Makalah Ekonomi Moneter Krisis Ekonomi

MAKALAH
EKONOMI MONETER II
“KRISIS KEUANGAN TAHUN 2008”

Oleh:
KELOMPOK IV
Khaeratunnisa Ambo (10700113155)
Luciana Sari

(10700113181)

Sartika Eka Putri

(10700113180)

Ismiati Pratiwi

(10700113159)

Muammar Asmari


(10700113183)

Muh. Qeis Nugraha (10700113156)

ILMU EKONOMI 7&8
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2015
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Krisis ekonomi global awalnya karena subprime mortage atau kredit macet
sektor perumahan di AS yang akhirnya membuat ambruknya pasar modal AS
dengan anjloknya indeks saham di Bursa Efek New York dan diperparah
melambungnya harga minyak dunia hingga menyentuh harga 105 dolar AS per
barel yang memberi kontribusi terhadap tekanan terhadap perekonomian AS.
Kondisi internal dan eksternal AS yang kurang kondusif menggiring melemahnya
nilai tukar dolar AS terhadap euro dan yen sehingga memicu kenaikan harga

komoditas internasional seperti minyak, batu bara, gas alam dan emas.
Ketergantungan industri AS akan minyak masih dominan sehingga menambah
deret keterpurukan ekonomi AS. Konsekuensi dari peristiwa tersebut berdampak
pada stagflasi dimana akan terjadi percepatan laju inflasi global yang mendorong
perlambatan ekonomi. Akibatnya tingkat permintaan di seluruh dunia melemah
tanpa kecuali. Negara industri maju mengalami derita resesi yang parah.
Repotnya, derita itu ditularkan dan dirasakan pula pada kita Indonesia. Jalur
perdagangan (ekspor-impor) dan jalur keuangan (arus modal) adalah pintu masuk
mrambatnya krisis global pada ekonomi domestik. Akibat yang dirasakan adalah
ke sektor riil. Apabila dunia bisnis semakin melemah, nantinya akan menyentuh
pada pengangguran dan kemiskinan. Inilah yang menjadi ancaman terberat bagi
sektor riil di Indonesia. Pada tahun 2008, angka Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) telah meningkat. Pada November saja, tercatat sebanyak 66.000 orang
yang terkena PHK. Jumlah yang di-PHK ini diperkirakan terus meningkat pada
2009. Belum lagi krisis juga menghantam organisasi non profit atau Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), dikarenakan sumber-sumber pendanaan LSM-LSM
di negara selatan berasal dari lembaga donor di negara-negara utara yang sedang
mengalami krisis keuangan. Adanya krisis keuangan yang melanda negara-negara
utara tentu saja akan mengurangi penggalangan dana yang dilakukan oleh
2


lembaga-lembaga donor dari negara tersebut. Biasanya lembaga-lembaga donor
dari negara-negara utara menggalang dana dari pajak atau sumbangan sukarela
warga negaranya. Hasil dari penggalangan dana itu kemudian disalurkan ke LSMLSM di negara-negara selatan. Sementara di Indonesia, sebagian besar LSM
menerima dana dari lembaga donor yang berasal dari negara Amerika Serikat dan
Eropa. Kelesuan kegiatan ekonomi di kedua kawasan itu tentu saja mempengaruhi
kelancaran pendanaan bagi LSM-LSM di Indonesia. Krisis juga mengakibatkan
merosotnya nilai tukar rupiah, kemerosotan yang tajam atas Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) yg mengakibatkan pr investor
menarik dana mrka smua Sektor properti juga terkena imbasnya, krn perbankan
menyetop sementara untuk pemberian kredit sektor properti. Bagi industri properti
pendanaan dari perbankan adlh kebutuhan dana yang vital di samping mereka
mengalokasikan dana internal. Apalagi suku bunga kredit pemilikan rumah yang
naik akibat ditetapkannya suku bunga acuan atau BI rate yg naik juga. Jadi intinya
krisis global membawa dampak yang luar biasa besar bagi Indonesia bhkn
ekonomi pembanguan pd umumnya. Tapi dibalik krisis global tersebut masih ada
faktor-faktor ekonomi yang dianggap “penyelamat bangsa”. Mereka adalah para
pelaku ekonomi yang telah terbukti selama ini memiliki daya tahan yang tinggi.
Mereka tersebar luas di seluruh penjuru nusantara dalam peranannya sebagai
petani, nelayan, peternak, pengusaha UMKM dan pelaku ekonomi daerah.

Merekalah sebenarnya “kantung penyelamat bangsa”. Saat krisis melanda
Indonesia, dimana ekonomi tertekan dengan berat, usaha mereka masih tumbuh
pada kisaran 3-4%.

2.1 RUMUSAN MASALAH
1. Apa penyebab krisis global?
2. Bagaimana asal mula krisis subprime mortgage di amerika serikat
(as)?
3. Apa hubungan subprime mortgage dengan bangkrutnya investment
banking seperti lehman brothers?
3

4. Siapa saja aktor yang berperan dalam krisis finansial di amerika
serikat?
5. Bagaimana dampak krisis subprime mortgage amerika serikat (as)
pada negara - negara di dunia?
6. Apa kebijakan bank sentral amerika serikat untuk mengatasi krisis
subprime mortgage?
7. Bagaimana dampak krisis amerika serikat terhadap ekonomi berbagai
negara?

8. Bagaimana

dampak

krisis

amerika serikat

terhadap

ekonomi

indonesia?
9. Bagaimana krisis di Indonesia?
10. Bagaimana cara pemerintah Indonesia mengatasi krisis global?
11. Apa saja langkah indonesia dalam menghadapi krisis global?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENYEBAB KRISIS GLOBAL


4

Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara- negara yang ada di bumi ini
tengah menghadapi suatu krisis keuangan secara global. Diakui ataupun tidak,
krisis yang sedang dihadapi hampir semua negara yang ada ini merupakan imbas
dari krisis finansial yang terjadi di negara adidaya, Amerika serikat. Krisis
ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menghenyakan banyak orang. Banyak
yang terkejut mengapa negara sebesar Amerika Serikat bisa mengalami krisis
ekonomi atau moneter yang merontokan pasar saham dan keuangan di Amerika
Serikat dan bahkan di dunia.
Ada beberapa kasus yang dianggap sebagai penyebab terjadinya krisis AS saat ini,
antara lain:
1. Penumpukan hutang nasional hingga mencapai 8.98 trilyun dollar AS
sedangkan PDB hanya 13 trilyun dollar AS
2. Terdapat progam pengurangan pajak korporasi sebesar 1.35 trilyun dollar
(akibatnya pendapatan AS berkurang)
3. Pembengkakan biaya Perang Irak dan Afganistan (hasilnya Irak tidak aman dan
Osama Bin Laden tidak tertangkap juga) setelah membiayai perang Korea dan
Vietnam.

4. CFTC (Commodity Futures Trading Commision) sebuah lembaga pengawas
keuangan tidak mengawasi ICE (Inter Continental Exchange) sebuah badan yang
melakukan aktifitas perdagangan berjangka.Dimana ECE juga turut berperan
mengdongkrak harga minyak hingga lebih dari USD 100/barel.
5. Subprime

Mortgage:

Kerugian

surat

berharga

property

sehingga

membangkrutkan Merryl Lynch, Goldman Sachs, Northern Rock,UBS, Mitsubishi
UFJ.

6. Keputusan suku bunga murah dapat mendorong spekulasi.

5

Namun dari ke-6 alasan munculnya krisis AS saat ini, penyebab poin ke-5 lah
yang dianggap paling berperan. Berikut ini saya sampaikan asal mula krisis
Subprime Mortage.

2.2 ASAL MULA KRISIS SUBPRIME MORTGAGE DI AMERIKA
SERIKAT (AS)
Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus berkembang
di semua sektor. Terutama sector laba. Kalau bisa, laba sebuah perusahaan publik
terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Caranya bagaimana, hal itu
merupakan urusan kiat para CEO dan direkturnya.
Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu lagi
apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka mau tahu adalah
dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terus naik dan labanya harus
terus meningkat.
Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang,
sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka.

Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau para
pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi dibanding
waktu mereka beli dulu (untung).
Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin menjual
saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kian
banyak.
Mengenai cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan baik,
terserah pada CEO-nya. Mau memakai cara kucing hitam atau cara kucing putih.
Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja para CEO tersebut: hukum

6

perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, hukum perburuhan, dan
seterusnya.
Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan dan
stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi kadang
juga bisa rugi?
Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa
disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya. Mengapa?
Pertama, agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar dia

mendapat bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian persen dari laba dan
pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima para CEO perusahaan
besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden George Bush. Mana bisa
dengan gaji sebesar itu masih stres?
Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti
tumbu ketemu tutup. Maka, semua perusahaan dipaksa untuk terus-menerus
berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain.
Kalau jalan lain tidak ditemukan, buat jalan baru. Kalau membuat jalan baru
ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain. Kalau tidak boleh diambil? Beli!
Kalau tidak dijual? Beli dengan cara yang licik -dan kasar! Istilah populernya
hostile take over.
Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk bikinkan
berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat jalan.
Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang senang. CEO dan para
direkturnya senang karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun.
Para pemilik saham juga senang karena kekayaannya terus naik. Pemerintah
senang karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi senang karena
dapat dukungan atau sumber dana.

7


Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan kesejahteraan
rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli kebutuhan hidupnya.
Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya. Semakin banyak yang bisa
membeli barang, ekonomi semakin maju lagi.
Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Kalau tidak bisa membuat sendiri,
maka barang tersebut didatangkan dari Tiongkok atau Indonesia atau negara
lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa saja ke AS yang
bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar di dunia (USD 2 triliun).
Sudah lebih dari 60 tahun cara ''membesarkan' ' perusahaan seperti itu dilakukan
di AS dengan sukses. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. AS dengan
kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia.
Tapi, itu belum cukup. Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet
otomatis dianggap tidak cukup lagi, toiletnya harus computerized. Bonus yang
sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat harus terus
mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah harus dibuat lebih
jumbo.
Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi perusahaan
yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat, dicarilah jalan
agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yang kian banyak. Kalau
orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar kucing atau anjingnya juga
punya rumah. Demikian juga mobilnya. Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya
rumah, siapa lagi yang akan membeli rumah?
Kalau tidak ada lagi yang membeli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih
besar? Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan
alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa lebih besar? Bagaimana
notaris bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjual kloset bisa lebih besar?
Padahal, doktrinnya, semua perusahaan harus semakin besar?
8

Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada 1980,
pemerintah membuat keputusan yang disebut ''Deregulasi Kontrol Moneter''.
Intinya,

dalam

hal

kredit

rumah,

perusahaan

real-estat

diperbolehkan

menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan
dari bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku dua
tahun kemudian.
Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan, asuransi,
broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang dimanfaatkan perbankan
secara nyata.
Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam undangundang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan memenuhi
syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti KPR,meski tidak
sama).
Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil mortgage
untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan karena mortgage
itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun.
Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yang
terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di Dubai naik
55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkan syarat orang
yang bisa mendapat mortgage.
Dengan keluarnya ''jalan baru'' pada 1980 itu, terbuka peluang untuk menaikkan
bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. Bank bisa dapat
peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Juga para broker dan bisnis
lain yang terkait.
Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan. Maka, ada
lagi ''jalan baru'' yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian. Yakni, tahun
1986. Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya:
9

pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi
pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau beli
rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.
Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang luar
biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di Swedia atau
Denmark , gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen. Imbalannya, semua
keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis. Hari tua juga terjamin.
Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis
menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang
disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung menjadi
dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus meningkat lagi.
Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar setahun.
Kata ''mortgage'' berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya:
matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage, Anda
mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah itu Anda serahkan kepada
pihak yang memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama cicilan Anda belum
lunas.
Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet, rumah
itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa itu bukan rumah
Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar cicilan, ikrar itu dianggap
mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi dari rumah tersebut.

2.3 HUBUNGAN SUBPRIME MORTGAGE DENGAN BANGKRUTNYA
INVESTMENT BANKING SEPERTI LEHMAN BROTHERS

10

Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena
fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh ''para pelaku bisnis
keuangan'' sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan meningkatkan
laba.
Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas mortgage.
Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah. Harga rumah
dan tanah naik terus melebihi bunga bank.
Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para pemilik
rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage- kan lagi untuk membeli rumah
berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa mendapatkan kredit
dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh suatu saat ada yang
tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi, tidak ada kata takut dalam memberi
kredit rumah.
Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam undangundang perbankan yang keras.
Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan. Jalan baru itu adalah bank bisa
bekerja sama dengan ''bank jenis lain'' yang disebut investment banking. Sebuah
perusahaan keuangan yang ''hanya mirip'' bank. Ia lebih bebas daripada bank. Ia
tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal seperti: menerima macammacam ''deposito'' dari para pemilik uang, meminjamkan uang, meminjam uang,
membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin, membeli rumah,
menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang bisa lakukan. Bahkan,
bisa melakukan apa yang orang tidak pernah memikirkan! Lehman Brothers, Bear
Stern, dan banyak lagi adalah jenis investment banking itu.
Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman
tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya
kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja:kepada
11

bank lain atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada orang-orang
kaya yang punya banyak uang dengan istilah ''personal banking''.
Pada dasarnya investment banking tidak menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman
untuk memutar cash-flow. Begitu agresifnya para investment banking itu,
sehingga kalau dulu hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat
mortgage, tapi sekarang yang kurang memenuhi syarat pun (sub-prime)
dirangsang untuk minta mortgage.
Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh besar
kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang yang
disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahun orang bisa
memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun.
Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat
mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan terus
bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan pengeluaran.
Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi, pasar pun
digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari mortgage. Toh
kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita, bisa dijual dengan harga
yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya.
Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang dari 10
tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita sangat
banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang jual rumah,
kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan rumah itu kian tidak
cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyak yang gagal bayar.
Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan
rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain itu
menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang

12

berikutnya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti kartu domino
yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain. Roboh semua.
Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum ada
data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 triliun dolar.
Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700 miliar,
memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan
masalah, apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?
Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau
menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak USD
700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara
Indonesia dijadikan satu.
Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan rakyat
AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang
Indonesia yang ''menabung'' - kan uangnya di lembaga-lembaga investment
banking yang kini sedang dalam kesulitan tersebut.
Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak
banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada Singapura,
Hongkong, atau Tiongkok.
Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi salah
satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan Tiongkok
akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun,yang berarti
banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran ke
sana .

2.4 AKTOR - AKTOR YANG BERPERAN DALAM KRISIS FINANSIAL DI
AMERIKA SERIKAT
13

BBC menyebutkan aktor-aktor yang berperan dalam krisis ini antara lain adalah :
Kreditor Perumahan Murah
Banyak perusahaan di AS yang memiliki spesialisasi memberikan kredit
perumahan bagi orang-orang yang sebenarnya tidak layak di beri kredit subprime
lenders. Para perusahaan tersebut berani memberikan kredit karena kalau terjadi
gagal bayar, perusahaan tinggal menyita dan menjual kembali rumah yang
dikreditkan.Untuk membiayai kredit ini para perusahaan ini umumnya juga
meminjam dari pihak lain dengan jangka waktu kredit yang pendek sekitar 1-2
tahun, padahal kredit yang dibiayai merupakan kredit perumahan jangka panjang
sampai 20 tahun. Sehingga terjadi ketimpangan (mismatch) kredit.
Akibat gagal bayar terhadap kredit perumahan tersebut, membuat banyak
perusahaan kredit perumahan iini tidak mampu membayar kembali utangnya yang
berujung pada bangkrutnya beberapa perusahaan tersebut. Saham perusahaan lain
yang tidak mengalami kebangkrutan juga turunt terimbas sentimen negatif dan
membuat takut investor.
Selain pinjaman dari pihak ketiga, para perusahaan pembiayaan kredit rumah ini
juga menerbitkan semacam efek beragun aset (EBA) yang dijual ke perbankan
dan investor baik institusi maupun individu ke berbagai negara. EBA ini juga
merupakan instrumen untuk membagi risiko. Namun yang terjadi justru
sebaliknya, kekhawatiran terhadap kemungkinan gagal bayar para debitor yang
tidak layak tersebut justru berdampak pada investor secara global baik yang
memiliki EBA tersebut maupun investor yang hanya terimbas sentimen negatif.
Perusahaan Pemeringkat
Perusahaan pemeringkat seperti Moody’s dan Standard and Poor’s diduga ikut
ambil bagian dalam krisis subprime mortgage ini. Perusahaan - perusahaan
pemeringkat ini dinilai terlalu lamban mengantisipasi bahaya gagal bayar utang
kredit perumahan itu. Padahal tugas lembaga pemeringkat adalah mengevaluasi
14

obligasi atau instrumen utang lainnya dan memberikan rating yang mencerminkan
risiko instrumen utang tersebut.
Investment Banks (Bank Investasi)
Investment Banks seperti Goldmas Sachs, Bear Strearns dan Morgan Stanley juga
ikut terlibat dalam terjadi krisis subprime mortgage ini. Karena mereka memiliki
spesialisasi mengembangkan instrumen investasi seperti EBA yang dijual ke
perbankan dan institusi keuangan. Investment Banks ini juga terkena imbas dan
merugi dibeberapa dana investasinya yang terkait dengan utang berisiko
tinggi.Sementara bank sentral dan private equity fund dicatat sebagai pihak yang
paling besar terimbas dampak krisis ini. Private equity fund adalah manajer
investasi yang merancang pembelian dan penjualan perusahaan. Mereka
umumnya meminjam uang dengan bunga rendah yang digunakan untuk membeli
saham di bursa. Saham yang dibeli umumnya dijaga performanya agar menarik
minat investor lain untuk membeli. Saham tersebut akan dijual setelah harganya
tingginya dalam waktu yang tidak lama.
Sedangkan bank sentral dunia seperti Bank of England (BoE), US Federal
Reserve (The Fed) dan European Central Bank (ECB) sebagai pihak yang
merancang tingkat suku bunga demi mengontrol inflasi dan menjaga pertumbuhan
ekonomi. Kebijakan tingkat bunga rendah itulah yang memicu pasar untuk
melakukan investasi besar di perumahan. Namun kini bank sentral harus
menggelontorkan banyak dana ke pasar untuk menyuplai kebutuhan dana kas
yang besar.

2.5 DAMPAK KRISIS SUBPRIME MORTGAGE AMERIKA SERIKAT (AS)
PADA NEGARA - NEGARA DI DUNIA

15

Pemilik surat utang Subprime Mortgage bukan hanya perbankan di Amerika
Serikat, tapi juga perbankan di Australia, Cina, India, Taiwan, dan negara-negara
lainnya. Dampaknya, harga saham perbankan di seluruh dunia jatuh. Hal ini pun
menyulut kekhawatiran para pelaku pasar, karena bermasalahnya bank akan
berdampak pada melemahnya kegiatan perekonomian.
Peraturan Bank Indonesia tidak memungkinkan perbankan membeli surat utang
berperingkat rendah sehingga perbankan Indonesia tidak memiliki surat utang
subprime mortgage. Akan tetapi, karena harga saham perbankan di negara
tetangga jatuh, investor asing juga menjual saham perbankan dan nonperbankan di
Indonesia. Investor lokal akhirnya juga ikut melakukan aksi jual. Apalagi harga
saham dan harga obligasi di Indonesia sudah naik banyak, maka investor pun
melakukan aksi ambil untung. Inilah yang menyebabkan harga saham turun, imbal
hasil obligasi naik (harga turun) dan kurs rupiah melemah, bahkan minat terhadap
penawaran saham BNI juga sempat terganggu.
Sterilnya perbankan dan korporasi Indonesia dari kepemilikan subprime mortgage
menyebabkan dampak krisis pada pasar keuangan domestik berupa pelepasan
surat berharga domestik terutama SUN dan SBI oleh investor asing. Pada bulan
Juli dan Agustus 2007 terjadi penurunan kepemilikan asing pada SUN dan SBI
yang cukup signifikan. Investor asing diperkirakan equity friendly dan cenderung
mengalihkan penanaman dari SUN pada equity atau risk free treasury bill. Hal ini
terkait dengan tingginya supply risk SUN atas potensi penurunan SUN valas
akibat kenaikan premi resiko dan peningkatan SUN rupiah. (Neraca Pembayaran
Indonesia 2007)
Pada bulan Agustus 2007, harga-harga saham di BEJ (Bursa Efek Jakarta)
mengalami koreksi, akibat masih berlanjutnya tekanan di bursa Wall Street dan
regional, menyusul meluasnya dampak krisis subprime mortgage di dunia.
Banyaknya koreksi mengaibatkan IHSG turun 89,112 poin atau 4,11 % pada satu
jam pertama perdagangan tanggal 15 Agustus 2007.
16

Turunnya IHSG memicu melemahnya nilai tukar rupiah saat itu, dari Rp 9000
menjadi Rp 9400. Dow Jones Industrial Average juga kehilangan 207,61 poin atau
turun 1,57 %. Masih dalam periode waktu yang sama, indeks Nikkei mengalami
kemerosotan 267,22 poin. Penurunan drastis ini dapat dilihat dalam grafik
perkembangan pasar modal di Asia Pasifik dan pasar modal di Barat dan Jepang.
Koreksi besar-besaran yang terjadi akibat krisis subprime mortgage ini juga
merambat ke sektor-sektor lainnya. Kepanikan antara Februari – Maret 2007
menyebabkan saham-saham dari sektor mortgage (hipotek) -19%, sektor finansial
-10%, dan semua bidang -6%. Kemudian pada Juni-Juli 2007 saham-saham
mortgage turun lagi hingga -41%, dan saham-saham keuangan -18%.
Dampak subprime mortgage Amerika Serikat di Indonesia memang sebesar
dampaknya pada negara-negara lain, karena adanya peraturan BI yang tidak
memungkinkan perbankan membeli surat utang berperingkat rendah. Namun,
sebenarnya dampak krisis finansial ini masih tersisa di dunia.
Pada 3 Maret 2008, tempointeraktif. com menyebutkan bahwa pasar saham Asia
jatuh setelah UBS AG memprediksikan bahwa perusahaan keuangan global
kemungkinan akan kehilangan sekitar US$ 600 miliar karena kredit macet hipotek
perumahan subprime mortgage di Amerika Serikat. Westpac Banking Corp.
merugi 3,3 persen sedangkan Macquarie Group Ltd. kembali tergelincir di hari
ketiga. Pemasukan uang dalam perdagangan Amerika menurun 4,7 persen dari
penutupan saham di Tokyo 29 Februari 2008, dimana Sony Corp. rugi 3,6 persen,
setelah Yen menguat terhadap dolar, sehingga mengurangi pendapatan di luar
negeri. Index Australia anjlok S&P/ASX 200 hingga 2,9 persen menjadi 5,410.90
pada pukul 10.12 di Sydney. Index New Zealand’s NZX 50, yang menjadi patokan
Asia untuk memulai perdagangan, turun 1,1 persen menjadi 3,542.16 di
Wellington.

17

2.6 KEBIJAKAN

BANK

SENTRAL AMERIKA

SERIKAT

UNTUK

MENGATASI KRISIS SUBPRIME MORTGAGE
Krisis Subprime Mortgage yang terjadi di Amerika Serikat menginfeksi bursa
saham di seluruh dunia dan mengancam stabilitas banyak mata uang di dunia.
Selain USD yang menjadi labil, sejumlah mata uang lain seperti rupiah pun
sempat jatuh. Diperlukan intervensi kebijakan dari bank sentral Amerika (The
Fed) untuk menstabilkan pasar. Karena The Fed bertanggung jawab menjaga
kinerja ekonomi AS jangka panjang dan kestabilan harga-harga di AS.
Untuk mengatasi kekurangan likuiditas di pasar modal, bank sentral negaranegara maju yang bursanya terkait dengan industri subprime mortgage
menggelontorkan dana ke pasar uang (open market operations) dengan memasuki
transaksi Repo (Repurchase Agreement). Ini untuk menjaga stabilitas nilai tukar
mereka dan menumbuhkan sentimen positif akan bursanya. Diawali pada 9
Agustus 2007, The Fed mengeluarkan USD 30 miliar untuk menjaga likuiditas
investor subprime mortgage yang merugi. Pada 10 Agustus, The Fed
menambahnya USD 36 miliar. Penambahan ini terus berlangsung hingga 16
Agustus 2007, dan mencapai jumlah USD 29 miliar.
Untuk memulihkan stabilitas, The Fed juga menyuntikkan dana ke sistem
perbankan dan keuangannya. Pada 9-10 Agustus, The Fed menyuntikkan USD 24
dan 68 miliar. Di Eropa, pada 10 Agustus 2007 The European Central Bank (ECB)
menyuntikkan dana USD 61 miliar. Pada 13 Agustus, ECB menambah lagi USD
47,67 miliar, dan di Jepang, The Bank of Japan (BoJ) menyuntikkan dana 600
miliar Yen.
Selain itu, mengingat pemicu utama kredit macet subprime mortgage adalah
bunga yang tinggi, maka pada 17 Agustus 2007 The Fed menurunkan suku bunga
diskonto hingga 50 basis poin menjadi 5,75%. Langkah ini lalu diikuti
penyesuaian praktek discount window biasa untuk memfasilitasi persyaratan

18

terkait periode pemberian pinjaman selama 30 hari yang dapat diperbarui oleh
nasabah peminjam.
Dengan diturunkannya suku bunga, maka akan ada kelonggaran bagi peminjam
subrime mortgage untuk melunasi utangnya kepada pemberi pinjaman. Itu juga
berarti, surat utang berbasis subprime mortgage yang kini banyak dipegang
investor seluruh dunia kembali memperoleh jaminannya dan kembali bernilai.
Langkah ini mampu menahan kejatuhan banyak bursa saham di Dunia. Bagi bursa
saham Indonesia, kebijakan The Fed ini juga bermanfaat untuk memulihkan
sentimen positif. Karena, setelah merebaknya krisis subprime mortgage, para
pelaku pasar mulai mengkhawatirkan risiko berinvestasi di negara berimbal hasil
tinggi khususnya di negara berkembang.
Inilah yang dulu menyebabkan pelaku pasar menarik investasinya, baik yang
berupa

saham maupun

valas

dari

negara-negara berkembang.

Dengan

diturunkannya suku bunga The Fed, maka Indeks Dow Jones kembali stabil dan
pasar mulai tenang. Selain itu, langkah ini pun diikuti intervensi dari pemerintahpemerint ah negara seluruh dunia.
Akan tetapi risiko masih ada. Para analis pasar merasa tetap perlu melihat kinerja
perusahaan-perusahaan sekuritas dan bank investasi yang terkait dengan subprime
mortgage. Itulah sebabnya, pada 6 September 2008, pasar saham kembali jatuh.
Karena ternyata imbasnya terhadap perusahaan-perusahaan keuangan sedemikian
besar. Vice President Head of Management Fund Trimegah Securities, Fajar
Hidayat, menyebut subprime mortgage ini sebagai kanker yang tidak diketahui
kapan akan berhenti dan sejauh mana reaksi yang ditimbulkannya.

2.7 DAMPAK KRISIS AMERIKA SERIKAT TERHADAP EKONOMI
BERBAGAI NEGARA

19

Krisis ekonomi Amerika Serikat (AS) sangat berdampak terhadap masyarakat
khususnya tenaga kerja. Departemen Tenaga Kerja AS baru saja mengumumkan
jumlah pengangguran mencapai 6,1 persen jauh lebih tinggi dari prediksi yang
diakibatkan krisis AS. Jumlah ini meningkat menyusul Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) ribuan tenaga kerja akibat krisis ekonomi.
Perubahan tingkat strategi kebijakan DPR AS terhadap paket kebijakan
penyelamatan ekonomi atau RUU Bailout dengan dana sebesar US$ 700 miliar
ternyata belum mendongkrak kepercayaan pasar. Fase persetujuan DPR atas RUU
Bailout, harga saham- saham di pasar New York justru melemah, pasar belum
yakin RUU Bailout mampu mencegah terjadinya krisis.
Kalangan investor masih meragukan resolusi RUU Bailout bisa menggairahkan
industri keuangan dan visa kredit. Reaksi negatif muncul umumnya disebabkan
meningkatnya angka pengangguran.
Sebelumnya DPR AS sempat menolak RUU yang sama dengan alasan pasar uang
yang harus menyelesaikan krisis financial ini. Gagalnya RUU Bailout di tangan
DPR AS mengakibatkan Indeks Dow Jones mengalami penurunan 777 poin,
penurunan ini menurut data pasar uang AS adalah penurunan terbesar dalam
waktu 1 hari, untuk itulah Presiden Bush langsung menenangkan pasar dengan
menekankan bahwa pintu penyelamatan ekonomi AS tertutup.
Hingga akhirnya DPR AS menyetujui RUU Bailout tersebut. Senator Barack
Obama yang kini menjadi calon presiden dari Partai Demokrat adalah salah satu
senator yang menyetujui RUU tersebut. Persetujuan Senat tersebut disertai
beberapa perubahan mencapai kelonggaran pada gaji perorangan dan usaha kecil
serta menaikkan batas tabungan masyarakat yang dijamin pemerintah dari 100
ribu dolar menjadi 250 ribu dolar. Dan perubahan ini pun menghasilkan dukungan
lintas partai di DPR.

20

Begitu juga dengan negara Eropa seperti Prancis langsung memompa dana lebih
dari 8,5 miliar dolar, dan pemerintah Irlandia juga menempatkan jaminan tanpa
batas.
Pengamat Ekonomi Iwan Jaya Agus memperkirakan efek domino kritis financial
AS akan lebih terasa dibanding merosotnya ekonomi AS setelah serangan 2001
dan ekonomi Eropa akan lebih rentan terkena imbas. Menurutnya, krisis ekonomi
Asia tidak akan separah Eropa karena kredit macetnya tidak sebesar AS maupun
Eropa. Jepang misalnya hanya memiliki kredit macet sebesar US$ 8 miliar jauh
lebih kecil dibanding AS yang kredit macetnya sebesar US$ 1,3 triliun tahun
2007.
“Kredit macet di negara Asia jauh lebih kecil dari negara Eropa dan AS namun
demikian negara Asia belum bisa bernapas lega, karena sejak tahun 1997 yakni
sejak krisis Asia, perusahaan keuangan Asia beralih ke tangan AS maupun Eropa
sehingga dengan terpuruknya perekonomian AS maka dengan sendirinya
perusahaan AS di Asia akan terkena imbasnya.
Pengamat ekonomi Aviliani justru lebih mengingatkan pasar untuk tetap waspada,
menyusul kemungkinan perusahaan- perusahaan AS akan melakukan politik
banting harga dan hal ini akan menghambat ekspor Indonesia. Untuk itu
pemerintah harus melakukan langkah supaya tidak terjadi doble ekonomi dengan
penggelembungan.
Ketua Umum Kadin Indonesia MS Hidayat memperkirakan 2 sampai 3 tahun ke
depan AS harus kerja keras untuk mengatasi krisis perekonomiannya.
Menurutnya, dunia usaha dan pemerintah Indonesia harus segera mencari pasar
alternatif, sehingga produk ekspor tidak terganggu.
“Saya kira kinerja ekspor kita akan terpengaruh, akan menurun meski pun AS
bukan tujuan ekspor terbesar tetapi ekspor utama kita seperti tekstil dan garmen,
produk-produk pertanian yang menjadi koridor intensif industri padat karya, tentu
21

akan berpengaruh dan harus ditanggulangi dengan cara klasifikasi market,”
katanya.
Sementara Ekonom UGM Sri Adiningsih menilai sampai sejauh ini pemerintah
Indonesia belum mempunyai langkah strategis untuk mengantisipasi dampak
krisis financial AS, padahal jika krisis financial AS tidak segera teratasi maka
dampaknya terhadap perekonomian Indonesia bisa lebih buruk dibanding krisis
ekonomi tahun 1998.
“Pemerintah Indonesia harus melihat dampaknya yang bisa lebih serius. Saya
kuatir, karena pasar keuangan kita yang beberapa tahun terakhir ini banyak
didukung oleh dana jangka pendek sementara kita tau bahwa dana jangka pendek
internasional menurut pengamatan saya itu di atas US$ 50 miliar sehingga kalau
tidak hati-hati terhadap arus balik tentunya dampaknya akan merusak sekali,” kata
Sri.

2.8 DAMPAK KRISIS AMERIKA SERIKAT TERHADAP EKONOMI
INDONESIA
Ada beberapa hal yang bisa dibaca sebagai dampak atas krisis global ini terhadap
perekonomian Indonesia. Berikut ini saya paparkan dampak resesi global ini
terhadap perekonomian Indonesia.
Melemahnya nilai tukar Rupiah. Nilai tukar Rupiah pada tanggal 10 Oktober
sempat menembus Rp 9.860 per USD. Di pasar antarbank, rupiah bahkan sempat
menembus Rp 10.000 per USD.
Investor dunia panik parah. Akibatnya bursa saham Indonesia turun sebanyak
41% (sebelum kegiatannya dihentikan untuk sementara mulai Rabu, 8 Oktober
2008). Harga saham benar- benar turun drastis.

22

Krisis perbankan global bisa mempengaruhi sektor riil ekonomi dunia, termasuk
Indonesia. Karena sektor perbankan AS sedang terpuruk, kekurangan modal, dan
(melihat banyaknya lembaga keuangan yang bangkrut) enggan meminjamkan
dolarnya, termasuk ke bank-bank internasional di Eropa dan Asia. Akibatnya,
perbankan internasional kekurangan dolar untuk memberi pinjaman ke para
pengusaha dunia, yang membutuhkan dolar untuk investasinya (untuk impor
mesin, bahan baku, dan sebagainya), termasuk di Indonesia.
Dampak resesi ekonomi AS dan Eropa terhadap Indonesia tentunya negatif, tetapi
karena net-ekspor (ekspor dikurang impor) hanya menggerakkan sekitar 8% dari
produk domestik bruto (PDB) Indonesia, maka dampaknya relatif kecil
dibandingkan dengan negara tetangga yang ketergantungan ekspornya ke AS
besar, misalnya Hong Kong, Singapura, dan Malaysia. Pada Negara berjumlah
penduduk banyak seperti Indonesia belanja masyarakatnya merupakan motor
penggerak ekonomi yang kuat. Untuk ekonomi Indonesia, dampak negatif
kenaikan harga bahan bakar minyak sebesar 125% pada 2005 jelas lebih besar
dari pada dampak resesi ekonomi AS.
Krisis finansial global dan lumpuhnya sistem perbankan global yang berlarut akan
berdampak sangat negatif terhadap Indonesia, karena pembiayaan kegiatan
investasi di Indonesia (baik oleh pengusaha dalam maupun luar negeri) akan terus
menciut, penyerapan tenaga kerja melambat dan akibatnya daya beli masyarakat
turun-yang akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.Dalam situasi
seperti ini tentunya yang biasa dilakukan adalah efisiensi. Bisa jadi itu dilakukan
dengan melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK. Itu sudah menjadi
konsekuensi kalau daya saing produk kita terus berkurang sementara biaya
produksi meningkat.

23

2.9 KONDISI KRISIS DI INDONESIA
Sebagai salah satu pelaku pasar dunia, Indonesia tentu juga tak luput dari
hantaman krisis. Indikasi krisis di Indonesia ditunjukkan oleh berbagai indikator
yaitu:
1

Pasar SUN mengalami tekanan hebat tercermin dari penurunan harga
SUN atau kenaikan yield SUN secara tajam yakni dari rata-rata sekitar
10% sebelum krisismenjadi 17,1% pada tanggal 20 November 2008;
(catatan: setiap 1% kenaikan yield SUN akan menambah beban biaya
bunga SUN sebesar Rp1,4 Triliun di APBN)

2

Credit Default Swap (CDS) Indonesia mengalami peningkatan secara
tajam yakni dari sekitar 250 bps awal tahun 2008 menjadi diatas 980 bps
pada bulan November 2008. Hal ini menunjukkan bahwa pasar
menilai country risk Indonesia yang tinggi pada saat

itu;
Grafik 1. Grafik Credit Default Swaps (CDS)

24

3

Terdapat gangguan likuiditas di pasar karena peningkatan liquidity
premium akibat pelebaran bid-ask spread dalam perdagangan di pasar
saham, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadi capital
flight;Cadangan Devisa mengalami penurunan 13% dari USD 59.45
milyar per Juni 2008 menjadi 51.64 milyar per Desember 2008 yang
mengindikasikan terjadi capital flight;

4

Rupiah terdepresiasi 30.9% dari Rp 9.840 per Jan 2008 menjadi Rp
12.100 per Nopember 2008 dengan volatilitas yang tinggi;

5

Banking Pressure Index (dikeluarkan oleh Danareksa Research
Institute) dan Financial Stability Index (dikeluarkan oleh BI) yang
sudah memasuki dalam ambang batas kritis. Banking Pressure
Index per Oktober 2008 sebesar 0,9 atau lebih tinggi dari ambang normal
0,5. Sementara itu, Financial Stability Index per November 2008 sebesar
2,43 atau di atas angka indikatif maksimum 2,0. Ini menunjukkan bahwa
sistem perbankan dan sistem keuangan domestik dalam keadaan genting.
Semakin tinggi nilai BPI (positif), semakin vulnerable sistem perbankan
negara yang bersangkutan;

Grafik 2. Banking Pressure Index Indonesia
25

(Sumber: Danareksa Institute)

Grafik 3. Financial Stability Index
(Sumber: Bank Indonesia)
6

Terdapat potensi terjadi capital flight yang lebih besar lagi dari para
deposan bank karena tidak adanya sistem penjaminan penuh (full
guarantee) di Indonesia seperti yang sudah diterapkan di Australia,
Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Taiwan dan Korea, disamping
Uni Eropa.

Gambaran dan fakta-fakta tersebut di atas, sejak pertengahan tahun 2008,
ketegangan dan kecemasan terjadi di mana-mana, investor besar di pasar modal
seperti Dana Pensiun, Asuransi, dan Reksa Dana termasuk masyarakat biasa.
Psikologis pasar saat itu menusuk dan menekan karena nilai investasi terkuras
tajam hampir rata-rata 40 %. Lebih dasyat lagi, pinjaman antar Bank telah
berhenti sama sekali dan dapat dikatakan likuiditas di pasar perbankan
tidak ada sama sekali. Keadaan ini mendorong Pemerintah melakukan
penyesuaian kebijakan secara cepat dan tepat waktu dengan melakukan
perubahan-perubahan penilaian aktiva. Masih dalam ingatan kita semua bahwa
26

hampir semua industri dan para pengamat termasuk perseorangan baik dalam
negri maupun luar negeri menyambut respon Pemerintah tersebut.
Melihat perkembangan kondisi makro ekonomi pada saat itu, satu bulan sebelum
Bank Cetury masuk ke KSSK, Drajad Wibowo sempat menanggapi ancaman
krisis global.
"Pemerintah harus menentukan manuver-manuver politiknya dan segera
melakukan tindakan untuk meredam krisis yang sedang melanda
Indonesia. Pemerintah sebaiknya mengambil langkah nyata selagi
Indonesia belum merasakan benar jalaran badai krisis AS. Kita bisa
ambil contoh bagaimana negara bagian Florida bergerak cepat
mengungsikan warganya ketika badai Katarina menerjang daerah
tersebut”

(Dikutip dari di situs okezone.com, Kamis (9/10/2008))

2.10

CARA

MENGATASI

KRISIS

EKONOMI

GLOBAL

OLEH

PEMERINTAH INDONESIA
Presiden menegaskan 10 langkah yang harus ditempuh semua pihak untuk
menghadapi krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat (AS), sehingga tidak
berdampak buruk terhadap pembangunan nasional.
Pertama, Presiden mengajak semua pihak dalam menghadapi krisis
global harus terus memupuk rasa optimisme dan saling bekerjasama
sehingga bisa tetap menjagar kepercayaan masyarakat.
Kedua, pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen harus terus
dipertahankan antara lain dengan terus mencari peluang ekspor dan
investasi serta mengembangkan perekonomian domestik.
Ketiga adalah optimalisasi APBN 2009 untuk terus memacu
pertumbuhan dengan tetap memperhatikan `social safety net` dengan
27

sejumlah hal yang harus diperhatikan yaitu infrastruktur, alokasi
penanganan kemiskinan, ketersediaan listrik serta pangan dan BBM.
Untuk itu perlu dilakukan efisiensi penggunaan anggaran APBN
maupun APBD khususnya untuk peruntukan konsumtif.
Keempat, ajakan pada kalangan dunia usaha untuk tetap mendorong
sektor riil dapat bergerak. Bila itu dapat dilakukan maka pajak dan
penerimaan negara bisa terjaga dan juga tenaga kerja dapat terjaga.
Sementara Bank Indonesia dan perbankan nasional harus membangun
sistem agar kredit bisa mendorong sektor riil. Di samping itu, masih
menurut Kepala Negara, pemerintah akan menjalankan kewajibannya
untuk memberikan insentif dan kemudahan secara proporsional.
Kelima, semua pihak lebih kreatif menangkap peluang di masa krisis
antara lain dengan mengembangkan pasar di negara-negara tetangga di
kawasan Asia yang tidak secara langsung terkena pengaruh krisis
keuangan AS.
Keenam, menggalakkan kembali penggunaan produk dalam negeri
sehingga pasar domestik akan bertambah kuat.
Ketujuh, perlunya penguatan kerjasama lintas sektor antara pemerintah,
Bank Indonesia, dunia perbankan serta sektor swasta.
Kedelapan, semua kalangan diharapkan untuk menghindari sikap egosentris dan memandang remeh masalah yang dihadapi.
Kesembilan, mengingat tahun 2009 merupakan tahun politik dan tahun
pemilu, kaitannya dengan upaya menghadapi krisis keuangan AS
adalah memiliki pandangan politik yang non partisan, serta
mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan golongan
maupun pribadi termasuk dalam kebijakan-kebijakan politik.
Kesepuluh, Presiden meminta semua pihak melakukan komunikasi
yang tepat dan baik pada masyarakat. Tak hanya pemerintah dan
kalangan pengusaha, serta perbankan, Kepala Negara juga memandang

28

peran pers dalam hal ini sangat penting karena memiliki akses
informasi pada masyarakat.

2.11

LANGKAH- LANGKAH INDONESIA DALAM MENGHADAPI

KRISIS GLOBAL
Karena capital

inflow melalui

pasar

modal

berkurang,

diharapkan

bisa

terkompensasi dari aliran dana lainnya. Di antaranya, menggenjot ekspor yang
mendongkrak neraca perdagangan dan penanaman modal asing langsung (FDI).
Keinginan tersebut akan dipenuhi dengan sejumlah langkah. Langkah
konvensional dilakukan dengan memberikan insentif kepada dunia usaha. Di sini,
PP No 1/2007 tentang insentif pajak bagi usaha dan daerah tertentu akan
diimplementasikan. Paket kebijakan ekonomi lawas melalui Inpres 5/2008 juga
terus dijalankan.
Kebijakan nonkonvensional juga dilakukan melalui pemangkasan defisit APBN.
Sebab, pembiayaan melalui penerbitan surat utang makin sulit dilakukan. Selain
situasi masih tak menentu, likuditas di pasar global akan mengering. Apalagi,
setelah pemerintah AS menganggarkan dana program penyelamatan darurat
senilai USD 700 miliar (sekitar Rp 6.440 triliun). Selain dari pajak yang dibayar
rakyat AS, dana tersebut bakal dicarikan dari penerbitan obligasi di pasar. (jiban)

29

BAB III
KESIMPULAN
Krisis ekonomi global berawal dari subprime mortage atau kredit macet
sektor perumahan di AS yang akhirnya membuat ambruknya pasar modal AS
dengan anjloknya indeks saham di Bursa Efek New York dan diperparah dengan
melambungnya harga minyak dunia hingga menyentuh harga 105 dolar AS per
barel yang memberi kontribusi terhadap tekanan terhadap perekonomian AS.
Dampak yang di timbulkan oleh krisis ini bukan hanya di AS sendiri namun
hampir seluruh dunia terkena dampak dari krisis ini. Di Indonesia sendiri, dampak
resesi yang ditimbulkan oleh krisis ini antara lain adalah:



Melemahnya nilai tukar Rupiah, hingga mencapai Rp 9.860 per USD
Investor dunia panik parah. Akibatnya bursa saham Indonesia turun 41%,
dan sebagainya.
Namun, dampak resesi ekonomi AS dan Eropa terhadap Indonesia

tentunya negatif, tetapi karena net-ekspor (ekspor dikurang impor) hanya
menggerakkan sekitar 8% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

30

DAFTAR PUSTAKA
http://heto-heto.blogspot.com/2008/10/dampak-krisis-global-terhadap.html
http://jianibnuzab.blogspot.com/2008/11/krisis-global-tahun-2008.html
http://tuanx.blogspot.com/2011/06/makalah-krisis-ekonomi.html

31