JUDUL INDONESIA: IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA METRO\ JUDUL INGGRIS: IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION IN METRO CITY

(1)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA METRO Oleh

INDAH PRATIWI

Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pasal 5, ayat 1 yang menegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Inilah yang disebut dengan konsep education for all atau pendidikan untuk semua. Untuk mengakomodir anak-anak berkebutuhan khusus dalam sistem pendidikan nasional diterbitkanlah Permendiknas no 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa.

Penelitian ini menitikberatkan pada permasalahan pelaksanaan pendidikan inklusif di Kota Metro. Dalam mengungkap permasalahan ini, peneliti menggunakan teori implementasi kebijakan publik milik Van Meter Van Horn. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Kota Metro.

Dalam penelitian ditemukan beberapa kendala dalam pelaksanaan pendidikan inklusif di Kota Metro yang terbagi menjadi kendala internal dan kendala eksternal. Diantaranya masalah Budgeting, tidak adanya guru pembimbing khusus yang berlatar belakang pendidikan luar biasa dan sulitnya guru dalam memenej kelas, juga adanya orang tua murid yang tidak setuju anaknya harus belajar dengan anak berkebutuhan khusus.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pendidikan inklusif di Kota Metro belum maksimal dan perlu dilakukan pembenahan. Hal ini terlihat dari masih banyak kendala yang terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah inklusif di Kota Metro yang berkaitan dengan teknis pelaksanaan. Untuk itu, perlu adanya perbaikan dari sosialisasi mengenai pendidikan inklusif ke masyarakat dan pada pemahaman mengenai Permendiknas No 70 tahun 2009 agar dalam pelaksanaannya sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan sehingga kendala dalam pelaksanaan pendidikan inklusif dapat diminimalisir.


(2)

ABSTRACT

IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION IN METRO CITY

by

INDAH PRATIWI

As contained in Law No. 20 of 2003 on the national education system, Article 5, paragraph 1, which asserts that every citizen has an equal right to obtain a quality education. This is called the concept of education for all. To accommodate children with special needs in the national education system was issued Ministerial Regulation No. 70 of 2009 on inclusive education for students who have disorders and have the intelligence and / or special talents.

The focus of this research on the problems of implementation of inclusive education in Metro City. In uncovering this issue, researchers used the theory of implementation of public policy belonging to Van Meter Van Horn. This research is a descriptive research with a qualitative approach . This research was conducted in Metro City.

In this research found several obstacles in the implementation of inclusive education in Metro City, divided into internal constraints and external constraints. For example, there are no special teachers who were special education and the difficulty in managing the classroom, also there are parents who do not agree that their children should learn with children with special needs.

The conclusion from this research are inclusive education in Metro City is not maximized and need to improvement. Visible from many constraints that occur in the implementation of inclusive education in inclusive schools in Metro City relating to the technical implementation. Therefore, it needs improvement of socialization regarding inclusive education to the public and the understanding of the Ministerial Regulation No. 70 of 2009 that the implementation in accordance with the prescribed rules so that the constraints in the implementation of inclusive education can be minimized.


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Indah Pratiwi, lahir di Kota Metropada13 September 1992. Penulis merupakan anak ke dua dari empat bersaudaradari pasangan Bapak H. Indra Kusuma dan Ibu Hj. Nursanti.

Penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-Kanak Pertiwi Metro pada tahun 1996-1997. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Pertiwi Teladan Metro pada tahun 1998-2004. Kemudian, pada tahun 2004-2007 penulis melanjutkan sekolah di SMPN 1 Metro. Selanjutnya pada tahun 2007-2010 penulis melanjutkan sekolah di SMAN 1 Metro. Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa pada jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik melalui jalur PKAB.


(8)

MOTO

Janganlah membuatmu putus asa dalam mengulang-ulang doa,

ketika Allah menunda ijabah doa itu. Dialah yang menjamin ijabah

doa itu menurut pilihanNya padamu, bukan menurut pilihan

seleramu. Kelak pada waktu yang dikehendakiNya, bukan menurut

waktu yang engkau kehendaki.

-

Ibnu Atha’ilah

-

The purpose of life is not to do what we want but what needs to be

done. This is what fate demands of us.

-Christopher Paolini-

”If you a t so ethi g you’ e e er had, you ust e illi g to do

so ethi g you’ e e er do e. Su ess is a jour ey, ot a desti atio ”


(9)

PERSEMBAHAN

Dengan menyebut nama Allah SWT...

Kupersembahakan Karya sederhana ini kepada:

Ayah dan Ibu serta Kakak dan Adik-adikku tercinta yang

selalu

Memberikan yang terbaik untukku

Terima kasih atas segala cinta, pengorbanan, kesabaran,

keikhlasan, dan do’a

dalam menanti keberhasilanku.

Keluarga besar yang senantiasa memberikan dorongan

kepadaku

Naunganku HIMAGARA

Teman, Sahabat, Adik, dan Kakak Tingkatku Yang Selalu

Memberi Warna dalam Hidupku


(10)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin tercurah segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT

yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Tak lupa shalawat serta salam penulis ucapkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, sang motivator bagi penulis untuk selalu ikhlas dan bertanggung jawab dalam melakukan segala hal. Atas segala kehendak dan kuasa Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan judul “IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA

METRO”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Administrasi Negara (SAN) pada jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang setulusnya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini antara lain:

1. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si, selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Dedy Hermawan, S.Sos, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu

Administrasi Negara.

3. Bapak Simon S Hutagalung, S.A.N.,M.P.A, selaku dosen pembimbing utama


(11)

4. Ibu Dra. Dian Kagungan M.H, selaku dosen penguji bagi penulis. Terimakasih ibu, atas masukan-masukan, saran, dan bimbingannya yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Meiliyana, S.IP., M.A., selaku pembimbing akademik yang telah

memberikan nasehat, arahan, ilmu, waktu, dan tenaga selama proses pendidikan hingga akhir.

6. Seluruh dosen Ilmu Administrasi Negara, terimakasih atas segala ilmu yang telah penulis peroleh di kampus dapat menjadi bekal yang berharga dalam kehidupan penulis ke depannya.

7. Ibu Nur sebagai staf jurusan Ilmu Administrasi Negara yang selalu memberikan pelayanan bagi penulis yang berkaitan dengan administrasi dalam penyusunan skripsi ini.

8. Pihak Dinas Pendidikan Kota Metro, TK Pertiwi Metro, SD Negeri 5 Metro

Timur, SMP Negeri 2 Metro, SMA Negeri 2 Metro, dan SLB Dharma Bhakti Dharma Pertiwi yang telah memberikan izin kepada penulis, memberikan informasi, masukan, kerjasama sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 9. Keluargaku tercinta, Ayah dan Ibu yang tak henti memberikan kasih

sayangnya, mendoakan, memberikan petuah, mendukungku dan menjadi motivator terbesar bagiku, terimakasih untuk pengorbanan baik dari segi moril maupun materil sehingga skripsi ini bisa terselesaikan. Kakakku Rahmat Setiawan dan adik-adikku Perdana Kusuma dan Wijaya Kusuma, terimakasih untuk semangat, dukungan, dan doa yang telah diberikan.


(12)

dan Feradita Anggraini, partner dalam segala hal yang selalu memberikan semangat.

11. Terima kasih untuk sahabatku Maya Larasati, Bunga Janati, dan Dwi Enggar

yang selalu bersamaku sejak awal masuk kuliah hingga saat ini. Terimakasih untuk kebersamaan dan bantuannya selama ini.

12. Terima kasih untuk sahabatku sejak SMA, Dian Pratiwi Yuningsih dan Ratih

Ria Paksi yang selalu menjadi penghibur dan selalu ngomongin banyak hal setiap ketemu.

13. Terima kasih untuk teman-teman seperjuanganku Himagara 2010, Nuzul, Karina, Nona, Shela, Cory, Mery terimakasih atas bantuannya dalam pengerjaan skripsi ini. Nurul, Hani, Tami, Maritha, Jodi, Fadri, Yogis, Anjas, Ade, Aris, Sari, Jeni, Ani, Selly, Dora, Gideon, Satria, Aden, Hepsa, Loy, Bogel, Wayan, Ardiansyah, Daus, Gery, Hadi, Ali Syamsuddien, Rachmani, Astria, Oyen, Erisa, Thio, Triyadi, Desmon, Dita, Abdu, Datas, Uyung, Pandu, Ali Imron, senang punya saudara seperti kalian, makasih atas kenangan yang sempat terukir dan semoga masih bisa ngukir kenangan manis yang lainnya.

14. Terima kasih untuk senior Himagara untuk adik Himagara 2011, 2012, dan 2013 yang tidak bisa ditulis satu persatu.

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan akan tetapi sedikit harapan semoga karya sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Tabel ... i

Daftar Bagan ... ii

Daftar Gambar ... iii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Kebijakan Publik ... 12

1. Konsep Kebijakan Publik ... 12

2. Bentuk Kebijakan Publik ... 14

3. Jenis Kebijakan Publik ... 15

4. Tujuan Kebijakan Publik ... 18

5. Proses Kebijakan Publik ... 20

B. Tinjauan Tentang Implementasi ... 24

C. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan ... 26

1. Konsep Implementasi Kebijakan ... 26

2. Model Implementasi Kebijakan ... 27

D. Tinjauan Pendidikan Inklusif ... 35

1. Konsep Pendidikan Inklusif ... 35

2. Landasan Pendidikan Inklusif ... 40

3. Tujuan Pendidikan Inklusif ... 43

4. Manfaat Manajemen Koperasi ... 46

5. Model Pendidikan Inklusif ... 48

E. Kerangka Pikir ... 50

III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ... 54


(14)

B. Fokus Penelitian ... 55

C. Lokasi Penelitian ... 57

D. Jenis Data dan Sumber Data ... 58

1. Jenis Data ... 58

2. Sumber Data ... 59

E. Instrumen Penelitian ... 60

F. Teknik Pengumpulan Data ... 61

G. Teknik Analisis Data... 62

H. Teknik Keabsahan Data ... 64

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Kota Metro ... 67

A. Kondisi Geografis dan Kondisi Administratif ... 68

B. Kondisi Demografi... 70

C. Pendidikan di Kota Metro ... 70

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 72

B. Pembahasan... 115

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 139

B. Saran ... 140 DAFTAR PUSTAKA


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Data Informan ... 59

Tabel 3.2 Dokumen-dokumen ... 60

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kota Metro ... 70

Tabel 4.2 Sebaran dan Kepadatan Penduduk di Kota Metro ... 70

Tabel 4.3 Fasilitas Pendidikan di Kota Metro ... 71

Tabel 5.1 Daftar ABK di SMAN 2 Metro Tahun 2013 ... 78

Tabel 5.2 Daftar ABK di SDN 5 Metro Timur ... 80

Tabel 5.3 Daftar ABK di SMPN 2 Metro ... 81

Tabel 5.4 Model Penilaian/Evaluasi Sekolah Inklusif ... 89


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 5.1 Siswa Autisme ... 82

Gambar 5.2 Proses Pembelajaran di Sekolah Inklusif ... 88

Gambar 5.3 Hasil Belajar Siswa ... 92

Gambar 5.4 Resource Room ... 94

Gambar 5.5 Sarana Penunjang ... 96


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan adalah sebuah proses yang melekat pada setiap kehidupan bersama dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Seperti yang diungkapkan oleh Jhon Dewey bahwa pendidikan dapat dipahami sebagai sebuah upaya konservatif dan progresif dalam bentuk pendidikan sebagai pendidikan sebagai formasi, sebagai rekapitulasi dan retrospeksi, dan sebagai rekonstruksi (Nugroho, 2008).

Pengertian di atas memberikan arah pemahaman bahwa pendidikan adalah sebuah kegiatan yang melekat pada setiap kehidupan bersama, atau dalam bahasa politik disebut sebagai negara-bangsa, dalam rangka menjadikan kehidupan bersama tersebut mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dan mengantisipasi perkembangan kehidupannya, maka pendidikan perlu ditatakembangkan oleh negara. Undang-Undang No. 20/2003 Pasal 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual


(18)

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan mempunyai arti penting bagi manusia, hal ini sesuai dalam pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tahun 1945 yang menyatakan bahwa salah satu tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara NKRI adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa inilah diperlukan layanan pendidikan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Layanan pendidikan ini dimulai dari usia dini sampai meninggal atau yang dikenal dengan konsep long life education.

Beberapa upaya pemerintah untuk mewujudkan cita-cita bangsa tersebut yaitu dengan perluasan akses dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pendidikan. Hal ini dilakukan melalui beberapa strategi, antara lain dengan mencanangkan Program Wajib Belajar 9 tahun dan recana pencapaian MDGs (Millenium Development Goals = Tujuan Pembangunan Millenium) nomor 2, yakni Penuntasan Pendidikan Dasar untuk Semua pada tahun 2015. Sebagai hasil upaya-upaya tersebut, pada tahun 2008, tercatat peningkatan sebesar 116,56% untuk angka partisipasi kasar (APK) dan 95,14% untuk angka partisipasi murni (APM) dalam penyelenggaraan pendidikan dasar (sumber: Data Rencana Strategis Kementrian Pendidikan Nasional 2010-2014).

Pasal 31 ayat 1 UUD RI Tahun 1945, menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Dalam pasal ini terlihat jelas mengandung prinsip yang universal dan non diskriminasi, karena setiap warga negara Indonesia, baik kaya miskin, laki-laki perempuan, tua muda, besar kecil, pintar


(19)

bodoh, normal cacat, dan sebagainya, berhak mendapatkan pendidikan. Karena pendidikan merupakan hak warga negara maka pemerintah berkewajiban untuk menyediakan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan warga negara Indonesia itu. Inilah yang disebut dengan konsep pendidikan education for all atau pendidikan untuk semua. UNESCO mencetuskan filsafat Educational for All yang mengandung makna bahwa pendidikan ada untuk semua atau wajib mengakomodasi keberagaman kebutuhan siswa yang normal maupun yang memiliki kebutuhan khusus. Filosofi Educational for All lahir sebagai konsekuensi logis dari adanya pernyataan Salamanca yang menegaskan perlu adanya penyelenggaraan pendidikan yang inklusif dan tidak diskriminatif (Wiyono, 2011).

Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur hal-hal mulai dari Pendidikan Usia Dini, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi untuk seluruh warga negara Indonesia bahkan warga negara asing yang mau belajar di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang tersebut. Selain Undang-Undang-undang nomor 20 tahun 2003, ada juga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang penyelenggaraan Pendidikan. Pada pasal 130 peraturan pemerintah ini menyebutkan bahwa:

(1) Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.


(20)

(2) Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan.

Di dunia ini Tuhan menciptakan manusia dengan keadaan yang berbeda-beda. Sudah menjadi kodratnya bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan yang tidak sama. Berbeda dari warna kulit, bentuk wajah, kemampuan intelektual dan kesempurnaan organ tubuh. Begitu juga dalam dunia pendidikan, ada anak yang cerdas, anak yang rata-rata dan anak yang kurang cerdas. Adapula anak yang berbakat di bidang olahraga, di bidang seni, di bidang matematika dan sains, yang terpenting adalah pemerintah harus menyediakan layanan pendidikan untuk anak-anak bangsa tersebut.

Saat ini banyak satuan pendidikan terutama sekolah yang menyediakan layanan pendidikan untuk anak-anak yang cerdas dan ada sekolah khusus untuk anak-anak berbakat di bidang olahraga. Sedangkan untuk anak-anak cacat fisik seperti tuna netra, tuna grahita, tuna rungu dan sebagainya juga sudah tersedia Sekolah Luar Biasa (SLB). Anak-anak yang demikian ini disebut dengan Anak Berkebutuhan Khusus.

Pelaksanaan kebijakan pendidikan di Indonesia hingga saat ini belum mampu menjangkau semua anak usia sekolah untuk mendapatkan layanan pendidikan yang memadai. Banyaknya anak berkebutuhan khusus yang belum dapat mengakses sekolah merupakan salah satu tantangan utama dalam mewujudkan komitmen tersebut. Rasanya tidak adil bahwa anak-anak yang berkebutuhan khusus ini mengenyam layanan pendidikan di sekolah luar biasa. Sebagai warga


(21)

negara Indonesia, mereka ini juga patut diakomodir dari sekolah umum, supaya dari aspek sosial dan psikologis mereka juga merasa menjadi bagian dari komunitas pendidikan umum di Indonesia. Diperkirakan di Indonesia, terdapat 95% anak berkebutuhan khusus yang belum mendapatkan layanan pendidikan (sumber: Data Direktorat Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus atau PKLK, 2006).

Sebelum meluncurkan program pendidikan inklusif, pemerintah mengeluarkan sebuah program yang dinamakan Pendidikan Integrasi. Pendidikan Integrasi merupakan sistem pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus dididik dalam sebuah kelas khusus dan kemudian diintegrasikan dalam kelas reguler setelah dianggap siap. Pendidikan integrasi ternyata belum mampu mengakomodir anak berkebutuhan khusus, karena disana mereka harus menyesuaikan diri dengan ketentuan sistem dan aktivitas kelas reguler. Tidak jarang juga anak berkebutuhan khusus dianggap aneh oleh guru dan para siswa reguler (Wiyono, 2011).

Untuk memenuhi hak bagi setiap warga negara khususnya anak berkebutuhan khusus usia sekolah dan untuk mengakomodir anak-anak berkebutuhan khusus dalam sistem pendidikan nasional, maka selama lebih dari 10 tahun terakhir, pemerintah membuat suatu kebijakan dalam dunia pendidikan yaitu Pendidikan Inklusif. Pendidikan inklusif telah dikembangkan berikut dengan penerbitan peraturan-peraturan pendukung, baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota (www.metrokotainklusi.org diakses pada tanggal 5 Januari 2014 pukul 19.50). Kebijakan ini menjadi penting karena sudah sejak lama anak


(22)

berkebutuhan khusus juga memiliki keinginan yang besar untuk belajar di sekolah reguler dan juga bersoalisasi dengan anak-anak normal (Wiyono, 2011).

Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Pasal 1 mengatur tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Pada pasal 1 Permendiknas menyatakan bahwa Pendidikan Inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Pendidikan inklusif pada hakekatnya memberikan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan memahami kesulitan pendidikan yang dialami oleh peserta didik. Namun pendidikan inklusif tidak melihat hambatan tersebut dari sisi anak, melainkan dari sistem pendidikannya sendiri. Misalnya kurikulum yang tidak sesuai, sarana dan prasarana yang belum memadai, guru yang belum bisa

melayani secara optimal, dan sebagainya. Lalu Pendidikan inklusif

mengindentifikasi hambatan dan kesulitan dan mengupayakan sekolah untuk dapat meningkatkan kemampuan untuk dapat mengatasi hambatan dan kesulitan tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan mereka. Pendidikan inklusif juga merupakan suatu proses untuk menghilangkan penghalang yang memisahkan peserta didik berkebutuhan khusus dari peserta didik normal agar mereka dapat belajar dan bekerja sama secara efektif dalam satu sekolah.


(23)

Tujuan Pendidikan Inklusif yang pertama adalah untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Kedua, dengan adanya pendidikan inklusif dapat mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Pendidikan inklusif diselenggarakan di sekolah inklusif, yaitu sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama. Di setiap sekolah reguler disamping guru mata pelajaran, juga disiapkan Guru Pembimbing Khusus (GPK) yang dengan telaten melayani anak-anak berkebutuhan khusus ini (sumber: www.metrokotainklusi.org di akses pada tanggal 5 Januari 2014 pukul 19.50).

Pendidikan inklusif merupakan sebuah proses panjang yang membutuhkan perubahan dalam sistem pendidikan. Perubahan tersebut ditujukan untuk melibatkan dan memenuhi kebutuhan semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, dalam layanan pendidikan yang terbuka, ramah dan bebas hambatan. Proses perubahan dalam pendidikan inklusif mencakup, sosialisasi berkelanjutan, kebijakan dan perencanaan yang berpihak, serta penyelenggaraan kolaboratif. Penyelenggaraan kolaboratif ditujukan untuk memaksimalkan sumber daya dan meminimalisir tantangan yang dihadapi. Sumber daya dan tantangan tersebut, antara lain terkait dengan identifikasi dan asesmen, pengembangan kurikulum dan strategi pengajaran, sistem ujian, peningkatan kompetensi tenaga pendidik dan kependidikan, pengelolaan, dan pembiayaan. (Tim ASB, 2011)


(24)

Disisi lain, pendidikan inklusif tidak hanya bermanfaat bagi anak berkebutuhan khusus, tetapi juga bermanfaat bagi pihak yang terlibat di dalamnya. Para guru juga akan mendapat keuntungan dari penyelenggaraan pendidikan inklusif dalam hal pengembangan kapasitas mengajar. Melalui proses pembelajaran yang inklusif, guru akan termotivasi untuk mengeksplorasi ide dan inovasi guna merespon kebutuhan individu semua anak dengan lebih baik dan efektif.

Karakteristik Pendidikan Inklusif sendiri adalah bahwa anak berkebutuhan khusus dapat belajar dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama dengan anak-anak normal lainnya. Selain itu, anak berkebutuhan khusus juga memperoleh layanan pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Dalam Pendidikan Inklusif sistem pendidikan disesuaikan dengan kondisi anak.

Salah satu kota yang menjalankan Pendidikan Inklusif adalah Kota Metro. Kota Metro telah ditunjuk oleh pemerintah pusat untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif sejak tahun 2012. Pencanangan Kota Metro sebagai kota penyelenggara Pendidikan Inklusif sejalan dengan visi Kota Metro yaitu mewujudkan Kota Metro menjadi Kota Pendidikan (sumber: www.metrokotainklusi.org di akses tanggal 5 Januari 2014 pukul 19:50).

Sebagai langkah awal ditetapkannya Kota Metro sebagai penyelenggara pendidikan inklusif, telah diterbitkan Peraturan Walikota Metro nomor 34 tahun 2012 tentang Penyelenggaran Pendidikan Inklusif di Kota Metro. Pengembangan sistem pendidikan ini tidak hanya ditujukan untuk anak berkebutuhan khusus, tetapi lebih ditekankan pada peningkatan kualitas pendidikan bagi semua. Selanjutnya telah dilakukan sosialisasi kepada para stakeholder pendidikan


(25)

tentang pendidikan inklusif ini. Pemerintah Kota Metro memberikan kuota terhadap 150.000 jiwa penduduk Lampung atau 5 % yang merupakan anak berkebutuhan khusus bisa masuk pendidikan disekolah-sekolah yang ada di sekitar mereka. Juga menunjuk 18 sekolah untuk melakukan pendidikan inklusif, mendidik 30 orang guru untuk menjadi guru pembimbing khusus, dan sudah terdapat 1 SLB Negeri dan 2 SLB swasta (sumber: www.sapdajogja.org di akses tanggal 5 Januari 2014 pukul 21:00).

Dalam pertemuan tingkat tinggi Bupati dan Walikota untuk kota-kota inklusi yang diselenggarakan di Yogyakarta pada April 2013 lalu, Walikota Metro Bapak Lukman Hakim menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan pendidikan inklusif di Kota Metro terdapat beberapa kendala. Salah satunya muncul dalam hal mengoptimalkan anggaran dalam APBD untuk mengatasi permasalahan pendidikan inklusi (sumber: www.sapdajogja.org di akses tanggal 5 Januari 2014 pukul 21:00). Selain itu berdasarkan hasil pra riset yang dilakukan peneliti di SMP Negeri 2 Metro, masalah lain juga muncul pada proses pelaksanaan pada setiap sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Metro. Hal ini diungkapkan oleh Ibu Lia Panji Kesuma, S.Pd selaku guru di SMP Negeri 2 Metro bahwa tidak semua guru dan murid dapat menerima sepenuhnya anak berkebutuhan khusus untuk dapat belajar dalam satu ruangan bersama mereka, karena menganggap bahwa anak berkebutuhan khusus hanya akan menggangu proses belajar mengajar. Para guru pun belum tentu memiliki kemampuan untuk dapat menyampaikan materi kepada anak berkebutuhan khusus.


(26)

Pemerintah Kota Metro mempunyai kewajiban sebagai penyelenggara pembangunan untuk bisa memfasilitasi para penyandang disabilitas atau anak-anak berkebutuhan khusus di segala bidang, baik pelayanan dasar, infrastruktur, maupun kebijakan regulasi. Selain itu kerjasama seluruh masyarakat dalam kehidupan sosial para penyandang disabilitas atau anak berkebutuhan khusus merupakan hal yang tidak kalah penting untuk dilakukan. Pemerintah Kota Metro mengimbau masyarakat Metro untuk dapat memberikan ruang kepada para penyandang disabilitas maupun anak berkebutuhan khusus dengan menerima menjadi bagian dari masyarakat, serta dapat menghormati hak-hak mereka yang sama.

Pemerintah Kota Metro mempunyai visi untuk menjadikan Kota Metro menjadi kota Pendidikan Inklusif. Tentu saja tahapan demi tahapan untuk melaksanakan kota Pendidikan Inklusif dilaksanakan dengan sistematis dan terstruktur. Melihat begitu pentingnya Pendidikan Inklusif di Kota Metro, maka penyelenggaraan pendidikan inklusif menjadi sangat penting. Namun dengan masih banyaknya permasalahan yang terjadi seperti kendala dalam anggaran dan kesulitan guru dalam memenej kelas, dimana permasalahan-permasalahan tersebut berkaitan dengan implementasi pendidikan inklusif, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Implementasi Pendidikan Inklusif di Kota Metro”.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka perumusan masalahnya adalah:


(27)

2. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam pelaksanaan Pendidikan Inklusif di Kota Metro?

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan-permasalahan pokok yang terdapat dalam penelitian ini, maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti yaitu sebagai berikut:

1. Menganalisis pelaksanaan Program Pendidikan Inklusif di Kota Metro.

2. Menganalisis kendala-kendala yang dihadapi Kota Metro dalam pelaksanaan Pendidikan Inklusif.

D.Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat menjadi kontribusi pengembangan konsep dalam Ilmu Administrasi Publik, khususnya studi Implementasi Kebijakan Publik;

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi dasar Dinas Pendidikan Kota Metro dan sebagai penyempurnaan kebijakan khususnya kebijakan pendidikan di waktu yang akan datang.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Kebijakan Publik

1. Konsep Kebijakan Publik

Eyestone dalam Winarno (2012:20) mengatakan bahwa secara luas kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Sementara itu menurut James Anderson kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Laswell mendefinisikan kebijakan publik sebagai program proyeksi tujuan, nilai-nilai, dan praktik. Easton melihat itu sebagai dampak dari kegiatan pemerintah. Austin Ranney melihat kebijakan publik sebagai cara yang dipilih dari tindakan atau deklarasi niat (Nugroho, 2008:32).

Selain itu, Thomas R. Dye dalam Nugroho (2008) mengatakan bahwa kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda merupakan pemahaman yang paling banyak dikembangkan. Dikatakannya demikian:

Public policy is whatever government choose to do or not to do. Government do many things. Note that we are focusing not only on


(29)

government action but also on government in action, that is, what government choose not to do. We contend that government in action can have just as great an impact on society as government action.” Public policy is what government do, what they do it, and what difference it makes

Definisi diatas dapat diartikan kebijakan publik adalah apa saja yang pemerintah memilih untuk melakukan atau tidak melakukan. Pemerintah melakukan banyak hal. Perhatikan bahwa kita fokus tidak hanya pada tindakan pemerintah tetapi juga pada pemerintah dalam tindakan, yaitu, apa yang pemerintah memilih untuk tidak melakukannya. Kami berpendapat bahwa pemerintah dalam tindakan dapat memiliki hanya sebagai besar berdampak pada masyarakat sebagai tindakan pemerintah. Kebijakan publik adalah apa yang pemerintah, apa yang mereka lakukan itu, dan apa bedanya (Nugroho, 2008).

David Easton memahami kebijakan publik alokasi nilai-nilai yang dilakukan oleh pemerintah secara otorotatif. Dikatakan demikian:

The authorithative allocation of value for the whole society but is turns out that only the government can authoritatively act on the “whole” society, and everything that government choose to do or not to do results in the allocation of values.

Pernyataan diatas dapat diartikan alokasi otoritatif nilai bagi seluruh masyarakat tetapi ternyata bahwa hanya pemerintah otoritatif dapat bertindak pada seluruh masyarakat, dan segala sesuatu yang pemerintah memilih untuk melakukan atau tidak melakukan hasil dalam alokasi nilai-nilai. Nugroho (2012:123) secara sederhana mengatakan bahwa kebijakan publik adalah setiap keputusan yang dibuat oleh negara, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal,


(30)

memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan.

Dari definisi-definisi diatas, penulis memilih definisi kebijakan publik menurut Riant Nugroho yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai setiap keputusan yang dibuat oleh negara, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan. Dari definisi-definisi tersebut juga dapat dikenali ciri-ciri kebijakan publik. Pertama, kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh negara, yaitu berkenaan dengan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kedua, kebijakan publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik, dan bukan mengatur kehidupan orang seorang atau golongan. Kebijakan publik mengatur semua yang ada pada wilayah (domain) lembaga publik. Kebijakan publik mengatur masalah bersama, atau masalah pribadi atau golongan, yang sudah menjadi masalah bersama dari seluruh masyarakat di daerah itu. Ketiga, dikatakan sebagai kebijakan publik jika terdapat tingkat eksternalitas yang tinggi, yaitu dimana pemanfaat atau yang terpengaruh bukan saja pengguna langsung kebijakan publik, tetapi juga yang tidak langsung.

2. Bentuk kebijakan publik

Undang-undang No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 mengatur jenis hierarki Peraturan Perundang-Perundang-undangan sebagai berikut:


(31)

2. Tap MPR

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah Provinsi

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Ketujuh produk tersebut merupakan bentuk pertama kebijakan publik, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi secara formal dan legal.

Pemahaman kontinentalis mengelompokkan kebijakan publik menjadi tiga, yaitu: 1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yaitu

kelima peraturan yang disebut di atas.

2. Kebijakan publik yang bersifat messo atau menengah, atau penjelas

pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Bupati, dan Peraturan Wali Kota. Kebijakannya dapat pula berbentuk Surat Keputusan Bersama atau SKB antar-menteri, gubernur, dan bupati atau wali kota.

3. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi kebijakan di atasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah menteri, gubernur, bupati, dan wali kota (Nugroho, 2012:131).

3. Jenis Kebijakan


(32)

1. Constituent

Menurut Theodore Lowi dalam Nugroho (2012:137), kebijakan constituent

dipahami sebagai berikut:

constituent policies are policies formally and explicitly concern with the establishment of government structure, with the establishment of rules (or procedures) for the conduct of government, of rules that distribute or divide power and jurisdictions within which present and future government policies might be made.

Pernyataan diatas dapat diartikan kebijakan konstituen adalah kebijakan formal dan eksplisit keprihatinan dengan pembentukan struktur pemerintahan, dengan pembentukan aturan atau prosedur untuk pelaksanaan pemerintahan, aturan yang mendistribusikan atau membagi kekuasaan dan yurisdiksi di mana kebijakan pemerintah sekarang dan masa depan bisa dibuat. Ini adalah jenis kebijakan yang membuktikan keberadaan negara, termasuk di dalamnya kebijakan tentang keamanan negara.

2. Distributive

Kebijakan distributive adalah kebijakan yang berkenaan dengan alokasi layanan atau manfaat untuk segmen atau kelompok masyarakat tertentu dari suatu populasi, termasuk di dalamnya kebijakan pembangunan irigasi oleh pemerintah untuk kelompok petani pangan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, Pendidikan Inklusif termasuk dalam jenis kebijakan distributive karena memberikan manfaat atau layanan pada kelompok tertentu dalam masyarakat dalam hal ini adalah Anak Berkebutuhan Khusus.


(33)

3. Regulatory

Kebijakan regulatory adalah kebijakan yang memaksakan batasan atau larangan perilaku tertentu bagi individu ataupun kelompok. Kebijakan regulatory biasanya dibuat untuk mengatasi konflik yang terjadi di antara kelompok, termasuk di dalamnya kebijakan antimonopoli, kebijakan ketenagakerjaan, dan kebijakan kesetaraan gender.

Ada juga kebijakan yang bersifat spesifik untuk membatasi persaingan atau competitive regulatory policies yang membatasi jumlah pelaku bisnis dalam industri tertentu agar tidak terjadi persaingan yang saling membunuh. Misalnya, pembatasan jumlah industri televisi siaran, industri telekomunikasi, atau industri semen.

4. Self regulatory

Kebijakan self regulatory hampir sama dengan regulatory, hanya kebijakannya dirumuskan oleh para pelakunya, misalnya kebijakan tentang praktik dokter bagi mereka yang menjadi anggota dokter profesional atau praktik akuntan bagi mereka yang sudah mempunyai sertifikasi akuntan profesional. Hal yang sama juga dirumuskan bagi para pengacara dan pengusaha-terikut perizinan sebagai anggota Kadin atau industri tertentu, misalnya Asosiasi Kontraktor.

5. Redistributive

Kebijakan redistributive berkenaan dengan upaya pemerintah untuk memberikan pemindahan alokasi kesejahteraan, kekayaan, atau hak-hak dari kelompok tertentu di masyarkat, yaitu kelompok kaya atau sejahtera, ke kelompok lain, yaitu kelompok miskin atau berkekurangan. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang


(34)

pelik karena berkenaan dengan uang, hak, dan kekuasaan yang harus diperbagikan ulang.

Selain lima jenis kebijakan tersebut, Anderson dalam Nugroho (2012:138) juga mengembangkan pemahaman tentang dua jenis kebijakan atas dasar kenampakan (tangibility), yaitu kebijakan yang berkenaan dengan manfaat (atau larangan) yang material, atau tampak, atau kasatmata, misalnya pelayanan kesehatan, subsidi pendidikan, dan lain-lain. Sementara itu, kebijakan simbolik adalah kebijakan yang memberikan manfaat (atau larangan) yang bersifat simbolik.

4. Tujuan Kebijakan Publik

Tujuan kebijakan publik dapat dibedakan dari sisi sumber daya atau risoris, yaitu antara kebijakan publik yang bertujuan men-distribusi sumber daya negara dan yang bertujuan menyerap sumber daya negara. Pemahaman pertama adalah distributif versus absortif.

Kebijakan absorptif adalah kebijakan yang menyerap sumber daya, terutama sumber daya ekonomi dalam masyarakat yang akan dijadikan modal atau biaya untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Kolb dalam Nugroho (2012) kebijakan ini juga sering disebut extractive policy, dan termasuk di dalamnya dan terutama adalah kebijakan perpajakan.

Menurut Kolb dalam Nugroho (2012) Kebijakan yang berdiri diametral dengan kebijakan absorptif adalah kebijakan distributif, yaitu kebijakan yang secara langsung atau tidak langsung mengalokasikan seumber-sumber daya material ataupun nonmaterial ke seluruh masyarakat Sering kali ada ilmuwan yang


(35)

membedakannya dengan kebijakan redistributive. Pada dasarnya, keduanya bermakna sama, hanya berbeda dalam sekuensi.

Ada juga yang mempergunakan istilah alokatif, yang mempunyai makna sama dengan distributif, namun lebih menekankan pada lokus atau ruang tempat adanya distribusi. Kebijakan distributif murni misalnya kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan dari daerah untuk menguasai dan mengelola sejumlah sumber daya. Kebijakan redistributif, biasanya merupakan koreksi kebijakan distributif sebelumnya yang menciptakan bias kebijakan, seperti kebijakan kenaikan BBM yang diimbangi dengan kebijakan redistributif subsidi BBM dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Kebijakan absorptif misalnya kebijakan perpajakan yang menghimpun pendapatan untuk negara-untuk kemudian didistribusikan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan nasional.

Pemilahan kedua dari tujuan kebijakan adalah regulatif versus deregulatif. Kebijakan regulatif bersifat mengatur dan membatasi, seperti kebijakan tarif, kebijakan pengadaan barang dan jasa, kebijakan HAM, kebijakan proteksi industri, dan sebagainya. Kebijakan deregulatif bersifat membebaskan, seperti kebijakan privatisasi, kebijakan penghapusan tarif, dan kebijakan pencabutan daftar negatif investasi.

Pemilahan ketiga adalah dinamisasi versus stabilisasi. Kebijakan dinamisasi adalah kebijakan yang bersifat menggerakkan sumber daya nasional untuk

mencapai kemajuan tertentu yang dikehendaki. Misalnya, kebijakan

desentralisasi, kebijakan zona industri eksklusif, dan lain-lain. Kebijakan stabilisasi bersifat mengerem dinamika yang terlalu cepat agar tidak merusak


(36)

sistem politik, keamanan, ekonomi, maupun sosial. Kebijakan ini misalnya kebijakan pembatasan transaksi valas, kebijakan penetapan suku bunga, dan kebijakan tentang keamanan negara.

Pemilahan keempat adalah kebijakan yang memperkuat negara versus memperkuat pasar. Kebijakan yang memperkuat negara adalah kebijakan-kebijakan yang mendorong lebih besar peran publik atau mekanisme pasar daripada peran negara. Kebijakan yang memperkuat negara misalnya kebijakan tentang pendidikan nasional yang menjadikan negara sebagai pelaku utama pendidikan nasional daripada publik. Kebijakan yang memperkuat pasar atau publik misalnya kebijakan privatsisasi BUMN, kebijakan perseroan terbatas, dan lain-lain.

Dari pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan kebijakan publik dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Mendistribusi sumber daya negara kepada masyarakat, termasuk alokatif, realokatif, dan redistribusi, versus mengabsorpsi atau menyerap sumber daya ke dalam negara.

b. Regulatif versus deregulatif c. Dinamisasi versus stabilisasi

d. Memperkuat negara versus memperkuat masyarakat/pasar (Nugroho,

2012:138-140).

5. Proses Kebijakan Publik


(37)

Bagan 2.1 Proses Kebijakan Publik

Sumber: Nugroho (2012:185)

Gambar tesebut dapat dijelaskan dalam sekuensi berikut:

1. Isu kebijakan. Disebut isu apabila bersifat strategis, yakni bersifat mendasar, yang menyangkut banyak orang atau bahkan keselamatan bersama, (biasanya) berjangka panjang, tidak bisa diselesaikan oleh orang-seorang, dan memang harus diselesaikan. Isu ini diangkat sebagai agenda politik untuk diselesaikan. Isu kebijakan terdiri atas dua jenis, yaitu problem dan goal. Artinya, kebijakan publik dapat berorientasi pada permasalahan yang muncul pada kehidupan publik, dan dapat pula berorientasi pada goal atau tujuan yang hendak dicapai pada kehidupan publik. Pada saat itu, sebagian besar kebijakan publik mengacu pada permasalahan darpada antisipasi ke depan, dalam bentuk goal oriented policy, sehingga dalam banyak hal kita melihat kebijakan publik yang berjalan tertatih-tatih di belakang masalah publik yang terus bermunculan dan akhirnya semakin tak tertangani.

2. Isu kebijakan ini kemudian menggerakkan pemerintah untuk merumuskan kebijakan publik dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut. Rumusan kebijakan ini akan menjadi hukum bagi seluruh negara dan warganya termasuk pimpinan negara.

Isu kebijakan

Evaluasi

Implementasi Perumusan


(38)

3. Setelah dirumuskan, kebijakan publik ini kemudian dilaksanakan baik oleh pemerintah atau masyarakat maupun pemerintah bersama-sama dengan masyarakat.

4. Namun, dalam proses perumusan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan,

diperlukan tindakan evaluasi sebagai sebuah siklus baru untuk dinilai apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan dengan baik dan benar dan diimplementasikan dengan baik dan benar pula.

5. Implementasi kebijakan bermuara pada output yang dapat berupa kebijakan itu sendiri ataupun manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh pemanfaat. 6. Dalam jangka panjang, kebijakan tersebut menghasilkan outcome dalam

bentuk impak kebijakan yang diharapkan semakin meningkatkan tujuan yang hendak dicapai dengan kebijakan tersebut.

Dengan melihat skema diatas, terdapat tiga kegiatan pokok yang berkenaan dengan kebijakan publik, yaitu:

1. Perumusan kebijakan

2. Implementasi kebijakan

3. Evaluasi kebijakan dan, dengan penambahan:

4. Revisi kebijakan, yang merupakan perumusan kembali dari kebijakan.

Pemahaman sederhana tersebut sebenarnya mempunyai bentuk yang lengkap sebagai berikut:


(39)

Bagan 2.2 Proses Kebijakan Publik

Sumber: Nugroho (2012:186)

Sebuah isu, baik berupa masalah bersama maupun tujuan bersama, ditetapkan sebagai suatu isu kebijakan. Dengan isu kebijakan ini, dirumuskan dan ditetapkan kebijakan publik. Kebijakan ini kemudian diimplementasikan atau implementasi kebijakan. Pada saat implementasi dilakukan pemantauan atau monitoring untuk memastikan implementasi kebijakan konsisten dengan rumusan kebijakan. Hasil implementasi kebijakan adalah kinerja kebijakan. Pada saat inilah diperlukan evaluasi kebijakan. Evaluasi yang pertama berkenaan dengan seberapa jauh kebijakan mencapai hasil yang diharapkan. Selanjutnya, dilakukan evluasi secara paralel pada implementasi kebijakan, rumusan kebijakan, dan lingkungan tempat kebijakan dirumuskan, diimplementasikan, dan berkinerja. Hasil evaluasi menentukan apakah kebijakan dilanjutkan ataukah membawa isu kebijakan yang

Implementa si kebijakan Isu kebijakan (baru) Penghentian kebijakan Revisi kebijakan Isu kebijakan Perumusan kebijakan Kinerja kebijakan Pelanjutan kebijakan Monitoring kebijakan Lingkungan Kebijakan Evaluasi kebijakan


(40)

baru, yang mengarah pada dua pilihan: diperbaiki atau revisi kebijakan, ataukah dihentikan, penghentian kebijakan. (Nugroho, 2012:185-187)

Sedangkan tahap – tahap kebijakan publik menurut Dunn dalam Winarno (2012: 36 – 37) adalah sebagai berikut:

Perumusan Agenda

Formulasi Kebijakan

Adopsi Kebijakan

Implementasi kebijakan

Evaluasi Kebijakan

B. Tinjauan Tentang Implementasi

Ripley dan Franklin dalam Winarno (2012:148) berpendapat bahwa implementasi adalah apa yag terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Lebih jauh menurut mereka, implementasi mencakup banyak kegiatan. Pertama, badan-badan pelaksana yang ditugasi oleh undang-undang dengan tanggung jawab menjalankan program harus mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan agar implementasi berjalan lancar. Sumber-sumber ini meliputi personil, peralatan, lahan tanah, bahan-bahan mentah, dan diatas semuanya yaitu uang. Kedua, badan-badan pelaksana menegembangkan bahasa anggaran dasar menjadi arahan-arahan konkret, regulasi, serta


(41)

mengorganisasikan kegiatan-kegiatan mereka dengan menciptakan unit-unit birokrasi dan rutinitas untuk mengatasi beban kerja. Akhirnya, badan-badan pelaksana memberikan keuntungan atau pembatasan kepada para pelanggan atau kelompok-kelompok target. Mereka juga memberikan pelayanan atau pembayaran atau batasan-batasan tentang kegiatan atau apapun lainnya yang bisa dipandang sebagai wujud dari keluaran yang nyata dari suatu program (Winarno, 2012:148-149).

Sementara itu, Grindle dalam Winarno (2012:149) juga memberikan pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu ikatan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Selanjutnya, Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2012:149) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.

Dari definisi-definisi diatas peneliti memilih definisi implementasi menurut van Meter dan van Horn dalam Winarno (2012:149) yang membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.


(42)

C. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan

1. Konsep Implementasi Kebijakan

Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier dalam bukunya Implementation and Public

Policy yang dikutip oleh Agustino (2008:139) mendefinisikan Implementasi Kebijakan sebagai:

”Pelaksana keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya”.

Sedangkan, Van Meter dan Van Horn (1975), mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabt-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.

Dari dua definisi tersebut dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; (2) adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan; dan (3) adanya hasil kegiatan. (Agustino, 2008:139)

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Kebijakan publik dalam


(43)

bentuk undang-undang atau Peraturan Daerah adalah jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung dioperasionalkan antara lain Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Daerah, Keptusan Kepala Dinas, dan lain-lain (Nugroho, 2012:674-675).

Pengertian implementasi di atas apabila dikaitkan dengan kebijakan adalah bahwa sebenarnya kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat dalam suatu bentuk positif seperti undang-undang dan kemudian didiamkan dan tidak dilaksanakan atau diimplmentasikan, tetapi sebuah kebijakan harus dilaksanakan atau diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu.

2. Model Implementasi Kebijakan

Sebagaimana dikemukakan oleh Peter de Leon dan Linda deLeon dalam Nugroho (2012), pendekatan-pendekatan dalam implementasi kebijakan publik dapat dikelompokkan menjadi tiga generasi. Generasi pertama, yaitu pada tahun 1970-an, memahami implementasi kebijakan sebagai masalah-masalah yang terjadi antara kebijakan dan eksekusinya. Peneliti yang mempergunakan pendekatan ini antara lain Graham T. Allison dengan studi kasus misil kuba (1971, 1999). Pada generasi ini implementasi kebijakan berhimpitan dengan studi pengambilan keputusan di sektor publik. Generasi kedua, tahun 1980-an, adalah generasi yang mengembangkan pendekatan implementasi kebijakan yang bersifat dari atas ke bawah (top-downer perspective). Perspektif ini lebih fokus pada tugas birokrasi


(44)

untuk melaksanakan kebijakan yang telah diputuskan secara politik. Para ilmuwan sosial yang mengembangkan pendekatan ini adalah Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (1983), Robert Nakamura dan Frank Smallwood (1980), dan Paul Berman (1980). Pada saat yang sama, muncul pendekatan bottom-upper yang dikembangkan oleh Michael Lipsky (1971, 1980), dan Benny Hjern (1982, 1983). Generasi ketiga, 1990-an, dikembangkan oleh ilmuwan sosial Malcolm L. Goggin (1990), memperkenalkan pemikiran bahwa variabel perilaku aktor pelaksanakan implementasi kebijakan lebih menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Pada saat yang sama muncul pendekatan kontijensi atau situasional dalam implementasi kebijakan yang mengemukakan bahwa implementasi kebijakan banyak di dukung oleh adaptabilitas implementasi kebijakan tersebut (Nugroho, 2012:682-683).

Menurut teori implementasi kebijakan Donald Van Metter dan Carl Van Horn dalam Agustino (2008:141), terdapat enam variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik, yaitu:

1. Ukuran dan tujuan kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika-dan-hanya-jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang mengada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan di level warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.


(45)

2. Sumber daya

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumber daya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit untuk diharapkan.

Tetapi diluar sumber daya manusia, sumber daya lain yang perlu diperhitungkan juga ialah sumber daya finansial dan sumber daya waktu. Karena itu sumber daya yang diminta dan dimaksud oleh Van Metter dan Van Horn adalah ketiga bentuk sumber daya tersebut.

3. Karakteristik Agen Pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan (publik) akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.


(46)

4. Sikap/Kecenderungan (Disposition) para Pelaksana

Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan implementor pelaksanaan adalah kebijakan dari atas (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebtuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.

5. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana

Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.

6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik

Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Metter dan Van Horn adalah, sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal. (Agustino, 2008: 141-144)


(47)

Menurut teori implementasi kebijakan Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier dalam Agustino (2008:144), variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan pada proses implementasi dapat dikategorikan menjadi tiga kategori besar, yaitu:

1. Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap, meliputi: a. Kesukaran-kesukaran teknis

b. Keberagaman perilaku yang diatur

c. Presentase totalitas penduduk yang tercakup dalam kelompok sasaran d. Tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki

2. Kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara tepat

Para pembuat kebijakan mendayagunakan wewenang yang dimilikinya untuk menstruktur proses implementasi secara tepat melalui beberapa cara:

a. Kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi yang akan dicapai

b. Keterandalan teori kausalitas yang diperlukan c. Ketetapan alokasi sumber dana

d. Keterpaduan hirarki di dalam lingkungan dan diantara lembaga-lembaga atau instansi-instansi pelaksana

e. Aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana

f. Kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-undang

g. Akses formal pihak-pihak luar

3. Variabel-variabel diluar undang-undang yang mempengaruhi implementasi


(48)

b. Dukungan publik

c. Sikap dan sumber-sumber yang dimilikikelompok masyarakat

d. Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana

(Agustino 2008:144-148)

Menurut teori implementasi kebijakan George C. Edward III dalam Agustino (2008:149), terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu:

1. Komunikasi

Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai (atau digunakan) dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi, yaitu:

a. Transmisi

b. Kejelasan

c. Konsistensi

2. Sumber Daya

Indikator sumber daya terdiri dari beberapa elemen, yaitu:

a. Staf

b. Informasi

c. Wewenang

d. Fasilitas

3. Disposisi

Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi adalah:

a. Pengangkatan birokrat


(49)

4. Struktur Birokrasi

Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebagiankan sumber daya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik. (Agustino 2008:149-153).

Menurut teori implementasi kebijakan Merilee S. Grindle dalam Agustino (2008:154), terdapat dua variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik. Keberhasilan implementasi suatu kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir (outcomes), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin diraih. Hal ini dikemukakan oleh Grindle, dimana pengukuran keberhasilan implementasi kebijakan tersebut dapat dilihat dari dua hal, yaitu:

1. Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan

kebijakan sesuai dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi kebijakannya.

2. Apakah tujuan kebijakan tercapai. Dimensi ini diukur dengan melihat dua faktor, yaitu:

a. Impak atau efeknya pada masyarakat secara individu dan kelompok

b. Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan perubahan yang terjadi.


(50)

Keberhasilan suatu implementasi kebijakan publik, juga menurut Grindle, amat ditentukan oleh tingkat implementability kebijakan itu sendiri, yang terdiri atas Content of Policy dan Context of Policy (1980:5).

1. Content of Policy menurut Grindle adalah:

a. Interest Affected (kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi) b. Type of Benefits (tipe manfaat)

c. Extent of Change Envision (derajat perubahan yang ingin dicapai) d. Site of Decision Making (letak pengambilan keputusan)

e. Program Implementer (pelaksana program)

f. Resources Committed (sumber-sumber daya yang digunakan)

2. Context of Policy menurut Grindle adalah:

a. Power, Interest, and Strategy of Actor Involved (kekuasaan, kepentingan-kepentingan, dan strategi dari aktor yang terlibat.

b. Institution and Regime Characteristic (karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa)

c. Compliance and Responsiveness (tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana)

Dari penjelasan beberapa teori diatas mengenai implementasi kebijakan publik maka pada penelitian ini peneliti menggunakan teori implementasi kebijakan publik dari Donald Van Metter dan Carl Van Horn. Pada model ini terdapat enam variabel yang saling berkaitan yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik yaitu ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya, karakteristik agen pelaksana, sikap/kecenderungan (disposition) para pelaksana, komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana, dan lingkungan ekonomi sosial politik (Agustino, 2008).


(51)

Van Meter dan Van Horn memberikan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang menghubungkan kebijakan dengan kinerja kebijakan. Model ini menegaskan bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep yang penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut maka permasalahan yang perlu dikaji dalam hubungan ini adalah mengenai hambatan, tingkat efektifitas mekanisme-mekanisme kontrol pada setiap jenjang struktur, dan keterikatan masing-masing

orang dalam organisasi atau masalah kepatuhan (sumber:

http://mulyono.staff.uns.ac.id diakses pada tanggal 24 februari 2014 pukul 14.35).

D. Tinjauan Tentang Pendidikan Inklusif

1. Konsep Pendidikan Inklusif

Inklusif merupakan sebuah kata yang berasal dari terminologi Inggris yakni inclusion yang berarti termasuknya atau pemasukan. Prinsip pendidikan inklusif pertama kali diadopsi pada konverensi dunia di Salamanca tentang pendidikan kebutuhan khusus tahun 1994: Hildegun Olsen dalam Tarmansyah (2009) mengemukakan:

Inclusive education means that schools should accommodate all children regardless of physical, intelletual, social emotional, linguistic or other condition. This should include disabled and gifted children, street and working children, children from rewmote or nomadic population, children from linguistic, ethnic or cultural minorities and childen from other disavantage or marginalised areas or group

Pengertian diatas dapat diartikan yaitu Pendidikan inklusif berarti sekolah harus mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual,


(52)

sosial, emosional, linguistik atau kondisi lainnya. Ini harus mencakup anak-anak penyandang cacat dan berbakat, anak-anak jalanan dan pekerja, anak yang berasal dari populasi terpencil atau yang berpindah-pindah, anak dari kelompok etnis minoritas, linguistik atau budaya dan anak-anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung atau termarjinalisasi (Tarmansyah, 2009).

Pendidikan inklusif pada hakikatnya terkait dengan perubahan pada sekolah bukan perubahan pada anak. Seperti halnya perubahan dalam suatu sistem, perubahan dalam pendidikan inklusif merupakan proses panjang yang tidak dapat dicapai dalam waktu singkat, perubahan terjadi sejalan dengan pemahaman dan komitmen semua pihak penyelenggara pendidikan, terutama sekolah dalam menerapkan prinsip-prinsip pendidikan inklusif.

Inti pendidikan inklusif adalah hak azasi manusia atas pendidikan yang dituangkan pada Deklarasi Hak Azasi manusia tahun 1949 yang sama pentingnya adalah hak anak agar tidak didiskriminasikan, hal ini dimuat dalam artikel 2 Konvensi Hak Anak (PBB, 1989). Suatu konsekuensi logis dari hak ini adalah bahwa semua anak mempunyai hak untuk menerima pendidikan yang tidak didiskriminasikan dengan dasar kecacatan, etnis, agama, bahasa, jenis kelamin, kemampuan dan lain lain (Tarmansyah, 2009).

Terdapat banyak pengertian mengenai pendidikan inklusif. UNESCO menyatakan salah satu pengertian yang cukup komprehensif yaitu Pendidikan inklusif bukan hanya sebuah gagasan kecil terkait upaya mengintegrasikan siswa tertentu dalam pendidikan umum. Lebih dari itu, pendidikan inklusif adalah sebuah pendekatan yang mengupayakan perubahan dalam sistem yang bebas hambatan dan


(53)

mendorong semua siswa agar terlibat secara penuh dalam kegiatan pembelajaran. Hambatan tersebut berhubungan dengan latar belakang suku, gender, status sosial, kemiskinan, disabilitas, kebutuhan khusus, dan lain-lain. Pada umumnya, kelompok yang paling rentan terhadap diskriminasi dalam pendidikan adalah anak dengan disabilitas dan/atau berkebutuhan khusus. Namun demikian, siswa dengan kebutuhan khusus bukan merupakan kelompok masyarakat yang homogen. Oleh karena itu, dalam rangka memenuhi kebutuhan semua anak yang beragam, sekolah dan penyelenggara pendidikan lain harus menerapkan sistem yang fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan serta kemampuan semua anak. Lebih lanjut sekolah dan penyelenggara pendidikan tersebut juga harus proaktif daam mencari informasi terkait anak-anak yang belum mendapatkan layanan pendidikan (ASB, 2011).

Dari definisi mengenai pendidikan inklusif diatas, perlu diingat bahwa pendidikan atau sekolah inklusif bukan sebuah sekolah bagi siswa yang memiliki kebutuhan khusus melainkan sekolah yang memberikan layanan efektif bagi semua (education fol all). Dengan kata lain menurut Watterdal dalam Wiyono (2011) pendidikan inklusif adalah pendidikan di mana semua anak dapat memasukinya, kebutuhan setiap anak diakomodir atau dirangkul dan dipenuhi bukan hanya sekedar ditolerir.

Permendiknas No.70 tahun 2009 Pasal 4 Ayat 1 menegaskan bahwa Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit satu sekolah dasar, dan satu sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima


(54)

peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1). Selanjutnya diperjelas dalam Ayat 2 Pasal yang sama yaitu, Satuan pendidikan selain yang ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).

Perbedaan pendidikan inklusif dengan pendidikan reguler yaitu pada pendidikan inklusif peserta didiknya adalah peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang ada di sekolah reguler. Sehingga kurikulum, tenaga guru, sarana dan prasarana, lingkungan belajar dan proses pembelajarannya harus dirancang sedemikian rupa untuk memungkinkan semua peserta didik dapat mengembangkan potensinya. Sementara untuk sekolah reguler, pada umumnya peserta didik dalam pendidikan umum atau pendidikan reguler adalah peserta didik normal, sehingga kurikulum, tenaga guru, sarana dan prasarana, lingkungan belajar dan proses pembelajarannya dirancang untuk anak normal.

Sedangkan perbedaan Pendidikan Inklusif dengan Pendidikan Terpadu terletak pada sistem pendidikan yang ada di sekolah tersebut. Pendidikan terpadu merupakan pendidikan yang memberi kesempatan kepada peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Sekolah terpadu, peserta didiknya mengikuti sistem yang ada di sekolah reguler. Sedangkan pendidikan inklusif, sistem pendidikan yang digunakan menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didiknya.


(55)

Dalam sekolah inklusif ada dua kategori siswa yaitu siswa yang tidak memiliki ketidakmampuan (non difabel) dan siswa yang memiliki ketidakmampuan (difabel). Berdasarkan kemampuan intelektualnya, peserta didik berkebutuhan khusus atau yang disebut juga dengan peserta didik berkelainan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata, dan peserta didik berkelainan yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Kelompok yang pertama merupakan peserta didik yang dapat mengikuti pendidikan inklusif. Hal ini sesuai dengan Lampiran Peraturan Menteri No.22 Tahun 2006 yang berbunyi:

Peserta didik pendidikan inklusif adalah peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Berkelainan dalam hal ini adalah tunanetra, tunarungu, tunadaksa ringan, dan tunalaras.

Anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusif terdiri dari beberapa jenis. Secara garis, jenis kebutuhan khusus tersebut, sebagaimana yang dikemukakan Hallahan dan Kauffman, Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa dan Hadiyanto dalam Wiyono (2011) adalah:

a. Tunanetra b. Tunarungu c. Tunadaksa

d. Anak yang berbakat/memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa e. Tunagrahita

f. Anak yang lamban belajar (slow learner)


(56)

h. Tunalaras i. Tunawicara j. Autisme

k. ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) l. Cerebral Palsy (CP) atau lumpuh otak

m. Anak korban narkoba serta HIV/AIDS

2. Landasan Pendidikan Inklusif

Ada tiga landasan yang harus dijadikan acuan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Keempat landasan tersebut antara lain landasan filosofis, landasan religi, landasan historis, dan landasan yuridis (Wiyono, 2011).

a. Landasan Filosofis

Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia baik secara vertikal atau perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya, maupun secara horisontal atau perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya. Keunggulan dan kekurangan juga merupakan suatu bentuk kebhinnekaan seperti halnya ras, suku, agama, latar budaya, dan sebagainya. Bertolak dari filosofi ini pendidikan yang ada harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi siswa yang beragam.


(57)

b. Landasan Historis

Masa masa awal. Pada awalnya, masyarakat bersikap acuh tak acuh bahkan menganggap sebagai sampah dan menolak, orang-orang yang memiliki ketidakmampuan (disability) tertentu (Olsen&Fuller, 2003:161) dalam Wiyono (2011).

Zaman purbakala dan pada zaman pertengahan. Pada masa ini, muncul seorang fisikawan yakni Hippokrates (460-377 SM) yang mulai mendobrak paradigma lama dengan menggagas bahwa berbagai permasalahan emosional lebih merupakan kekuatan natural daripada kekuatan supra natural sebagaimana yang selama ini diyakini. Lebih tegas lagi pada tahun 427-347 SM, Plato, seorang filosof besar Yunani, yang merupakan murid Socrates, mengatakan bahwa mereka yang tidak stabil secara mental tidak bertanggungjawab atas perilaku mereka.

Gagasan kedua tokoh besar ini membawa perubahan. Hal ini terbukti dalam abad pertengahan. Dimana dalam abad itu, muncul berbagai kelompok religious yang memberikan pelayanan dan tempat tinggal bagi mereka yang diabaikan oleh keluarganya (Olsen&Fuller, 2003:161) dalam Wiyono (2011).

Abad Sembilan belas dan abad dua puluh (masa transisi). Seperti yang diungkapkan oleh Olsen&Fuller (2003:162) dalam Wiyono (2011) bahwa dalam abad ini, masyarakat semakin terbuka bagi mereka yang mengalami ketidakmampuan tertentu. sejak abad sembilan belas di Amerika Serikat telah berdiri sekolah bagi mereka yang buta dan tuli.

Watterdal dalam Wiyono (2011) mengatakan bahwa pencetusan pendidikan inklusif ini terjadi karena selama jangka waktu yang cukup lama, para siswa


(58)

penyandang cacat dididik secara ekslusif. Dengan kata lain, mereka tetap diperlakukan sebagai orang-orang yang bukan merupakan bagian dari masyarakat. Akibatnya, masyarakat umum masih merasa aneh dengan kehadiran mereka.

Tidak hanya itu, penggunaan sistem integrasi yang telah diterapkan dulu juga meninggalkan berbagai persoalan. Sistem integrasi mengandung makna bahwa siswa penyandang cacat diikutkan ke dalam sekolah reguler setelah anak tersebut mengikuti kelas khusus dan dianggap siap untuk mengikuti suatu kelas di sekolah reguler. Sayangnya, disana mereka sering ditempatkan dalam suatu kelas berdasarkan tingkat keberfungsiannya dan pengetahuannya bukan menurut usianya. Misalnya kita dapat menemukan anak berusia 12 tahun berada di kelas satu.

Karena situasi tersebut dan semakin munculnya kesadaran akan kesamaan hak dan martabat sebagai manusia maka disuarakanlah hak anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan hak dan pelayanan yang sama. Sampai pada tahun 1994 hal itu dikukuhkan dengan adanya Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif oleh UNESCO.

c. Landasan Yuridis

Landasan yuridis memiliki hirarki dari undang-undang dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, kebijakan direktur jendral, peraturan daerah, kebijakan direktur, hingga peraturan sekolah. Juga melibatkan kesepakatan-kesepakatan internasional yang berkenaan dengan pendidikan. Adapun landasan yuridis pendidikan inklusif dalam Wiyono (2011) sebagai berikut:


(59)

a. 1948: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia b. 1989: Konvensi PBB tentang Hak Anak

c. 1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Jomtien)

d. 1993: Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang Cacat

e. 1994: Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus

f. 1999: Tinjauan 5 tahun Salamanca

g. 2000: Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia (Dakar)

h. 2000: Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada Penurunan Angka Kemiskinan dan Pembangunan

i. 2001: Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan

Instrumen Nasional

a. UUD 1945 (amandemen) pasal 31

b. UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3, 5, 32, 36 ayat (3), 45 ayat (1), 51, 52, 53. c. UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 5

d. Deklarasi Bandung (Nasional) ”Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif” 8-14

Agustus 2004

e. Deklarasi Bukit Tinggi (Internasional) Tahun 2005

f. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Nomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang pendidikan inklusif

g. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.


(60)

3. Tujuan Pendidikan Inklusif

Tujuan pendidikan inklusif mengacu kepada UU No 20 tahun 2003, Sisdiknas Pasal 1 ayat 1: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi pribadinya untuk memiliki kekuatan sepiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Sedangkan tujuan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah tahun 2003, tentang pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus (RPP-PK dan PLK) Bab II pasal 2 mengemukakan mengenai tujuan pendidikan bahwa pendidikan bagi peserta didik berkelainan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional dan atau sosial agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.

Sementara itu dalam Pasal 12 mengenai Pendidikan Terpadu dan Inklusi yaitu: 1. Pendidikan Terpadu dan Inklusi bertujuan memberi kesempatan kepada peserta

didik berkelainan untuk mengikuti pendidikan secara terintegrasi melalui sistem persekolahan reguler dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan pendidikan.

2. Pendidikan Terpadu dan Inklusi dapat diselenggarakan pada satuan pendidikan dasar, menengah dan tinggi.


(61)

3. Penyelengaraan Pendidikan Terpadu dan Inklusi dapat melibatkan satu atau beberapa jenis peserta didik berkelainan sesuai dengan kemampuan sekolah. 4. Sekolah yang menyelenggarakan Pendidikan Terpadu dan Inklusi perlu

menyediakan tenaga serta sarana dan prasarana khusus yang diperlukan peserta didik berkelainan.

5. Peserta didik yang mengikuti Pendidikan Terpadu dan Inklusi berhak mendapat penilaian secara khusus sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan khusus peserta didik yang bersangkutan.

6. Pemerintah mengupayakan insentif bagi sekolah yang menyelengarakan Pendidikan Terpadu dan Inklusi.

7. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur oleh Menteri dan atau Pemerintah Daerah.

Tujuan pendidikan inklusif menurut peraturan menteri pendidikan nasional nomor 70 tahun 2009 pasal 2 yaitu:

(1) Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya;

(2) Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai

keanekaragaman, dan tindak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana yang dimaksud pada huruf a.

Tujuan pendidikan inklusif yang terdapat dalam panduan standar pelayanan minimum penyelenggaraan pendidikan inklusif, adalah untuk memastikan bahwa


(1)

Kawasan pendidikan Kota Metro berpusat di daerah kampus, serta tersebar di setiap penjuru wilayah. Saat ini terdapat 12 Perguruan Tinggi dan 183 buah sekolah mulai dari jenjang Taman Kanak-Kanak hingga Menengah dan Kejuruan serta berbagai sarana pendidikan non formal lainnya. Kota Metro memiliki Gedung Perpustakaan yang cukup representatif, letaknya yang strategis memudahkan bagi pelajar dan masyarakat umum untuk datang dan membaca di perpustakaan ini.

Masyarakat juga mengembangkan perpustakaan kelurahan yang dikenal dengan sebutan Rumah Pintar yang memudahkan warga menimba ilmu melalui berbagai buku-buku yang tersedia. Sarana dan prasarana Pendidikan di Kota Metro untuk total 5 kecamatan memiliki gedung Sekolah Dasar sebanyak 55 unit, SLTP sebanyak 23 unit, SMA sebanyak 17 unit, SMK sebanyak 15unit.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.3 Fasilitas Pendidikan yang tersedia di Kota Metro berikut ini :

Tabel 4.3 Fasilitas pendidikan yang tersedia di Kota Metro

Nama Kecamatan

Jumlah Sarana Pendidikan

Umum Agama

SD SLTP SMA SMK MI MTs MA

Metro Pusat 16 8 4 2 6 3 2

Metro Utara 8 4 1 - 2 1 2

Metro Barat 11 3 6 6 - 1 1

Metro Timur 11 6 5 5 - 1 1

Metro Selatan 9 2 1 2 1 - -

Jumlah 55 23 17 15 9 6 6


(2)

139

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pelaksanaan pendidikan inklusif di Kota Metro, yang diukur melalui enam variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik, variabel ukuran dan tujuan kebijakan, karakteristik agen pelaksana, komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana, dan lingkungan ekonomi, sosial dan politik dapat dikatakan sudah terpenuhi dalam pelaksanaan pendidikan inklusif di Kota Metro walaupun belum maksimal. Namun pada variabel sumber daya dan sikap atau kecenderungan para pelaksana, dapat dikatakan tidak terpenuhi dan perlu dilakukan perbaikan. Oleh karena itu implementasi pendidikan inklusif di Kota Metro sudah berjalan namun belum maksimal dan perlu dilakukan pembenahan.

2. Didalam pelaksanaannya, terdapat kendala yang terjadi dalam pelaksanaan pendidikan inklusif di Kota Metro. Kendala tersebut dibagi menjadi dua, yaitu kendala internal dan kendala eksternal. Kendala-kendala tersebut diantaranya yaitu:

a. Kendala Internal, yaitu:


(3)

2) Ketersediaan guru pembimbing khusus yang tidak berlatar pendidikan luar biasa

3) Sulitnya para guru dalam memenej kelas 4) Kurangnya sarana dan prasarana

b. Kendala Eksternal, yaitu:

1) Orang tua anak berkebutuhan khusus yang acuh terhadap perkembangan anaknya

2) Orang tua anak umum yang merasa terganggu jika anak mereka disatukan dengan anak berkebutuhan khusus

B. Saran

1. Seharusnya pemerintah Kota Metro dapat meningkatkan alokasi dana APBD yang diperuntukkan bagi pengadaan fasilitas khusus.

2. Pemerintah Kota Metro seharusnya melakukan alokasi tenaga pengajar khusus kepada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Kota Metro. 3. Pemerintah Kota Metro melalui lingkup jajaran pemerintahan dapat

meningkatkan sosialisasi mengenai Permendiknas No 70 tahun 2009, sehingga Permendiknas No 70 tahun 2009 dapat dipahami oleh masyarakat dan Pendidikan Inklusif dapat diselenggarakan berdasarkan Permendiknas No 70 tahun 2009

4. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif perlu untuk mengembangkan ruang dan pusat sumber belajar serta sarana dan prasarana agar dapat menunjang pelaksanaan pendidikan inklusif.

5. Pelaksana pendidikan inklusif seharusnya lebih meningkatkan sosialisasi mengenai pendidikan inklusif secara lebih luas seperti penyebaran pamflet


(4)

141

maupun mengadakan kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan inklusif untuk lebih memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pendidikan inklusif.

6. Pihak sekolah seharusnya melakukan komunikasi rutin kepada wali murid melalui rapat wali murid yang diselenggarakan minimal 3 bulan sekali untuk membahas perkembangan peserta didik.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku:

Agustino, Leo. 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta.

Hadi, Rifian Dkk. Pedoman Umum Penyelenggara Pendidikan Inklusif Sesuai

Permendiknas No. 70 Tahun 2009, Kota Metro.

Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nugroho, Riant. 2012. Public Policy, Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Nugroho, Riant. 2008. Kebijakan Pendidikan Yang Unggul, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Bandung: Alfabeta.

Tim ASB. 2011. Panduan Standar Pelayanan Minimum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Panduan I: Kriteria Standar Pelayanan Minimum

Sekolah Inklusi, Yogyakarta.

Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik Teori, Proses, dan Studi Kasus, Yogyakarta: PT. Buku Seru.

Referensi Perundang-undangan:

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4.

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif.


(6)

Peraturan Walikota Metro Nomor 34 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kota Metro.

Referensi Jurnal:

Ma’ruf, Amir. 2009. Model Pendidikan Inklusif di MAN Maguwoharjo Depok Sleman Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Tarmansyah. 2009. Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di SD Negeri 03 Alai Padang Utara Kota Padang (Studi Pelaksanaan Pendidikan di Sekolah Ujicoba Sistem Pendidikan Inklusif). Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Padang.

Wiyono, Bambang Dibyo. 2011. Pendidikan Inklusif (Bunga Rampai Pemikiran

Educational for all). Malang: Program Pascasarjana Program Studi

Bimbingan dan Konseling. Universitas Negeri Malang. Referensi Website:

http://metrokotainklusi.org/ http://mulyono.staff.uns.ac.id http://.sapdajogja.org/