SKRIPSI PENGARUH pH MEDIA DISOLUSI TERHADAP KELARUTAN DAN DISOLUSI SALISILAMIDA

  

SKRIPSI

PENGARUH pH MEDIA DISOLUSI TERHADAP

KELARUTAN DAN DISOLUSI SALISILAMIDA

  

HENDRA WIJAYA

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

DEPARTEMEN FARMASETIKA

SURABAYA

2015 ii

  

SKRIPSI

PENGARUH pH MEDIA DISOLUSI TERHADAP

KELARUTAN DAN DISOLUSI SALISILAMIDA

  

HENDRA WIJAYA

NIM: 051111087

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

DEPARTEMEN FARMASETIKA

SURABAYA

  

2015

  

LEMBAR PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH

  Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyutujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul : PENGARUH pH MEDIA

  

DISOLUSI TERHADAP KELARUTAN DAN DISOLUSI

SALISILAMIDA untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet, digital

library

  Perpustakaan Universitas Airlangga atau media lain untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Demikian pernyataan persetujuan publikasi skripsi/karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

  Surabaya, 12 Agustus 2015 Hendra Wijaya

  NIM : 051111087 iii

SURAT PERNYATAAN

  Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Hendra Wijaya NIM : 051111087 Fakultas : Farmasi menyatakan bahwa sesungguhnya hasil skripsi/tugas akhir yang saya tulis dengan judul :

  

PENGARUH pH MEDIA DISOLUSI TERHADAP KELARUTAN

DAN DISOLUSI SALISILAMIDA

  adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. apabila di kemudian hari diketahui bahwa skripsi ini menggunakan data fiktif atau merupakan hasil plagiarisme, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan kelulusan atau pencabutan gelar yang saya peroleh.

  Surabaya, 12 Agustus 2015 Hendra Wijaya NIM : 051111087 iv

  Lembar Pengesahan

PENGARUH pH MEDIA DISOLUSI TERHADAP KELARUTAN

DAN DISOLUSI SALISILAMIDA

  

SKRIPSI

Dibuat Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Farmasi Pada Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

  

2015

Oleh :

HENDRA WIJAYA

NIM : 051111087

skripsi ini telah disetujui oleh:

pada tanggal 12 Agustus 2015

  

Pembimbing Utama Pembimbing Serta

Dr. Dewi Isadiartuti, Apt., M.Si. Drs. Bambang Widjaja, Apt., M.Si

NIP. 196505201991022001 NIP. 195104011980021001

  v

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas limpahan berkat dan rahmat-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Pengaruh pH Media Disolusi Terhadap Kelarutan dan Disolusi Salisilamida” ini dapat terselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya.

  Pada kesempatan ini perkenankan saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.

  1. Dr. Dewi Isadiartuti, Apt., M.Si. selaku pembimbing utama atas waktu, bimbingan, saran dan perhatian yang besar kepada penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.

  2. Drs. Bambang Widjaja, Apt., M.Si. sebagai pembimbing serta atas waktu, bimbingan dan saran, kepada penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.

  4. Dr. Tristiana Erawati, M.Si. dan Dr. Dwi Setyawan, M.Si. selaku penguji atas saran-saran yang bermanfaat dan membangun dalam menyusun naskah skripsi ini.

  5. Prof. Dr. Widji Soeratri, DEA dosen wali yang sudah memberikan penulis perhatian, bantuan, bimbingan, saran dan nasehatnya selama menjalani studi di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.

  6. Kedua orang tua tercinta Bapak Yudi Hartono dan Ibu Sun Harini serta segenap keluarga atas doa, semangat, dan motivasi yang tak pernah putus diberikan untuk penulis

  7. Seluruh karyawan Departemen Farmasetika atas semua bantuan waktu dan tenaga selama penyelesaian skripsi ini. vi

  8. Kelompok skripsi tim salisilamid (Frida dan Fania), serta teman-teman skripsi dari departmen farmasetika.

  9. Teman-teman ATB dan keluarga FANATIK 2011 khususnya Mario, Erwin, Rohman, Debora atas semangat, dukungan dan motivasi yang diberikan untuk penulis.

  10. Orang tua rohani Oktaf Roro atas bantuan dengan meminjamkan laptop dan memberi semangat selama penyelesaian skripsi ini.

  11. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, untuk berbagai bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah diberikan kepada saya. Semoga Tuhan memberikan kebaikan atas segala bantuan bapak, ibu, serta rekan-rekan sekalian.

  Besar harapan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang menggunakannya. Saya menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga masukan dan saran sangat diharapkan bagi pengembangan selanjutnya.

  Surabaya, 12 Agustus 2015 Penulis vii

  RINGKASAN

PENGARUH pH MEDIA DISOLUSI TERHADAP KELARUTAN

DAN DISOLUSI SALISILAMIDA

  Hendra Wijaya Salisilamida merupakan golongan obat AINS (anti-inflamasi non- steroid). Salisilamida bersifat asam lemah (pKa = 8,2) sehingga salisilamida tidak menimbulkan radang dan pendarahan pada lambung. Pada pemberian secara oral, salisilamid akan melewati saluran cerna dengan rentang pH 1,5- 7,0. Salisilamida yang merupakan asam lemah akan terdisosiasi menjadi bentuk terion dan tak terion dalam media air. Jumlah bentuk terion dan tak terion ini dipengaruhi oleh pH yang dapat diprediksi dengan persamaan Henderson-Hasselbach. Jumlah bentuk terion dan tak terion akan memengaruhi kelarutan dari salisilamida. Menurut Persamaan Noyes- Whitney, kelarutan akan memengaruhi disolusi.

  Oleh karena itu, dilakukan penelitian tentang kelarutan dan disolusi salisilamida pada pH 1,2; 4,5 dan 6,8. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan hubungan antara kelarutan dan disolusi dari salisilamida pada beberapa pH media disolusi (pH 1,2; pH 4,5; pH 6,8).

  Penentuan kelarutan salisilamid menggunakan media disolusi pH 1,2; 4,5 dan 6,8 dengan µ=0,2, dikocok menggunakan waterbath shaker pada suhu 37 ± 0,5 ºC dengan kecepatan 150 kali/menit. Disolusi dilakukan dengan alat disolusi pengaduk tipe dayung dengan kecepatan 50 rpm pada suhu 37 ± 0,5 ºC. Sampel di ambil pada menit ke-5, 10, 15, 20, 30, 45, dan

  60. Kelarutan salisilamid dalam media disolusi pH 1,2; 4,5 dan 6,8 berturut-turut sebesar 4226,67; 4299,60 dan 4630,87 mg/L. Kelarutan salisilamid pada pH 1,2; 4,5 dan 6,8 diuji secara statistik menggunakan metode anova satu arah dengan α = 0,05 yang dilanjutkan dengan uji HSD. Berdasarkan uji HSD, kelarutan salisilamid pada pH 1,2 dan 4,5 berbeda bermakna dengan pH 6,8. ED

  60 salisilamid dalam media disolusi pH 1,2; 4,5

  60

  dan 6,8 berturut-turut sebesar 46,07; 52,12 dan 57,02 %. ED salisilamid pada pH 1,2; 4,5 dan 6,8 diuji secara statistik menggunakan metode anova satu arah dengan α = 0,05 yang dilanjutkan dengan uji HSD. Berdasarkan viii

  60

  uji HSD, ED salisilamid pada setiap pH berbeda bermakna. Peningkatan kelarutan salisilamida meningkatkan disolusi dari salisilamida.

  Nilai kelarutan dan disolusi yang didapatkan dari penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang karakteristik fisikokimia salisilamida, sehingga dapat memperkirakan kelarutannya dalam saluran cerna, serta dapat digunakan untuk pengembangan formulasi sediaan farmasi. Untuk menggambarkan kelarutan salisilamida dalam saluran cerna dapat digunakan media disolusi yang memiliki keadaan yang sama dengan saluran cerna seperti media lambung buatan dan media usus buatan. ix

  ABSTRACT

  

INFLUENCE OF pH MEDIA DISSOLUTION UPON SOLUBILITY

AND DISSOLUTION OF SALICYLAMIDE

  Hendra Wijaya This study investigated the influence of pH media dissolution upon solubility and dissolution of salicylamide, a weak acid which has analgesic and antipyretic activity. When salicylamide consumed, it will reach gastrointestinal tract which has various range of pH. As a weak acid, salicylamide’s solubility is influenced by pH. In Noyes-Whitney equation, dissolution of drugs is influenced by its solubility. To determine the solubility of salicylamide, saturated solubility of salicylamide test were performed. To determine time of salicylamide saturated solubility, the test were performed at pH 2,0. Salicylamide

  th

  reached its saturation and going at constant rate after 7 hours. Seven hours of solubilization and a hour of dissolution test at pH 1,2; 4,5 and 6,8 were run afterwards. Solubility of salicylamide at pH 1,2; 4,5 and 6,8 in a row was 4226,67; 4299,60 and 4630,87 mg/L. ED

  60 of

  salicylamide at pH 1,2; 4,5 and 6,8 in a row was 46,07; 52,12 and 57,02 %. The result suggest that an increase of pH would also increase solubility and dissolution of salicylamide.

  Keyword: Salicylamide, Influence of pH, Solubility of Salicylamide, Dissolution of Salicylamide x

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ..................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................. iii SURAT PERNYATAAN ..................................................................... iv LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. v KATA PENGANTAR .......................................................................... vi RINGKASAN ...................................................................................... viii ABSTRACT ........................................................................................ x DAFTAR ISI ....................................................................................... xi DAFTAR TABEL ................................................................................ xiv DAFTAR GAMBAR ........................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ xvi

  BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1

  1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1

  1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 2

  1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 2

  1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 3

  BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 4

  2.1 Tinjauan tentang Salisilamida ............................................... 4

  2.2 Tinjauan tentang Kelarutan ................................................... 6

  2.3 Tinjauan tentang Disolusi ..................................................... 7

  2.4 Tinjauan tentang Saluran Cerna ............................................ 13

  2.5 Tinjauan tentang Spektrofotometri Ultraviolet ...................... 14

  BAB III KERANGKA KONSEPTUAL................................................ 18

  3.1 Uraian Kerangka Konseptual ................................................ 18

  3.2 Hipotesis Penelitian .............................................................. 20

  BAB IV METODE PENELITIAN........................................................ 21 xi

  xii

  4.4.4 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Pada Berbagai Media ........................................................ 27

  BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................. 32

  4.5.4 Analisa Statistika Efisiensi Disolusi (ED) ................... 31

  4.5.3 Perhitungan Harga Efisiensi Disolusi (ED) ................. 30

  4.5.2 Evaluasi Profil Disolusi .............................................. 29

  4.5.1 Uji Kelarutan .............................................................. 29

  4.5 Analisis Data........................................................................ 29

  4.4.7 Penentuan Disolusi Pada Berbagai Media ................... 28

  4.4.6.2 Penentuan Kelarutan pada Berbagai Media .... 28

  4.4.6.1 Penentuan Waktu Kelarutan pada Media pH 1,2 ................................................................ 27

  4.4.6 Penentuan Kelarutan Salisilamid ................................. 27

  4.4.5 Penentuan Kurva Baku Pada Berbagai Media .............. 27

  4.4.3.2 Pembuatan Larutan Baku Kerja...................... 26

  4.1 Bahan Penelitian .................................................................. 21

  4.4.3.1 Pembuatan Larutan Baku Induk ..................... 26

  4.4.3 Pembuatan Larutan Baku ............................................ 26

  4.4.2.2 Pembuatan Media Disolusi Berbagai pH ........ 25

  4.4.2.1 Pembuatan Larutan Komponen Media ........... 24

  4.4.2 Pembuatan Media Disolusi ......................................... 24

  4.4.1.2 Penentuan Suhu Lebur ................................... 23

  4.4.1.1 Spektra Serapan Inframerah ........................... 23

  4.4.1 Pemeriksaan Kualitatif Bahan Penelitian ..................... 23

  4.4 Metode Penelitian ................................................................ 23

  4.3 Rencana Penelitian ............................................................... 21

  4.2 Alat Penelitian .................................................................... 21

  5.1 Pemeriksaan Kualitatif Salisilamid ....................................... 32

  5.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Salisilamid pada Berbagai pH ........................................................................ 33

  5.3 Pembuatan Kurva Baku Salisilamid pada Berbagai pH.......... 33

  5.4 Penentuan Waktu Kelarutan Salisilamid pada pH 2,0 ............ 34

  5.5 Penentuan Kelarutan Salisilamid dalam berbagai pH larutan dapar .................................................................................... 36

  5.6 Penentuan Disolusi Salisilamid dalam berbagai pH larutan dapar .................................................................................... 36

  BAB VI PEMBAHASAN ................................................................... 40 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN .............................................. 45

  6.1 Kesimpulan ......................................................................... 45

  6.2 Saran ................................................................................... 45 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 46 xiii

  xiv

  

DAFTAR TABEL

  V.1 Pemeriksaan Kualitatif Salisilamid ................................................ 32

  V.2 Panjang gelombang maksimum salisilamid pada berbagai pH media disolusi dengan µ= 0,2 ......................................................... 33

  V.3 Persamaan regresi kurva baku salisilamid pada berbagai pH media disolusi dengan µ=0,2 .................................................................... 34

  V.4 Kadar salisilamida yang terlarut dalam pH 2,0 pada waktu tertentu 34

  V.5 Penentuan kelarutan salisilamid pada berbagai pH media disolusi dengan µ= 0,2; suhu 37 ± 0,5 °C; dan n= 3 ..................................... 36

  V.6 Hubungan antara persen terion & tak terion salisilamid dengan kelarutan salisilamid pada berbagai pH .......................................... 36

  V.7 Persen terdisolusi salisilamid dalam berbagai pH media disolusi pada menit-menit tertentu .............................................................. 37

  V.8 Efisiensi disolusi salisilamid dalam berbagai pH media disolusi dengan µ= 0,2; suhu 37 ± 0,5 °C; kecepatan pengadukan 50 rpm.

  (n=3) ............................................................................................ 38

  

DAFTAR GAMBAR

  2.1 Struktur molekul salisilamida ........................................................ 4

  2.2 Proses suatu zat terlarut ................................................................. 6

  2.3 Presentase ionisasi obat asam lemah dan basa lemah terhadap pH .. 7

  2.4 Proses disolusi............................................................................... 8

  2.5 Stagnant layer ............................................................................... 8

  2.6 Profil disolusi dari tablet ................................................................ 13

  2.7 Saluran cerna ................................................................................ 14

  2.8 Spektra UV salisilamida dalam etanol ............................................ 16

  2.9 Spektra UV salisilamida dalam larutan NaOH 0,1N ....................... 17

  3.1 Bagan kerangka konseptual ........................................................... 19

  4.1 Diagram langkah kerja .................................................................. 22

  5.1 Kurva hubungan kelarutan salisilamida dalam larutan dapar pH 2,0 terhadap waktu .............................................................................. 35

  5.2 Kurva hubungan antara waktu (menit) dengan % terdisolusi salisilamid dalam berbagai pH media disolusi dengan µ= 0,2; suhu 37 ± 0,5 °C. (n= 3) ....................................................................... 37 xv

  

DAFTAR LAMPIRAN

  1 Sertifikat analisis salisilamid ......................................................... 49

  2 Profil spektra FT-IR salisilamid ..................................................... 50

  3 Profil Differential Thermal Analysis (DTA ) salisilamid ................. 51

  4 Panjang gelombang maksimum salisilamid pada pH 1,2 ................. 52

  5 Panjang gelombang maksimum salisilamid pada pH 4,5 ................. 53

  6 Panjang gelombang maksimum salisilamid pada pH 6,8 ................. 54

  7 Kurva baku salisilamid pada pH 1,2 ............................................... 55

  8 Kurva baku salisilamid pada pH 4,5 ............................................... 56

  9 Kurva baku salisilamid pada pH 6,8 ............................................... 57

  10 Data penentuan waktu kelarutan jenuh salisilamid dalam media disolusi pH 2,0 ± 0,5 ..................................................................... 58

  11 Data penentuan kelarutan salisilamida dalam ph 1,2-6,8 ± 0,05 ...... 59

  12 Hasil uji anova waktu kelarutan jenuh salisilamida salisilamida pada pH 2,0 ±0,05 ......................................................................... 60

  13 Hasil uji anova kelarutan salisilamida ............................................ 63

  14 Hasil uji anova disolusi salisilamida .............................................. 66

  15 Data ED

  60 salisilamida dalam larutan dapar pH 1,2-6,8 ................... 68

  16 Perhitungan kekuatan ionik (μ) dapar ............................................. 69 xvi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Salisilamida merupakan obat golongan AINS (anti-inflamasi non- steroid). Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG

  2 terganggu. Salisilamida memiliki

  efek analgesik dan antipiretik mirip asetosal, walaupun di dalam tubuh tidak diubah menjadi salisilat (Wilmana, et al., 2009). Salisilamida banyak digunakan karena bersifat asam lemah sehingga salisilamida tidak menimbulkan radang dan pendarahan pada lambung (Widjajanti, 2008).

  Sediaan salisilamida di Indonesia kebanyakan terdapat dalam bentuk peroral (Sirait, 2014). Sediaan peroral dalam saluran pencernaan akan terlarut lalu terabsorbsi dalam tubuh (Sinko et al., 2011). Dalam sistem biologis pelarutan obat dalam media aqueous merupakan suatu bagian penting sebelum absorbsi sistemik. Pelarutan obat bentuk padat terjadi melalui beberapa tahap yaitu: proses pelarutan obat pada permukaan partikel membentuk larutan jenuh yang dikenal sebagai stagnant layer, yang kemudian berdifusi ke dalam pelarut dari daerah konsentrasi obat tinggi ke daerah konsentrasi obat yang rendah (Shargel et al., 2012).

  Untuk menggambarkan proses pelarutan dalam saluran pencernaan digunakan uji disolusi (Nicolaides et al., 2001). Disolusi adalah proses suatu bahan obat padat ataupun sediaan obat padat menjadi terlarut dalam suatu pelarut (Sinko et al., 2011). Menurut persamaan Noyes-Whitney, laju disolusi ditentukan oleh dua parameter yaitu luas permukaan (S) dan kelarutan (Cs). Disolusi memerlukan interaksi solid-likuid sehingga luas permukaan solid yang berinteraksi dengan likuid akan memengaruhi laju disolusinya (Neil dan Hem, 1982).

  Kelarutan obat dipengaruhi oleh bentuk molekul yang terion dan tak terion dalam pembawanya (Sinko et al., 2011). Menurut persamaan Henderson-Hasselbach, jumlah terion dan tak terion dipengaruhi oleh pKa atau pKb senyawa dan pH lingkungan (Avis et al., 1992). Harga pKa salisilamid adalah 8,1 (Babhair et al., 1984) dan rentang pH pada saluran cerna antara 1,5-7 (Shargel et al., 2012). Oleh karena pH pada saluran cerna bervariasi, disolusi salisilamida dalam setiap saluran cerna pun dapat berbeda-beda.

  Langkah pertama untuk mencari laju disolusi dari suatu obat adalah membuat media yang memiliki rentang pH seperti pada saluran pencernaan (Dressman dan Krämer, 2005). Sampai saat ini belum ada penelitian tentang laju disolusi dari salisilamida dalam berbagai larutan pH media disolusi. Pada penelitian ini digunakan 3 macam media disolusi yaitu media pH 1,2; media pH 4,5; media pH 6,8

  1.2 Rumusan Masalah

  1. Bagaimanakah kelarutan salisilamida dalam beberapa media disolusi (pH 1,2; pH 4,5; pH 6,8)

  2. Bagaimanakah disolusi salisilamida dalam beberapa media disolusi (pH 1,2; pH 4,5; pH 6,8)

  1.3 Tujuan Penelitian

  Untuk menentukan hubungan antara kelarutan dan disolusi dari salisilamida pada beberapa media disolusi (pH 1,2; pH 4,5; pH 6,8)

1.4 Manfaat Penelitian

  Setelah penelitian, kelarutan dan disolusi dari salisilamida dalam berbagai media disolusi dapat diketahui sehingga dapat menambah informasi tentang sifat fisikokimia salisilamida yang akan digunakan untuk pengembangan formula sediaan salisilamida

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan tentang Salisilamida

  Salisilamida mempunyai rumus molekul C H NO . Struktur

  7

  7

  2 salisilamida seperti di bawah ini.

Gambar 2.1 Struktur molekul salisilamida (Sweetman, 2009).

  Salisilamida diketahui secara kimia sebagai 2-hidroksibenzamida. Salisilamida adalah senyawa hasil modifikasi gugus karboksil dari asam salisilat. Salisilamida disintesis dengan aminolisis dari etil atau metil salisilat (Babhair et al., 1984).

  Berat molekul salisilamida adalah 137,13. Salisilamida berbentuk serbuk atau kristal putih atau merah muda. Salisilamida mempunyai titik

  o

  leleh antara 139 - 142

  C. Satu gram salisilamida larut dalam 500 ml air; 15 ml alkohol; 35 ml eter; 100 ml kloroform; 20 ml propilen glikol. Salisilamida tidak larut dalam benzena, karbon tetraklorida dan xylene. Larutan jenuh salisilamida dalam air memiliki pH 5,2-6. Harga pKa salisilamid adalah 8,1 (Babhair et al., 1984). Log P salisilamid adalah 1,28 (Anonim, 2008). Salisilamida inkompatibel dengan basa kuat dan pengoksidasi kuat.

  Salisilamida merupakan golongan obat AINS (anti-inflamasi non- steroid). Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG 2 terganggu (Wilmana, et al., 2009). Salisilamida memiliki aktivitas yang sama dengan asam salisilat tetapi tidak mudah terhidrolisis menjadi asam salisilat (Rudyanto, 2005). Salisilamida memiliki efek analgesik dan antipiretik mirip asetosal, walaupun di dalam tubuh tidak diubah menjadi salisilat. Efek analgesik antipiretik salisilamida lebih lemah daripada salisilat karena salisilamida dalam mukosa usus mengalami metabolisme lintas pertama, sehingga hanya sebagian yang mencapai sirkulasi sistemik. Salisilamida mudah diabsorpsi usus dan cepat didistribusi ke jaringan. Salisilamida menghambat glukoronidase obat analgesik lain di hati misalnya Na salisilat dan asetaminofen, sehingga pada pemberian bersama dapat meningkatkan efek terapi dan toksisitas Na salisilat dan asetaminofen (Wilmana, et al., 2009). Salisilamida terserap di saluran pencernaan dan terdistribusi ke seluruh tubuh tetapi tidak berikatan dengan plasma protein. Salisilamida diekskresi lewat urine sebagai konjugat glukoronida dan sulfat (Babhair et al., 1984).

  Salisilamida dijual bebas dalam bentuk kombinasi tetap. Dosis analgesik antipiretik untuk orang dewasa 3-4 kali 300-600 mg sehari, untuk anak 65 mg/kgBB/hari diberikan 6 kali/hari. Untuk febris rheumatik diperlukan dosis oral 3-6 kali 2 g sehari (Wilmana, et al., 2009). Contoh nama dagang salisilamida di Indonesia adalah Anaflu, Anarin, Contra flu, Lemonin, Librofludrine, Mecoxa, Neozep Forte, Refagan, Somarheuma, dan Yekaflu (Sirait, 2014). Salisilamid dikombinasikan dengan benzokain dalam bentuk sediaan gel topikal, contoh nama dagangnya adalah Intralgin (Bandolier, 2007).

2.2 Tinjauan tentang Kelarutan

  Kelarutan didefinisikan secara kuantitatif sebagai konsentrasi suatu zat terlarut dalam larutan jenuh pada suhu tertentu dan secara kualitatif sebagai reaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk dispersi molekul homogen (Sinko et al., 2011). Berikut adalah proses suatu zat terlarut:

  = molekul solut = molekul solven

Gambar 2.2 Proses suatu zat terlarut (Florence and Attwood, 2008)

  Suatu larutan dikatakan jenuh bila zat terlarut dalam pelarut mencapai kesetimbangan dengan fase padatnya (Sinko et al., 2011).

  Kelarutan dari suatu komponen dipengaruhi oleh suhu, tekanan dan pH pelarut (Sinko et al., 2011). Salah satu faktor berpengaruh terhadap kelarutan kebanyakan obat yang mengandung gugus terion adalah pH. Hal ini disebabkan karena pH berpengaruh terhadap kelarutan senyawa organik yang mengandung gugus yang mudah terionisasi. Senyawa organik yang bersifat asam lebih mudah larut dalam larutan basa karena terjadi ionisasi. Bentuk terion lebih mudah berinteraksi dengan molekul air sehingga lebih mudah larut (Florence and Attwood, 2008).

  Menurut persamaan Henderson-Hasselbach, jumlah terion dan tak terion dipengaruhi oleh pKa atau pKb senyawa dan pH lingkungan (Avis et

  al

  ., 1992). Berikut adalah persamaan Henderson-Hasselbach: pH = pK a + log ……...........................………...(2.1) pH = pK b + log ………………………..……..(2.2)

  Ketika pH larutan obat yang bersifat asam lemah berada pada rentang 2 unit dari pKa, maka 99,99% senyawa menjadi bentuk terion. Obat yang bersifat asam lemah akan berada dalam bentuk tak terion total pada pH sampai 2 tingkat di bawah tetapan pK a -nya serta akan berada pada bentuk terion total pada pH dengan 2 tingkat lebih besar dari pK a -nya. Senyawa jenis ini akan terion 50% pada nilai pK a -nya (Florenceand Attwood, 2008).

Gambar 2.3 Persentase ionisasi obat asam lemah dan basa lemah terhadap pH (Florenceand Attwood, 2008)

2.3 Tinjauan tentang Disolusi

  Disolusi adalah proses suatu bahan obat padat ataupun sediaan obat padat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Berikut adalah proses disolusi:

Gambar 2.4 Proses disolusi (Sinko et al., 2011)

  Dalam sistem biologik pelarutan obat dalam media aqueous merupakan suatu bagian penting sebelum absorbsi sistemik. Pelarutan obat bentuk padat terjadi melalui beberapa tahap yaitu: proses pelarutan obat pada permukaan partikel membentuk larutan jenuh yang dikenal sebagai stagnant

  layer

  , yang kemudian berdifusi ke dalam pelarut dari daerah konsentrasi obat tinggi ke daerah konsentrasi obat yang rendah (Shargel et al., 2012).

Gambar 2.5 Stagnant layer (Sinko et al., 2011)

  K on sen tra si

  Tablet atau kapsul Granul atau agregat

  Obat dalam larutan (in vitro atau in vivo ) Partikel halus Obat dalam darah, cairan lain dan jaringan Persamaan yang menggambarkan proses disolusi pertama kali diobservasi oleh Noyes dan Whitney. Persamaan Noyes-Whitney menyatakan:

  ( )…………………….…………(2.3) dengan dC/dt adalah laju disolusi, K adalah konstanta, S adalah luas permukaan zat padat terlarut, Cs adalah kelarutan obat di pelarut, dan Ct adalah konsentrasi obat di pelarut pada waktu t. Konstanta K telah dibuktikan sama dengan D/h, D adalah koefisien difusi zat terlarut dan h adalah ketebalan dari diffusion layer. Pada laju kondisi sink, Ct akan selalu tak berarti bila dibandingkan dengan Cs dan persamaan sebelumnya dapat dirubah menjadi:

  ……………………………………(2.4) koefisien difusi (D) dan biasanya Cs meningkat pada peningkatan suhu dan sebaliknya D menurun pada peningkatan viskositas. Meningkatnya luas permukaan area (S), misalnya pada pengecilan ukuran partikel, akan meningkatkan laju disolusi. Perubahan pH atau sifat dari pelarut, yang memengaruhi kelarutan obat, juga akan memengaruhi laju disolusinya. Penggunaan bentuk garam atau bentuk kimia atau fisika yang berbeda, yang memiliki kelarutan berbeda dari bentuk semulanya, akan memengaruhi laju disolusinya ( Gibaldi, 1970). Dari persamaan Noyes dan Whitney terlihat bahwa kinetika pelarutan dipengaruhi oleh sifat fisikokimia obat, formulasi, dan pelarut (Shargel et al., 2012). Faktor-faktor yang memengaruhi laju disolusi antara lain (Neil dan Hem, 1982)

  1. Luas permukaan area Disolusi memerlukan interaksi solid-likuid sehingga luas area solid yang berinteraksi dengan likuid akan memengaruhi laju disolusinya.

  2. Gelembung udara dan aglomerat Gelembung udara dan aglomerat pada permukaan solid akan mengurangi luas permukaan efektif sehingga akan mengurangi laju disolusinya.

  3. Viskositas pelarut Viskositas memengaruhi laju transportasi solut dari solid-likuid ke bulk solution.

  4. Suhu Efek dari suhu tergantung pada ΔH sol. Bila solid menyerap panas ketika terlarut (ΔH positif) maka efek meningkatnya suhu akan meningkatkan laju disolusi karena meningkatnya kelarutan. Pada ΔH negatif, efeknya akan sebaliknya.

  5. Agitasi Agitasi memengaruhi disolusi dengan efeknya pada tebal lapisan difusi.

  Semakin cepat agitasi akan menurunkan tebal dari lapisan disolusi sehingga menambah laju disolusi.

  6. Tegangan permukaan Tegangan permukaan yang tinggi menyebabkan susahnya pembasahan sehingga muncul gelembung udara atau lapisan udara pada permukaan solid yang akan mengurangi luas permukaan efektif.

  Uji disolusi digunakan untuk memperkirakan proses disolusi obat di dalam saluran pencernaan. Data yang didapat dari uji disolusi digunakan untuk memperkirakan formulasi apa yang cocok digunakan dalam pembuatan sediaan peroral, untuk kontrol kualitas, dan untuk mendukung penentuan bioekivalensi (Dressman et al., 1998). Parameter yang harus diperhatikan dalam uji disolusi adalah kondisi sink yang merupakan pendekatan terhadap kondisi in vivo yang menunjukkan setelah pemberian obat, obat diabsorbsi di usus halus yang menyebabkan Ct selalu rendah (Hanson, 1991). Kondisi ini dapat dibuat dengan cara menggunakan media disolusi dalam jumlah besar yaitu tidak kurang dari tiga kali volume pelarut yang menghasilkan larutan jenuh (United States Pharmacopeia Convention, 2008).

  Pemilihan media disolusi adalah hal penting dan kritis pada uji disolusi obat. Pada uji disolusi diinginkan kondisi yang sama dengan kondisi pada saluran cerna. Salah satunya yaitu pada pemilihan media disolusi dengan pH yang menggambarkan pH cairan pada saluran cerna (Qureshi, 2014). Volume media disolusi in vitro harus lebih besar dari jumlah pelarut yang diperlukan untuk melarutkan obat secara sempurna. Media-media yang ada adalah sebagai berikut:(Dressman dan Krämer, 2005)

  Media lambung buatan dalam keadaan puasa pH 1,8

  NaCl 2 g HCl acid conc. 3 g Triton X 100 1g

  Deionized water qs ad

  1 L

  Media usus buatan dalam keadaan puasa pH 6,5 (blank)

  NaH PO x H O 3,438 g

  2

  4

2 NaCl 6,186 g

  NaOH 0,348 g

  Deionized water qs ad

  1L

  Media usus buatan dalam keadaan terisi pH 5.0 (blank)

  Asam asetat glasial 8,65 g NaCl 11,874 g Pellet NaOH 4,04 g

  Deionized water qs ad

  1 L

  Media lambung buatan tanpa pepsin pH 1,2

  NaCl 2 g HCl acid conc. 7 g

  Deionized water qs ad

  1 L

  Media usus buatan dalam keadaan puasa

  Sodium taurocholate 1,65 g Lecithin 0,591 g

  Blank ad

  1 L

  Media usus buatan dalam keadaan terisi

  Sodium taurocholate 8,25 g Lecithin 2,954

  Blank ad

  1L

  Media kolon buatan pH 5,8

  Asam asetat 1M 170 mL NaOH 1M 157 mL

  Deionized water qs ad

  1 L Untuk membandingkan profil disolusi antar media digunakan konsep efisiensi disolusi. Efisiensi disolusi didefinisikan sebagai luas daerah di bawah kurva disolusi sampai batas waktu tertentu dibagi luas segi empat yang digambarkan oleh disolusi 100% pada batas waktu yang sama dan digunakan untuk membandingkan profil disolusi antar media (Khan, 1975).

  100 % terlarut t

waktu

Gambar 2.6 Profil disolusi dari tablet (Khan, 1975)

  ( ) ............................................(2.5)

  ( )

  ( )...............................................(2.6) Keterangan: C n = kadar obat (%) yang terlarut dari awal sampai waktu t n C n-1 = kadar obat (%) yang terlarut dari awal sampai waktu t n-1 t n = waktu pengambilan sampel ke n t = waktu pengambilan sampel ke n-1

  n-1

2.4 Tinjauan tentang Saluran Cerna

  Obat-obat yang diberikan secara oral melewati berbagai bagian saluran enteral, yaitu rongga mulut, esofagus, lambung, duodenum, jejunum, ileum, kolon, rectum. Saliva pada rongga mulut mempunyai pH sekitar 7. Cairan esophagus mempunyai pH antara 5 dan 6. Lambung saat puasa mempunyai pH kira-kira 2 - 6.Dengan adanya makanan, pH lambung kira- kira 1,5 - 2 karena adanya sekresi asam oleh sel parietal. Duodenum mempunyai pH kira-kira 6 - 6,5. Ileum mempunyai pH sekitar 7, dengan bagian distal 8. Kolon mempunyai pH sekitar 5,5 - 7. Rektum mempunyai sedikit cairan (kurang lebih 2 ml) dengan pH sekitar 7 (Shargel et al., 2012).

Gambar 2.7 Saluran Cerna (Shargel et al., 2012)

2.5 Tinjauan tentang Spektrofotometri Ultraviolet

  Spektrofotometri ultraviolet adalah metode yang digunakan untuk mengukur serapan sinar ultraviolet dari suatu molekul yang dapat menyebabkan eksitasi electron dalam orbital molekul tersebut dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi (Watson, 1999). Area panjang gelombang ultraviolet berada pada 190-380 nm (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995). Spektrofotometri dapat digunakan dalam analisis formulasi bahan obat secara kuantitatif dan tidak ada pengaruh dari bahan tambahan, menentukan pKa bahan obat, menentukan koefisien partisi dan kelarutan obat, uji disolusi, dan spektrum ultraviolet suatu obat dapat digunakan sebagai identifikasi (Watson, 1999).

  Bahan aktif yang dapat diidentifikasi menggunakan spektrofotometri ultraviolet adalah senyawa yang memilki gugus kromofor dan auksokrom. Gugus kromofor adalah gugus yang mengandung ikatan π, yaitu ikatan yang tidak jenuh. Contohnya: karbonil (keton dan aldehida), karboksil, amida, etilen, asetilen, nitril, nitro (Owen, 1996). Gugus auksokrom menentukan intensitas warna suatu senyawa. Contoh gugus auksokrom antara lain: OH, NH

  2 , CH 3 , dan NO 2 .

  Kelebihan spektrofotometri ultraviolet yaitu mudah digunakan, biayanya murah, cepat, tangguh, peka (dapat mendeteksi kadar dalam satuan ppm), presis, penggunaannya luas karena dapat digunakan hampir semua senyawa organik dan anorganik, tersedia banyak cara. Sedangkan kekurangannya yaitu relatif konvensional, karakteristik tetapi tidak spesifik (moderately selective), tidak dapat menganalisis analit dalam campuran (Watson, 1999).

  Pergeseran panjang gelombang terjadi karena beberapa alasan, yaitu: perpanjangan ikatan rangkap terkonjugasi, perpaduan kromofor dan auksokrom, penambahan gugus fungsi atau atom, molaritas pelarut (Reusch, 2013), konsentrasi, pH, dan suhu (Owen, 1996). Pergeseran panjang gelombang ultraviolet menjadi lebih panjang disebut batokromik, dan pergeseran panjang gelombang UV menjadi lebih pendek disebut hipsokromik. Panjang gelombang yang menjadi lebih besar disebut hiperkromik dan bila lebih kecil disebut hipokromik (Reusch, 2013).

  Spektrum ultraviolet salisilamid dalam pelarut metanol-air memiliki panjang gelombang maksimal pada 235 nm dan 302 nm. Spektra UV dapat dilihat di gambar 2.6 dan 2.7. Pada panjang gelombang 235 nm ekstingsi molar salisilamid (E1%) sebesar 543 dengan tebal kuvet 1 cm, sedangkan pada panjang gelombang 302 nm sebesar 295 (Babhair et al., 1984).

Gambar 2.8 Spektra UV salisilamida dalam metanol (Babhair et al.,

  1984)

Gambar 2.9 Spektra UV salisilamida dalam larutan NaOH 0,1N

  (Babhair et al., 1984)

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Uraian Kerangka Konseptual

  Salisilamida merupakan obat AINS (anti-inflamasi non-steroid) (Wilmana et al., 2009). Salisilamida bersifat asam lemah dengan pKa 8,1 (Babhair et al., 1984). Oleh karena sifatnya yang asam lemah membuat salisilamida tidak menimbulkan radang dan pendarahan pada lambung (Anonim, 2014). Kelebihan ini membuat salisilamida lebih banyak digunakan dalam sediaan peroral (Sirait, 2014).

  Obat harus dapat terabsorbsi untuk sediaan peroral. Untuk dapat terabsorbsi, obat harus dalam bentuk larutan yang berarti harus melewati proses disolusi dahulu (Sinko et al., 2011). Menurut persamaan Noyes- Whitney, disolusi ditentukan oleh dua parameter yaitu luas permukaan (S) dan kelarutan (Cs). Semakin besar kelarutan, semakin besar juga disolusinya. Besarnya kelarutan dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya adalah pH lingkungan (Gibaldi, 1970).

  Pada sediaan peroral, obat akan melewati saluran pencernaan yang memiliki variasi pH seperti pH saliva mulut sekitar 7, pH lambung 2-6, pH usus 6-8 (Shargel et al., 2012). Perbedaan pH pada setiap saluran cerna menyebabkan kelarutan yang berbeda pula sehingga disolusinya pun berbeda. Untuk simulasi kondisi saluran pencernaan ini, pada uji in vitro digunakan media disolusi.

  Kelarutan salisilamida yang merupakan asam lemah akan meningkat pada peningkatan pH. Oleh karena kelarutannya (Cs) meningkat maka disolusinya pun meningkat. Pada pH asam, disolusi salisilamida akan kecil sedangkan pada pH basa, disolusinya akan besar.

  Salisilamida Golongan obat AINS

  Asam lemah pKa 8,1 Digunakan secara peroral

  Terdisolusi Disolusi dipengaruhi oleh kelarutan

  Kelarutan dipengaruhi oleh pH Pada asam lemah, pH meningkat

  Kelarutan meningkat pH saluran cerna bervariasi Digambarkan dengan media disolusi pH asam, disolusi rendah pH basa, disolusi besar

Gambar 3.1 Bagan kerangka konseptual

3.2 Hipotesis Penelitian

  Salisilamida yang merupakan asam lemah akan semakin mudah larut pada pH yang lebih basa sehingga laju disolusinya juga akan meningkat pada pH yang lebih basa.

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Bahan Penelitian

  Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah salisilamida (Pharmaceutical Grade), KCl, HCl, asam sitrat, sodium sitrat, NaH

  2 PO 4 .2H

  2 O, Na

  2 HPO 4 .7H

  2 O. Kecuali disebut lain bahan yang digunakan adalah p.a.

  4.2 Alat Penelitian

  Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat uji disolusi dengan pengaduk dayung (Erweka DT 706), spektrofotometer UV-VIS Carry-50, Differential Thermal Analysis (Metler Toledo FP 85 TA Cell, US), Spektrofotometer FT-IR (Perkin Elmer Instrument) dan seperangkat alat laboratorium.

  4.3 Rencana Penelitian

  Pada penelitian ini dilakukan studi eksperimental tentang pengaruh pH media disolusi terhadap kelarutan dan disolusi salisilamida yang diawali dengan pembuatan larutan baku pada masing-masing media disolusi. Media disolusi yang digunakan adalah media pH 1,2; media pH 4,5; media pH 6,8. Variabel bebas pada penelitian ini adalah pH media disolusi. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah kelarutan dan disolusi salisilamida. Variabel terkendali pada peneltian ini adalah suhu, kecepatan pengadukan, kekuatan ionik larutan pH media disolusi. Diagram langkah penelitian untuk melihat pengaruh media disolusi terhadap disolusi salisilamida dapat dilihat dalam Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Diagram Langkah Kerja.

  Uji kualitatif salisilamida

  1. Spektra serapan inframerah

  2. Penentuan suhu lebur Pembuatan media disolusi pH 1,2; 4,5; 6,8

  Pembuatan larutan baku dari salisilamida pada masing-masing media disolusi

  Penentuan λ max Pembuatan kurva baku

  Penentuan disolusi salisilamida dalam berbagai media disolusi (pH 1,2; 4,5 dan 6,8)

  Penentuan kelarutan salisilamida dalam berbagai media disolusi (pH 1,2; 4,5 dan 6,8)

4.4 Metode Penelitian

4.4.1 Pemeriksaan Kualitatif Bahan Penelitian

  4.4.1.1 Spektra Serapan Inframerah

  Pemeriksaan spektra serapan inframerah salisilamid dilakukan dengan cara dibuat pellet KBr, sebanyak 1 mg salisilamid dicampur dengan 100 mg serbuk KBr kering kemudian ditekan atau dikompresi dengan penekan hidrolik pada tekanan 5 atm dalam suasana hampa. Setelah terbentuk pellet yang transparan atau tembus cahaya, diamati serapan inframerahnya, di-scan dengan FTIR pada bilangan gelombang 400-4000

  • 1

  cm dan hasil spektrum yang diperoleh dibandingkan dengan pustaka (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995).

  4.4.1.2 Penentuan Suhu Lebur

  Penentuan suhu lebur dilakukan dengan Differential Thermal Analysis (DTA) Mettler Toledo.

  Salisilamid ditimbang 3-5 mg dimasukkan ke dalam sample pan, lalu ditutup. Sample pan dimasukkan ke dalam

  sample holder.