BAB I TINJAUAN PUSTAKA - PGE KELOMPOK IV fortifikasi
BAB I TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Fortifikasi Pangan Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi
(nutrien) kepangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. Harus diperhatikan bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan defisiensi: dengan demikian menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio ekonomis. Namun demikian, fortitkasi pangan juga digunakan untuk menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya. (Albiner Siagian, 2003)
The Joint Food and Agricuktural Organization World Health Organization (FAOIWO) Expert Commitee on Nutrition (FAO/WHO,
1971) menganggap istilah fortification paling tepat menggambarkan proses dimana zat gizi makro dan zat gizi mikro ditambahkan kepada pangan yang dikonsumsi secara umum. Untuk mempertahankan dan untuk memperbaiki kualitas gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atau campuran pangan.
B. Klasifikasi Fortifikasi
1. Fortifikasi sukarela
Fortifikasi sukarela dilakukan atas prakarsa pengusaha produsen pangan untuk meningkatkan nilai tambah produknya sehingga lebih menarik konsumen. Upaya ini tanpa diharuskan oleh undang-undang atau peraturan pemerintah. Dasar pertimbangan fortifikasi sukarela lebih banyak mengacu kepada segi bisnis dan komersial daripada gizi dan kesehatan, meskipun dalam promosinya segi kesehatan ini yang ditonjolkan.
2. Fortifikasi wajib
Fortifikasi wajib diharuskan oleh undang-undang dan peraturan pemerintah. Sasaran utama program fortifikasi wajib adalah masyarakat miskin, meskipun masyarakat lain yang tidak miskin juga tercakup.
C. Langkah-langkah
Menurut Albiner Siagian (2003) langkah-langkah pengembangan program fortifikasi pangan, antara lain adalah: a) Menentukan prevalensi defisiensi mikronutrien
b) Segmen populasi (menentukan segmen)
c) Tentukan asupan mikronutrien dari survey makanan
d) Dapatkan data konsumsi untuk pengan pembawa (vehicle) yang potensial e) Tentukan availabilitas mikronutrien dari jenis pangan
f) Mencari dukungan pemerintah (pembuat kebijakan dan peraturan) g) Mencari dukungan industri pangan. industri pengolahan(termasuk suplai bahan baku dan penjualan produk) i) Memilih jenis dan jumlah fortifikasi dan campurannya j) Kembangkan teknologi fortifikasi k) Lakukan studi pada interaksi, potensi stabilitas, penyimpangan dan kualitas organoleptik dari produk fortifikasi. l) Tentukan bioavailabilitas dari pangan hasil fortifikasi m) Lakukan pengujian lapangan untuk menentukan efficacy dan kefektifan n) Kembangkan standar-standar untuk pangan hasil fortifiksi o) Defenisikan produk akhir dan keperluan-keperluan penyerapan dan pelabelan p) Kembangkan peraturan-peraturan untuk mandatory compliance q) Promosikan (kembangkan) untuk meningkatkan keterterimaan oleh konsumen.
BAB II JURNAL Jurnal 1: Fotifikasi Tepung Cangkang Udang Sebagai Sumber Kalsium Terhadap Tingkat Kesukaan Cone Eskrim A. Tujuan Untuk mengetahui pengaruh fortifikasi tepung cangkang udang sebagai sumber kalsium terhadap tingkat kesukaan cone es krim. B. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan sebagian besar adalah alat dan bahan yang sering digunakan dan dapat ditemukan di kehidupan sehari-hari. C. Proses Pembuatan
1. Proses Pembuatan Tepung Cangkang Udang
2. Pembuatan Cone Es Krim Dengan Penambahan Tepung Cangkang Udang
D. Hasil dan Manfaat
1. Derajat Pengembangan Pada cone dengan penambahan tepung cangkang udang 10%, tepung tapioka yang digunakan tidak ditambah maka kadar amilosa tidak meningkat sehingga derajat pengembangannya semakin besar.
2. Ketahanan Cone terhadap Es Krim Cone dengan penambahan tepung cangkang udang dapat menopang es krim lebih lama dibandingkan dengan cone komersil. Menurut Wulandari (2011), hal ini disebabkan semakin tinggi penambahan tepung cangkang udang hingga 5% maka semakin keras teksturnya. Oleh sebab itu cone dengan penambahan tepung cangkang udang sebesar 7,5% dan 10% memiliki tingkat ketahanan terhadap es krim lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan 2,5% dan 5%.
3. Uji Hedonik (Kesukaan)
a) Kenampakan Oleh karena itu, warna cone dengan penambahan cangkang udang berbeda dengan cone dengan perlakuan 0%. Cone dengan penambahan tepung cangkang udang memiliki warna kuning kecoklatan sedangkan cone tanpa penambahan tepung cangkang udang memliki warna putih kekuningan. Meskipun demikian penambahan tepung cangkang udang sampai dengan persentase sebesar 10% masih disukai/diterima oleh panelis karena persentase penambahan tepung cangkang udang yang digunakan relatif kecil.
b) Aroma Adanya penambahan tepung cangkang udang pada cone aroma khas udang lebih tercium dibandingkan dengan cone tanpa penambahan tepung cangkang udang.
c) Rasa Asam amino yang terdapat dalam protein cangkang udang sistein (sulfur), dan triptofan (pahit dan manis) sehingga rasa cone dengan penambahan tepung cangkang udang berbeda dengan cone pada perlakuan 0%.
d) Tekstur Semakin tinggi fortifikasi tepung cangkang udang sampai perlakuan 7,5%, nilai rata-rata tekstur cone juga semakin tinggi. Hal ini dikarenakan semakin tinggi penambahan tepung cangkang udang, tekstur cone es krim yang dihasilkan semakin meninggkat kerenyahannya.
e) Kadar Kalsium Hasil uji kalsium berdasarkan takaran saji pada cone es krim yang paling disukai oleh panelis dengan penambahan tepung cangkang udang sebesar 5% yaitu 62 mg/5 gr belum mencukupi kebutuhan kalsium bagi manusia per harinya, akan tetapi kekurangan kalsium dapat ditambahkan dari bahan pangan lain seperti susu, keju, serelia, sayuran (bayam dan brukoli) dan kacang-kacangan.
Dari jurnal tersebut, fortifikasi pangan yang dilakukan dapat digolongkan sebagai fortifikasi sukarela, karena tujuannya adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi zat gizi yang ditambahkan yaitu kalsium.
Kalsium dipilih sebagai zat yang dipakai dalam fortifikasi ini dengan pertimbangan bahwa sebagian besar (99%) kalsium di dalam tubuh terdapat pada jaringan keras seperti tulang dan gigi, dan sisanya tersebar dalam berbagai macam jaringan tubuh. Fungsi kalsium bagi tubuh selain untuk pembentukan tulang dan gigi, juga penting untuk pertumbuhan, pembekuan darah dan sebagai katalis reaksi biologis. Dengan ditambahkannya kalsium pada pembuatan cone ice cream dapat dihasilkan sebuah produk makanan yang tentunya jelas disukai oleh kebanyakan masyarakat dan mengandung banyak kandungan gizi didalamnya yang bermanfaat untuk pertumbuhan tulang, gigi, dan jaringan tubuh.
MENGATASI MASALAH KEKURANGAN ZAT GIZI MIKRO, Ir. Albiner
Siagian A. Masalah Kekurangan Zat Gizi MikroVitamin A, zat besi, dan iodium adalah tiga zat gizi mikro utama yang menarik banyak perhatian, terutama pada dekade terakhir.
B. Strategi Intervensi dan Penerapannya
Salah satu strategi intervensi utama pada kekurangan Zat gizi mikro, yaitu suplementasi langsung pada masyarakat rentan atau kelompok masyarakat tertentu dengan suplemen zat gizimikro, dan fortifikasi pangan yang lazim dikonsumsi dengan zat gizimikro. Tujuan pokok dari semua strategi ini adalah untuk meningkatkan status zat gizimikro pada individu, komunitas, dan penduduk yang mengalami kekurangan zat gizimikro. Tabel berikut menunjukkan keuntungan fortifikasi dibandingkan dengan suplementasi dosis tinggi. Variabel Suplementasi Fortifikasi
Keefektifan Efektif untuk jangka panjang Efektif untuk jangka menengah
panjangDelivery Requirement Sistem hearth delivery yang efektif Pangan pembawa (foo vehicle) yang cocok dan fasilitas pengolahan yang terorganisir
Kerelaan (compliance) Memerlukan motivasi yang berkelanjutan dan partisipan Tidak memerlukan kerjasama yang intensif dan kerelaan pribadi masing-masing individu Biaya pemeliharaan Relatif membutuhkan biaya yang tinggi Biaya rendah
Sumberdaya eksternal Dukungan eksternal dibutuhkan untuk memperoleh suplemen Teknologi yang memadai tersedia dan mudah ditransfer
Kesinambungan (sustainibility) Tergantung pada kemauan dan sumberdaya yang ada
Fortifikan (senyawa fortifikasi) mungkin perlu diimpor C. PERAN INDUSTRI DALAM PROGRAM FORTIFIKASI
Pelaksanaan fortifikasi pangan, bagaimanapun, harus dijalankan oleh industri pangan/makanan. Akan tetapi, dalam banyak kasus departemen kesehatan sering tidak dapat atau mau mengendalikan dan memotivasi industri. Umumnya pemerintah tidak melakukan sendiri fortifikasi pangan. Hal ini adalah tugas/tanggungjawab dari perusahaan pengolahan makanan.
D. Fortifikasi Yodium
Defisiensi Yodium dihasilkan dari kondisi geologis yang irreversiber itu sebabnya, penganekaragaman makanan dengan menggunakan pangan yang tumbuh di daerah dengan tipe tanah dengan menggunakan pangan yang sama tidak dapat meningkatkan asupan Yodium oleh individu ataupun komunitas. Diantara strategi untuk penghampusan GAKI, pendekatan jangka panjang adalah fortifikasi pangan dengan Yodium. Fortifikasi yang biasa digunakan adalah Kalium Yodida (KI) dan Kalium Iodat (KID3). Iodat lebih stabil dalam 'impure salt' pada penyerapan dan kondisi lingkungan (kelembaban) yang buruk penambahan tidak menambah warna, penambahan dan rasa garam.
E. Fortifikasi Besi
Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan untuk perbaikan anemi gizi besi, fortifikasi zat gizi besi dipandang oleh beberapa peneliti merupakan strategi termurah untuk memulai, mempertahankan, mencapai/mencakup jumlah populasi yang terbesar, dan menjamin pendekatanjangka panjang (Cook and Reuser, 1983). Fortifikasi Zat besi tidak menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan. Inilah keuntungan pokok dalam hal keterterimaannya oleh konsumen dan pemasaran produk-produk yang diperkaya dengan besi.
F. Fortifikasi Vitamin A
Fortifikasi dengan vitamin A adalah strategi jangka panjang untuk mempertahankan kecukupan vitamin A. Kebanyakan vitamin yang diproduksi secara komersial (secara kimia) identik dengan vitamin yang terdapat secara alami dalam bahan makanan. Vitamin yang larut dalam lemak (seperti vitamin A) biasanya tersedia dalam bentuk larutan minyak (oil solution), emulsi atau kering, keadaan yang stabil yang dapat disatukan/digabungkan dengan campuran multivitamin-mineral atau secara langsung ditambahkan ke pangan.
Dari jurnal tersebut, fortifikasi pangan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi kekurangan zat gizi mikro seperti yodium, zat besi, dan vitamin A. Fortifikasi yodium memperlihatkan pengurangan yang berkesinambungan akan prevalensi GAKI. Fortifikasi Zat besi tidak menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan, dan fortifikasi vitamin A strategi jangka panjang untuk mempertahankan kecukupan vitamin A.
Fortifikasi harus dijalankan oleh industri pangan / makanan. Akan tetapi, dalam banyak kasus departemen kesehatan sering tidak dapat atau mau mengendalikan dan memotivasi industri. Umumnya pemerintah tidak melakukan sendiri fortifikasi pangan. Hal ini adalah tugas/tanggungjawab dari perusahaan pengolahan makanan. Pegawai pemerintah harus bertindak sebagai penasehat, konsultan, koordinator, dan supervisor yang memungkinkan industri pangan/makanan melaksanakan fortifikasi pangan secara efektif dan menguntungkan. Hal ini perlu dilakukan mengingat pentingnya fortifikasi dalam pemenuhan gizi mikro.
BAB III DAFTAR PUSTAKA Siagian, Albiner. 2003. “Pendekatan Fortifikasi Pangan untuk Mengatasi Masalah Kekurangan Zat Gizi Mikro”. http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/3762/1/fkm-albiner5.pdf. diunduh pada 2 Maret 2011 pukul 20.55wib. Innag. 1993. Iron EDTA for food fortifikation. A report of the INAAG. Wahongton, DC. USA.
semua diakses tanggal 15-3-2013 jam 12.00 WIB