BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kelapa dan Peran kelapa bagi Manusia (Cocos nucifera L.) 2.1.1 Deskripsi Kelapa - PENGARUH PENAMBAHAN SORBITOL TERHADAP KEBERHASILAN KRIOPRESERVASI EMBRIO KELAPA (Cocos nucifera L.) BANYUMAS - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Kelapa dan Peran kelapa bagi Manusia (Cocos nucifera L.)

2.1.1 Deskripsi Kelapa

  Kelapa (Cocos nucifera L) merupakan tanaman yang berasal dari famili

  Arecaceae dan satu – satunya genus dari Cocos (Harries & Foale, 2011).

  Berdasarkan hasil penemuan fosil dan data molekuler, kelapa dipercaya berasal dari kawasan Asia Tenggara (Chan & Elevitch, 2006 ; Young S. et al., 2010) dan selanjutnya menyebar ke Amerika Latin, Karibia hingga ke Afrika. Pada saat ini, kelapa tumbuh dan tersebar di 200 negara di dunia khususnya negara tropis (Gomes - Copeland et al., 2015).

  Tanaman kelapa mempunyai akar serabut yang kaku dan besar seperti tambang, panjangnya dapat mencapai 6 m dengan diemeter 1 cm serta mayoritas menembus ke tanah dengan kedalaman sekitar 1,5 m (Ohler & Magat, 2016). Jumlah akar kelapa dapat mencapai sekitar 2000

  • – 4000 buah yang dapat ditemui pada pangkal batang (Chan & Elevitch, 2006).

  Seperti halnya tanaman palma yang lain, pohon kelapa umumnya tidak bercabang, berdaun majemuk sempurna, serta merupakan pohon yang tinggi besar. Batang pohon kelapa dapat mencapai tinggi lebih dari 30 m dengan diameter pangkal batang sekitar 40 cm (Ohler & Magat, 2016). Batang pohon kelapa terbentuk ketika tanaman berumur sekitar 3 - 4 tahun setelah tanam dan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya jumlah daun (Ohler & Magat, 2016).

  Batang kelapa berbentuk silindris, tumbuh tegak lurus (erectus) atau dapat

  12 melengkung karena faktor lingkungan, berwarna abu-abu terang dan memiliki bekas-bekas daun yang mati atau luruh. Pada ujung batang terkumpul daun yang tersusun secara berjejal

  • – jejal seperti sirip pada bagian ujung batang membentuk roset batang (Ohler & Magat, 2016).

  Daun kelapa memiliki panjang mencapai 5 m, dengan panjang tangkai sekitar 75

  • – 150 cm (van Steenis et al., 2005). Pada bagian dasar, tangkai daun menebal sehingga mampu menempel dengan sangat kuat pada batang. Dalam setiap satu tangkai daun terdapat sekitar 200
  • – 250 anak daun yang bentuk lanset dengan panjang dapat mencapai sekitar
  • – 150 cm dan lebar 1 – 1,5 cm serta memiliki ujung yang keras dan lancip (Ohler & Magat, 2016).

  Kelapa memiliki bunga yang terletak di setiap ketiak daun (aksiler) dan mampu menghasilkan bunga sebanyak 12 -15 buah tandan bunga per tahunnya (Chan & Elevitch, 2006) Pada waktu masih muda, bunga kelapa dilindungi oleh seludang bunga (mancung, spatha) yang besar, kuat, dan tebal (Gambar 2.1.A).

  Bunga kelapa tergolong bunga majemuk yang memiliki bunga jantan dan bunga betina terpisah, namun berada pada satu spikelet (tandan,Tjitrosoepomo, 2000; Ohler & Magat, 2016).. Bunga yang sudah dewasa dapat memiliki panjang mencapai 2 meter dan bercabang-cabang sekitar 40 spikelet lancip (Ohler & Magat, 2016).

  Pada setiap spikelet, terdapat 1 sampai 3 bunga betina di bagian dasar dan sekitar 200 sampai 300 bunga jantan di bagian atasnya (Gambar 2.1.A, Ohler &

  • – Magat, 2016). Dengan demikian setiap tandan bunga dapat memiliki sekitar 10 50 bunga betina.

  Bunga jantan (Gambar 2.1.B) memiliki 3 buah kelopak bunga yang kecil dan 3 buah mahkota bunga serta memiliki 6 benang sari maupun 3 putik yang rudimentair lancip (Ohler & Magat, 2016). Bunga jantan mekar dimulai dari bunga yang berada di ujung spikelet dan diikuti oleh bunga ke arah dasar spikelet.

  Setiap bunga jantan akan mekar dan masak sekitar 1 hari sebelum rontok. Keseluruhan bunga jantan akan mekar membutuhkan waktu sekitar 16 sampai 22 hari tergantung kultivar (Santos et al., 1996).

  Bunga betina (Gambar 2.1.C) memiliki ukuran yang lebih besar dari bunga jantan dengan bentuk bulat telur berdiameter 2 sampai 3 cm (van Steenis et

  

al ., 2005). Perhiasan bunga berdaging dan menempel pada bakal buah. Bakal

  buah beruang 3, tidak memiliki tangkai putik, serta kepala putik berupa celah yang tenggelam (van Steenis et al., 2005). Bunga betina mekar beberapa hari setelah spata membuka dan dapat bertahan hanya dalam jangka 1

  • – 3 hari (Santos ., 1996). Keseluruhan bunga betina dapat bertahan dalam jangka waktu 3

  et al

  • – 5 hari pada kelapa dalam atau 8 – 15 hari pada kelapa genjah (Santos et al, 1996).

  Apabila tidak terjadi pembuahan maka bunga betina akan rontok (Thomas & Josephrajkumar, 2013; Ohler & Magat, 2016 ).

  B C A

Gambar 2.1 Bunga majemuk pada aksiler (A) bunga jantan (B) bunga betina

  (C) (Sisunandar, 2008; Foale & Harries., 2011) Setelah terjadi polinasi dan fertilisasi, buah mulai terbentuk dan menjadi masak membutuhkan waktu sekitar 12 bulan (van Steenis et al., 2005). Buah kelapa memiliki bentuk, ukuran, warna, dan komposisi buah yang berbeda beda tergantung kultivar dan kondisi lingkungan tanaman. Pada umumnya, kelapa memiliki buah berukuran panjang 20

  • – 30 cm dengan berat sekitar 850 - 3700 gram (Chan & Elevitch, 2006 ).

  Buah kelapa termasuk dalam golongan buah batu karena memiliki 3 lapisan kulit yaitu kulit bagian luar (eksokarp) yang tipis (0,1 mm) yang mengkilap dan memiliki berwarna tertentu tergantung kultivarnya ketika masih muda. Buah dewasa akan berubah warna menjadi coklat dan akan berwarna abu

  • – abu saat buah kering. Bagian tengah (mesokarp) memiliki serabut yang tebal (4 8 cm), berwarna putih ketika muda dan berubah menjadi coklat ketika sudah masak. Bagian kulit dalam (endokarp) merupakan bagian yang keras sangat keras dan berkayu serta cukup tebal (3
  • – 6 mm) berwarna coklat tua yang biasa disebut tempurung (Ohler & Magat, 2016). Di dalam tempurung inilah terdapat biji kelapa.

  Biji kelapa memiliki lapisan paling luar (testa) yang tipis dan berwarna coklat. Biji berbentuk bulat dengan diameter biji kelapa sekitar 12 cm (van Steenis et al., 2005). di dalam testa terdapat endosperm yang berwarna putih dengan ketebalan sekitar 1- 2 cm yang banyak mengandung minyak (Ohler & Magat, 2016). Selain itu, pada bagian dalam biji terdapat rongga yang berisi endosperm cair (air kelapa) dengan volume sekitar 120 mm (Ohler & Magat, 2016). Pada saat awal pembentukan endosperm rongga ini berisi cairan sekitar 700 ml dan akan berkurang hingga 270 ml setelah endosperm terbentuk penuh (Foale & Harries, 2009).

  Pada endosperm yang keras terdapat embrio yang memiliki ukuran panjang 0,5 cm sampai 1 cm dengan berat sekitar 0,1 g tergantung umur embrio dan kultivar. Setiap biji memiliki embrio sebanyak satu buah (Foale, 2003; Ohler & Magat, 2016). Keberadaan embrio di dalam endosperm akan terlihat jika biji dibelah, ditandai dengan posisi endosperm yang melipat ke dalam pada salah satu sisi yang terdapat tiga buah mata. Embrio juga dapat ditandai tepat pada salah satu mata yang lunak dari ketiga mata pada temputung (Ohler & Magat, 2016)

  Pada saat terjadi perkecambahan, embrio kelapa akan membesar dengan bagian apikal akan muncul dari tempurung kelapa melalui mata yang lunak, sedangkan sisi yang lain tetap berada di dalam tempurung membentuk haustorium (Ohler & Magat, 2016). Tunas kelapa akan muncul 8 minggu setelah perkecambahan, dan daun muda baru akan muncul setelah 5 minggu berikutnya (Ohler & Magat, 2016).

Gambar 2.2 Biji kelapa utuh yang menujukkan adanya tiga buah mata. Salah

  satu mata bersifat lunak dan menunjukkan posisi dimana embrio kelapa dapat diisolasi (tanda panah). Bagian tersebut juga merupakan tempat keluarnya mata tunas ketika kelapa berkecambah (A). Di bagian dalam buah kelapa berkembang haustorium yang akan membesar seiring dengan membersarnya kecambah kelapa (Sisunandar, 2008).

2.1.2 Kultivar

  Tanaman kelapa mempunyai keragaman kultivar yang tinggi. Berdasarkan morfologinya, (Gambar 2.1.2) kelapa digolongkan menjadi dua tipe utama yaitu kelapa tipe dalam (tall, kadang-kadang diberi nama sebagai varietas typica) dan tipe genjah (dwarf, kadang-kadang disebut varietas nana) .

  A B

Gambar 2.2 Kelapa dalam (tall) (A) kelapa genjah (dwarf) (B) (Chan &

  Elevitch, 2006; Santosa, 2014) Kelapa dalam (Gambar 2.2.A) memiliki usia yang panjang bahkan dapat mencapai 100 tahun dengan tinggi pohon dapat mencapai lebih dari 30 m sedangkan pada kelapa genjah (Gambar 2.2.B) dapat mencapai usia sekitar 60 tahun dengan tinggi pohon maksimal hanya mencapai 20 m (Foale & Harries, 2009). Perbedaan kedua tipe kelapa juga dapat diamati dengan mudah seperti pada kelapa dalam memiliki batang dengan pangkal yang besar membentuk bole, sedangkan kelapa genjah memiliki batang dengan pangkal tanpa bole (gambar). Ukuran daun juga menunjukkan perbedaan yang nyata antara kelapa dalam dan kelapa genjah, dimana kelapa dalam memiliki daun yang lebih besar dan panjang dibandingkan dengan kelapa genjah. Perbedaan lain yang dapat diamati pada kelapa dalam dan kelapa genjah adalah dilihat dari ukuran dan jumlah buah yang dihasilkan. Kelapa dalam memiliki ukuran yang relatif besar namun jumlah yang dihasilkan relatif sedikit. Sedangkan kelapa genjah memiliki ukuran yang relatif kecil namun jumlah buah yang dihasilkan pertandan banyak.

  Kelapa dalam menghasilkan bunga lebih lama sekitar 8 sampai 10 tahun dibandingkan dengan kelapa genjah hanya mampu menghasilkan bunga sekitar 3

  • – 5 tahun setelah tanam (Chan & Elevitch, 2006). Bunga pada kelapa memiliki sifat protandrous yang berarti bunga jantan kelapa masak lebih dulu setelah itu baru bunga betina kelapa. Oleh karena itu, sebagian besar pohon kelapa dalam perlu dilakukan penyerbukan silang. Pada kelapa genjah, bunga betina mulai masak tidak terlalu lama setelah bunga jantan sehingga sebagian besar kelapa genjah melakukan penyerbukan sendiri.

  Sistem penamaan pada kelapa dilakukan dengan menggunakan dua kata dengan ketentuan tidak boleh melebihi 30 huruf dan diberi nama dengan menggunakan bahasa Inggris (Bourdeix, 2012). Kata pertama yang digunakan dapat berupa ciri morfologi yang dominan, nama tradisional, atau nama lokasi, wilayah atau negara tempat kultivar tersebut hidup. Pada kelapa genjah digunakan warna buah karena bersifat homozigot. Kata kedua menunjukan bahwa kelapa tersebut masuk golongan kelapa dalam atau kelapa genjah. Sebagai contoh Pangandaran Tall merupakan nama kelapa berdasarkan lokasi kelapa dalam yang berasal dari Pangandaran, Jawa Barat (Bourdeix, 2012). Tebu Sweet Husk Tall merupakan kelapa dalam yang mempunyai sabut manis seperti tebu dan banyak ditemukan di daerah Maluku dan Papua. Contoh pemberian nama kelapa genjah adalah Nias Yellow Dwarf, yaitu kelapa genjah dengan warna buah kuning berasal dari Nias, Sumatera Utara (Bourdeix, 2012) maupun Kopyor Green Dwarf merupakan kelapa genjah yang memiliki buah kopyor dan berwarna hijau (Bourdeix, 2012).

  Pada tahun 2012 terdapat 419 kultivar kelapa yang terdiri atas 319 kultivar kelapa dalam dan 100 kultivar kelapa genjah. Di antara jumlah tersebut Indonesia memiliki hampir seperempatnya, yaitu 105 kultivar yang terdiri atas 82 kultivar kelapa dalam dan 23 kultivar kelapa genjah (Bourdeix, 2012). Pada saat ini diperkirakan masih banyak kultivar di Indonesia yang belum diidentifikasi dan dipublikasikan. Menurut Novarianto (2008), Indonesia masih memiliki sekitar 400 kultivar baru yang belum teridentifikasi dan masih tumbuh di kebun petani ataupun di tempat terpecil.

  Salah satu wilayah di Indonesia yang berpotensi memiliki kultivar yang belum dilepas secara resmi oleh pemerintah adalah Kabupaten Banyumas. Pada saat ini diperkirakan Kabupaten Banyumas memiliki sekitar 1,7 juta pohon kelapa yang ditanam pada lahan dengan luas sekitar 18 ribu ha (Husein, 2014). Paling tidak, Kabupaten Banyumas memiliki dua macam kultivar kelapa yang dampai saat ini belum dilepas secara resmi oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Kelapa Dalam Banyumas (KDB) dan Kelapa Genjah Entog (KGE). KDB banyak ditemukan di desa Karang gedang, Kemiri, Kecamatan Sumpiuh, sedangkan KGE banyak ditemukan di kecamatan Cilongok dan Ajibarang (SK Direktur Jenderal Perkebunan, Nomor : 53/KB.820/SK/DJ.BUN/05-1996). Bahkan, wilayah- wilayah tersebut telah ditetapkan sebagai kebun blok penghasil tinggi yang menjadi sumber benih kedua jenis kelapa tersebut. Namun demikian, kedua jenis kelapa tersebut masih belum dilakukan upaya pelestariannya.

2.1.3 Nilai Sosial Ekonomi Kelapa

  Tanaman kelapa mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan memiliki peran yang snagat penting dalam kehidupan sosial, ekonomi maupun budaya rakyak Indonesia. Pohon kelapa disebut juga pohon kehidupan (tree of life) karena hampir semua bagian dari pohon tersebut bermanfaat bagi kehidupan masyarakat mulai dari akar, batang (kayu), daun, dan buah.

  Meskipun pada umumnya akar kelapa digunakan sebagai bahan bakar, namun bagian kelapa tersebut dapat dimanfaatkan sebagai obat anti-piretik, diuretik dan obat batuk (Ohler & Magat., 2016; Setiawan, 2014). Batang kelapa mempunyai keistimewaan struktur serat yang unik, awet dan kuat sehingga banyak dimanfaatkan sebagai bahan bangunan seperti papan, kaso, dan balok maupun sebagai furniture seperti meja, kursi, kotak dan peralatan rumah tangga (Gambar 2.3, Foale, 2003).

Gambar 2.3 Furniture meja, kursi, kotak dan peralatan rumah tangga dari

  batang kelapa (Foale., 2003;

  ). Daun kelapa yang telah tua banyak dimanfaatkan sebagai atap bangunan, tikar, keranjang, tas, dan topi (Foale, 2003). Tulang daun kering dapat dimafaatkan sebagai sapu lidi sedangkan pelepah daun bagian dasar digunakan sebagai kayu bakar (Foale, 2003). Daun kelapa yang muda banyak dimanfaatkan untuk upacara adat dan keagamaan seperti digunakan untuk umbul-umbul, pembungkus ketupat maupun hiasan pada pesta perkawinan (Ohler & Magat, 2016; Pratiwi., 2013).

  Bunga kelapa merupakan bagian yang penting karena dapat disadap untuk diambil niranya. Nira kelapa merupakan getah yang rasanya manis, mengandung sekitar 15%, dapat diminum secara langsung sebagai minuman tradisional ataupun dapat difermentasi menjadi tuak atau minuman anggur beralkohol (Ohler & Magat, 2016). Mayoritas nira saat ini diolah lebih lanjut menjadi gula merah ataupun gula kristal (gula semut/brown sugar) yang mempunyai nilai ekspor tinggi.

  Bagian kelapa yang memiliki nilai ekonomi tinggi lainnya adalah buahnya. Sabut kelapa dapat dimanfaatkan untuk membuat keset, pengisi jok, papan hardboard, sikat, tali, dan geo textile. Serbuk dari sabut kelapa juga banyak digunakan untuk medium tanam (cocopeat), bahan bangunan ringan, maupun isolasi termal, (Ohler & Magat., 2016).Tempurung kelapa banyak digunakan untuk kerajian tangan seperti alat masak, pot hias maupun kerajinan tangan yang lain seperti tas. Tempurung kelapa juga banyak digunakan sebagai bahan bakar (Ramdianti, 2013) atau diolah lebih lanjut menjadi arang aktif yang banyak digunakan dalam industri farmasi, penjernihan, pertambangan dan juga penyaring polusi atau bau tidak sedap dalam ruangan (Mahmud & Ferry., 2005).

  Bagian buah yang paling penting pada tanaman kelapa adalah daging buah (endosperm). Daging buah kelapa dikeringkan untuk menghasilkan kopra atau diekstrak untuk menghasilkan minyak goreng, santan (coconut milk), atau dapat digunakan untuk menghasilkan minyak dengan kualitas tinggi (virgin coconut oil,

  VCO). Sisa pengolahan minyak kelapa (bungkil kelapa) juga dapat digunakan sebagai pakan ternak (Foale, 2003; Ohler & Magat, 2016). Di dalam buah juga terdapat air kelapa yang mempunyai rasa yang manis serta dapat digunakan untuk mencegah dehidrasi sebagai minuman segar ataupun diolah lebih lanjut menjadi

  nata de coco (Ohler & Magat, 2016).

2.1.4 Budidaya Kelapa dan Permasalahannya

  Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan salah satu tanaman perkebunan penghasil devisa terbesar keempat dari sektor perkebunan di Indonesia setalah kelapa sawit, karet dan kopi (FAO, 2016). Pada tahun 2014, Indonesia merupakan negara yang memiliki luas area perkebunan kelapa sekitar 3,08 juta Ha dengan total produksi mencapai 19,9 juta ton ( FAO, 2016)

  Meskipun kelapa merupakan komoditas perkebunan utama di Indonesia, namun budidaya tanaman tersebut menghadapi salah satu kendala utama berupa menurunnya luas area perkebunan. Dari tahun ke tahun, luas area perkebunan kelapa menurun sekitar 0,38 % (Nasir, 2014). Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab penuruan luas area perkebunan tersebut adalah meningkatnya serangan hama dan penyakit kelapa, meningkatnya alih fungsi lahan, dan tingginya persentase perkebunan kelapa yang sudah tua serta adanya bencana alam.

  Serangan hama kumbang badak (Oryctes rhinoceros) ataupun belalang pedang (Sexava nubila) menyebabkan turunnya luas area perkebunan kelapa di di beberapa tempat di Indonesia. Kumbang badak menyerang pucuk dan pangkal daun muda yang belum membuka dengan cara menggerek dan memakan helaian daun sehingga mengakibatkan daun terpotong-potong atau tergunting membentuk huruf “V” bila telah terbuka. Pada tahun 2005 di Jawa Tengah, serangan O.

  

Rhinoceros mengakibatkan kerugian mencapai sekitar 10 Miliar rupiah (Mulyono,

  2007). Selain itu pada tahun 2014, serangan hama tersebut juga terjadi di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, yang mengakibatkan lebih dari 5000 pohon kelapa mengalami kematian (Kustantini, 2014). Hama belalang pedang (Sexava

  

nubila ) juga banyak mengakibatkan kerusakan perkebunan kelapa seperti yang

  terjadi di Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara dengan luas area perkebunan kelapa yang terserang hama tersebut mencapai16 ribu Ha dengan total keugian mencapai sekitar Rp. 26,3 milyar pada tahun 2012 (Wagiman et al., 2012). Hama tersebut menyerang daun muda maupun tua serta dapat merusak bunga dan kulit buah.

  Di samping hama, kelapa juga banyak diserang oleh beberapa penyakit berbahaya seperti layu Kalimantan (Phytoplasma) maupun penyakit busuk pucuk kelapa (Phytophthora palmivora). Gejala yang timbul dari penyakit layu Kalimantan ditandai dengan warna daun mengguning serta diikuti pelepah daun bagian bawah kering layu serta menggantung serta banyak buah yang rontok dan tidak normal (Lolong & Motulo, 2014). Serangan penyakit layu Kalimantan terjadi pada tahun 1997 yang menyerang kurang lebih 100 ribu pohon kelapa, di daerah Kalimantan Timur (Lolong & Motulo, 2014). Penyakit busuk pucuk juga mengakibatkan kematian lebih dari 70 ribu pohon kelapa di Kabupaten Minahasa Selatan pada tahun 2007 (Lolong, 2010).

  Faktor lain yang diduga menjadi penyebab menurunnya luas area perkebunan kelapa di Indonesia adalah meningkatnya alihfungsi lahan menjadi lahan perkebunan yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi seperti kelapa sawit dan kopi, pembangunan jalan, lahan pemukiman maupun pabrik. Salah satu contoh alih fungsi lahan terjadi di kebun plasma nutfah kelapa di Paniki, Manado, Sulawesi Utara menjadi lokasi olahraga pacuan kuda (Novarianto, 2008). Alih fungsi lahan perkebunan kelapa menjadi perumahan dan area industri juga terjadi setiap tahun dengan persentase luas lahan menurun sekitar 5 sampai 10 % .

  Faktor terakhir yang menjadi penyebab berkurangnya luas area perkebunan kelapa adalah bencana alam. Sebagai contoh bencana alam tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 telah mengakibatkan hilangnya perkebunan kelapa sekitar 10 ribu hektar (9,28 %) (aceh.antarnews.com, 2014).

  Salah satu akibat yang muncul dengan menurunnya luas area perkebunan kelapa serta dialihfungsikannya lahan perkebunan sebagai akibat rendahnya produktivitas perkebunan kelapa adalah munculnya ancaman akan hilangnya keanekaragaman hayati kelapa di Indonesia.

2.2 Konservasi Kelapa dan Permasalahannya

  Indonesia merupakan negara keanekaragaman hayati kelapa paling tinggi di dunia . Pada tahun 2012, Indonesia memiliki 105 kultivar kelapa yang terdiri atas 82 kultivar kelapa tipe dalam dan 23 kultivar kelapa tipe genjah. Angka tersebut merupakan 25 % dari total kultivar kelapa yang telah diketahui di dunia (419 kultivar kelapa; Bourdeix, 2012). Diperkirakan, Indonesia masih memiliki sekitar 400 kultivar kelapa yang belum teridentifikasi dan hidup di kebun petani maupun daerah terpencil (Novarianto, 2008). Oleh karena itu perlu upaya dilakukan untuk melestarikan plasma nutfah kelapa di Indonesia.

2.2.1 Konservasi In Situ

  Salah satu teknik konservasi kelapa paling mudah dan murah untuk dilakukan serta mampu menyimpan keragaman genetik yang lebih beragam (Dullo et al., 2005) adalah teknik konservasi secara in situ. Konservasi in situ dilakukan dengan cara melestarikan plasma nutfah kelapa di habitat asli kelapa itu hidup (Leunufna, 2007). Salah satu contoh keberhasilan program konservasi kelapa secara in situ adalah konservasi kelapa kopyor yang dilakukan oleh para petani kelapa di Kabupaten Pati, Jawa Tengah sejak tahun 1960-an (Maskromo et

  

al ., 2007). Pada saat ini, jumlah pohon kelapa kopyor yang dimiliki oleh para

  petani tersebut mencapai sekitar 2000 pohon dan hidup terlindung di kebun petani (Kompas.com, 2012). Namun demikian, teknik konservasi in situ sangat rentan terjadinya alihfungsi lahan sehingga plasma nutfah menjadi hilang, memiliki pendataan yang kurang baik, serta membutuhkan komitmen yang tinggi dari para petani untuk menjaga kelestariannya dalam jangka yang panjang (Dullo

  

et al. , 2005). Oleh karena itu perlu alternatif lain untuk melestarikan plasma

nutfah kelapa di Indonesia.

2.2.2 Konservasi Ex Situ

  Salah satu teknik konservasi yang memiliki lebih banyak keunggulan dibandingkan konservasi secara in situ adalah konservasi secara ex situ. Teknik tersebut memiliki banyak keunggulan seperti relatif aman dari alih fungsi lahan karena umumnya dimiliki oleh pemerintah, pengumpulan data jauh lebih rinci karena terdapat di satu wilayah dengan akses data yang lebih mudah, serta memiliki perawatan yang lebih intensif (Engelman, 2011).. Konservasi secara ex

  

situ merupakan upaya melestarikan plasma nutfah kelapa di luar habitat aslinya.

  Teknik-teknik konservasi kelapa secara ex situ yang banyak dilakukan antara lain dalam bentuk kebun plasma nutfah, penyimpanan pollen, maupun penyimpanan embrio zigotik (Dullo et al., 2005).

2.2.2.1 Kebun Plasma Nutfah

  Kebun plasma nutfah merupakan salah satu cara untuk melestarikan plasma nutfah kelapa yang paling banyak dilakukan. Koleksi kebun plasma nutfah kelapa pertama kali di bangun di Indonesia pada tahun 1930 di Manado, Sulawesi Utara. Sebanyak 40 kultivar kelapa dari berbagai daerah di Indonesia berhasil dikoleksi oleh seorang ilmuwan kelapa dari Belanda bernama Dr Tammes (Novarianto, 2008). Pada saat ini, Indonesia telah memiliki 7 kebun plasma nutfah kelapa yaitu Pakuwon (Jawa Barat), Bone-bone (Sulawesi Selatan), Sikijang Mati (Riau), Mapanget, Paniki, Pandu dan Kima Atas (Sulawesi Utara; Novarianto et al., 2005; Tabel 2.1) yang berhasil mengkoleksi kelapa dalam sebanyak 95 aksesi pada tahun 2007.(Novarianto & Tampeke, 2008).

  Bahkan, mulai tahun 1993, Indonesia telah ditetapkan oleh International Coconut Genetics Network (COGENT) sebagai salah satu lokasi kebun plasma kelapa nutfah bertaraf Internasional (International coconut genebank/ ICG) di antara lima lokasi di dunia. Indonesia merupakan lokasi kebun plasma nutfah untuk seluruh kultivar yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur meliputi Indonesia, Malaysia, Myanmar, Philipina, Thaliand, Vietnamdan China (Novarianto, 2008). Pada awalnya lokasi yang ditentukan sebagai kebun plasma nutfah adalah di Sikijang Mati, Riau (Novarianto et al., 2005). Namun, karena adanya okupasi tanah oleh masyarakat sekitar di era reformasi, maka lokasi kebun plasma nutfah tersebut kemudian dipindahkan ke kebun Pandu dan Paniki, Sulawesi Utara sejak tahun 2002 (Tulalo, et al., 2007).

Tabel 2.1 Jumlah aksesi Tall dan Dwarf di kebun plasma nutfah di Indonesia

  Jumlah aksesi No Kebun plasma nutfah Referensi

  

Tall Dwarf

  1. Pakuwon (Jawa

  12

  8 Novarianto et al, 2005 Barat),

  • – 2 Bone bone Novarianto, 2008

  (Sulawesi Selatan)

  3 Sikijang Mati (Riau)

  24

  9 Novarianto et al, 2005

  4 Mapanget

  40

  13 Novarianto et al, 2005

  5 Paniki

  21

  10 Novarianto, 2008

  6 Pandu

  5

  5 Tulalo et al, 2007

  7 Kima Atas JUMLAH 102

  45 Dengan dibangunnya kebun plasma nutfah kelapa oleh pemerintah, konservasi kelapa menjadi lebih relatif aman dari alih fungsi lahan, serta memiliki perawatan yang lebih intensif untuk menghindari hama dan penyakit (Engelman, 2011). Namun demikian, perawatan kebun plasma nutfah membutuhkan biaya yang cukup besar serta belum aman dari ancaman bencana alam (kekeringan), hama maupun penyakit (Engelman, 2011). Oleh karena itu pengembangan teknik konservasi alternatif yang dapat digunakan sebagai tempat penyimpanan cadangan plasma nutfah sangat dibutuhkan untuk menjamin keberadaan plasma nutfah yang berharga tersebut.

2.2.3 Penyimpanan Pollen Kelapa

  Penyimpanan pollen merupakan salah satu upaya konservasi kelapa yang mudah untuk melindungi dari serangan hama dan penyakit serta bencana alam.

  Penyimpanan pollen biasanya digunakan untuk studi biokimia, dasar fisiologi, kesuburan dan bioteknologi dengan melibatkan ekspresi gen serta transformasi dan ferlitilisasi secara in vitro. Selain itu penyimpanan pollen juga penting untuk program pemuliaan tanaman (Panis & Lambardi, 2005; Engelman et al., 2007).

  Penyimpanan pollen dapat dilakukan dengan penyimpanan jangka pendek dan jangka waktu yang panjang. Penyimpanan jangka pendek selama 2 sampai 6 bulan dilakukan dengan cara pollen dikeringkan kemudian dimasukkan kedalam plastik, divakum dan disimpan di dalam freezer (Dulloo, et al., 2005).

  Penyimpanan jangka panjang dilakukan dengan cara menyimpan pollen kering tersebut di dalam nitrogen cair C (Panella et al., 2009).

  • – 196 Teknik penyimpanan pollen memiliki kelebihan dibandingkan dengan teknik konservasi in situ maupun konservasi dengan pembangunan kebun plasma
nutfah karena tidak membutuhkan ruang simpan yang besar, mudah untuk pertukaran plasma dalam jumlah besar, maupun aman dari hama dan penyakit (COGENT, 2008). Namun demikian, konservasi pollen hanya menyimpan setengah dari total informasi genetik yang dimiliki oleh kelapa (Engelmann et al., 2007)

2.2.4 Penyimpanan Embrio Zigotik Kelapa

  Teknik konservasi ex situ yang dapat digunakan sebagai cadangan plasma nutfah yang mampu menyimpan seluruh informasi genetika yang dimiliki oleh kelapa adalah dengan menggunakan penyimpanan embrio zigotik. Hal tersebut banyak dilakukan karena kelapa tidak dapat disimpan dalam bentuk biji karena ukurannya yang sangat besar, sekitar 600 gram hingga 3 kg (Faole, 2003). Disamping itu, biji kelapa terbukti tidak mempunyai masa dormansi serta tidak dapat dikeringkan (biji recalcitrant) sehingga tidak dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama (Dullo et al., 2005). Penyimpanan dengan menggunakan embrio zigotik kelapa memiliki banyak keunggulan seperti ukuran yang jauh lebih kecil (sekitar 0,1 g; Sisunandar et al., 2014), embrio zigotik dapat ditumbuhkan dalam medium kultur jaringan untuk membentuk tanaman utuh dan sekaligus dapat menyimpan informasi genetik secara utuh apabila dibandingkan dengan teknik penyimpanan pollen (Karun et al., 2005), serta pohon kelapa yang dihasilkan dari embrio zigotik tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan pohon kelapa yang berasal dari biji (Sisunandar et al., 2010b).

  Beberapa teknik telah dikembangkan untuk menyimpan embrio zigotik kelapa, baik untuk penyimpanan embrio dalam jangka pendek sampai menengah dan jangka panjang. Teknik penyimpanan embrio kelapa dalam jangka waktu pendek sampai menengah (short-to-medium term conservation) mampu menyimpan plasma nutfah embrio kelapa untuk jangka waktu 2 hingga 12 bulan (Engelmann, 1990) dapat dilakukan dengan penyimpanan secara in vitro maupun penyimpanan embrio yang dikeringkan dan disimpan di pada suhu rendah.

  Penyimpanan embrio zigotik kelapa secara in vitro dapat dilakukan dengan cara memperpanjang lama waktu subkultur. Beberapa cara telah dilakukan untuk tujuan tersebut seperti menurunkan temperatur ruang kultur sampai 4 C mampu digunakan untuk menyimpan embrio kelapa selama 3 bulan, menurunkan konsentrasi medium tanam (Karunaratne, 1988), penambahan senyawa yang mampu menurunkan penyerapan nutrisi (monitol), zat penghambat pertumbuhan maupun intensitas cahaya juga berperan menurunkan metabolisme tanaman (Sukendah & Cedo, 2005; Muhammed, 2013; Ledo et al, 2014).

  Teknik penyimpanan embrio kelapa secara in vitro tersebut mampu menyimpan embrio dalam kondisi steril, mudah dilakukan pertukaran plasma nutfah serta material yang disimpan dalam kondisi hidup sehingga memudahkan untuk mendapatkan bibit apabila dibutuhkan. Namun demikian, teknik tersebut hanya mampu menyimpan embrio dalam waktu yang terbatas, tingginya resiko kontaminasi selama penyimpanan dan subkultur serta membutuhkan biaya yang besar karena membutuhkan tindakan subkultur yang berulang

  • – ulang (Sukendah & Cedo, 2005).
Teknik penyimpanan embrio kelapa untuk jangka waktu yang pendek sampai menengah dapat pula dilakukan dengan cara embrio dikeringkan sampai kadar air sekitar 29 % dan embrio disimpan pada suhu -20 C sampai -80 C (Sisunandar et al., 2012). Cara tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan murah. Namun demikian, embrio yang disimpan dengan menggunakan teknik penyimpanan tersebut hanya mampu bertahan selama 26 minggu, serta memiliki tingkat keberhasilan untuk mendapatkan tanaman kembali dari embrio yang disimpan hanya sekitar 12% (Sisunandar et al., 2012). Oleh karena itu, alternatif penyimpanan embrio kelapa yang mampu digunakan untuk menyimpan embrio dalam jangka waktu yang lebih panjang dengan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi perlu diupayakan

2.2.5 Kriopreservasi Kelapa dan Permasalahannya

  Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk penyimpanan embrio kelapa dalam jangka waktu yang panjang (long term conservation) adalah dengan menggunakan teknik kriopreservasi. Teknik kriopreservasi adalah salah satu teknik yang memungkinkan untuk penyimpanan jangka panjang embrio kelapa

  o

  dengan disimpan pada suhu yang sangat rendah (nitrogen cair,

  C). Pada

  • – 196 suhu tersebut, aktifitas metabolisme sel akan berjalan lambat atau bahkan terhenti, embrio dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama bahkan tidak terbatas serta tidak ada subkultur berulang sehingga terhindar dari resiko kontaminasi Engelmann, 1990). Contoh tanaman yang telah disimpan dengan menggunakan teknik kriopreservasi antara lain purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.;Roostika

  

et al ., 2013), pisang (Musa spp; Hardaningsih et al., 2012); rosella (Hibiscus

sabdariffa L .;Harahap et al.,2015).

  Terdapat empat tahapan yang harus dilakukan dalam teknik kriopreservasi adalah tahap pengeringan (dehidrasi), pembekuan (freezing), pencairan (thawing), dan pemulihan kembali (recovery).

2.2.5.1 Dehidrasi

  Teknik dehidrasi bertujuan untuk mengurangi kadar air yang terkandung dalam suatu jaringan yang akan dibekukan. Perlakuan awal tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kropreservasi karena kadar air di dalam sel yang tinggi akan mengakibatkan terbentuk kristal es pada saat sel tersebut dibekukan. Akibatnya, sel tersebut akan mengalami kerusakan bahkan kematian sehingga tidak dapat disimpan dan tidak dapat disembuhkan (Panis & Lambardi, 2005). Oleh karena itu, semakin rendah kadar air yang tersisa di dalam sel maka semakin banyak sampel yang mampu hidup setelah pembekuan.

  Spesies tanaman yang tergolong ortodoks mampu bertahan terhadap dehidrasi hingga kadar air rendah sekitar 5% sehingga pada saat pembekuan pada suhu rendah embrio tidak akan mengalami kerusakan (Sisunandar et al ., 2010), seperti biji wijen (Sesamum indicum L;Priadi, 2006), kacang buncis (Phaseolus vulgaris;Pammenter & Berjak, 2000), dan jagung (Zea-mays; Usman, 2010). Namun demikian, terdapat banyak spesies tanaman yang tergolong rekalsitran yaitu tanaman yang tidak tahan terhadap dehidrasi dibawah 20 % sehingga tidak mudah dibekukan pada suhu ultra rendah seperti Kakao (Theobroma cacao L.; Pancaningtyas, 2013), mangrove (Avicennia marina dan Aesculus hippocastan

  ;Pammenter & Berjak, 2000), melur (Podocarpus neriifolius; Syamsuwida & Aminah, 2008), maupun kelapa (Cocos nucifera L.; Sisunandar et al ., 2010).

  Saat ini, berbagai teknik dehidrasi telah banyak dikembangkan, secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu dehidrasi secara fisik dan dehidrasi secara kimia atau kombinasi dari keduanya. Dehidrasi secara fisik dapat dilakukan dengan menggunakan laminar air flow (LAF) ataupun silica gel (Panis & Lambardi, 2005). Teknik dehidrasi dengan menggunakan LAF selama hampir 5 jam berhasil digunakan untuk mendehidrasi embrio zigotik labu siam (Sechium

  

edule Jacq.Sw) dengan tingkat keberhasilan 30% (Abdelnour- Esquivel &

  Engelmann, 2002). Teknik yang sama dilakukan selama 0,5 jam juga berhasil digunakan pada embrio zigotik kopi robusta ( Coffea canephora) dengan tingkat keberhasilan 41 % maupun kopi arabika (C. Arabica L) dengan tingkat keberhasilan mencapai 95,8% (Abdelnour- Esquivel et al., 1992).

  Teknik dehidrasi yang lain menggunakan larutan kimia yang disebut dengan dehidrasi secara kimia. Larutan yang digunakan memiliki konsentrasi yang tinggi sehingga mampu menurunkan jumlah kadar air didalam sel seperti sukrosa, glukosa, dan PEG (Engelmann, 1990; Gomes-Copeland et al., 2015).

  Tanaman yang berhasil didehidrasi dengan menggunakan sukrosa 0,75 M selama tiga hari antara lain embrio zigotik hantap (Sterculia cordata) yang memiliki tingkat keberhasilan 80% setelah disimpan di dalam larutan nitrogen cair (Nadarajan et al., 2007). Teknik dehidrasi dengan larutan sukrosa juga diaplikasikan pada ujung pucuk tanaman jeruk ponsil (Poncirus trifoliata) dengan cara eksplan direndam dalam larutan 0,5 M sukrosa selama 3 hari dan disimpan di dalam larutan nirogen cair terbukti memiliki tingkat keberhasilan mencapai hampir 50 % (Gonzalez-Arnao et al., 1998).

2.2.5.2 Pembekuan (Freezing)

  Salah satu faktor keberhasilan penyimpanan plasma nutfah adalah pada temperatur penyimpanan. Semakin rendah suhu penyimpanan yang digunakan, maka waktu penyimpanan sampel dapat bertahan lebih lama (Walter et al., 2004). Pada biji Lactuca sativa , penyimpanan pada suhu rendah (5

  C) hanya mampu bertahan selama 13 tahun, sedangkan penyimpnana pada suhu -18 C biji mampu menyebabkan biji berhasil disimpan selama 150 tahun, bahkan penyimpanan biji pada suhu ultra rendah (-196

  C) mampu menyimpan biji lebih dari 3000 tahun (Walter et al., 2004).

  Berdasarkan kecepatannya, teknik pembekuan (freezing) dapat dibagi menjadi dua yaitu pembekuan lambat (slow freezing) dan cepat (rapid freezing; Engelmann, 1990). Teknik pembekuan lambat dilakukan dengan menggunakan mesin pendingin yang dapat diprogram kecepatannya (0,5 - 2 C per menit) _sampai suhu sekitar C atau C dan dilanjutkan pembekuan suhu ultra

  • – 40 – 80 rendah (nitrogen cair; -196

  C) (Engelmann, 2004). Namun, teknik pembekuan lambat tidak banyak digunakan karena membutuhkan alat pendingin yang yang mahal (Engelmann, 2004). Tanaman yang pernah diujicobakan menggunakan teknik pembekuan lambat adalah singkong (Manihot esculenta Crantz) dengan tingkat keberhasilan 55% (Danso, 2011). Teknik pembekuan secara cepat (rapid

  

freezing ) juga telah banyak digunakan seperti pada embrio hantap (Sterculia

cordata ) tingkat keberhasilan berkecambah mencapai 80% (Nadarajan et al.,

  2007), tunas apel (Malus domestica) tingkat keberhasilan mencapai 68% kultivar Romus dan 62% kultivar rootstock M16 Halmagyi et al., 2010). Teknik tersebut dapat menghindari terbentuknya kristal es didalam sel yang dilakukan dengan cara merendam secara langsung biji ke dalam nitrogen cair (-196 C; Engelmann, 2004).

2.2.5.3 Pencairan (Thawing)

  Pencairan (thawing) merupakan proses pengembalian sampel setelah direndam dalam suhu ultra rendah (nitrogen cair) untuk kembali ke suhu lingkungan. teknik thawing banyak dilakukan untuk menghindari terjadinya kerusakan jaringan tanaman yang disimpan sebagai akibat dari memanasnya suhu dari lingkungan dari suhu beku menjadi suhu ruangan. Selama proses tersebut dapat terjadi pembentukan kristal sehingga merusak sel tanaman yang disimpan.

  Oleh karena itu teknik thawing yang baik adalah teknik thawing yang tidak menyebabkan timbulnya kristal es sehingga menyebabkan sel yang disimpan mengalami kerusakan. Berdasarakan kecepatannya, theknik thowing dibedakan menjadi slow thawing dan rapid thawing. Teknik slow thawing merupakan teknik yang dapat dilakukan dengan cara membiarkan cryotube dalam suhu ruang (sekitar 25 C; Engelmann, 1990). Contoh penerapan teknik slow thawing telah mencapai keberhasilan 80% pada tanaman quina (Strychnos pseudoquina) dengan cara sampel dibiarkan di suhu ruangan selama 2 jam (Silva et al., 2012). Pada tanaman lain seperti Ekebargia capensis mengggunakan suhu ruang selama 30 menit sampel dapat dilelehakan (Peran et al., 2006).

  Teknik thawing yang banyak digunakan adalah rapid thawing. Teknik tersebut dapat dilakukan dengan cara mencelupkan cryotube (tabung kriopreservasi) ke dalam air yang bersuhu 40 C selama kurang lebih 3 menit (Engelmann, 1990). Teknik rapid thawing tersebut berhasil diaplikasikan pada pir (Pyrus serotina; Oka et al., 1991), teh (Camellia sinensis L), nangka, (Artocarpus heterophyllus L) maupun cokelat (Theobroma cacao L; Chandel et al., 1995).

  Teknik rapid thawing tersebut berhasil digunakan pada kotiledon embrio tanaman teh (Camellia sinensis L) dengan tingkat kebehasilan antara 75-80% bibit (Kim et al., 2002) maupun pada sumbu embrio nangka (Artocarpus heterophyllus L dengan tingkat kelangsunghidupan 30% (Chandel et al., 1995).

2.2.5.4 Pemulihan (Recovery)

  Dalam meningkatkan keberhasilan kriopreservasi terdapat tahap akhir dari teknik tersebut yaitu pemulihan kembali (recovery). Pada tahap pemulihan, sampel akan dikembalikan pada kondisi tempat tumbuh yangg optimal secara in

  

vitro . Penggunaan medium dan teknik yang tepat akan berpengaruh terhadap

  keberhasilan pertumbuhan sampel (Reed, 2007). Medium dasar yang sering digunakan dalam pemulihan tanaman kryopreservasi antara lain medium MS (Murasige & Skoog; Assy- bah & Engelman, 1992, 1993; N‟Nan et al., 2012), HEC (hibrid embrio culture medium; Rillo, 2004) serta Eeuwens Y3 (Gomes- Copelandet al., 2015).

  Selain penggunaan medium pemulihan juga ada yang digunakan untuk pemulihan sampel yaitu zat pengatur tumbuh (ZPT) yang dimasukkan ke dalam medium tanam. Seperti yang diaplikasikan pada tanaman stroberry menggunakan medium dasar MS ditambah dengan 1µM BA dengan tingkat keberhasilan meristem yang tumbuh kembali mencapai 59,3 % (Caswell & Kartha, 2009),

  • 3

  selain itu medium MS dengan penambahan 0,25 mg dm kinetin pada tumbuhan krisan (Chysanthemum sp) memiliki tingkat keberhasilan pemulihan 40% (Zalewska & Kulus, 2013).

2.3 Perkembangan Penelitian Kriopreservasi Kelapa Teknik kriopreservasi kelapa sampai saat ini masih terus dikembangkan.

  Terdapat beberapa eksplan tanaman kelapa yang telah dikembangkan menggunakan kriopreservasi, ada tiga jenis yaitu plumular (Bandupriya et al., 2007; N‟ann et al., 2014), embrio muda (Bajaj, 1984) maupun embrio matang. Namun demikian, eksplan tanaman kelapa yang memiliki tingkat keberhasilan tertinggi dan lebih sering digunakan dalam penelitian kriopreservasi kelapa adalah embrio matang (Tabel 2.2).

Tabel 2.2 Perkembangan penelitian kultur embrio kelapa dan literatur yang

  mendukungnya

  Pra- Pencairan Berkecam

Dehidrasi kelulushi Berkeca Aklima

perlakuan Pembeku (

  C) dan bah dan waktu dupan mbah tisasi Sumber dan waktu an waktu normal

(jam) (%) (%) (%)

  (jam) (menit) (%) Glukosa + LAF (4) Cepat 40 33-93 NA Na Na Assy-Bah Glisero (2) &

  (11- 20) Engelman n 1992

  LAF + Cepat

  40 Na

  80

  70

  60 Karun et (24) (2) al. ., 2005 Silika gel Cepat Na

  90

  70

  60 (18) Sukrosa Silika gel Cepat

  40 Na 68,8 Na 20,8 Sajini et

  

(2M) (2) al ., 2006

Sukrosa Silika gel Cepat

  40 Na 47,9 Na

  39 (3M) (2) Silika gel Cepat

  40

  70

  61 43 20-40 Sisunandar (8) (3) et al ., 2010b Glukosa Silika gel Cepat

  40 Na

  74 Na Na Alla- (80 g) (48 ), (2)

  1 N‟nan et al., 2012 LAF (MYD, Cepat

  40 Na 82,75 Na Na WAT) (2)

  Keterangan : Na = Informasi tidak tersedia

  Penelitian tentang kriopreservasi embrio kelapa telah dilaporkan oleh Assy-bah & Engelmann (1992) dengan cara embrio kelapa dikeringkan selama 4 jam di dalam LAF (laminar air flow) dan didehidrasi pada medium (MS makro dan mikro, Vitamin Morel & Wetmore, 41 mg/L, FeEDTA, 100 mg/L natrium askorbat) dengan penambahan 600 g/L sukrosa dan 15 % gliserol, dengan pH 5,5 selama 20 jam. Setelah dilakukan penyimpanan pada suhu -196 C dan dilanjutkan dengan rapid thawing dan recovery, persentase embrio yang mampu bertahan hidup mencapai 93 %. Namun demikian, persentase kecambah yang berhasil tumbuh setelah disimpan serta jumlah bibit yang dihasilkan dari embrio yang telah disimpan belum dilaporkan.

  Karun et al. (2005) melaporkan bahwa embrio kelapa yang telah dikeringkan menggunakan dengan menggunakan silika gel selama 18 jam kemudian disimpan pada suhu ultra rendah (-196

  C) dan dilakukan rapid thawing maupun recovery, sebanyak 90 % dari embrio yang disimpan berhasil tumbuh dan sekitar 70 % embrio berhasil berkecambah secara normal, namun hanya dan 60 % bibit yang dihasilkan berhasil diaklimatisasi. Namun demikian pada penelitian tersebut persentase bibit siap tanam yang dihasilkan dari embrio yang telah dikriopreservasi tidak dilaporkan. Pada penelitian tersebut digunakan embrio kelapa kultivar West Coast Tall.

  Embrio kelapa yang dikeringkan dengan teknik yang lebih cepat., yaitu dengan menggunakan silika gel selama 8 jam sebelum embrio kelapa di simpan pada suhu ultra rendah (-196

  C) menunjukkan bahwa setelah dilakukan rapid

  thawing dan recovery,