INVESTASI PERUSAHAAN ASING MULTINATIONAL coorporate

INVESTASI PERUSAHAAN ASING
(MULTINATIONAL CORPORATION) DI
INDONESIA PADA SEKTOR MIGAS, PRAKTIK
IMPERIALISME?
Ujian Akhir Semester Teori Hubungan Internasional

Dosen:
Hizkia Yosie Polimpung
Oleh:
Ibnu Amin Gani
(0801511050)

Universitas Al-Azhar Indonesia
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Hubungan Internasional
8 Juli 2013
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam makalah ini


penulis

akan

membahas

mengenai

penanaman modal asing atau investasi asing di Indonesia pada sektor
migas. Seperti yang kita ketahui pada umumnya Indonesia merupakan
negara yang memiliki banyak sumber daya alam yang tersembunyi
dalam perut Indonesia dan sumber daya manusianya yang melimpah.
Isi perut yang dimiliki Indonesia ini berlimpah dimulai dari minyak,
batubara, dan gas yang menjadikan kunci penting dalam mendorong
perekonomian Indonesia, tidak hanya itu seperti emas, bauksit,
tembaga, rempah-rempah, dan lainnya juga tersimpan dalam perut
Indonesia.1
Kekayaan yang dimiliki Indonesia inilah yang kemudian menjadi
pusat perhatian bagi bangsa barat seperti Inggris, Belanda, dan

Portugis untuk melakukan kolonialisme selama 400 tahun di Indonesia
dan menjadikan Indonesia sebagai sasaran utama untuk di eksploitasi
oleh mereka, Lalu di ikuti dengan penjajahan jepang yang merusak
harga diri dan moral bangsa Indonesia dengan cara yang lebih kejam
dari penjajahan sebelumnya.2
Dari hal ini yang kemudian menjadi ketertarikan bagi penulis
untuk mengelaborasi lebih mendalam mengenai mengapa bangsa
barat atau asing menginginkan untuk mengelola dan investasi di
Indonesia. Yang seharusnya Indonesia dapat mengelola migasnya
secara independen. maka dari itu pembahasan lebih mendalam akan
dibahas di bab selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

1http://www.igj.or.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=601&Itemid=193 (Free Trade Watch Edisi IV
Desember 2011) di tulis oleh Salamuddin Daeng
2 Ibid.

Mengapa perusahaan asing / Multinational Corporation dalam sektor

pengelolaan migas gencar untuk mengelola sumber daya migas yang
dimiliki Indonesia?
C. Kerangka Teori
Dalam menganalisis permasalahan di dalam penulisan makalah ini
akan menggunakan teori Strukturalisme. Strukturalisme ini memiliki
turunan teori yaitu Teori Sistem Dunia yang menekankan bahwa dunia
ini terbagi menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan pertama adalah Core
atau inti yaitu negara-negara yang maju yang memiliki modal dan
kekuatan produksi. Lalu lapisan kedua semi periphery yaitu negaranegara yang berada di tengah-tengah antara lapisan pertama dan
ketiga. Lalu lapisan ketiga atau periphery yakni negara yang
berkembang dan memiliki sumber daya alam dan manusia yang
melimpah tetapi tidak memiliki kekuatan produksi. 3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dinamika Perkembangan Migas di Indonesia
1. Sebelum masa kemerdekaan
Pertama kali usaha untuk pencarian minyak di Indonesia dilakukan
oleh seseorang pengusaha bekebangsaan belanda yang bernama Jan
Reerink. Di tahun 1871 Jan Reering melakukan pengeboran di daerah
lereng gunung Ciremai, namun usaha pengeboran tersebut tidak

membuahkan hasil.4 Dan kemudian di lanjutkan oleh Aeliko Jana
Zijliker pada tahun 1885 untuk melakukan proses pengeboran di
Telaga Tunggal. Dari pengeboran tersebut membuahkan sebuah hasil
dan karena keberhasilannya menarik para peminat untuk melakukan
eksplorasi di daerah lainnya yang memiliki potensi minyak seperti
Jambi, Aceh, Surabaya, dan Palembang. Keberhasilan dari usahanya

3 http://elizabethlouise-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-77192-Teori
%20Hubungan%20Internasional-Marxisme%20dan%20Strukturalisme.html
(Elizabeth Louise 071211233022)
4 http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/123307-6129-Implikasi%20liberalisasiAnalisis.pdf (Dian Lestari, FE-UI, 2008)

tersebut menciptakan usaha untuk produksi di sektor perminyakan,
pengolahan dan penyulingan minyak bumi dan pemasarannya. 5
Penemuan-penemuan tersebut menjadikan faktor pendorong bagi
pengusaha-pengusaha untuk membentuk suatu perusahaan minyak di
Indonesia, termasuk Aeliko dan kawan-kawannya membentuk suatu
perusahaan bernama Royal Dutch Petroleum.6 Kemudian disusul oleh
Marcus Samuel yang mendirikan perusahaan minyak di Indonesia
karena menemukan minyak di Kalimantan Timur dan menamakan

perusahaannya Shell Transport and Trading Co. pada tahun 1894. 7
Dan pada awal abad ke-20 kedua perusahaan tersebut bersatu dengan
nama The Royal Dutch Shell Group atau dikenal sebagai “Shell” dan
pada saat itu keseluruhan industri minyak di Indonesia berada di
bawah pengawasan perusahaan Shell.8
Lalu masuk pada tahun 1925, masuk perusahaan minyak asal Amerika
Serikat Standard Oil of New Jersey ke Indonesia dan melakukan
kegiatan usahanya di Jawa dan Madura.9 Yang kemudian perusahaan
Standard Oil of New Jersey ini bergabung dengan Socony Vacuum
(Standard Oil of New York) yang memiliki jaringan yang luas dari
Afrika, Asia dan Australia dan merubah nama perusahaannya menjadi
PT Standard Vacuum Petroleum (STANVAC).10
Lalu perusahaan Amerika juga yang bernama California Texas Oil atau
yang dikenal sebagai CALTEX masuk di perusahaan perminyakan
Indonesia.
2. Pada masa kemerdekaan 1945
Ketika pada masa kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang
di tandai dengan proklamasi kemerdekaannya, memberikan semangat

5 Ibid.

6 http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/128081-T%2026540-Peranan%20workMetodologi.pdf (Wahyuni Lestari, FE-UI, 2009)
7 Ibid.
8 Ibid.
9 http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/123307-6129-Implikasi%20liberalisasiAnalisis.pdf (Dian Lestari, FE-UI, 2008)
10 Op.cit

kemerdekaan di bidang pengelolaan sumber daya alam untuk tujuan
kesejahteraan rakyat. Dan hal ini tertuang dalam UUD 1945 pasal 33
yang berbunyi bahwa bumi air dan kekayaan yang terkandung di
dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.11
Maka dari itu untuk mengemban amanat yang ditertera pada UUD
1945 pasal 33, akhirnya, pada tahun 1971 Indonesia memiliki
perusahaan migas yaitu PERTAMINA sebagai perusahaan yang
memiliki kedaulatan penuh dalam pengelolaan sumber daya migas di
Indonesia.12 Setelah PERTAMINA menjadi perusahaan negara yang
kemudian di atur dalam UU No. 8 Tahun 1971 Tentang PERTAMINA,
perusahaan tersebut mengalami kenaikan yang pesat dan berhasil
menjadi pengekspor minyak terbesar di dunia.13
Lalu di dalam undang-undang tersebut mengatur bahwa perusahaan

migas asing yang berada di Indonesia hanya sebagai kontraktor dari
PERTAMINA, jadi perusahaan seperti Shell, Caltex, dan Stanvac
bekerja untuk PERTAMINA sebagai kontraktor dan dalam bentuk
production sharing contract yang menjadi dasar dari kontrak kerja
sama pengelolaan migas di Indonesia seterusnya.14

3. Pasca Kemerdekaan sampai tahun 2001
Pada masa ini merupakan masa kejayaan bagi perusahaan migas
Indonesia yaitu PERTAMINA, yang dimana terjadi kenaikan harga
minyak

dunia

sampai

US$

30

per


barrel.

Kenaikan

tersebut

menjadikan PERTAMINA sebagai penopang utama pembangunan
nasional dengan mendonor devisa paling besar bagi Indonesia. 15

11 Ibid.
12 Ibid.
13 http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/123307-6129-Implikasi%20liberalisasiAnalisis.pdf (Dian Lestari, FE-UI, 2008)
14 Op.cit
15 Ibid.

4. Tahun 2001
Perusahaan tunggal migas negara Indonesia yaitu PERTAMINA sudah
berakhir, artinya PERTAMINA tidak lagi menjadi pemain tunggal
dalam sektor migas di Indonesia. Di karenakan di berlakukannya UU.

No. 22 Tahun 2001 Tentang Migas. Undang-undang ini yang menjadi
pemicu awal untuk meliberalisasi di sektor minyak dan gas bumi
untuk membuat pasar yang lebih kompetitif.16
Pemicu awal yang menjadikan UU No. 22 Tahun 2001 diberlakukan
adalah karena dengan berjalannya waktu, permintaan/kebutuhan
masyarakat akan Bahan Bakar Minyak makin bertambah. Sehingga
membuat perusahaan pertamina sulit untuk memenuhi permintaan
tersebut

di

karenakan

alat-alat

produksi

yang

terbatas


untuk

mengolah minyak.17 Kemudian untuk mengatasi masalah tersebut,
pemerintah

mengeluarkan

Keppres

No.31

Tahun

1997

tentang

perusahaan minyak swasta. Dengan adanya peraturan tersebut
pemerintah memberi izin kepada PERTAMINA untuk membeli minyak

pada perusahaan swasta tanpa mengubah peran pertamina yang
memonopoli Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri. 18 Tetapi
dengan diterapkannya Keppres tersebut belum terealisasi pasar
perminyakan yang kompetitif di dalam negeri, belum banyaknya pihak
swasta yang membangun perusahaan minyaknya di dalam negeri
dikarenakan

PERTAMINA

masih

mempertahankan

status

monopolinya. Lalu untuk menjadikan pasar yang kompetitif dan
kebutuhan akan Bahan Bakar Minyak (BBM) terpenuhi makan
diterapkannya UU No.22 Tahun 2001 Tentang Migas. 19 dan dengan
diberlakukannya UU ini menjadikan perusahaan swasta mudah untuk
pengolahan dan pemasaran minyak di Indonesia lalu PERTAMINA
tidaklah lagi menjadi regulator, karena negara telah membentuk
Badan Pelaksana Migas dan Badan Pengatur Migas dan status

16 http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/123307-6129-Implikasi%20liberalisasiAnalisis.pdf (Dian Lestari, FE-UI, 2008)
17 Ibid.
18 Ibid.
19 Ibid.

PERTAMINA sebagai monopoli perusahaan minyak dalam negeri di
cabut.20
Dan sampai pada tahun 2005 silam, tercatat sebesar 105 perusahaan
telah mendapat izin untuk beroperasi, mengelola, dan memasarkan
produk Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia seperti Shell,
Chevron-Texaco, Petronas, British Petroleum dll.21
B. Masalah yang di hadapi akibat dari UU No. 22 Tahun 2001
Tentang Migas
Permasalahan yang di hadapi saat ini adalah pengelolaan sumber
daya alam yaitu dalam hal ini adalah Migas, pengelolaannya masih
bersandar pada perusahaan asing yang menyebabkan semakin
kuatnya peranan perusahaan asing dalam penguasaan dan eksploitasi
Migas Indonesia.22 Dan berdasarkan sumber yang penulis temukan
tersirat bahwa
“Sebagian besar sumber-sumber energi Indonesia dikuasai oleh
perusahaan asing. Untuk minyak, misalnya, Indonesian Resource
Studies (IRESS) menemukan bahwa Pertamina hanya memproduksi
minyak sebesar 15 persen dan 85 persen diproduksi oleh asing.
Sementara data Kementerian ESDM pada tahun 2009 menyebutkan,
pertamina hanya memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai oleh swasta
asing seperti Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), ChonocoPhilips (3,6%) dan CNOOC (4,6%). Sementara hampir 90% produksi
gas Indonesia hanya dikangkangi oleh 6 perusahaan asing, yakni
Chevron, Total, ConocoPhilips, British Petroleum, dan ExxonMobil.
Sementara untuk batubara penguasaan asing diperkirakan mencapai
70%.”23

Selain itu, perekonomian di Indonesia dalam hal ekspor, masih
berbentuk bahan mentah termasuk dalam sumber energi dan batu
bara. Lalu PERTAMINA sudah tidak lagi menjadi pemegang peranan
monopoli dalam pengelolaan migas. PERTAMINA harus bersaing kuat
dengan perusahaan swasta asing lainnya24

20 Ibid.
21 Ibid.
22 http://www.berdikarionline.com/opini/20130627/perspektif-politik-energiberdikari.html (Kusno, anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD) Artikel ini disampaikan
untuk seminar bertajuk “Membangun Kemandirian Energi Dalam Perspektif Empat Pilar
Bangsa” di Denpasar, Bali. Kamis, 27 Juni 2013)

23 Ibid.
24 Ibid.

BAB III
ARGUMENTASI
Setelah pembahasan yang telah di jabarkan pada bab sebelumnya,
kemudian pada bab ini akan menjawab pertanyaan yang tertera dalam
rumusan masalah. Setelah penjelasan yang sudah di terangkan, disini
dapat dilihat bahwa Indonesia memang merupakan suatu wilayah
yang telah di jadikan sasaran bagi perusahaan-perusahaan swasta
asing atau Multinational Corporation (MNC) yang konteksnya disini
adalah migas. baik itu sebelum kemerdekaan maupun setelah
kemerdekaan. Kemudian mengapa perusahaan asing disini sangat
gencar dengan migas yang dimiliki oleh Indonesia? Dalam sudut
pandang penulis dengan menggunakan teori sistem dunia dan teori
ketergantungan yang merupakan turunan teori dari strukturalisme.
Pada teori sistem dunia yang di pelopori oleh Immanuel Wallerstein,
dunia terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu core, semi periphery, dan
periphery.

Melihat

permasalahan

ini,

perusahaan

asing

yang

menginvestasikan perusahaannya di Indonesia berasal dari negaranegara yang berasal dari tingkatan core/inti, yaitu negara yang maju
yang memiliki alat-alat produksi dan Indonesia disini dilihat sebagai
negara yang berada pada tingkatan periphery yaitu negara yang
berkembang yang memiliki sumber daya alam dan manusia yang
melimpah tetapi tidak memiliki kekuatan produksi. Dan tentunya,
negara

ke

core/inti

membutuhkan

seorang

pekerja

untuk

menggerakkan alat produksinya dan objek untuk di produksi agar
menghasilkan keuntungan. Sedangkan negara periphery memiliki
sumber daya alam yang melimpah tetapi tidak bisa mengelolanya di
karenakan

minimnya

alat

produksi

tetapi

memiliki

tenaga/jasa

manusia untuk dapat di pekerjakan. Kemudian, karena negara core
yang disini adalah perusahaan asing yang membutuhkan sumber daya
alam migas dan karena perusahaan asing ini memiliki alat produksi
maka Indonesialah yang di targetkan, Indonesia memiliki sumber
daya

alam

migas

tetapi

menyebabkan

naiknya

mengkonsumsi

BBM

minim

dalam

pengelolaannya

permintaan/kebutuhan
tetapi

tidak

bisa

masyarakat

memenuhi

yang
untuk

kebutuhan

masyarakatnya
PERTAMINA,

di

karenakan

maka

akan

minimnya

menjadi

pengelolaan

tidak

stabil

BBM

kondisi

oleh
dalam

negerinya. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan suatu UU No.
22 Tahun 2001 Tentang Migas untuk meliberalisasikan sektor migas
dengan kata lain, perusahaan asing bebas masuk untuk investasi dan
mengelola migas di Indonesia, yang kemudian PERTAMINA mencabut
statusnya tidak lagi menjadi pemain tunggal dalam sektor migas
Indonesia melainkan harus bersaing dengan perusahaan migas asing
seperti Shell, Petronas dll. Setelah di berlakukannya UU No. 22 Tahun
2001 tersebut, perusahaan asing mulai masuk dan berlomba-lomba
untuk mengelola dan mencari keuntungan dari pengelolaan minyak di
Indonesia. Dan posisi Indonesia disini hanya memberikan jasa kepada
perusahaan

asing

untuk

memperkerjakan

masyarakatnya

di

perusahaan asing tersebut dan juga karena perusahaan asing
membutuhkan tenaga untuk mengelola perusahaannya agar tetap
berjalan. Dan kebutuhan masyarakat Indonesia terpenuhi dengan
adanya perusahaan asing yang memberikan lapangan pekerjaan dan
juga memproduksi BBM untuk kebutuhan sehari-hari masyarakatnya.
Dan perlu di ingat, bahwa tidak selamanya Indonesia berada di posisi
yang aman, karena berdasarkan data yang di terima dalam makalah
ini terdapat problematik yang di hadapi Indonesia sendiri dengan
meliberalisasikan sektor migasnya, yaitu perusahaan migas dalam
negeri PERTAMINA hanya menguasai 13,8% dari keseluruhan migas
di Indonesia yang kemudian sisanya di kelola semua oleh asing.
KESIMPULAN
Masuk

pada

bagian

akhir

dari

makalah

ini,

kesimpulan

dari

banyaknya pembahasan dan argumentasi yang diberikan adalah
bahwasanya perusahaan asing yang gencar untuk mengelola migas di
Indonesia adalah untuk mencari keuntungan bagi negaranya dan
karena negara dari perusahaan asing ini memiliki alat-alat produksi
tetapi minim jasa maka dari itu perusahaan asing ini masuk ke
Indonesia sebagai negara periphery

yang memiliki migas yang

melimpah dan jasa yang banyak agar perusahaannya mendapat

keuntungan. Dan Indonesia kebutuhan masyarakatnya terpenuhi
dengan adanya investasi asing dari mengkonsumsi BBM sampai
penyediaan

fasilitas

lapangan

kerja

agar

mengurangi

tingkat

pengangguran. Tetapi disini Indonesia mengalami kerugian karena
justru perusahaan asinglah yang mendominasi migas di Indonesia di
sebabkan UU No. 22 Tahun 2001 yang meliberalisasi sektor migas.
tidak hanya itu, Indonesia disini posisinya di rugikan di karenakan
Indonesia telah melanggar dan menyalahi UUD 1945 yang tertera
bahwa bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai
oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Dan pada kenyataannya bumi air dan kekayaan Indonesia
hanya dinikmati oleh perusahaan asing dan untungnya hanya untuk
mereka dan hanya sekian persen keuntungan yang didapat untuk
Indonesia. Sekian juta sumber daya alam dan manusianya hanya
untuk

tereksploitasi

dengan

perusahaan

asing.

Inilah

praktik

imperialisme di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA


http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/123307-6129 Implikasi



%20liberalisasi-Analisis.pdf (Dian Lestari FE-UI 2008)
http://www.berdikarionline.com/opini/20130627/perspektif-



politik-energi-berdikari.html
http://www.igj.or.id/index.php?



option=com_content&task=view&id=601&Itemid=193
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/128081-T%2026540-



Peranan%20work-Metodologi.pdf (Wahyuni Lestari FE-UI 2009)
http://elizabethlouise-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail77192-Teori%20Hubungan%20Internasional-Marxisme%20dan
%20Strukturalisme.html (Elizabeth Louise 071211233022)

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF KECUKUPAN MODAL ANTARA PERUSAHAAN PERBANKAN MILIK PEMERINTAH DENGAN PERUSAHAAN PERBANKAN MILIK SWASTA DI BURSA EFEK INDONESIA

1 48 18

ANALISIS KOMPARATIF PROFITABILITAS BERDASARKAN KINERJA KOMITMEN DAN KONTIJENSI PADA BANK CAMPURAN DAN BANK ASING DI INDONESIA

17 269 16

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

47 440 21

ANALISIS PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH, INVESTASI SWASTA, DAN TENAGA KERJA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI EKS KARESIDENAN BESUKI TAHUN 2004-2012

13 284 6

ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN RASIO LIKUIDITAS, PROFITABILITAS, AKTIVITAS DAN LEVERAGE TERHADAP PERUBAHAN LABA DI MASA DATANG PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA

18 254 20

EVALUASI OPTIMALITAS MODAL KERJA PADA PERUSAHAAN ALAS KAKI YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA

1 35 40

PENERAPAN STRATEGI PEMASARAN YANG TEPATGUNA MENINGKATKAN PANGSA PASAR PADA PERUSAHAAN ROLL KARET UD. SARI ARGO MANDIRI MALANG

6 98 2

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA BAGIAN PELINTINGAN PADA PERUSAHAAN ROKOK KRETEK DI KECAMATAN BERBEK KABUPATEN NGANJUK

0 17 55

ANALISIS SEBELUM DAN SESUDAH PENERAPAN TAX PLANNING TERHADAP LABA KENA PAJAK DAN PPH TERUTANG PADA PERUSAHAAN PT. IER (Studi Kasus Pada PT. IER)

16 148 78