Makalah Penyakit Menular Seksual. docx

Makalah Penyakit Menular Seksual

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit Menular Seksual (PMS) adalah penyakit yang penularannya
terutama melalui hubungan seksual (Daili, 2007; Djuanda, 2007). Sejak tahun
1998, istilah STD mulai berubah menjadi STI (Sexually Transmitted Infection),
agar dapat menjangkau penderita asimtomatik (Daili, 2009). Menurut WHO
(2009), terdapat lebih kurang 30 jenis mikroba (bakteri, virus, dan parasit) yang
dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan
adalah infeksi gonorrhoeae, chlamydia, syphilis, trichomoniasis, chancroid,
herpes genitalis, infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan hepatitis B.
Dalam semua masyarakat, Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan penyakit
yang paling sering dari semua infeksi (Holmes, 2005; Kasper, 2005).
Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu dari sepuluh
penyebab pertama penyakit yang tidak menyenangkan pada dewasa muda lakilaki dan penyebab kedua terbesar pada dewasa muda perempuan di negara
berkembang. Dewasa dan remaja (15- 24 tahun) merupakan 25% dari semua
populasi yang aktif secara seksual, tetapi memberikan kontribusi hampir 50% dari
semua kasus IMS baru yang didapat. Kasus- kasus IMS yang terdeteksi hanya
menggambarkan 50%- 80% dari semua kasus IMS yang ada di Amerika. Ini

mencerminkan keterbatasan “screening” dan rendahnya pemberitaan akan IMS
(Da Ros, 2008).

Diperkirakan lebih dari 340 juta kasus baru dari IMS yang dapat
disembuhkan (sifilis, gonore, infeksi klamidia, dan infeksi trikomonas) terjadi
setiap tahunnya pada laki- laki dan perempuan usia 15- 49 tahun. Secara
epidemiologi penyakit ini tersebar di seluruh dunia, angka kejadian paling tinggi
tercatat di Asia Selatan dan Asia Tenggara, diikuti Afrika bagian Sahara, Amerika
Latin, dan Karibean. Jutaan IMS oleh virus juga terjadi setiap tahunnya,
diantaranya ialah HIV, virus herpes, human papilloma virus, dan virus hepatitis B
(WHO, 2007). Di Amerika, jumlah wanita yang menderita infeksi klamidial 3 kali
lebih tinggi dari laki- laki. Dari seluruh wanita yang menderita infeksi klamidial,
golongan umur yang memberikan kontribusi yang besar ialah umur 15-24 tahun
(CDC, 2008). Di Indonesia sendiri, telah banyak laporan mengenai prevalensi
infeksi menular seksual ini. Beberapa laporan yang ada dari beberapa lokasi
antara tahun 1999 sampai 2001 menunjukkan prevalensi infeksi gonore dan
klamidia yang tinggi antara 20%-35% (Jazan, 2003). Selain klamidia, sifilis
maupun gonore , infeksi HIV/AIDS saat ini juga menjadi perhatian karena
peningkatan angka kejadiannya yang terus bertumbuh dari waktu ke waktu.
Jumlah penderita HIV/AIDS dapat digambarkan sebagai fenomena gunung es,

yaitu jumlah penderita yang dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah
sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penderita HIV/AIDS di
Indonesia yang sebenarnya belum diketahui secara pasti. Diperkirakan jumlah
orang dengan HIV di Indonesia pada akhir tahun 2003 mencapai 90.000 –
130.000 orang. Sampai dengan Desember 2008, pengidap HIV positif yang
terdeteksi adalah sebanyak 6.015 kasus. Sedangkan kumulatif kasus AIDS

sebanyak 16.110 kasus atau terdapat tambahan 4.969 kasus baru selama tahun
2008. Kematian karena AIDS hingga tahun 2008 sebanyak 3.362 kematian
(Depkes, 2009). Di Propinsi Sumatera Utara sendiri, dari 12.855.845 jumlah
penduduk yang tercatat, ada sedikitnya 2947 yang menderita infeksi menular
seksual (Depkes, 2008).
Penyakit menular seksual juga merupakan penyebab infertilitas yang
tersering, terutama pada wanita. Antara 10% dan 40% dari wanita yang menderita
infeksi klamidial yang tidak tertangani akan berkembang menjadi pelvic
inflammatory disease (WHO, 2008).
Dari data dan fakta di atas, jelas bahwa infeksi menular seksual telah
menjadi problem tersendiri bagi pemerintah. Tingginya angka kejadian infeksi
menular seksual di kalangan remaja dan dewasa muda, terutama wanita,
merupakan bukti bahwa masih rendahnya pengetahuan remaja akan infeksi

menular seksual. Wanita dalam hal ini sering menjadi korban dari infeksi menular
seksual. Hal ini mungkin disebabkan masih kurangnya penyuluhan- penyuluhan
yang diakukan oleh pemerintah dan badan-badan kesehatan lainnya. Tidak adanya
mata pelajaran yang secara khusus mengajarkan dan memberikan informasi bagi
murid sekolah menengah atas, terutama siswi, juga menjadi salah satu penyebab
tingginya angka kejadian infeksi menular seksual di kalangan remaja.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Penulisan makalah ini bertujuan untuk dapat memperoleh pengetahuan
tentang penyakit – penyakit yang berhubungan dengan penyakit menular seksual.

2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa dapat mengetahui tentang definisi penyakit HIV/AIDS, Sifilis dan
Gonore.
b. Mahasiswa dapat mengetahui tentang distribusi dan frekuensi penyakit
c.

HIV/AIDS, Sifilis dan Gonore.
Mahasiswa dapat mengetahui tentang etiologi penyakit HIV/AIDS, Sifilis dan


Gonore.
d. Mahasiswa dapat mengetahui tentang mekanisme HIV/AIDS, Sifilis dan Gonore.
e. Mahasiswa dapat megetahui tentang cara penularan HIV/AIDS, Sifilis dan
f.

Gonore.
Mahasiswa dapat mengetahui tentang manifestasi klinis HIV/AIDS, Sifilis dan

Gonore.
g. Mahasiswa dapat mengetahui tentang cara pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS, Sifilis dan Gonore.

BAB II
TINJAUAN DAN PEMBAHASAN
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Penyakit Menular Seksual
Penyakit menular seksual adalah penyakit yang ditularkan melalui
hubungan seksual. Penyakit menular seksual akan lebih beresiko apabila


melakukan hubungan seksual dengan berganti – ganti pasangan baik melalui
vagina, oral maupun anal (Sjaiful, 2007).
2. Bahaya Penyakit Menular Seksual
Penyakit menular seksual menyebabkan infeksi saluran reproduksi yang
harus dianggap serius. Bila tidak diobati secara tepat, infeksi dapat menjalar dan
menyebabkan penderitaan, sakit perkepanjangan, kemandulan dan kematia
3.
a.
b.
c.
d.

(Sjaiful, 2007).
Tanda dan Gejala Penyakit Menular Seksual (Sajaiful, 2007)
Rasa sakit atau nyeri pada saat kencing atau berhubungan seksual.
Rasa nyeri pada perut bagian bawah.
Pengeluaran lender pada vagina/alat kelamin.
Keputihan berwarna putih susu, bergumpal dan disertai rasa gatal dan kemerahan

pada alat kelamin atau sekitarnya.

e. Keputihan yang berbusa, kehijauan, berbau busuk, dan gatal.
f. Timbul becak-bercak darah setelah berhubungan seks.
g. Bintil – bintil berisi cairan, lecet atau borok pada alat kelamin.

B. PEMBAHASAN
1. Penyakit HIV/AIDS
a. Definisi HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV
menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal
infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai
sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena
berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel
darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang
masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai
CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan

yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama
akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA,
2007c).

Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae.
Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim
reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia,
dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup,
yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe,
dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara
kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas
di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang
berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk
melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS
melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam
sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam
kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai
dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur.
Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik (Zein, 2006).
b. Distribusi Frekuensi


Penyakit ini sudah lama ada hanya saja belum disadari oleh para ilmuwan
bahwa kasus–kasus yang ditemukan adalah kasus AIDS. Baru pada tahun 1981
Amerika Serikat melaporkan kasus–kasus penyakit infeksi yang jarang terjadi
ditemukan dikalangan homoseksual, yang kemudian dirumuskan sebagai penyakit
Gay Related Immune Deficiency (GRID), yakni penurunan kekebalan tubuh yang
dihubungkan dengan kaum gay/homoseksual.
Kemudian pada tahun 1982, CD–USA (Centers for Disease Control)
Amerika Serikat untuk pertama kali membuat definisi AIDS. Sejak saat itulah
survailans AIDS dimulai. Dan juga ditemukan penyebab kelainan ini adalah LAV
(Lymphadenophaty Associaterd Virus ) oleh Luc Montagnier dari pasteur Institut,
Paris.
Pada tahun 1984 Gallo dan kawan–kawan dari National Institute of
Health, Bethesda, Amerika Serikat menemukan HTLV III ( Human T
Lymphotropic Virus type III) sebagai sebab kelainan ini.
Pada tahun 1985 ditemukan Antigen untuk melakukan tes ELISA, suatu
tes untuk mengetahui terinfeksi virus itu atau tidaknya seseorang.
Pada tahun 1986, International Commintte on Taxonomi of Viruses,
memutuskan nama penyebab penyakit AIDS adalah HIV sebagai pengganti nama
LAV dan HTLV III.

15 April 1987, Kasus AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan. Seorang
wisatawan berusia 44 tahun asal Belanda, Edward Hop, meninggal di Rumah
Sakit Sanglah, Bali. Kematian lelaki asing itu disebabkan AIDS. Hingga akhir

1987, ada enam orang yang didiagnosis HIV positif, dua di antara mereka
mengidap AIDS.
Sejak ditemukan tahun 1978, secara kumulatif jumlah kasus AIDS di
Indonesia sampai dengan 30 September 2009 sebanyak 18.442 kasus. jumlah ini
semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Data Kementerian Kesehatan akhir 2009 menyebutkan penderita AIDS
kelompok umur 20-29 tahun di Indonesia mencapai 49,07 persen. Berikutnya
kelompok umur 30-39 tahun dengan 30,14 persen. Berdasarkan jenis kelamin
14720 kasus atau 73,7 persen diderita pria dan 5163 kasus adalah perempuan.
Berdasarkan cara penularan, kasus AIDS kumulatif tertinggi melalui hubungan
heteroseksual (50,3 persen), pengguna napza suntik/ penasun (40,2 persen), dan
hubungan homoseksual (3,3 persen).Jumlah kasus AIDS kumulatif 19.973 kasus
yang tersebar di 32 Provinsi di Indonesia. Penderita HIV positif terbanyak berada
di DKI Jakarta dari Propinsi DKI Jakarta (7766), disusul Jawa Timur (4553), Jawa
Barat (3077), Sumatera Utara (2783), dan Kalimantan Barat (1914).
Pada tahun 2014 diproyeksikan jumlah infeksi baru HIV usia 15-49 tahun

sebesar 79.200 dan proyeksi untuk ODHA usia 15-49 tahun sebesar 501.400
kasus. Demikian laporan triwulan ketiga tahun 2009 Surveilans AIDS Ditjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP &PL) Depkes.
c. Etiologi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab
AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri
khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk

silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk
replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan
pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein
replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk
gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya.
Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi
HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev
membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef
menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang
lain (Brooks, 2005).
d. Mekanisme Penyakit (RAP)
a. Tahap Pre Patogenesis

Tahap pre patogenesis tidak terjadi pada penyakit HIV AIDS. Hal ini karena
penularan penyakit HIV terjadi secara langsung (kontak langsung dengan
penderita). HIV dapat menular dari suatu satu manusia ke manusia lainnya
melalui kontak cairan pada alat reproduksi, kontak darah (misalnya trafusi darah,
kontak luka, dll), penggunaan jarum suntik secara bergantian dan kehamilan.
b. Tahap Patogenesis
Pada fase ini virus akan menghancurkan sebagian besar atau keseluruhan sistem
imun penderita dan penderita dapat dinyatakan positif mengidap AIDS. Gejala
klinis pada orang dewasa ialah jika ditemukan dua dari tiga gejala utama dan satu
dari lima gejala minor. Gejala utamanya antara lain demam berkepanjangan,
penurunan berat badan lebih dari 10% dalam kurun waktu tiga bulan, dan diare
kronis selama lebih dari satu bulan secara berulang-ulang maupun terus menerus.
Gejala minornya yaitu batuk kronis selama lebih dari 1 bulan, munculnya Herpes

zoster secara berulang-ulang, infeksi pada mulut dan tenggorokan yang
disebabkan oleh Candida albicans, bercak-bercak gatal di seluruh tubuh, serta
pembengkakan kelenjar getah bening secara menetap di seluruh tubuh. Akibat
rusaknya sistem kekebalan, penderita menjadi mudah terserang penyakit-penyakit
yang disebut penyakit oportunitis. Penyakit yang biasa menyerang orang normal
seperti flu, diare, gatal-gatal, dan lain-lain. Bisa menjadi penyakit yang
mematikan di tubuh seorang penderita AIDS.
c. Tahap Inkubasi
Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV
sampai dengan menunjukkan gejala-gejala AIDS. Waktu yang dibutuhkan ratarata cukup lama dan dapat mencapai kurang lebih 12 tahun dan semasa inkubasi
penderita tidak menunjukkan gejala-gejala sakit. Selama masa inkubasi ini
penderita disebut penderita HIV. Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV
tidak dapat tedeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak
tertular virus HIV. Selama masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi untuk
menularkan virus HIV kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai pola
transmisi virus HIV. Mengingat masa inkubasi yang relatif lama, dan penderita
HIV tidak menunjukkan gejala-gejala sakit, maka sangat besar kemungkinan
penularan terjadi pada fase inkubasi ini.
d. Tahap Penyakit Dini
Penderita mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya tahan
tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut. Setelah kondisi membaik, orang
yang terkena virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan perlahan
kekebalan tubuhnya menurun/ lemah hingga jatuh sakit karena serangan demam
yang berulang. Satu cara untuk mendapat kepastian adalah dengan menjalani uji

antibody HIV terutamanya jika seseorang merasa telah melakukan aktivitas yang
e.

beresiko terkena virus HIV.
Tahap Penyakit Lanjut
Pada tahap ini penderita sudah tidak bias melakukan aktivitas apa-apa. Penderita
mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk serta nyeri dada. Penderita
mengalami jamur pada rongga mulut dan kerongkongan. Terjadinya gangguan
pada persyarafan central mengakibatkan kurang ingatan, sakit kepala, susah
berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan respon anggota gerak melambat.
Pada sistem persyarafan ujung (peripheral) akan menimbulkan nyeri dan
kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek tendon yang kurang selalu
mengalami tensi darah rendah dan impotent. Penderita mengalami serangan virus
cacar air (herpes simplex) atau cacar api (herpes zoster) dan berbagai macam
penyakit kulit yang menimbulkan rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah
mengalami infeksi jaringan rambut pada kulit (folliculities), kulit kering

berbercak-bercak.
f. Tahap Post Patogenesis (Tahap Penyakit Akhir)
Fase ini merupakan fase terakhir dari perjalanan penyakit AIDS pada tubuh
penderita. Fase akhir dari penderita penyakit AIDS adalah meninggal dunia.

e. Mekanisme Penularan Penyakit
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang
berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air
susu ibu (KPA, 2007).
Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual,
kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa
kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu). (Zein, 2006).
a) Seksual

Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari
semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama
senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama
berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara
dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak
terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
b) Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV.
c) Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke
dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada
pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan
prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja)
d)

bagi petugas kesehatan.
Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya
dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut

disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan.
e) Melalui transplantasi organ pengidap HIV.
f) Penularan dari ibu ke anak.
g) Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung,
dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.

f. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis
sampai penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi
pada umur muda karena sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi
vertikal dari ibu ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun
dan 82% berumur