan selalu berkaitan dengan kejiwaan tokoh yang bisa disebut juga dengan psikologi kepribadian. Sedangkan definisi kepribadian menurut Minderop (2013: 4) yaitu, kepribadian bagi sebagian masyarakat percaya bahwa masing-masing individu memiliki karakteristik kepribadian atau pembawaan yang menandainya. Kepribadian dapat dikatakan sebagai pembawaan seseorang yang mencakup dalam pikiran, perasaan, dan tingkah laku, merupakan karakteristik seseorang yang menampilkan cara ia beradaptasi dan berkompromi dalam kehidupan.

  Kepribadian dibentuk oleh potensi sejak lahir yang dimodifikasi oleh pengalaman budaya dan pengalaman unik yang mempengaruhi seseorang sebagai individu.

  Sehingga kepribadian mengacu pada pola karakteristik perilaku dan pola pikir yang menentukan penilaian seseorang terhadap lingkungan.

  Psikologi kepribadian adalah suatu cabang ilmu psikologi yang mempelajari kepribadian manusia dengan objek penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Sasaran pertama psikologi kepribadian adalah memperoleh informasi tentang tingkah laku manusia. Sasaran kedua, psikologi kepribadian mendorong individu agar dapat hidup secara utuh dan memuaskan. Ketiga, sasarannya adalah agar individu mampu mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya secara optimal melalui perubahan tingkah laku psikologis (Koswara dalam Minderop, 2013: 8). Menurut Friedman dan Wiliam (2006: 2), psikologi kepribadian dapat didefinisikan sebagai studi ilmiah yang mempelajari kekuatan-kekuatan psikologis yang membuat masing-masing individu unik 4.

   Struktur Kepribadian

  Freud membagi struktur kepribadian ke dalam tiga komponen, yaitu id, ego, dan superego. Setiap struktur kepribadian memiliki peran dan ciri masing-masing.

  Menjadikan id, ego, dan superego memiliki peran yang berbeda pula. Perilaku seseorang merupakan hasil interaksi antara ketiga komponen tersebut. Ketiga struktur kepribadian tersebut akan dijabarkan lebih jelas yaitu sebagai berikut.

a. Id

  Id (terletak di bagian tak sadar) merupakan reservoir pulsi dan menjadi sumber

  energi psikis. Id merupakan energi psikis dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar. Menurut Freud dalam Miderop (2013: 21), id berada di alam bawah sadar, tidak ada kontak dengan realitas. Cara kerja id berhubungan dengan prinsip kesenangan, yakni selalu mencari kenikmatan dan selalu menghindari ketidaknyamanan. Sedangkan menurut Yusuf dan Juntika (2011: 41), id merupakan komponen kepribadian yang primitive, instinktif (yang berusaha untuk memenuhi kepuasan instink) dan rahim tempat ego dan superego berkembang.

  Lebih lanjut menurut Semiun (2006: 61-63), id merupakan inti kepribadian dan dilihat dari perkembangannya id adalah bagian tertua dari kepribadian. Selain tidak realistik dan hanya mencari kenikmatan, id itu tidak logis dan dapat secara serempak memiliki pikiran-pikiran yang bertentangan. Sedangkan menurut Feist dan Gregory (2014: 32), id adalah wilayah yang primitif, kacau balau, dan tidak terjangkau oleh alam bawah sadar. Id tak sudi diubah, abnormal, tidak logis, tidak bisa diatur, dan penuh energi yang datang dari dorongan-dorongan dasar serta dicurahkan semata- mata untuk memuaskan prinsip kesenangan. Oleh karena itu id menggunakan kacamata kuda dalam upayanya memenuhi prinsip kesenangan.

  Dengan demikian dapat disimpulkan id merupakan inti kepribadian yang menjadi tempat ego dan superego berkembang. Dapat dikatakan id merupakan sistem yang original di dalam kepribadian. Id tidak logis dan tidak realistik karena id berada di alam bawah sadar, menjadikan id tidak ada kontak dengan realitas. Untuk memenuhi kebutuhannya id mempergunakan segala cara dan semata-mata untuk memuaskan prinsip kesenangan. Dapat diperoleh ciri dari id yaitu: tidak bisa diatur, tidak logis dan tidak realistis, tidak sopan dan tidak memiliki moralistas, berlaku seperti penguasa absolut, manja, rakus, dan sebagainya.

b. Ego

  Ego (terletak di antara alam sadar dan tak sadar) yang bertugas sebagai

  penengah yang mendamaikan tuntutan keinginan atau dorongan dan larangan superego (Minderop, 2013: 21). Ego terperangkap di antara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga serta patuh pada prinsip realitas dengan mencoba memenuhi kesenangan individu yang dibatasi oleh realitas. Ego lebih condong mempertimbangkan apakah ia dapat memuaskan diri tanpa mengakibatkan kesulitan atau penderitaan pada dirinya sendiri. Ego berada di antara alam sadar dan alam bawah sadar. Tugas ego memberi tempat pada fungsi mental utama, misalnya: penalaran, penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan. Dengan alasan ini, ego merupakan pimpinan utama dalam kepribadian; layaknya seorang pemimpin perusahaan yang mampu mengambil keputusan. Id dan ego tidak memiliki moralitas karena keduanya ini tidak mengenal nilai baik dan buruk (Minderop, 2013: 22).

  Ego dikendalikan oleh prinsip kenyataan (reality principle), yang berusaha menggantikan prinsip kesenangan milik id. Ego mengambil peran eksekutif atau pengambilan keputusan dari kepribadian. Akan tetapi, karena ego sebagian bersifat sadar, sebagian bersifat bawah sadar dan sebagian lagi tidak sadar, maka ego bisa membuat keputusan di ketiga tingkat tersebut (Feist dan Gregory, 2014: 33). Sedangkan menurut Suryabrata (2011:126), ego timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan (Realitas). Menjadikan ego dapat membedakan sesuatu secara objektif, yaitu melihat keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi oleh pendapat atau pandangan pribadi.

c. Superego

  Superego (terletak sebagian di bagian sadar dan sebagian lagi di bagian

  taksadar) bertugas mengawasi dan menghalangi pemuasan sempurna keinginan atau dorongan tersebut yang merupakan hasil pendidikan dan identifikasi pada orang tua.

  Superego mengacu pada moralitas dalam kepribadian. Superego sama halnya dengan ‘hati nurani’ yang mengenali nilai baik dan buruk (conscience). Sebagaimana id, superego tidak mempertimbangkan realitas karena tidak bergumul dengan hal-hal realistik, kecuali ketika impuls seksual dan agresivitas id dapat terpuaskan dalam pertimbangan moral (Minderop, 2013: 21-22). Sedangkan menurut Suryabrata (2011: 127) superego (das ueber ich) lebih merupakan kesempurnaan daripada kesenangan; karena itu das ueber ich dapat pula dianggap sebagai aspek moral kepribadian.

  Menurut Freud dalam Feist dan Gregory (2014: 34), superego atau saya yang lebih, mewakili aspek-aspek moral dan ideal dari kepribadian serta dikendalikan oleh prinsip moralitas dan idealis. Superego tidak ambil pusing dengan kebahagiaan ego.

  

Superego memperjuangkan kesempurnaan dengan kacamata kuda dan secara tidak

  realistis. Tidak realistis di sini artinya superego tidak mempertimbangkan hambatan- hambatan maupun hal-hal yang tidak mungkin dihadapi oleh ego dalam melaksanakan perintah superego. Memang tidak semua tuntutan superego mustahil dipenuhi, seperti juga tidak semua tuntutan orang tua maupun figur otoritas lainnya mustahil untuk dipenuhi.

5. Mekanisme Pertahanan Diri

  Mekanisme pertahanan terjadi karena adanya dorongan atau perasaan beralih untuk mencari objek pengganti. Mekanisme pertahanan diri digunakan saat seseorang yang mengalami axintas atau kecemasan yang timbul oleh berbagai faktor dan latar belakang. Cara pemecahan permasalahan tersebut merupakan mekanisme pertahanan diri agar terhindar dari kecemasan karena suatu masalah. Menurut Minderop (2013: 29), Freud menggunakan istilah mekanisme pertahanan mengacu pada proses alam bawah sadar seseorang yang mempertahankannya terhadap anxitas. Mekanisme ini melindunginya dari ancaman-ancaman eksternal atau adanya impuls-impuls yang timbul dari anxitas internal dengan mendistorsi realitas dengan berbagai cara.

  Masih menurut Minderop (2013: 29-31), pertahanan yang paling primitif dari ancaman-ancaman dari luar ialah penolakan realitas (denial of reality) yaitu ketika individu mencoba menolak realitas yang mengganggu dengan penolakan mengakuinya. Dalam teori kepribadian, mekanisme pertahanan merupakan karakteristik yang cenderung kuat dalam diri setiap orang. Mekanisme pertahanan ini tidak mencerminkan kepribadian secara umum, tetapi juga

  —dalam pengertian penting —dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian. Kegagalan mekanisme pertahanan memenuhi fungsi pertahanannya bisa berakibat pada kelainan mental.

  Selanjutnya, kualitas kelainan mental tersebut dapat mencerminkan mekanisme pertahanan karakteristik. Menurut Minderop (2013: 32), menjelaskan bahwa pada pandangan Freud, keinginan-keinginan yang saling bertentangan dari struktur kepribadian menghasilkan anxitas. Mekanisme-mekanisme pertahanan utama yang diidentifikasikan oleh Freud mencakup represi, sublimasi, proyeksi, pengalihan, rasionalisasi, reaksi formasi, regresi, agresi dan apatis, fantasi dan stereotiype.

a. Represi (Repression)

  Menurut Freud dalam Minderop (2013: 32), mekanisme pertahanan ego yang paling kuat dan luas adalah represi (repression). Masih menurut Minderop (2013: 33), tugas represi ialah mendorong keluar impuls-impuls id yang tak diterima, dari alam sadar dan kembali ke alam bawah sadar. Represi merupakan fondasi cara kerja semua mekanisme pertahanan ego. Tujuan dari semua mekanisme pertahanan ego adalah untuk menekan (repress) atau mendorong impuls-impuls yang mengancam agar keluar dari alam sadar. Misalnya seorang yang mengalami impuls homoseksual, melalui represi tidak menyadari kondisinya tersebut. Sedangkan menurut Freud dalam Feist dan Gregory (2014: 40), represi (repression) adalah mekanisme pertahanan yang paling kuat dan luas. Manakala ego terancam oleh dorongan-dorongan id yang tidak dikehendaki, ego melindungi dirinya dengan merepresi dorongan-dorongan tersebut dengan cara memaksa perasaan-perasaan mengancam masuk ke alam tidak sadar.

  b. Sublimasi

  Sublimasi terjadi bila tindakan-tindakan yang bermanfaat secara sosial menggantikan perasaan tidak nyaman. Sublimasi sesungguhnya suatu bentuk pengalihan (Minderop, 2013: 34). Menurut Freud dalam Feist dan Gregory (2014: 43- 44), satu mekanisme yang dapat diterima, baik oleh individu maupun kelompok sosial yaitu sublimasi. Sublimasi (sublimation) merupakan represi dengan cara menggantinya ke hal-hal yang bisa diterima, baik secara kultural maupun sosial. Misalnya melalui kultural kreatif seperti pada seni, musik, juga sastra, lebih tepatnya pada segala bentuk hubungan antarmanusia dan aktivitas-aktivitas sosial lainnya.

  c. Proyeksi

  Kita semua kerap menghadapi situasi atau hal-hal yang tidak diinginkan dan tidak dapat kita terima dengan melimpahkannya dengan alasan lain. Misalnya, kita harus bersikap kritis atau bersikap kasar terhadap orang lain, kita menyadari bahwa sikap ini tidak pantas kita lakukan, namun sikap yang dilakukan tersebut diberi alasan bahwa orang tersebut memang layak menerimanya. Sikap ini kita lakukan agar kita tampak lebih baik. Mekanisme yang tidak disadari yang melindungi kita dari pengakuan terhadap kondisi tersebut dinamakan proyeksi. Proyeksi terjadi bila individu menutupi kekurangannya dan masalah yang dihadapi atau pun kesalahannya dilimpahkan kepada orang lain (Hilgard dalam Minderop, 2013: 34).

  d. Pengalihan (Displacement)

  Menurut Minderop (2013: 35), pengalihan adalah pengalihan perasaan tidak senang terhadap suatu objek ke objek lainnya yang lebih memungkinkan. Misal, adanya impuls-impuls agresif yang dapat digantikan, sebagai kambing hitam, terhadap orang (atau objek lainnya). Walaupun objek-objek tersebut bukan sebagai sumber frustrasi namun lebih aman dijadikan sebagai sasaran. Sedangkan menurut Freud dalam Feist dan Gregory (2014: 41), pengalihan adalah meyakini bahwa pembentukan reaksi terbatas hanya pada satu objek tunggal. Pada pengalihan (displacement), orang bisa mengarahkan dorongan-dorongan yang tidak sesuai ini pada sejumlah orang atau objek lain sehingga dorongan aslinya terselubung atau tersembunyi.

  e. Rasionalisasi (Rationalization)

  Rasionalisasi memiliki dua tujuan: pertama, untuk mengurangi kekecewaan ketika kita gagal mencapai suatu tujuan. Kedua, memberikan kita motif yang dapat diterima atas perilaku. Ketiga, kepentingan sebagai alasan (Hilgard dalam Minderop,

  2013: 35). Rasionalisasi terjadi bila motif nyata dari perilaku individu tidak dapat diterima oleh ego. Motif nyata tersebut digantikan oleh semacam motif pengganti dengan tujuan pembenaran (Minderop, 2013: 36).

  f. Reaksi Formasi (Reaction Formation)

  Menurut Minderop (2013: 37), represi akibat impuls anxitas kerap kali diikuti oleh kecenderungan yang berlawanan. Menjadikan seseorang tersebut melakukan tindakan yang bertolak belakang dengan tendensi yang ditekan: reaksi formasi. Misalnya, manifestasi kepedulian yang berlebihan dari seorang ibu terhadap anaknya dapat merupakan upaya menutupi perasaan tidak nyaman terhadap anaknya. Sikap yang sangat sopan kepada seorang dapat merupakan upaya menyembunyikan ketakutan. Reaksi formasi mampu mencegah seseorang individu berperilaku yang menghasilkan anxitas dan kerap kali dapat mencegahnya bersikap antisosial.

  g. Regresi

  Terdapat dua interpretasi mengenai regresi, pertama, regresi yang disebut

  

retrogressive behavior yaitu, perilaku seseorang yang mirip anak kecil, menangis dan

  sangat manja agar memperoleh rasa aman dan perhatian orang lain. Kedua, regresi yang disebut primitivation ketika orang dewasa bersikap sebagai orang tidak berbudaya. Seseorang tersebut kehilangan kontrol sehingga tidak sungkan-sungkan berkelahi (Hilgard dalam Minderop, 2013: 38). Menurut Freud dalam Feist dan Gregory (2014: 42), pada saat libido melewati tahap perkembangan tertentu, di masa- masa penuh stres dan kecemasan, libido bisa kembali ke tahap yang sebelumnya.

  Langkah mundur ini dikenal sebagai regresi (regression).

h. Agresi dan Apatis

  Menurut Hilgard dalam Minderop (2013: 38-39) perasaan marah terkait erat dengan ketegangan dan kegelisahan yang dapat menjurus pada pengrusakan dan penyerangan. Agresi dapat berbentuk langsung dan pengalihan (direct aggression dan

  ). Agresi langsung adalah agresi yang diungkapkan secara

  dislaced aggression

  langsung kepada seseorang atau objek yang merupakan sumber frustrasi. Bagi orang dewasa, agresi semacam ini biasanya dalam bentuk verbal daripada fisikal. Agresi yang dialihkan adalah bila seseorang mengalami frustrasi namun tidak dapat mengungkapkan secara puas kepada sumber frustrasi tersebut karena tidak jelas atau tak tersentuh. Si pelaku tidak tahu ke mana ia harus menyerang; sedangkan ia sangat marah dan membutuhkan sesuatu untuk pelampiasan. Penyerangan kadang-kadang tertuju kepada orang yang tidak bersalah atau mencari ‘kambing hitam’. Sedangkan menurut Minderop (2013: 39) apatis adalah bentuk lain dari reaksi terhadap frustrasi, yaitu sikap apatis (apathy) dengan cara menarik diri dan bersikap seakan-akan pasrah.

i. Fantasi dan Stereotype

  Ketika kita menghadapi masalah yang demikian bertumpuk, kadangkala kita mencari ‘solusi’ dengan masuk dunia khayal. Solusi yang berdasarkan fantasi daripada realitas. Contoh sebagaimana orang yang sedang lapar membayangkan makanan lezat dengan mengumpulkan potongan gambar berbagai hidangan.

  

Stereotype adalah kensekuensi lain dari frustrasi, yaitu perilaku stereotype

  memperlihatkan perilaku pengulangan terus-menerus. Individu selalu mengulangi perbuatan yang tidak bermanfaat dan tampak aneh (Hilgard dalam Minderop, 2013: 39).