Filsafat Analitika Bahasa filsafat. docx

1

THE PHILOSOPHY OF LANGUAGE
“FILSAFAT ANALITIKA BAHASA”

OLEH
KELOMPOK III
ASWIRA
HUMAERAH
IRMA ERFIANI
SITI AISYAH AMINI HERMAN

BAHASA DAN SASTRA INGGRIS
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2016

2

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum wr.wb
Alhamdulillah, segenap rasa syukur kami utarakan kepada Allah SWT
karena atas karunia dan izinnyalah kami selaku penyusun makalah ini dengan
judul “Filsafat Analitika Bahasa” dapat menyelesaikannya dengan baik dan
bertepatan oleh waktu yang diberikan, sebelum akhirnya makalah ini akan kami
presentasikan sebagai bahan acuan kami untuk membagi ilmu yang kami peroleh
dari sebuah buku dan sekaligus untuk memenuhi kewajiban kami sebagai
mahasiswa.
Tak lupa pula kami haturkan shalawat dan salam pada motivator dan guru
terbesar manusia yang merupakan seorang penggerak peradaban Nabi Muhammad
SAW. Sebagai mahasiswa, sudah seharusnyalah beliau menjadi motivator dan
guru terbesar bagi seluruh pelajar didunia, karena dialah yang mendorong seluruh
umat manusia untuk terus belajar yang dibuktikan dalam sabdanya “Belajarlah
sampai ke negeri Cina” yang perilakunya yang budiman dapat kita contoh.
Makalah dengan judul “Filsafat Analitika Bahasa” mempunyai banyak
informasi dan pelajaran yang dapat kita jadikan kiblat sebagai arah pemikiran kita
akan sesuatu. Namun tentunya, makalah ini tentu mempunyai kekurangan, untuk
itu kami mengharapkan kepada para pembaca untuk memberikan tanggapannya
yang bersifat membangun untuk makalah ini.
Makassar, 25 Oktober 2016


Penyusun

3

BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Bahasa

merupakan

alat

komunikasi

yang

digunakan


untuk

menyampaikan ide atau gagasan baik secara lisan maupun tulisan. Bahasa
yang merupakan alat komunikasi sangat krusial dalam kehidupan manusia,
karena dengannya manusia dapat mengenal satu sama lain serta masalah yang
timbul dapat diselesaikan dengan baik. Setiap gerakan, aktifitas atau apapun
yang dilakukan baik secara tersirat ataupun tersurat memiliki makna.
Disinilah fungsi dari bahasa itu sendiri, mencoba memaknai suatu
bahasa yang dilakukan oleh seseorang, mencoba memecahkan suatu
permasalah yang dianggap aneh dan tidak jelas oleh sebagian orang dengan
gaya berpikir yang kritis. Namun tidak semua orang dapat berpikir kritis,
beberapa orang hanya dapat menerima ketidak jelasan atau keanehan,
beberapa orang hanya mendengar dan bertanya setelah mengetahui
jawabannya mereka tidak menyeledikinya lagi, dan beberapa orang
mendengar, bertanya-tanya, berfikir lalu mengeluarkan pendapatnya secara
kritis, mengkritiki sesuatu yang dianggapnya aneh. Itulah filsuf, mereka tidak
serta

merta


menerima

keberadaan

dari

sesuatu,

mereka

justru

mempertanyakannya dengan kritis hingga melakukan penelitian akan
kebenarannya sehingga mereka dapat mengambil kesimpulan. Namun dalam
melakukan hal-hal tersebut merekapun menggunakan bahasa. Inilah yang akan

4

dibahas dalam makalah ini mengenai model-model dari filsafat itu sendiri
berdasarkan para filsufnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, adapun rumusan masalah dalam makalah
ini adalah;
a. Bagaimanakah filsafat sebagai analisis bahasa?
b. Bagaimanakah perkembangan filsafat analitika bahasa?
c. Bagaimanakah atomisme logis?
d. Bagaimanakah pengaruh pemikiran F.H. Bradley terhadap filsafat analitika
bahasa?
e. Bagaimanakah pemikiran George Edward Moore dalam filsafat analitika
bahasa?
f. Bagaimanakah pemikiran filsafat atomisme logis Bertrand Russell?
g. Bagaimanakah pemikiran filsafat atomisme logis Ludwig Wittgenstein?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, adapun tujuan yang ingin dicapai
dalam makalah ini adalah;
a. Untuk mengetahui filsafat sebagai analisis bahasa
b. Untuk mengetahui perkembangan analitika bahasa
c. Untuk mengetahui tentang atomisme logis
d. Untuk mengetahui pengaruh pemikiran F.H. Bradley terhadap filsafat
analitika bahasa


5

e. Untuk mengetahui pemikiran George Edward Moore dalam filsafat
analitika bahasa
f. Untuk mengetahui pemikiran filsafat atomisme logis Bertrand Russell
g. Untuk mengetahui pemikiran filsafat atomisme logis Ludwig Wittgenstein

6

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengantar
Secara terminology, istilah filsafat analitika bahasa di kenal dan popular
pada abad 20. Namun, jika dapat di terima bahwa filsafat analitik adalah
pemecahan dan penjelasan problema-problema serta konsep-konsep filsafat
melalui analisis bahasa, maka sebenarnya berdasarkan isi materi dan
metodenya maka filsafat analitika bahasa itu telah berkembang sejak zaman
Yunani.
Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap

timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan rasio, indera dan intuisi manusia
sangat menentukan dalam pengenalan pengetahuan manusia.. oleh karena itu,
aliran rasionalise yang menekankan otoritas akal, aliran empirisme yang
menekankan peranan pengalaman indera dalam pengenalan pengetahuan
manusiaserta aliran imaterialisme dan kritisisme Immanuel Kant menjadi
sangat penting sekali pengaruhnya terhadap tumbuhnya filsafatanalitika
bahasa terutama dalam mengungkapakan realias segala sesuatu melalui
ngkapan bahasa. Bilamana di kaji dalam sejarah filsafat timbulnya filsafat
analitik sebagai suatu reaksi ketidakpuasan terhadap perkembangan pemikiran
filsafat modern pada saat itu. Ketika para penganut aliran-aliran filsafat
modern bertikai memperdebatkan tentang hakikat kebenaran segala sesuatu,
kalangan filsuf analitika bahasa sadar bahwa sebenarnya problema-problema
filsafat itu dapat dipecahkan, di jelaskan, dan di uraikan dengan menggunakan

7

analisi ungkapan-ungkapan filsafat, atau melalui suatu analisis bahasa. Para
filsuf analitika bahasa meliputi banyak ungkapan-uangkapan filsafat misalnya
ungkapan-ungkapan metafisi dari kaum idealism, rasionalisme maupun
empirisme sebenarnya tidak bermakna ataudengan lain perkataan tidak

mengungkapkan apa-apa. Demikianlah sehingga kalangan filsuf analitika
bahasa menolak dengan tegas ungkapan –ungkapan metafisis bahkan yang
paling radikal kaum positivesme logis ingin menghilangkan metafisika.
Memang banyak diakui oleh kalangan ahli filsafat dan kalangan
historian bahwa filsafat bahasa itu sulitdi tentukan batasan pengertiannya
terutama filsafat analitika bahasa, karena dasar-dasar filosofinya cukup yang
rumit, padat dan sangat beragam. Demikianlah kiranya filsafat analitika
bahasa memiliki dimensi yang sangat luas dan meliputi berbagai. Pemilihan
filsafat analitika bahasa ini memang sulit untuk ditentukan berdasarkan
periodisasi maupun wilayah karena an=liraan-aliran filsafat analitik tersebut
memiliki keterkaitan pengaruh antara tokoh satu dengan lainnya, antara aliran
satu dengan lainnya. Maka untuk mempermudah pemahaman kita tentang
perkembangan filsafat analitika bahasa, penentuan berdasarkan aliran
merupakan suatu pilihan yang dianggap paling tepat.
B. Filsafat Sebagai Analisis Bahasa
Bahasa adalah alat yang paling utama

bagi seorang filsuf serta

merupakan media untuk analiss dan refleksi. Oleh karena itu, bahasa sangat

sensitive terhadap kekaburan serta kelemahan-kelemahan lainnya, sehingga
banyak filsuf menarik banyak perhatian untuk menyempunakannya. Hal ini

8

terutama dengan timbulnya aliran filsafat analitika bahasa yang memandang
bahwa problem-problem filosofis akan menjadi terjelaskan manakala
menggunakan analisis terminology gramatika, kalangan filsuf analitika bahasa
menyadari banyak ungkapan-ungkapan filsafat yang sama sekali tidak
menjelaskan apa-apa. Sehingga filsafat analitika bahasa menyatakan bahwa
tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep. Problem yang muncul
berkaian dengan filsafat sebagai analisis konsep-konsep yaitu kekurangan dan
keterbatasan bahasa sebagaimana di hadapi oleh disiplin ilmu-ilmu lainnya.
Maka menurut Alstonbahwa bahasa merupakan laboratorium filsafat untuk
menguji dan menjelaskan konsep-konsep dan problem-problem filosofis
bahkan untuk menentukan kebenaran pemikirannya.
Kedudukan filsafat sebagai analisis konsep-konsep dan mengingat
peranan bahasa yang bersifat sentral dalam mengungkapkan secara verbal
pandangan-pandangan dan pemikiran filosofis maka timbullah suatu masalah
yaitu keterbatasan bahasa sehari-hari yang dalam masalah tertentu tidak

mampu mengungkapkan masalah filosofis. Menanggapi peranan bahasa
sehari-hari dalam kegiatan filsafat maka terdapat dua kelompok filsuf yang
memiliki pandangan yang berbeda.
Kelompok filsuf yang beranggapan bahwa sebenarnya bahasa biasa
(ordinary language) yaitu bahasa sehari-hari yang digunakan dalam
komunikasi manusia itu telah cukup untuk maksud-maksud

filsafat atau

dengan lain perkataan bahasa sehari-hari itu memadai sebagai sarana
pengungkapan konsep-konsep filsafat. Menurut pandangan ini yugas filsuf

9

adalah memberikan semacam terapi untuk penyembuhan dalam keemahan
penggunaaan bahasa filsafat tersebut.
Kelompok filsuf yang menganggap bahwa bahasa sehari-hari itu tidak
cukup untuk mengungkapkan masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat
karena memiliki kelemahan antara lain: kekaburan makna, tergantung pada
konteks, mengandung emosi dan menyesatkan. Menurut kelompok ini, tugas

filsafat yaitu membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi
kelemahan-kelemahan yang yang terdapat dalam bahasa sehari-hari itu.
C. Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa
Analitika bahasa adalah suatu metode yang khas dalam filsafat untuk
menjelaskan, mengurakan, dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan
filosofis. Secara historis, tradisi ini sebenarnya telah berkembang sejak lama
bahkan sejak zaman pra Socrates. Namun demikian istilah itu menjadi popular
dan berkempang pada abad ke-20, terutuma di Inggris khususnya dan di Eropa
pada umumnya. Perkembangan filsafat analitika bahasa itu memang tidak bisa
dijelaskan begitu saja terpisah dari aliran-aliran yang berkembang
sebelumnya, seperti aliran rasionalisme, idealism, empirisme, imaterialisme
dan aliran positifisme. Atas dasar kenyataan historis yang demikian inilah
maka filsafat analitika bahasa menjadi sangat sulit sekali untuk dibatasi
berdasarkan wilayah perkembangannya. Pada dasarnya perkembangan filsafat
analitika bahasa itu meliputi tiga aliran yang pokok yaitu atomisme logis,
positivism logis atau disebut juga empirisme logis dan filsafat bahasa biasa.

10

Atomisme logis, mulai berkembang pada abad ke-20 di Inggris dan
aliran ini sangat dipengaruhi oleh aliran-aliran sebelumnya yaitu rasionalisme
dan empirisme. Aliran ini berkembang sebagai reaksi ketidakpuasan atas
aliran idealism yang pada saat itu sangat menguasai tradisi pemikiran di
Inggris. pengaruh atomisme logis kemudian diteruskan oleh aliran positivism
yang dalam beberap hal banyak menyetujui konsep-konsep atomisme logis.
Paham positivism logis ini lazimnya dikembangkan oleh kalangan ilmuwan
bidang fisika, matematika, kimia, ilmu-ilmu alam dan sebagainya yang
berpusat di Wina. Setelah perang dunia kedua muncullah aliran filsafat bahasa
biasa yang dipelopori oleh Wittgenstein. Aliran ini memiliki pengaruh yang
sangat luas di Inggris, Jerman, prancis, maupun di Amerika.
D. Amotomisme Logis
Dalam perkembangan pemikiran filsafat di Inggris, permulaan abad XX,
muncullah suatu perkembangan pemikiran yang baru yang oleh para ahli
sejarah filsafat disebut sebagai suatu perubahan yang radikal! Atau sebagai
suatu “Revolusi”. Perkembangan baru ini membawa perubahan dalam gaya,
arah dan corak pemikirannya.
Pusat dari gerakan pemikiran filsafat yang baru ini adalah di Cambridge
Inggris yang dirintis oleh G.E. Moore (1873-19580), dan sebagai tokoh
utamanya yaitu Bertrand Russell (1872-1970) dan Ludwig wittgenstein (18891951). Nama aliran atomisme logis di kemukakan oleh Bertrand Russell
dalam mengemukakan konsep filosopinya yang diberi nama atomisme logis,

11

dalam suatu artikelnya yang telah dimuat dalam contenporary british
Philosophy yang terbit tahun 1924.
Pemikiran atomisme logis sebagaimana dikemukakan oleh Bertrand
Russell dan sebenarnya telah dikembangkan oleh Ludwing Wittgenstein dalam
bukunya “Tractatus Logico Philosophicus’,meskipun dianggap sebagai suatu
karya filsafat yang sama sekali baru, namun dalam kenyataannya tidak dapat
dipisahkan dengan aliran-aliran filsafat yang mendahuluinya.
Walaupun pemikiran atomisme logis yang dikembangkan oleh empirsme
terutama John Locke dan David Hume, namun dalam kenyataannya tradisi
idealispun juga memberikan garis dan warna dalam pemikirannya.
E. Pengaruh Idealisme F.H. Bradley
Pada awal abad ke XX aliran yang dominan di Inggris adalah idealisme.
Tumbuh suburnya aliran tersebut merupakan suatu reaksi atas materialisme
dan positifisme yang merajalela di Eropa pada waktu itu yang menguasai
filsuf-filsuf generasi sebelum timbulnya idealisme.
Menurut aliran idealisme bahwa realitas terdiri atas ide-ide, fikiranfikiran, akal, jiwa, dan bukannya benda-benda material dan kekuatan. Jika
materialisme mengemukakan bahwa materi adalah ril dan mind adalah
fenomena yang menyertainya maka idealisme menyatakan bahwa mind itulah
yang real dan materi adalah produk sampingnya.
Francis Herbert Bradley (1846-1924) adalah penganut idealisme yang
fanatik dan memiliki pengaruh besar di Inggris. Ia menguraikan pendapatnya
tentang hubungan antara pemikiran dengan realitas dan hal ini merupakan

12

kritik yang sangat keras terhadap teori pengenalan dari paham empirisme.
Menurut

Bradley metode pengenalan empirisme sebenarnya bersifat

psikologis dan bahwa mereka itu bekerja dengan ide-ide dan sama sekali tidak
dengan putusan atau judgemen atau keterangan-keterangan (proposisi). Ide
sebagaimana yang dimaksudkan kalangan empirisme adalah isi dan pikiran.
Kaum empiris tertarik dengan asal-usul pikiran kita, bagaimana kita
mendapatkan kemampuan kita untuk berpikir tentang kualitas, hubungan pada
pihak lain, proposisi itu bukanlah isi dari pikiran kita, akan tetapi merupakan
pernyataan-pernyataan tentang dunia ini, yaitu bahwa sesuatu itu adalah
sedemikian rupa di tangkap oleh pikiran. Menurut pandangan Bradley, metode
kaum empirisis itu, adalah suatu kesahan. Kaum empirisis kurang
memperhatikan putusan (judgements) atau proposisi, dan hal inilah yang
menjadi sasaran kritik kaum idealis, dan dalam kenyataannya hal inilah yang
merupakan perbedaan yang paling dalam antara Immanuel Kant dan David
Hume.
Pemikiran Bradley inilah yang mempengaruhi formulasi

logika

atomisme logis Bertrand Russel, yaitu realitas itu terwujudkan dalam suatu
ungkapan bahasa yang merupakan suatu proposisi-proposisi.
F. George Edward Moore
Filsuf kelahiran Upper Nortwood London ini memiliki pengaruh yang
amat besar terhadap aliran filsafat atomisme logis. Walaupun demikian
sebenarnya Moore sendiri bukanlah penganut yang setia dari aliran atomisme
logis, bahkan boleh dikatakan ia sendiri berdiri dipinggir gerakan itu

13

(Poerwowidagdo:30).

Moore

adalah

seorang

tokoh

filsafat

analitik

(penguraian) dan sebagai seorang analis ia berpendapat bahwa tugas filsafat
adalah memberikan analisis yang tepat tentang konsep atau proposisi, yaitu
menanyakan dengan jelas dan tepat apa yang dimaksudkan dengan konsepkonsep atau proposisi-proposisi dalam ilmu filsafat. Dalam pengertian inilah
Moore secara tidak langsung telah membangun tumbuhnya sikap skiptis dan
kritis terhadap metafisika. Kritik Moore terhadap aliran idealisme tersebut
tertuang dalam karangannya yang berjudul “The refutation of idealism”, yang
dimuat dalam majalah ‘Mind’ (1903). Kaum idealisme terutama kaum
Hegelian berpendapat bahwa ‘Segala sesuatu itu bersifat spiritual, tidak ada
dunia material di luar kita, ‘waktu adalah tidak real’ dan lain sebagainya.
Berdasarkan atas reputasinya itu maka Moore berpendapat bahwa tugas
utama filsafat adalah memberikan analisis yang tepat atau yang memadai
tentang konsep suatu proposisi, yaitu menguraikan dengan jelas dan memadai
apa yang dimaksud proposisi itu, (Moore 1959:vii) Memberikan analisis
secara pantas terhadap suatu konsep atau suatu proposisi itu sama dengan
menggantikan perkataan atau kalimat yang di gunakan untuk mengungkapkan
hal itu dengan ungkapan-ungkapan lain yang sama benar nilainya (exactly
equivalent) dengan kalimat atau ungkapan tadi akan tetapi menjadi semakin
jelas maknanya. Selanjutnya pendapat Moore tentang analisis adalah sebagai
berikut:
Analisi adalah semacam definisi semacam persamaan dengan ungkapan
yang membingungkan (Ungkapan yang kurang jelas), pangkal uraian

14

(analysandum) disebelah kiri dan ungkapan baru disebelah kanan yangb sering
dibuat analisis (penguraian) (analysans) sebagai pengurai,
Berkaitan dengan analisis tersebut, maka pangkal urai (analysandum)
dan pengurai (analysans) tidak harus selalu identik (sama persis), melainkan
keduanya harus sama dalam arti mempunyai kondisi-kondisi kebenaran yang
sama (Longford, 1952:335).
G. Filsafat Atomisme Logis Bertrand Rusell
Pemikiran filsafat di Inggris sebelum Bertrand Rusell dikuasai oleh
tradisi idealisme, sehingga sekaligus pemikiran Rusell merupakan suatu reaksi
yang sangat akurat terhadap aliran tersebut.
Suatu kelebihan dari pemikiran atomisme logis Bertrand Rusell adalah ia
mampu mesintesiskan berbagai macam pemikiran para filsuf sebelumnya
maupun filsafat sezamannya. Dalam pemikiran Rusell Nampak garis lurus
tradisi empirisme John Locke dan David Hume terutama dalam structure logis
dari proposisi-proposisi, dari proposisi sederhana (atomis) sampai pada
proposisi kompleks yang memiliki corak logis yang sama dengan konsep ideide sederhana (ide atomis) sampai pada ide-ide yang bersifat kompleks.
Rusell menyatakan bahwa konsep atomismenya tidak didasarkan pada
metafisikanya melainkan lebih didasarkan pada logikanya karena menurutnya
logika adalah yang paling dasariah dalam filsafat, sehingga pemikirannya
dinamakan ‘atomisme logis’.
Menurut Rusell melalui system logika baru ini banyak masalah filsafat
dapat didiskuikan atau dibicarakan tanpa adanya kekaburan. Banyak proposisi

15

atau keterangan filsafat dapat dijelaskan dengan menggunakan system logika
baru.
Sebagaimana diungkapkan oleh Rusell bahwa tugas filsafat adalah
analisis logis dan disertai dengan sintesa logis, mendukung suatu pengertian
bahwa untuk mendapatkan suatu kebenaran dilakukan dengan mengajukan
suatu alasan-alasan yang bersifat apriori yang tepat bagi suatu pernyataan.
Adapun sintesa logis dilakukan dengan menentukan makna suatu pernyataan
atas dasar empiris (pengalaman indera). Menurut Rusell kebenarannya yang
bersifat logis dan matematis yang diungkapkan melalui analisis logis
meyakinkan kita untuk mengakui keberadaan sifat-sifat yang universal yang
bersifat tetap, dan dalam kenyataannya terdapat teori bersifat empiris murni
yang tidak mampu mengungkapkan hal tersebut. Atas dasar itulah maka
Rusell lebih mendahulukan analisis logis daripada sintesa logis.
Russell menyatakan bahwa sesuatu yang menyebabkan ia menamakan
pemikiran filsafatnya ‘atomisme logis’ yaitu karena atom-atom yang ingin
dicapai Russell sebagai hasil analisis terakhir bukan merupakan suatu atom
fisik melainkan atom logis (Herty, 1984 : 85-86).
1. Formulasi Logika Bahasa
Menurut Russell ada suatu kalimat yang memiliki struktur
grammatical yang sama namun berbeda dalam hal struktur logisnya.
Misalnya kalimat ‘Lions are yellow’ dan ‘Lions are real’, kedua kalimat itu
memiliki struktur yang sama, namun struktur logisnya tidak sama.
Menurut Russell bahwa dua pengertian memiliki suatu formulasi logis

16

yang sama bilamana dua hal itu mengandung kesesuaian. Misalnya
Sokrates dan Aristoteles memiliki formulasi logis yang sama, karena
“Sokrates adalah seorang filsuf dan Aristoteles adalah filsuf, sehingga
keduanya memiliki formulasi logis yang sama. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Russell bahwa formulasi logis itu bukan hanya
berdasarkan logika formal saja, melainkan didukung oleh suatu fakta yaitu
sintesa logis dari fakta. ‘Sokrates’ dan ‘Aristoteles’ memiliki formulasi
logis yang sama karena berdasarkan pada suatu fakta bahwa baik Sokrates
maupun Aristoteles keduanya sebagai filsuf. Dengan memahami formulasi
logis dari ungkapan maka kita dapat membedakan antara bentuk logis
gramatikal dari suatu ungkapan dengan bentuk logis dari semantiknya.
2. Prinsip Kesesuaian (Isomorfi)
Russell menampakkan konsep pemikirannya yang cemerlang, yaitu
ia ingin menganalisis hakikat realitas dunia melalui analisis logis. Russel
mendasarkan pada analisis logis karena hal ini berdasarkan pada
kebenraran apriori yang sifatnya universal yang bersumber pada rasio
manusia. Adapun sintesa logis merupakan metode untuk mendapatkan
kebenaran pengetahuan melalui pengetahuan empirirs (pengalaman
inderawi) yang bersifat aposteriori.
Russell menegaskan bahwa terdapat suatu kesesuaian bentuk atau
struktur antara bahasa dengan dunia, atau terdapat suatu ‘isomorfi’ antara
struktur bahasa dengan dunia. Dunia merupakan suatu keseluruhan fakta,

17

adapun fakta terungkapkan melaluii bahasa sehingga terdapat suatu
kesesuaian antara struktur logis bahasa dengan struktur realiltas dunia.
Pernyataan empiric yang langsung menyebutkan suatu konfrontasi
dengan realitas yang meliputi dua macam yaitu particular dan universalia.
Particular adalah hasil persepsi kongkrit individual, sedangkan
universalia menunjukkan suatu sifat atau hubungan.
Egocentric particular merupakan entitas-entitas atau satuan-satuan
kongkrit yang dikenal karena suatu pengalaman pribadi yang pada
dasarnya tidak dapat dibagi dengan orang lain. Satuan-satuan yang
merupakan egocentric particular menurut Russell juga merupakan katakata deiktik kesemuanya dapat dikembalikan pada suatu bentuk. Misalnya
ini, itu yang berstatus sebagai nama diri yang logis (logical proper name).
Pengertian logical proper name

atau nama diri yang logis

memiliki dua macam ciri yaitu:
1. Suatu logical proper name adlaah sejauh hal itu berfungsi sebagai
nama yang tidak dapat menunjuk pada objek yang sama untuk dua
orang yang berbeda
2. Suatu logical proper name dapat menunjuk hanya pada entitas-entitas
yang kita kenal pada suatu saat.
Struktur logis bahasa menunjukkan suatu susunan yang terdiri atas
satuan-satuan bahasa yang mengacu pada satuan entitas karena struktur
logis bahasa menunjukkan struktur logis dunia.

18

Deskripsi tentang dokrin isomorfi merupakan upaya Russell untuk
mewujudkan obsesinya tentang hakikat struktur bahasa yang memiliki
struktur logis realitas dunia. Maka menurut Russell analisis bahasa yang
benar akan menghasilkan suatu pengetahuan yang benar pula tentang
hakikat realitas dunia.
3. Struktur Proposisi
Dunia pada hakikatnya merupakan suatu keseluruhan fakta-fakta
dan fakta-fakta tersebut terungkap melalui bahasa yang disebut proposisi.
Fakta-fakta itu sendiri sebenarnya tidak dapat bersifat benar atau salah,
yang dapat diberikan kualifikasi benar atau salah adalah proposisiproposisi yang mengungkapkan fakta-fakta. Dengan perkataan lain
proposisi merupakan symbol dan bukan merupakan bagian dunia.
Proposisi memiliki struktur yang terdiri atas sejumlah kata dan kata-kata
itu menunjuk pada suatu data inderawi (sense data) dan universalia
(universals) yaitu ciri-ciri atau relasi-relasi. Proposisi pada hakikatnya
merupakan symbol bahasa yang mengungkapkan fakta.
Masing-masing proposisi atomis itu memiliki arti atau makna
sendiri-sendiri yang terpisah satu dengan lainnya. Untuk membentuk suatu
proposisi majemuk maka proposisi-proposisi atomis tersebut dirangkaikan
dengan kata-kata penghubung seperti ‘dan’ ‘atau’ serta kata penghubung
lainnya.
Menurut Bertrand Russell terdapat juga pengertian proposisi
molekuler misalnya “inilah putih”, “inilah merah” dan menunjuk pada

19

fakta-fakta atomis. Kebenaran atau ketidakbenaran proposisi-proposisi
molekur tergantung pada kebenaran atau ketidakbenaran proposisi atomis
yang terdapat di dalamnya, jadi fakta-fakta atomis menentukan benar atau
tidaknya proposisi apapun juga (baik atomis maupun molekuler).
Selain fakta atomis yang diungkapkan melalui proposisi atomis,
juga terdapat pengertian “fakta umum” yang kebenarannya berdasarkan
fakta-fakta yang secara umum diketahui dan benar.
Russell juga menerima pengertian fakta negative, sebab hal itulah
satu-satunya cara untuk menerangkan benar atau tidaknya suatu proposisi
negative.
Bilamana doktrin atomisme logis menolak metafisika, tetapi tidak
dapat disangkal lagi bahwa atomisme logis mengandung suatu metafisika,
sebagaimana diakui B. Russell sendiri. Alasannya ialah bahwa teori ini
mau menjelaskan struktur hakiki bahasa dan dunia. Menurut atomisme
logis bahwa dunia dapat diasalkan pada fakta-fakta atomis, hal ini jelas
merupakan suatu argumentasi metafisis. Demikian juga pendapat Russell
itu sama sekali tidak berdasarkan pada suatu data-data empiris, melainkan
berasal dari suatu analisis mengenai bahasa yang mendasarkan pada suatu
kebenaran apriori karena menekankan pada struktur logis. Berdasarkan
rincian konsep-konsepnya maka atomisme Bertrand Russell itu tidak lain
merupakan suatu pluralism radikal yang bertentangan dengan monism
yang mendasari metafisika idealism khususnya idealism Bradley.

20

H. Filsafat Atomisme Logis Ludwig Wittgenstein
1. Peranan Logika Bahasa Wittgenstein
sependapat dengan gurunya bahwa tugas utama filsafat adalah
memberikan analisis logis dan disertai dengan sintesis logis. Dalam
Tractatus filsafat bertujuan untuk penjelasan logis dari pikiran. Uraian
Wittgenstein persoalan filsafat itu timbul karena para filulsuf terdahulu
dalam memecahkan dan merumuskan problem-problem filsafat kurang
memahami logika bahasa, yang digunakan dalam filsafat (Wittgenstein,
1963: 27).
Munurut uraian Wittgenstein para filusuf terdahulu tentang
proposisi dan problem filsafat bukannya salah, melainkan tidak dapat
dipahami. Karena mereka tidak mengerti dengan logika bahasa. Oleh
karena itu kita tidak bisa memikirkan sesuatu yang tidak logis karena hal
itu akan membuat kita menjadi tidak logis juga (Wittgenstein, 1963:
31.32).
Suatu logika bahasa yang sempurna mengandung aturan sintaksis
tertentu sehingga dapat menghindari ungkapan yang tidak bermakna dan
memiliki symbol tunggal yang selalu memiliki makna tertentu dan terbatas
(Wittgenstein, 1963: 33.34). demikianlah kiranya pendapat Wittgenstein
yang sejalan dengan seniornya yang menegaskan tugas filsafat adalah
melakukan analisis tentang ungkapan-ungkapan, problem-problem serta
konsep-konsep dengan menggunakan bahasa yang memiliki truktur logika.

21

2. Pemikiran Filosofis Tractatus
Konsep pemikiran Wittgenstein dalam buku tractatus terdiri atas
pernyataan-pernyatan yang secara logis memiliki hubungan. Pernyataan
tersebut diungkapkan sebagai berikut:
Pertama

:dunia itu tidak terbagi atas benda-benda melainkan terdiri
atas fakta-fakta, dan akhirnya terbagi menjadi suatu
kumpulan fakta-fakta atomis yang tertentu secara
unik(khas).

Kedua

:setiap proposisiitu pada akhirnya melarut diri, melalui
analisis, menjadi suatu fungsi kebenaran yang tertentu
secara unik(khas) dari sebuah proposisi elementer, yaitu
setiap proposisi hanya mempunyai satu analisis akhir.
Menurut Wittgenstein yang dimaksud dengan fakta adalah suatu

peristiwa atau suatu keadaan, yaitu bagaimana objek-objek itu memiliki
interrrelasi, hubungan kausalitas, kulitas, aksi, kuantitas, ruang, waktu dan
keadaan (Poerwowidagdo: 37).
Misalnya, suatu ruang kuliah itu bukanlah hanya objek-objek saja
seperti empat dinding, dua pintu, sepuluh jendela dan plavon, melainkan
suatu keberadaan peristiwa yaitu bagaimana kedudukan pintu di antara
dinding-dinding, letak jendela di depan pintu pertama, enam jendela
terletak disebelah kiri ruang dan empat jendela terletak disebelah kanan
ruang dan lain sebagainya.

22

Dengan demikian dunia itu harus dijelaskan atau diterangkan
bukan dalam arti objek-objek itu sendiri, melainkan bagaimana objekobjek itu berhubungan, dan berada di antara satu dengan lainnya.
Dunia itu terdiri atas fakta-fakta dan dapat dijelaskan dalam arti
hubungan antara satu dengan yang lainnya, Wittgenstein totalitas fakta itu
sangat kompleks(rumit) dan terdiri atas fakta-fakta yang kurang
kompleks. Fakta-fakta itu berikutnya terdiri atas fakta-fakta yang makin
kurang kompleks lagi, demikian seterusnya dan akhirnya kita sampai pada
fakta-fakta yang sudah tidak dapat diredusir atau dikurangi lagi. Faktafakta itu adalah fakta yang terkecil, yang paling lemener yang merupakan
bagian terkecil sehingga disebut sebagai fakta atomis.
3. Struktur Logika Bahasa
Wittgenstein berpendapat bahwa setiap proposisi itu harus dapat
dianalisis menjadi proposisi-proposisi dasar, karena masuk akal bilamana
kita menganggap bahwa hanya proposisi dasaklah yang bebas dari segala
macam makna ganda dari segala kemungkinan salah paham atau salah arti.
Sebuah proposii dasar itu adalah sebuah proposisi, yang seluruhnya
terdiri atas nama-nama(4.22). dalam pengertian ini istilah “nama”
memiliki pengertian teknis dan menurut Wittgenstein tidak digunakan
dalam arti biasa, seperti nama orang atau nama sesuatu. Sebuah nama tidak
dapat dipecah-pecah lebih lanjut dengan cara definisi. Nama dalam
pengertian ini menurut Wittgenstein adalah sebagai tanda pertama
(primitive) (3.26). misalnya nama Socrates bukanlah nama dalam

23

penegrtian teknis karena Socrates dapat didefinisikan sebagai misalnya,
seorang laki-laki, seorang filsuf Yunani yang hidup di Athena dan lain
sebagainya.
Sebuah nama itu adalah sebuah objek dan, objek itu adalah
maknannya (3.203). jadi jikalau tidak ada objek maka fungsi dari
proposisi-proposisi dasar hanya akan terdiri atas istilah-isilah yang tidak
mempunyai arti,
4. Teori Gambar (Picture Theory)
Proposisi-proposisi itu terungkapkan melalui bahasa, maka bahasa
pada hakikatnya merupakan suatu gambaran dunia. Menurut Wittgenstein
pengertian sebuah proposisi terletak pada situasi yang digambarkan atau
yang dihadirkan didalamnya (Pitcher, 1964: 45).
Menurut Wright, fungsi teori gambar terletak pada kesesuaian
antara unsur-unsur gambar dengan unsur-unsur sesuatu dengan realitas.
Wittgenstein menekankan bahwa proposisi itu berfungsi seperti sebuah
gambar karena ada hubungan kesesuaian anatar unsur-unsur gambar itu
dengan dunia fakta.
Unsur-unsur gambar adalah sarana dalam bahasa, sebagaimana
unsur-unsur bahasa misalnya, kata, frase, klausa maupun kalimat. Dengan
demikian dua unsur yang mendukung teori gambar (1) proposisi yang
merupakan alat dalam bahasa filsafat. (2) fakta yang ada dalam realitas.

24

5. Tipe-tipe Kata (Words Types)
Dalam upaya penerapan metode analisis bahasa Wittgenstein
menerapkan beberapa teknik menganalisis makna bahasa, antara lain
dengan menganalisis tipe-tipe kata. Dalam penentuan tipe-tipe kata inilah
perlu dibeddakan pengertian konsep nyata, yaitu tipe kata yang termasuk
memiliki acuan konkrit seperti : meja, kursi, mobil, tongkat dan lain
sebagainya. Konsep formal misalnya arti, objek, kompleks, fakta, fungsi
angka dan ada.
Konsep formal tidaklah sama dengan konsep nyata yang hadir
melalui suatu fungsi yang dimilikinya, melainkan keduanya memiliki ciri
yang berbeda, sebab sifat-sifat formal tidak dapat menghadirkan fungsinya
secara jelas, ia hanya dapat diungkapkan dalam bentuk symbol yang
bersifat pasif (Wittgenstein, 1969: 126).
6. Pandangan Wittgenstein Tentang Metafisika
Menurut Wittgenstein proposisi yang bermakna adalah proposisi
yang menggambarkan suatu realitas dunia yang memiliki struktur logis.
Ssehingga struktur logis dunia terlukiskan dalam struktur logis bahasa dan
proposisi yang meliukiskan suatu realitas dunia inilah yang merupakan
suatu proposisi yang sejati. Selain itu terdapat proposisi-proposisi logika
yaitu proposisi-proposisi yang mendasarkan pada prinsip-prinsip logis
yang kebenaranya bersifat tautologis-tautologis. Proposisi-proposisi logika
itu bermakna akan tetapi tidak menggambarkan suatu keberadaan
peristiwa dan kebenaranya bersifat pasti.

25

Menurut Wittgenstein filsafat bukanlah merupakan suatu ajaran
melainkan merupakan aktivitas. Tugas filsafat menurut Wittgenstein
adalah menjelaskan kepada seseorang apa yang dapat dikatakan dan apa
yang tidak dapat dikatakan.
Menurut Wittgenstein metafisika melampau batas-batas bahasa.
Metafisika mengatakan apa yang tidak dapat dikatakan, namun demikian
Wittgenstein menyatkan bahwa memang terdapat hal-hal yang tidak dapat
dikatakan yaitu hal-hal yang bersifat mistis. Hal-hal yang melampaui
batas-batas tersebut menurut Wittgenstein adalah subjek, kematian, allah
dan bahas sendiri.

26

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam berfikir kritis seperti para filsuf atau berpikir filsafat pemikiran
kita tidak bisa hanya di dasari hanya dengan logika, karena bisa saja logika
tidak bisa diterima oleh sebagian orang, karena tidak semua orang setuju
dengan pemikiran yang diutarakan oleh seseorang dan tidak semua orang pula
yang dapat mengerti logika seseorang. Banyak pula permasalahan yang terus
dibicarakan oleh para filsuf yang tidak dapat dipecahkan masalahnya atau
ditemukan jawabannya dikarenakan terdapat beberapa hal yang tidak dapat
diucapkan atau dibahasakan oleh logika. Dalam analitika bahasa terdapat
beberapa filsuf yang mengeluarkan pendapatnya mengenai fenomena tersebut,
kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa untuk mengungkapkan sesuatu
haruslah bergandengan dengan fakta, karena fakta dapat mengungkapkan apa
yang tidak dapat diungkapkan oleh bahasa. Jika hanya dengan mengandalkan
logika tidaklah efisien namun juga membutuhkan fakta untuk mendukung
suatu logika.
B. Saran
Walaupun makalah ini mempunyai banyak informasi mengenai filsafat,
tentulah setiap yang dilakukan oleh manusia selalu memiliki kekurang dan
kelemahan serta membutuhkan pendorong (motivasi) untuk membuat sesuatu
menjadi tampak sempurna. Maka dari itu, penyusun sangat mengharapkan

27

kritikan yang membangun pada makalah ini agar menjadi makalah yang
tampak sempurna.

28

Daftar Pustaka
Kaelan, M.S. Drs. 1998. Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya.
Pradigma Offset. Yogyakarta