MAKALAH MUATAN LOKAL JUDUL INSAN KAMIL M (1)

MAKALAH MUATAN LOKAL
JUDUL : INSAN KAMIL (MANUSIA SEMPURNA)

DISUSUN OLEH :
1. AHMAD RIFA’I
2. EKA DAHLIANI
3. M. LEO ANDRI I
4. NORAZIZAH
5. NORHIDAYAH F
6. NOVEANI ANNISA RR

(XI
(XI
(XI
(XI
(XI
(XI

KEMENTERIAN AGAMA
MADRASAH ALIYAH NEGERI KELUA
KABUPATEN TABALONG

2013

IPA
IPA
IPA
IPA
IPA
IPA

1)
1)
1)
1)
1)
1)

KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan taufiq
dan hidayah-Nya sehingga makalah yang bejudul “INSAN KAMIL” ini dapat diselesaikan.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada keharibaan junjungan kita Nabi

Besar Muhammad SAW. Beserta keluarga, sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Muatan Lokal.
Dalam penulisan ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dan
ketidaksempurnaan karena keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki, oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun untuk perbaikan serta kelancaran makalah selanjutnya sangat
penulis harapkan.
Besar harapan penulis, makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan semoga
amal baik yang telah mereka berikan mendapatkan balasan dari Allah swt. dengan berlipat
ganda. Aamin.

Penulis

I
DAFTAR ISI

halaman
KATA
PENGANTAR.............................................................................................
........................i
DAFTAR

ISI............................................................................................................
.....................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang......................................................................................................
...............1
1.2 Rumusan

Masalah........................................................................................................
........1
1.3 Tujuan
Penulisan......................................................................................................
............1
1.4
Metode
Penulisan......................................................................................................
..........1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Insan Kamil........................................................................................................2-3
2.2 Konsep Insan Kamil menurut Al-Qur’an.............................................................................3-4

2.3 Proses Munculnya Insan Kamil...........................................................................................4-6
2.4 Ciri-Ciri Insan Kamil............................................................................................................7-8
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan.......................................................................................................
...................9
3.2
Saran.................................................................................................................
...................9
DAFTAR
PUSTAKA...........................................................................................................
....10

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam ilmu tasawuf terdapat konsep yang disebut dengan insan kamil. Insan kamil diartikan
sebagai manusia sempurna atau manusia paripurna. Menurut ahli tasawuf falsafi Ibnu ‘arabi dan
‘Abd al-Jilli, insan kamil yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad SAW.

Khalayak biasanya mengartikan "insan kamil" sebagai manusia sempurna, Sebagai
aktualisasi dan contoh yang pernah ada hidup di permukaan bumi ini adalah sosok Rasulullah
Muhammad Saw. Tapi sayang sosok Nabi yang agung ini hanya dilihat dan diikuti dari segi fisik
dan ketubuhan beliau saja. Artinya Beliau hanya dilihat secara partial saja, padahal kita mau
membicarakan kesempurnaan beliau. Lalu berduyun duyunlah "pakar" Islam dari masa ke masa
menulis, menganjurkan, bahkan menjadi perintah yang hampir mendekati taraf "wajib", kepada
umat Islam untuk mengikuti contoh "perilaku" Nabi Muhammad.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian insan kamil ?
2. Bagaimana insan kamil dalam Al-qur’an ?
3. Bagaimana proses munculnya insan kamil ?
4. Mengetahui Ciri-ciri Insan kamil ?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan umum yang ingin dicapai dalam makalah ini, yaitu : untuk mengetahui konsep Insan
Kamil yang lebih spesifik.
Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam makalah ini, yaitu :
1 . Untuk mengetahui pengertian insan kamil.
2 . Untuk mengetahui insan kamil dalam Al-qur’an.
3 . Untuk mengetahuiproses munculnya insan kamil.
4 . Untuk mengetahui ciri-ciri insan kamil.

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan atau metode kepustakaan adalah cara penulisan pengambilan bahan
bacaan dari buku ke buku yang relevan dengan tema dan gabungan dalam satu ke satuan yang
lain.

(Dikutip dari makalah Eka Dahliani)

1

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Insan Kamil
Insan kamil berasal dari bahasa arab,yaitu dari 2 kata: insane dan kamil. Secara harfiah, insane
berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna.Dengan demikian insane kamil berarti
manusia yang sempurna.
Menurut Jamil Shaliba bahwa kata insane menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus
digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya,bukan fisiknya. Dalam bahasa arab kata insane
mengacu pada sifat manusia yang terpuji seperti kasuh sayang,mulia dan lainnya.sedangkan kata
kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakkan untuk menunjukkan

pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui trerkumpulnya sejumlah potensi dan
kelengkapan seperti ilmu,dan sekalian sifat yang baik lainnya.
Kata insan juga dijumpai dalam alqur’an dan dibedakan dengan istilah basyar dan al-nas.Kata
insane mempunyai 3 asal kata yaitu:
1. Berasal dari kata annasa yang mempunyai arti melihat,mengetahui dan meminta ijin.
2. Berasal dari kata nasiya yang artinya lupa.
3. Berasal dari kata al-uns yang artinya jinak,lawan dari kata buas.
Dengan bertupu pada asal kata annasa maka insane mengandung arti
melihat,mengetahui,meminta ijin dan semua arti ini berkaitan dengn kemampuan menisia dalam
bidang penalaran,sehingga dapat menerima pengajaran.Sedangkan yang bertumpu pada akar
kata nasiya,insane mengandung arti lupa,dan menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran
diri.Kata insane jika dilihat dari asalnya al-uns mengandung arti bahwa manusia sebagai
makhluk yang dapat hidup berdampingan dan dapat dipelihara
Dilihat dari sudut kata insan yang berasal dari kata al-uns,annisa,nasiya dan anasa bahwa kata
insan menunjuk pada suatu pengertian yang ada kaitannya dengan sikap yang lahir dari adanya
kesadaran penalaran.

Kata insane dalam alqur’an disebut sebanyak 65 kali dalam 63 ayat,dan digunakan untuk
menyatakan manusia dalam lapangan kegiatan yang amat luas. Kata insane lebih mengacu
kepada manusia yang dapat melakukan berbagai kegiatan yang bersif moral,intelektual,social

dan rohaniah.unsur insaniyah disebut sebagai makhluk yang memiliki intuisi, sifat lahuf dan sifat
ini pula yang dapat baqa dan bersatu secara rohaniyah dengan tuhan dalam tasawuf.
Istilah basyar digunakan untuk menyebut pada semua makhluk,mempunyai pengertian adanya
persamaan umum yang selalu menjadi cirri pokok. Ciri pokok itu adalah kenyataan lahiriyahnya
yang menempati ruang dan waktu,serta terikat oleh hokum-hukum alamnya. Manusia dalam
pengertian basyar adalah manusia seperti yang tampakpad lahiriyahnya,mempunyai bangunan
tubuh yang sama,makn dan minum dari bahan yang sama yang ada dialam ini.
Dalam alqur’an kata basyar disebut sebanyak 36 kali,dan digunakkan untuk menggambarkan
2
dimensi fisik manusia seperti kulit tubuh manusia.Pengertian basyar adalah manusia
dalamkehidupannya sehari-hari,yang berkaitan dengan aktifitas lahiriyahnya yang di pengaruhi
oleh dorongan kodrat alamiyahnya.Unsur basyariyah inilah yang dalam kajian tasawuf diatas
sebagai unsure yang dapat dilenyapkan dengan fana dalam rangka mencapai ittihad,hulul dan
wahdatuj wujud.
Istilah al-nas digunakan dalan alqur’an untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau
masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan untuk mengenbangkan kehidupannya,dan apa
yang dikemukakan alqur’an itu bahwa insan kamil lebih mengacu kepada manusia yang
sempurna dari segi rohaniyah,intulektual,intuisi,social,dan aktifitas kemanusiaannya.
Insan kamil juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniyahnya sehingga dapat
berfungsi secara oftimal dan dapat berhubungan dengan allah dan dengan makhluk lainnya

secara benar menurut akhlak islami.

2.2 Konsep Insan Kamil menurut Al-Qur’an
Nabi Muhammad Saw disebut sebagai teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam
Q.S. al- Ahdzab/33:21:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut
Allah”.
Allah SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya,
berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah SAW yang menjadi uswah
hasanah. Rasulullah SAW merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun
sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang
kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia. Sebagaimana firman Allah SWT:

“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.” (QS. AlQolam:4)
Nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad adalah sebagai seorang Rasulullah
Rahmatan Lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu menjadi penutup
semua nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan manusia dan pembawa berita
tentang kehidupan mendatang di akhirat sesuai dengan firman Allah SWT
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan.

Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan
keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap
gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke
3
jalan yang lurus.” (Al Maidah 15-16)
2.3 Proses Munculnya Insan Kamil
Munculnya insan kamil dapat ditelusuri melalui dua sisi. Pertama melalui tahaptahap tajalli Tuhan pada alam sampai munculnya insan kamil. Kedua melalui maqamat
(peringkat-peringkat kerohanian) yang dicapai oleh seseorang sampai pada kesadaran
tertinggi yang terdapat pada insan kamil.
Tajalli Tuhan – dalam pandangan Ibn Arabi – mengambil dua bentuk: pertama tajalli gaib atau
tajalli żāti yang berbentuk penciptaan potensi, dan kedua tajalli syuhūdi (penampakan diri secara
nyata), yang mengambil bentuk pertama, secara intrinsik hanya terjadi di dalam esensi Tuhan
tersendiri. Oleh karena itu, wujudnya tidak berbeda dengan esensi Tuhan itu sendiri karena ia
tidak lebih dari suatu proses ilmu Tuhan di dalam esensi-Nya sendiri, sedangkan tajalli dalam
bentuk kedua ialah ketika potensi-potensi yang ada di dalam esensi mengambil bentuk aktual
dalam berbagai fenomena alam semesta.
Tajalli żāti, menurut Ibn Arabi, terdiri dari dua martabat: pertama martabat ahadiyah dan kedua
martabat wahīdiyah. Pada martabat ahadiyah, Tuhan merupakan wujud tunggal lagi mutlak,
yang belum dihubungkan dengan kualitas (sifat) apapun, sehingga ia belum dikenal oleh
siapapun. Esensi Tuhan pada peringkat ini, begitu kata Ibn Arabi, hanya merupakan totalitas dari

potensi (quwwah) yang berada dalam kabut tipis (al-‘amā’) yakni awan tipis yang membatasi
“langit” ahadiyah dan “bumi” keserbagandaan makhluk, yang identik dengan nafs ar-Rahmān
(nafas Tuhan yang Maha Pengasih).
Wujud Tuhan dalam martabat ahadiyah masih terlepas dari segala kualitas dan pluralitas apapun:
tidak terkait dengan sifat, nama, rupa (rasm), ruang, waktu, syarat, sebab dan sebagainya. Ia
betul-betul transenden atas segala-galanya. Di dalam transendensi-Nya itu, ia ingin dikenal oleh
yang selain dari diri-Nya, maka diciptakan-Nya makhluk. Dari martabat ahadiyah tajalli Tuhan
akan berlanjut pada martabat-martabat di bawahnya sampai pada martabat dimana Tuhan dapat
dikenal oleh makhluk.

Pada martabat wahidiyah Tuhan memanifestasikan diri-Nya secara ilahiah yang unik di luar
batas ruang dan waktu dalam citra sifat-sifat-Nya. Sifat-sifat tersebut terjelma dalam asma
Tuhan. Sifat-sifat dan asma itu merupakan satu kesatuan dengan hakikat alam semesta yang
berupa entitas-entitas laten (‘a’yān sābitah). Bila sifat-sifat dan nama-nama itu dipandang dari
aspek ketuhanan, ia disebut asma’ ilāhiyah (nama-nama ketuhanan), bila dipandang dari aspek
kealaman (makhluk), ia disebut asma’ kiyāniyah (nama-nama kealaman). Aspek kedua, meski
dipandang satu dengan aspek pertama, ia juga merupakan tajalli dari aspek pertama, karena pada
asma’ kiyāniyah itu asma Tuhan mengambil bentuk entitas (‘ain). Oleh karena itu, setiap kali
asma ilahi muncul, ia senantiasa berpasangan dengan asma’ kiyāniyah sebagai wadah tajallinya.
Adapun yang pertama kali muncul pada tajalli syuhudi ialah al-jism al-kulli (jasad universal)
sebagai penampakan lahir dari nama Tuhan az-Zāhir (Yang Maha Nyata). Kemudian “jasad
universal” tersebut mengambil bentuk asy-syakl al-kulli (bentuk universal) sebagai efek dari
tajalli Tuhan dengan nama-Nya al-Hakīm (Yang Maha Bijaksana). Selanjutnya Tuhan dengan
4

nama-Nya al-Muhīth (Yang Maha Melingkupi), asy-Syakūr (Yang Maha Melipatgandakan
pahala), al-Gāni (Yang Maha Kaya) dan Al-Muqtadir (Yang Maha Memberi Kekuasaan)
masing-masing menampakkan diri pada arasy (singgasana) Tuhan, kursi, falak al-būrūj (falak
bintang-bintang), dan falak al-manāzil (falak berorbit). Setelah falak al-manāzil, secara berturutturut muncul langit pertama hingga langit keenam dan langit dunia. Kemudian muncul pula eter,
api, udara, air, tanah, mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, malaikat, jin, manusia dan insan kamil.
Masing-masing merupakan tajalli dari nama-nama Tuhan: ar-Rabb (Yang Maha Mengatur), alAlīm (Yang Maha Mengetahui), al-Qāhir (Yang Maha Perkasa), an-Nūr (yang bersinar), alMusawwir (yang membentuk rupa), al-Muhsī (yang mencatat), al-matīn (Yang Maha Kokoh),
al-Qābid (yang membatasi), al-Hayy (Yang Maha Hidup), al –Muhyī (Yang Menghidupkan), alMumīt (Yang Mematikan), al-Azīz (Yang Maha Mulia), ar-Razzāq (Yang Memberi rezki), alMużill (Yang Menghina), al-Qawī (Yang Maha Kuat), al-Latīf (Yang Maha Halus), al-Jāmi’
(Yang Menghimpunkan), Rāfi’ ad-Darajāt (Yang Maha tinggi derajatnya). Pada peringkat insan
kamil itu sempurnalah tajalli Tuhan pada makhluk, karena pada insan kamil telah termanifestasi
segenap sifat dan asma-Nya.
Dari pembahasan di atas kelihatan bahwa hubungan antara tajalli bentuk pertama dan yang
sesudahnya merupakan suatu bentuk peralihan dari sesuatu yang potensial kepada yang aktual
dan ini terjadi secara abadi, karena tajalli ilahi tidak pernah berhenti pada suatu batas perhentian.
Tujuannya ialah agar Tuhan dapat dikenal lewat nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada alam
semesta. Akan tetapi alam semesta ini berada dalam wujud yang terpecah-pecah, sehingga tidak
dapat menampung citra Tuhan secara utuh, hanya pada manusia citra Tuhan dapat tergambar
secara sempurna, yaitu pada insan kamil. Martabat insan kamil ini baru dapat dicapai setelah
melalui beberapa maqâm (tingkat-tingkat kerohanian, jamaknya: maqāmāt). Dalam perjalanan
melalui tingkat-tingkat kerohanian itu sufi akan mengalami beberapa keadaan batin (hāl,
jamaknya: ahwāl).
Maqāmāt adalah tahap-tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi
untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang
panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia yang dipandang

berhala terbesar dan karena itu kendala menuju Tuhan. Kerasnya perjuangan spiritual ini
misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa seorang sufi kadang memerlukan waktu puluhan
tahun hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Sedangkan “ahwāl” sering
diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Di antara ahwāl yang sering disebut adalah
takut, syukur, rendah hati, takwa, ikhlas, gembira. Meskipun ada perdebatan di antara para
penulis tasawuf, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwāl dialami secara spontan,
berlangsung sebentar dan diperoleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras seperti
halnya maqāmāt, melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-kilatan ilahi (Divine Flashes), yang
biasa disebut “lama’at.”
Al-Kalabadzi menyebutkan 10 maqāmāt yaitu: tobat, zuhud, sabar, kefakiran, rendah hati,
tawakal, rida, cinta dan makrifat. Tahap-tahap puncak yang dicapai oleh sufi dalam perjalanan
spiritualnya itu ialah ketika ia mencapai maqām makrifat dan mahabbah. Makrifat dimulai
dengan mengenal dan menyadari jati diri. Dengan mengenal dan menyadari jati diri, niscaya sufi
akan kenal dan sadar terhadap Tuhannya. Kesadaran akan eksistensi Tuhan berarti mengenal
Tuhan sebagai wujud hakiki yang mutlak, sedangkan wujud yang selain-Nya adalah wujud
5
bayangan yang bersifat nisbi. Wujud bayangan, sebenarnya hanya image belaka, sehingga yang
benar-benar ada ialah wujud Tuhan.
Setelah menempuh segala maqām sampailah sufi kepada keadaan fanā’ dan baqā’. Dalam
keadaan demikian, insan kembali kepada wujud asalnya, yakni wujud mutlak. Fanā’ adalah
sirnanya kesadaran manusia terhadap segala alam fenomena, dan bahkan terhadap nama-nama
dan sifat-sifat Tuhan (fanā’ ‘an sifāt al-haqq), sehingga yang betul-betul ada secara hakiki dan
abadi (baqā’) di dalam kesadarannya ialah wujud mutlak. Untuk sampai kepada keadaan
demikian, sufi secara gradual, harus menempuh enam tingkat fanā’ yang mendahuluinya, yaitu:
1.
Fanā’ ‘an al-Mukhālafāt (sirna dari segala dosa). Pada tahap ini sufi memandang bahwa
semua tindakan yang bertentangan dengan kaidah moral sebenarnya berasal dari Tuhan juga.
Dengan demikian, ia mulai mengarah kepada wujud tunggal yang menjadi sumber segalagalanya. Dalam tahap ini sufi berada dalam hadrah an-nūr al-mahd (hadirat cahaya murni). Jika
seseorang masih memandang tindakannya sebagai miliknya yang hakiki, ini menandakan ia
masih berada pada hadrah az-zulmah al-mahd (hadirat kegelapan murni).
2.
Fanā’ ‘an af’āl al-‘ibād (sirna dari tindakan-tindakan hamba). Pada tahap sufi menyadari
bahwa segala tindakan manusia pada hakikatnya dikendalikan oleh Tuhan dari balik tabir alam
semesta. Dengan demikian sufi menyadari adanya “satu agen mutlak” dalam alam ini, yakni
Tuhan.
3.
Fanā’ ‘an sifāt al-makhlūqīn (sirna dari sifat-sifat makhluk). Pada tahap ini sufi menyadari
bahwa segala atribut dan kualitas wujud mumkin (contingent) tidak lain adalah milik Allah.
Dengan demikian, sufi menghayati segala sesuatu dengan kesadaran ketuhanan, ia melihat
dengan penglihatan Tuhan, mendengar dengan pendengaran Tuhan, dan seterusnya.
4.
Fanā’ ‘an kull az-zāt (sirna dari personalitas diri). Pada tahap ini sufi menyadari noneksistensi dirinya, sehingga yang benar-benar ada di balik dirinya ialah zat yang tidak bisa sirna
selama-lamanya.

5.
Fanā’ ‘an kull al-‘alam (sirna dari segenap alam). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa
segenap aspek alam fenomenal ini pada hakikatnya hanya khayal, yang benar-benar ada hanya
realitas yang mendasari fenomena.
6.
Fanā’ ‘an kull mā siwā ‘l-lāh (sirna dari segala sesuatu yang selain Allah). Pada tahap ini
sufi menyadari bahwa zat yang betul-betul ada hanya zat Allah.
Ketika sufi mencapai fanā’ tahap keenam ia menyadari bahwa yang benar-benar ada adalah
wujud mutlak yang mujarrad dari segenap kualitas nama dan sifat seperti permulaan
keberadaan-Nya. Inilah perjalanan panjang sufi menuju ke asal. Kesadaran puncak mistis seperti
inilah yang dicapai insan kamil.

6
2.4 Ciri-Ciri Insan Kamil
Untuk mengetahui ciri-ciri insan kamil dapat ditelusuri pada berbagai pendapat yang
dikemukakan para ulama yang keilmuannya sudah diakui, termasuk didalamnya terdapat aliranaliran. Ciri-ciri nya adalah sebagai berikut :
1. Berfungsi akalnya secara optimal
Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pda pendapat kaum Mu’tazilah. Menurutnya manusia
yang akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa semua perbuatan baik seperti
adil, jujur, berakhlak sesuai dengan esensinya dan merasa wajib melakukan semua itu walaupun
tidak diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib
melakukan perbuatan yang baik. Dengan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali
perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada esensi perbuatan
tersebut.
1. Berfungsi Instuisinya
Insan kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini
dalam pandangan Ibnu Sina disebut jiwa manusia. Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri
manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati
kesempurnaan.
1. Mampu Menciptakan Budaya
Manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi
rohaniyahnya secara optimal. Menurut Ibnu Khaldun manusia adalah makhluk berfikir. Dalam
kacamata Ibnu Khaldun kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah lahir begitu saja,
melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses tersebut disebut evolusi.

1. Menghiasi Diri Dengan Sifat-sifat Ketuhanan
Bahwa manusia termasuk makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). Manusia sebagai
kholifah merupakan gambaran ideal. Yaitu manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri,
baik sebagai kelompok masyarakat maupun individu. Yaitu manusia yang memiliki tanggung
jawab yang besar, karena memiliki daya kehendak yang bebas. Manusia yang ideal disebut insan
kamil, yaitu manusia yang dengan sifat-sifat ketuhanan yang ada pada dirinya dapat
mengendalikan sifat-sifat rendah yang lain. Sebagai kholifah Allah di muka bumi ia
melaksanakan amanat Tuhan dengan melaksanakan perintah-Nya.
1. Berakhlak Mulia
Insan kamil adalah manusia yang berakhlak manusia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali
Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki 3 aspek, yakni aspek
kebenaran , kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia memiliki pengetahuan, etika dan seni.
Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreatifitas. Manusia yang ideal
(sempurna) adalah manusia yang memiliki otak yang briliyan sekaligus memiliki kelembutan
hati.
7
1. Berjiwa Seimbang
Menurut Nashr, sebagai dikutip Komarudin Hidayat bahwa manusia modern sekarang ini tidak
jauh meleset dari siratan Darwin. Bahwa hakikat manusia terletak pda aspek kedalamannya yang
bersifat permanen, immortal yang kini tengah bereksistensi sebagau bagian dari perjalanan
hidupnya yang teramat panjang. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling
mendasar yang bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketentraman bathin,
yang berarti tidak hanya keseimbangan diri, terlebih lagi bila tekanannya pada kebutuhan materi
kian meningkat, maka keseimbangan akan semakin rusak. Kutipan tersebut mengisyaratkan
tentang perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu seimbang antara pemenuhan antara
kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah. Ini berarti pelunya ditanamkan jiwa sufistik
yang dibarengi dengan Syari’at Islam , terutama ibadah, dzikir, tafakur, muhasabah dan
seterusnya.
Ciri tersebut menunjukkan bahwa insan kamil lebih menunjukkan pada manusia yang segenapa
potensi intelektual intuisi, rohani, hati sanubari, ketuhanan, fitrah dan kewajibannya berfungsi
dengan baik. Jika demikian halnnya, upaya mewujudkan insan kamil perlu diarahkan melalui
pembinaan intelektual, kepribadian, akhlak, ibadah, pengalaman tasawuf, bermasyarakat,
research dan sebagainya.

8

BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa :
Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata Insan dan kamil. Secara harfiah,
Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti
manusia yang sempurna.
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai
sebuah contoh manusia ideal.
Dalam Al-Qur’an menerangkan bahwa nabi Muhammad adalah figur insan kamil yang patut
dicontoh oleh umat manusia.
Insan kamil adalah wadah tajalli Tuhan yang berkedudukan sebagai khalifah dan sebagai wali
tertinggi (qutb).

3.2 Saran
Saya berharap agar makalah ini dapat digunakan sebagaimana mestinya dan sebagai
tunjangan untuk belajar bagi siswa-siswi tentang “INSAN KAMIL”
Pada makalah ini terdapat pengertian insan kamil, konsep insan kamil dalam Al-qur’an,
kedudukan insan kamil, ciri-ciri insan kamil. Dengan demikian semoga siswa-siswi dapat
merasa terbantu dengan adanya makalah ini.

9

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril, Manusia Citra Ilahi, Jakarta: Paramadina, 1997
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta:PT Raja Grafndo Persada, 2002
Asy’arie, Musa, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI, 2002
spi2010b.wordpress.com/2012/11/02/insan-kamil/,diakses

pada

31

Mei

2013
http://wahdahal-islamiah.blogspot.com/2010/01/pembahasan-pai-dalam-membentuk-insan.html
http://fixguy.wordpress.com/insan-kamil/
http://irdy74.multiply.com/recipes/item/21
http://pusko4u.blogspot.com/2011/10/membentuk-insan-kamil.html
http://republika.co.id:8080/berita/8318/Insan_Kamil
Dahliani , Eka . 2012 . Makalah Bahasa Indonesia Tema : KesalahanKesalahan Dalam Surat Dinas. Banjarmasin : ____________

10