E koteologi Menurut Denis Edwards BAB I PENDAHULUAN - Ekoteologi Menurut Denis Edwards Materi Tugas Kuliah

  Ekoteologi Menurut Denis Edwards

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

  Di abad XXI ini, kerusakan lingkungan, baik lingkungan biotik maupun lingkungan abiotik, semakin marak terjadi. Beberapa dari kerusakan ekologis itu disebabkan oleh faktor alam. Namun, fakta memperlihatkan bahwa manusialah yang menjadi penyebab utama kerusakan itu. Sebagai gambaran mengenai keadaan lingkungan hidup kita, berikut ini dipaparkan sebuah prediksi yang pernah dibuat oleh U.S. Worldwatch Institute pada tahun 1984. Menurut prediksi lembaga ini: “Kalau kita tidak serius memperhatikan pencemaran lingkungan, maka pada tahun 1990 ada 10 spesies dalam sehari akan hilang. Pada tahun 2000, ada satu spesies hilang setiap jam. Sejak tahun 1950, kita kehilangan 5% per tahun lahan untuk bercocok tanam dan hutan tropis untuk menarik hujan. Setiap tahun kita kehilangan 20-25 juta ton humus melalui erosi, penggaraman, dan menjadi gurun. Setiap tahun, 20 milyard hektar hutan hilang” [1] Seandainya prediksi mengenai kerusakan ekologis di atas benar-benar terjadi, maka manusia dan komunitas kehidupan lain akan mengalami krisis ekologis yang serius. Krisis ini tentunya akan semakin parah, jika manusia sebagai makhluk yang memiliki intelegensi dan kehendak bebas tidak melakukan upaya-upaya perbaikan dan pencegahan. Berhadapan dengan persoalan ekologis, berbagai bidang ilmu berupaya memberikan kontribusi positifnya dalam upaya perbaikan dan pencegahan kerusakan lingkungan hidup. Salah satu bidang ilmu yang dapat berkontribusi bagi “pertobatan ekologis” (ecological conversion) [2] adalah teologi. Teologi masing-masing agama tentunya memiliki jawaban sendiri atas persoalan ekologis. Tulisan ini secara khusus akan membahas pandangan kekristenan, khususnya Gereja Katolik, mengenai lingkungan hidup dan segala kompleksitasnya. Kajian teologis ini didasarkan atas gagasan teologis seorang imam Katolik dan teolog berkebangsaan Australia, yaitu Denis Edwards, yang termuat di dalam buku Ecology at The Heart of Faith - The Change of Heart that leads to A New Way of Living on Earth (selanjutnya disingkat EHF). Secara pribadi, penulis merasa bahwa gagasan teologis Denis Edwards tentang ekologi ini sangat relevan untuk diperhatikan dan dipertimbangkan sebagai cara alternatif untuk membebaskan manusia dari persoalan ekologis yang dihadapinya.

BAB II GENESIS MANUSIA Menurut Denis Edwards, salah satu isu kunci bagi teologi ekologis adalah pemahaman mengenai

  manusia sebagai bagian dari ciptaan Allah. Ia mengatakan: “Teologi kontemporer manapun yang menyebut dirinya sebagai bersifat ekologis perlu menempatkan manusia di tengah komunitas kehidupan. Teologi itu haruslah merupakan teologi tentang manusia- dalam-relasinya-dengan-yang-lain.” [3] Kutipan di atas mengungkapkan pandangan Edwards mengenai teologi ekologis yang benar. Teologi ekologis tersebut haruslah sebuah teologi yang tidak human-centered atau yang menempatkan manusia “di atas” ciptaan Allah lainnya, melainkan teologi yang menempatkan manusia “di tengah-tengah” komunitas kehidupan.

  Edwards mengakui bahwa kosmologi ilmiah dan biologi evolusioner telah memberikan kontribusi berharga bagi pembentukan sebuah teologi ekologis dalam hubungannya dengan manusia. Kedua bidang ilmu ini menempatkan manusia dalam relasinya dengan sejarah alam semesta dan sejarah kehidupan di bumi. Edwards berargumentasi bahwa sebuah teologi mengenai manusia tidak dibangun semata-mata atas dasar ilmu pengetahuan, tetapi juga dibangun atas dasar sumber-sumber Tradisi Kristen, khususnya pandangannya mengenai tempat manusia di hadapan Allah. Edwards bermaksud membangun sebuah teologi yang merupakan perpaduan antara ilmu pengetahuan dan agama. Demi maksud ini, ia mulai menelusuri sejarah manusia dari sudut pandang ilmu pengetahuan. Edwards kemudian menggali lebih dalam ungkapan Tradisi Kristen mengenai manusia sebagai Citra Allah (Imago Dei).

1. Manusia Berasal dari Alam Semesta

  Berikut ini saya memaparkan kajian Denis Edwards mengenai genesis atau asal-usul manusia dari sudut pandang sains. Untuk menelusuri asal-usul manusia dari sudut pandang ilmu pengetahuan, Edwards menggunakan beberapa teori yang menjelaskan asal-usul manusia.

1.1. Manusia Dilahirkan Dari “Dentuman Besar” (Big Bang)

  Salah satu pencapaian besar di abad XX adalah gagasan yang menyatakan bahwa alam semesta kita tidak bersifat statis, melainkan secara dinamis terus berkembang dan meluas. Ketika alam semesta mengembang dan meluas, galaksi-galaksi saling menjauh satu sama lain secara cepat. Pada masa sekarang, para kosmologis berupaya menyelidiki alam semesta dengan cara kembali ke masa sekitar 1,5 miliar tahun yang lalu ketika alam semesta ini masih berbentuk sederhana, padat dan panas. Mereka menyebut teori mengenai asal mula alam semesta yang dihasilkan dari pecahan pertama (first fraction) dari detik pertama setelah terlahirnya alam semesta sebagai Big Bang (Dentuman Besar). Menurut teori- teori kosmologi berpengaruh, di dalam pecahan pertama pada detik pertama, alam semesta mengalami pengembangan (inflation) atau suatu ekspansi yang sangat cepat. Para ilmuwan semakin yakin untuk menggambarkan apa yang terjadi selanjutnya setelah detik pertama itu. Kosmolog seperti Martin Rees menekankan bahwa kosmologi dapat memberikan sebuah cacatan yang masuk akal mengenai alam semesta yang mengembang sejak akhir dari detik pertama. [4] Dalam kurun waktu ini, partikel-partikel biasa seperti proton, neutron dan elektron sudah ada. Ketika alam semesta berhenti berekspansi dan menjadi dingin, inti dari elemen yang paling sederhana seperti hidrogen dan sebagian helium mulai terbentuk. Hidrogen merupakan elemen pertama yang terbentuk, dan juga merupakan elemen yang mendominasi alam semesta. Pada tahap ini, masih terlalu panas bagi inti hidrogen dan helium untuk menjadi atom. Terdapat transformasi energi yang sangat cepat antara zat (matter) dan radiasi (radiation). Segera sesudahnya, partikel-partikel dan radiasi bergabung. Pada akhir tiga menit yang pertama, terbentuklah observable universe [5] sebagai bola api (fireball) yang terus berekspansi, kemudian menjadi dingin. Bola api ini terbentuk dari inti hidrogen dan helium. Ketika alam semesta kita berusia sekitar 400.000 tahun, sudah cukup dingin bagi inti (nuclei) untuk mengikat diri dengan elektron guna membentuk atom hidrogen dan helium. Pada proses ini, zat (matter) dipisahkan dari radiasi (radiation). Alam semesta menjadi transparan oleh karena besarnya radiasi yang melingkupinya. Radiasi ini adalah radiasi gelombang mikro kosmos (cosmic microwave radiation). Penyebab radiasi gelombang mikro kosmos ini ditemukan oleh Arno Penzias dan Martin Wilson pada tahun 1965, sekitar 13,5 miliar tahun setelah terjadinya radiasi gelombang mikro kosmos. Sekarang para ilmuwan yang mempelajari radiasi ini menemukan bahwa radiasi gelombang mikro kosmos memberikan sebuah gambaran tentang alam semesta awal kepada mereka. Radiasi ini merupakan sisa dari “bola api purba” (primordial fireball). Konsekuensi lebih jauh dari pandangan di atas adalah bahwa manusia merupakan sisa-sisa dari bola api purba. Manusia adalah warisan dari Dentuman Besar yang terjadi sekitar 15 miliar tahun yang lalu. Hidrogen merupakan elemen pokok bagi struktur sel segenap makhluk hidup; dan ketika digabungkan dengan oksigen, terbentuklah air yang mendukung dan mempertahankan kehidupan. Tak dapat dari peristiwa alam semesta awal. Sejarah alam semesta adalah sejarah kita. Dengan demikian maka kita adalah anak-anak alam semesta awal. Komunitas manusia di bumi dan spesies bumi lainnya berasal dari bola api purba. Di dalam bola api purba ini, terkandunglah potensi-potensi yang memungkinkan terjadinya alam semesta seperti yang terlihat sekarang ini. Di dalamnya, terkandung kemungkinan (possibility) semua yang pernah bertumbuh, antara lain, sistem tata surya kita (Galaksi Bima Sakti), bumi dan beragam ciptaan yang ada di dalamnya. Manusia, dan ciptaan lain di dalam komunitas kehidupan di bumi, adalah potensi yang terbuka yang sudah terkandung di dalam pancaran energi purba yang mahabesar. Edwards memiliki keyakinan bahwa alam semesta ini ada hanya karena ia diciptakan Allah secara terus menerus. Iman Kristiani memang tidak menyampaikan detil peristiwa pertumbuhan dan perkembangan alam semesta. Untuk menemukan jawabannya, teologi perlu berdialog dengan sains. Teologi semacam ini akan melihat Allah sebagai pemberi kekuatan bagi perkembangan alam semesta. Dengan kata lain, alam semesta yang terus berkembang ini berasal dari kejadian-kejadian purba yang diciptakan oleh Allah. Pandangan semacam ini, menurut Edwards, menuntun kita kepada suatu pemahaman mengenai sifat Allah yang mencipta secara evolusioner (evolutionary) dan terus berkembang (emergent). Dengan demikian maka manusia pun diciptakan Allah sebagai ciptaan yang terus berkembang.

1.2. Manusia Berasal Dari “Debu Bintang” (Stardust)

  Molekul tubuh manusia terdiri dari atom karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sejumlah kecil elemen lainnya. Sementara atom Karbon terbentuk dari alam semesta awal; karbon, oksigen, dan nitrogen berasal dari bintang-bintang. Sejarah perkembangan bintang-bintang adalah bagian penting dari sejarah manusia. Ketika alam semesta berekspansi dan menjadi dingin, terdapat beberapa lokasi yang merupakan tempat terakumulasinya awan hidrogen dalam jumlah yang besar. Awan gas ini merupakan awal mula galaksi alam semesta kita. Di bawah pengaruh gravitasi, kantung-kantung gas (baca: tempat akumulasi hidrogen) menjadi sempit dan panas, sampai pada tingkat yang memungkinkan terjadinya reaksi fusi. Selanjutnya, terjadilah bintang-bintang awal yang menerangi alam semesta kita. Bintang merupakan tungku termonuklir yang menyebabkan perubahan hidrogen menjadi helium. Ketika hidrogen habis, reaksi nuklir selanjutnya mengubah helium menjadi elemen yang lebih berat, di antaranya: karbon, nitrogen, dan oksigen yang membentuk tubuh manusia. Bintang-bintang yang sangat besar berakhir dengan meledaknya supernova yang kemudian menghasilkan elemen-elemen yang lebih berat, yang berfungsi sebagai benih bagi pembentukan bintang-bintang baru dan planet-planetnya. John Barrow, seorang ahli bintang mengatakan bahwa dibutuhkan sekitar 10 miliar tahun pembakaran bintang untuk menghasilkan karbon dan elemen lain yang membentuk tubuh kita. [6] Setiap atom yang terkandung di dalam elemen-elemen yang ditemukan secara alami di bumi, selain hidrogen purba, berasal dari sebuah bintang. Dalam sebuah buku terbarunya, ahli bintang George Coyne dan Alessandro Omizzolo berbicara mengenai karakter “sosial” dari alam semesta.[7] Mereka tidak hanya menekankan bahwa limpahan elemen kimia di dalam tubuh kita berasal dari tiga generasi bintang, tetapi juga bahwa sejumlah kecil elemen mungkin berasal dari jutaan galaksi yang jauh. Secara radikal kita terhubungkan dengan alam semesta. Martin Rees berbicara tentang “ekologi galaktis” (galactic ecology) [8] dari galaksi kita, Galaksi Bima Sakti (Milky Way Galaxy). Galaksi ini merupakan gudang penyimpanan limpahan bahan mentah yang penting bagi kehidupan. Rees mengatakan bahwa sebuah atom karbon di dalam satu sel otak seorang manusia memiliki asal-usul (pedigree) yang ada sebelum kelahiran sistem tata surya pada 4,5 miliar tahun yang lalu. Atom-atom yang sekarang tergabung di dalam suatu hamparan DNA manusia, pada miliaran tahun yang lalu sudah terhampar secara luas di dalam bintang-bintang di dalam Galaksi Bima Sakti atau di dalam ruang antar bintang. Awan antar bintang yang ada di dalam Galaksi Bima Sakti mengandung molekul organis yang kompleks menjelaskan bagaimana molekul organis yang kompleks dan asam amino mencapai bumi: ”Bahan-bahan mentah yang daripadanya molekul hidup pertama ada di permukaan bumi, dibawa ke permukaan bumi dalam bentuk biji-bijian kecil yang merupakan material antar planet. Bahan-bahan ini terlindung di dalam inti komet yang membeku, yang berasal dari puing awan molekul yang amat besar yang daripadanya terbentuklah Sistem Tata Surya.” [9] Kehidupan di bumi dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan material organis yang berasal dari bintang, dan yang dibawa ke bumi melalui komet yang bertubrukan dengan planet yang sedang mengalami proses pembentukan.

1.3. Manusia Berkembang di Dalam Sejarah Evolusioner Bumi dan planet-planet lain terbentuk di sekitar matahari muda kurang lebih 4,5 miliar tahun yang lalu.

  Dalam kurun waktu sekitar satu miliar tahun, terbentuklah kehidupan di bumi dalam rupa sel-sel bakterial. Ini merupakan struktur ringkas tanpa sebuah nukleus/inti sel (prokariota). Munculnya kehidupan bakterial dan penggandaan diri DNA molekul merupakan suatu langkah penting di dalam sejarah kita. Rincian peristiwa ini tidak dapat dijelaskan oleh sains. Kemajuan selanjutnya terjadi ketika suatu organisme tunggal yang berinti mulai terbentuk (eukariota). Ahli Biologi bernama Ernst Mayr berargumentasi bahwa Eukariota (organisma dengan sel kompleks) terbentuk sekitar 2,7 miliar tahun yang lalu. [10] Berdasarkan perhitungan ahli biologi molekular, nenek moyang terakhir manusia dan simpanse modern hidup di antara kurun waktu tujuh sampai lima juta tahun yang lalu. Berbagai spesies manusia purba (hominid) berkembang antara empat sampai dua miliar tahun yang lalu. Beberapa spesies yang telah mengalami kemajuan dalam ukuran otak disebut sebagai homo, misalnya homo rudolphensis. Homo erectus yang memiliki ukuran otak yang besar dan tubuh yang atletis berkembang sekitar dua juta tahun yang lalu, mulai dari Afrika, lalu berpindah ke belahan bumi lainnya. Mereka dapat menggunakan api, alat-alat batu, dan dapat berlari seperti manusia modern. Tipe manusia purba lain adalah Neanderthalensis yang diperkirakan berkembang sekitar 250.000 hingga 30.000 tahun yang lalu. Bobotnya lebih ringan daripada Homo Erectus, tetapi memiliki kapasitas otak yang lebih besar. Sama seperti Homo erectus, mereka berkembang dari Afrika, lalu berpindah ke belahan bumi lainnya. Edwards mengungkapkan bahwa manusia modern memiliki sejarah yang sama dengan makluk hidup bumi lainnya. Sejarah manusia modern merupakan bagian dari kisah yang lebih besar mengenai alam semesta. Komunitas manusia terlahir dari dentuman besar, terbuat dari debu bintang, dan merupakan bagian dari sejarah kehidupan evolusioner di bumi. Kisah ini membentuk suatu dasar bagi sebuah teologi yang membahas tentang manusia. Edwards menambahkan bahwa dasar pokok lain bagi sebuah teologi Kristen mengenai manusia di tengah ciptaan lainnya adalah Tradisi Kristen itu sendiri.

2. Manusia Sebagai Citra Allah

  Menurut Edwards, salah satu warisan penting dari Tradisi Judeo-Kristen adalah gagasan mengenai manusia, laki-laki dan perempuan, sebagai ciptaan Allah yang diciptakan menurut “Citra Allah” (Imago Dei) sendiri (bdk. Kej. 1:27). Gagasan ini memberikan landasan bagi kekristenan mengenai nilai pokok manusia di hadapan Allah. Ia merupakan dasar bagi komitmen segenap jemaat Kristiani dalam perjuangannya untuk membangun kemitraan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, menimbang persoalan ekonomi dan sosial, dan memperjuangkan resolusi damai terhadap konflik-konflik internasional. Edwards berargumentasi bahwa sebuah teologi ekologis seharusnya menjadi teologi tentang keadilan antar manusia. Selain melihat adanya sisi positif dari gagasan mengenai manusia sebagai Imago Dei, Edwards juga melihat sisi negatif dari gagasan tersebut. Menurutnya: “Konsep mengenai manusia sebagai Citra Allah menjadi sangat berbahaya ketika ia digunakan untuk menempatkan manusia di atas ciptaan lainnya, terutama sekali ketika ia mengusulkan bahwa manusia memiliki hak yang mutlak dan tak terbatas atas spesies-spesies lain.” [11] mengarah kepada kehancuran. Sebuah teologi ekologis kritis yang menggunakan pandangan biblis mengenai manusia sebagai Imago Dei harus menempatkan manusia dalam relasinya dengan ciptaan lain, dan memahami bahwa ciptaan lain pun, dengan caranya yang unik, menampakkan dirinya sebagai Citra Allah. Edwards menggunakan beberapa kutipan Kitab Suci Perjanjian Baru (KSPB) untuk menegaskan identitas Yesus Kristus sebagai Citra Allah (Icon, Yun.). Paulus menyatakan bahwa Yesus adalah Citra Allah (bdk. 2 Kor. 4:4) dan melihat bahwa yang lain, oleh karena Rahmat, berpartisipasi di dalam Citra ini (bdk. Rom. 8:29; 1 Kor. 15:49; 2 Kor. 3:18). Surat Paulus kepada jemaat di Kolose mengidungkan Yesus Kristus sebagai “gambar Allah yang tak kelihatan” (bdk. Kol. 1:15). Yesus, Gambar Allah yang sesungguhnya, merupakan yang sulung dari segala ciptaan. Konsep Imago Dei melampaui manusia. Ia terarah pada Yesus yang bangkit, sebagai Gambar Allah yang sesungguhnya, yang di dalam Dia segenap ciptaan menemukan penyelamatan dan hidup baru. Yesus Kristus bukanlah Gambar Allah bagi manusia saja tetapi juga bagi semua ciptaan. Di dalam Dia, dimulailah rekonsiliasi segala sesuatu. Selain mengungkapkan universalitas peran Kristus sebagai Gambar Allah, komunitas Kristen selalu menggunakan bahasa gambar (image language) [12] untuk mengungkapkan keunikan manusia di hadapan Allah. Berkaitan dengan hal ini, Edwards mengutip pandangan beberapa teolog Gereja perdana, misalnya Ireneaus, yang membedakan konsep tentang “gambar” (image) dan “kemiripan” (likeness). Bagi para teolog ini, “gambar” menunjukkan kemanusiaan (humanity) yang dibentuk oleh Allah, sedangkan “kemiripan” menunjuk sesuatu yang bakal terjadi manakala manusia dipersatukan dengan Kristus melalui rahmat. Teolog lain, misalnya Athanasius, berbicara mengenai Yesus sebagai satu- satunya “gambar”, sedangkan yang lain, atas dasar rahmat, tergantung pada Yesus Kristus. Berkaitan dengan konsep tentang manusia sebagai Citra Allah, Edwards bertanya: “Apakah manusia sehingga ia disebut sebagai Gambar Allah?” [13] Ia melihat adanya kecenderungan di antara kelompok Kristen yang menempatkan gagasan Citra Allah pada kekhasan manusiawi yang tidak dimiliki makhluk lain. Dengan kata lain, oleh karena manusia memiliki akal budi dan kehendak bebas maka ia layak disebut sebagai Citra Allah. Dengan demikian, ia lebih berkualitas daripada makhluk hidup lain. Edwards sendiri mengakui bahwa dirinya terpengaruh oleh konsep Karl Rahner mengenai manusia sebagai ciptaan Allah yang mampu sampai pada kesadaran diri (self consciousness), yang memungkinkan dia memberikan tanggapan terhadap Penciptanya di dalam kebebasan dan cinta. Kemampuan ini secara nyata merupakan kekhasan manusia dan salah satu hal yang membedakan manusia dari ciptaan Allah lainnya. Kendatipun demikian, Edwards melihat bahwa pandangan yang semata-mata terfokus kepada kesadaran diri pun mengadung bahaya. Menurutnya, jika kesadaran diri dijadikan sebagai patokan untuk mendefinisikan manusia di hadapan Allah, maka mereka yang mengalami gangguan psikologis sama sekali tidak memiliki unsur kemanusiaan. Jika demikian, apa yang membuat manusia unik di hadapan Allah? Untuk menjawab pertanyaan di atas, Edwards mengatakan bahwa keunikan manusia tidak ditentukan oleh kemampuan tertentu yang dimilikinya. Setiap manusia diciptakan sebagai pribadi yang unik dan diharapkan mampu menjalin relasi yang baik dengan pribadi lain (interpersonal). Allah tentunya merangkul mereka yang kemampuannya terbatas oleh karena sakit atau cacat. Edwards mengutip pandangan seorang ahli biologi, Claus Watermann [14], yang menafsirkan konsep “Imago Dei” di dalam Perjanjian Lama sebagai konsep yang menjelaskan manusia sebagai ciptaan yang dengannya Allah dapat berelasi secara pribadi (bdk. Kej. 1:28, 29-30). Menurut Edwards, relasi antar pribadi antara Allah dan manusia berkaitan dengan ciptaan lainnya. Teologi penciptaan Kristen memahami bahwa Allah, manakala berhubungan dengan ciptaan-Nya, memperhatikan keunikan, integritas, dan otonomi segenap ciptaan-Nya. Sebagai Citra Allah, manusia dituntut untuk mencintai ciptaan lain di dalam segala keunikan, integritas, dan otonominya. Masuk ke dalam relasi dengan Allah yang hidup berarti masuk ke dalam dunia penuh rahmat yang di dalamnya Allah hadir kepada segenap ciptaan dengan penuh cinta. Semua orang memiliki kemungkinan untuk

rahmat, tetapi juga sekaligus sejarah dosa, yaitu ketika manusia, dengan kebebasan yang dimilikinya, menolak Allah. Dengan kebebasan yang dimilikinya, manusia dapat mendominasi dan mengeksploitasi ciptaan lainnya. Segala “penindasan” manusia atas alam semesta membutuhkan penyembuhan, pembebasan, dan pengampunan, yang di dalam komunitas Kristen, ditemukan di dalam Yesus Kristus. Di dalam ulasannya mengenai manusia sebagai Citra Allah, Edwards memberikan tekanan khusus pada hubungan antara manusia dan ciptaan Allah lainnya. Bagi Edwards, kitab Kejadian memberikan informasi penting tentang apa yang mesti dilakukan manusia terhadap ciptaan Allah lainnya. Di dalam Kej. 1:31dikatakan bahwa pada hari keenam setelah Allah menciptakan manusia, Allah melihat bahwa apa yang sudah diciptakan-Nya itu baik adanya. Lebih lanjut di dalam Kej. 2:15, Allah memberikan tugas kepada manusia yang baru saja diciptakan-Nya untuk mengusahakan dan memelihara apa yang sudah diberikan-Nya. Teks-teks Kitab Suci ini menunjukkan sebuah visi tentang realitas yang teosentris, bukan antroposentris. Secara pribadi, Edwards melihat adanya kecenderungan di antara orang Kristen tertentu yang merasa dirinya diberi hak penuh oleh Allah untuk “memanfaatkan” alam sesukanya. Orang-orang ini menggunakan Kitab Suci untuk melegitimasi tindakan pendominasian dan pengerukan alam (bdk. Kej 1:28). Oleh karena adanya ayat-ayat Kitab Suci yang agaknya pro-eksploitasi ini, pada tahun 1967, Lynn White menuduh kekristenan sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap kerusakan ekologis. Bagi White, etika Kristen yang terlalu menekankan superioritas manusia atas alam memiliki dampak destruktif terhadap ekologi. [15] Edwards secara pribadi tidak menafikan adanya sikap orang Kristen yang tidak respek terhadap alam, dan ketidakkritisan mereka terhadap pengerusakan alam. Namun, ia menegaskan bahwa kerusakan alam tidak semata-mata merupakan ulah orang Kristen. Penyebab kerusakan lingkungan lain yang disebutkan Edwards antara lain: adanya pandangan Pencerahan (aufklärung) yang melihat alam semata-mata sebagai “alat” pemenuhan kebutuhan manusia, bangkitnya kapitalisme, revolusi industri, dan ketamakan manusia yang tak terkontrol. Edwards sangat menentang konsep mengenai dominasi atas alam. Baginya, panggilan manusia sebagai Citra Allah adalah menjaga dan merawat ciptaan Allah lainnya (bdk.Kej. 2:15).

BAB III MAKNA TEOLOGIS ROH PENCIPTA DAN PERISTIWA-KRISTUS BAGI KEPEDULIAN EKOLOGIS Bab ketiga dari tulisan ini memaparkan pandangan Denis Edwards mengenai makna teologis Roh Pencipta dan Peristiwa-Kristus (Christ-Event) serta relevansi kedua gagasan tersebut dengan persoalan

  ekologis yang kita hadapi saat ini. Edwards merasa perlu memberikan penekanan khusus terhadap kedua gagasan teologis tersebut sebab kekayaan makna teologis kedua gagasan tersebut, khususnya keterkaitannya dengan persoalan ekologis, belum mendapatkan perhatian yang cukup. Berikut ini penulis akan menjabarkan gagasan-gagasan teologis Edwards di atas dalam suatu susunan yang sistematis.

1. Makna Teologis Roh Pencipta

  Dalam buku EHF, Edwards memaparkan pandangan teologisnya mengenai Roh Pencipta dalam empat bagian besar. Berikut ini adalah pemaparan penulis mengenai keempat bagian dimaksud.

  1. 1. Roh Kudus Sebagai Nafas Allah

  Menurut Edwards, di samping gambaran biblis mengenai Roh Kudus sebagai “Roh Allah”, terdapat juga gambaran mengenai “Nafas Allah.” [16] Untuk memperjelas konsep mengenai Nafas Allah, Edwards mengutip beberapa dasar biblis yang diambil baik dari Kitab Suci Perjanjian Lama (KSPL) maupun dari Kitab Suci Perjanjian Baru (KSPB). Di dalam KSPL terdapat beberapa dasar biblis yang berhubungan dengan Nafas Allah. Kejadian 2:7 mengatakan bahwa setelah Allah menciptakan manusia dari debu tanah, Ia menghembusinya dengan “nafas kehidupan” yang menjadikan manusia tersebut sebagai “makhluk yang hidup.” Dalam kisah mengenai air bah, dikatakan bahwa “dari segala yang hidup dan bernyawa datanglah sepasang mendapatkan Nuh ke dalam bahtera itu” (bdk. Kej. 7:15). Selain itu di dalam Kitab Ayub, Elihu Berkata: “Roh Allah telah membuat aku, dan nafas Yang Mahakuasa membuat aku hidup” (bdk. Ayub 33:4). Nafas Allah, sebagaimana yang digambarkan di dalam Kitab Yehezkiel, berdaya menghidupkan: “Bernubuatlah kepada nafas hidup itu, bernubuatlah, hai anak manusia, dan katakanlah kepada nafas hidup itu: Beginilah firman Tuhan ALLAH: Hai nafas hidup, datanglah dari keempat penjuru angin, dan berembuslah ke dalam orang-orang yang terbunuh ini, supaya mereka hidup kembali” (bdk. Yeh. 37:9). Di dalam Kitab Mazmur ada sebuah kidung yang mengungkapkan: “Apabila Engkau menyembunyikan wajah-Mu, mereka terkejut; apabila Engkau mengambil roh mereka, mereka mati binasa dan kembali menjadi debu. Apabila Engkau mengirim Roh-Mu, mereka tercipta, dan Engkau membaharui muka bumi” (bdk. Mzm 104: 29-30). Berdasarkan tradisi biblis, khususnya KSPL, gambaran mengenai “nafas” berkaitan erat dengan “sabda”. Kisah penciptaan dipahami sebagai Sabda Allah yang berdaya cipta dan Nafas-Nya yang mampu memberikan kehidupan. Mazmur 33 menyatakan: “Oleh firman TUHAN langit telah dijadikan, oleh nafas dari mulut-Nya segala tentaranya” (ayt. 6). Paralelisme teks di atas dapat ditemukan dalam Yudit 16:14: “Kepada-Mu mengabdilah segala ciptaan, sebab Engkau berfirman, maka semuanya terjadi; Kau kirimkan Roh-Mu yang lalu membangun dan tiada sesuatu pun yang melawan suara-Mu.” Di dalam KSPB ditemukan ayat yang memuat gambaran mengenai Nafas Allah. Bagi komunitas Kristen Perdana, Roh Kudus yang sama, yaitu Nafas Kehidupan, menaungi Maria ketika ia mengandung Yesus (bdk. Mat. 1:18), mengurapi Yesus pada saat pembaptisan-Nya (bdk. Mark. 1:10), dan dicurahkan kepada para murid pada hari pentekosta (bdk. Kis. 2:4). Di dalam Injil Yohanes dikatakan bahwa “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran” (bdk.Yoh. 14:16). Antara KSPL dan KSPB, terdapat pergeseran pandangan mengenai Roh Kudus. Di dalam KSPL, terdapat banyak kisah dan kutipan Kitab Suci yang menampilkan Roh Allah sebagai “pemberi kehidupan.” Tulisan-tulisan jemaat Kristen awal memuat pengertian yang baru mengenai Roh Allah, yaitu sebagai “pembawa kebangkitan hidup”: ”Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam di dalam kamu” (bdk. Rom. 8:11). Rasul Paulus menyebut Yesus sebagai Adam baru yang “menjadi Roh pemberi hidup” (bdk. 1 Kor. 15:45). Baik di dalam penciptaan pertama maupun penciptaan baru di dalam Kristus, Roh Allah adalah pemberi hidup. Teolog Timur terkemuka seperti Ireneaus, Athanasius, dan Basilius melihat bahwa Sabda Allah dan Roh Allah “bersama-sama” berkarya di dalam penciptaan dan penebusan. Sedangkan teolog Barat, seperti Ambrosius dari Milan mengembangkan teologi “Roh Pencipta” untuk memberikan gambaran bahwa Roh Kudus pun menjadikan segala sesuatu harmonis dan indah.

1.2. Kisah Besar Mengenai Roh Kudus

  Denis Edwards melihat adanya ketimpangan dalam pemahaman mengenai Roh Kudus. Menurutnya: “Banyak orang Kristen berpikir bahwa Roh Kudus hanya datang pada saat pentekosta saja, sehingga perhatian terhadap karya Roh Kudus di dalam penciptaan, rahmat, dan inkarnasi menjadi sangat sedikit.

  Perhatian yang berlebihan terhadap pentekosta membuat kisah Roh Kudus di dalam peristiwa lainnya terlupakan.” [17] Edwards menyadari kekurangan tersebut di atas dan berusaha mengisahkan kembali Roh Kudus dalam kisah yang lebih besar dan lengkap. Dia menyebutkan empat episode penting keterlibatan Roh Kudus di dalam dunia, antara lain: penciptaan, rahmat, peristiwa-Kristus, dan pentekosta. Berikut ini penulis memaparkan garis besar pemikiran Edwards mengenai keempat episode kisah keterlibatan Roh Kudus di dunia. Pertama, berkaitan dengan “penciptaan”, Edwards mengungkapkan bahwa peran Roh Kudus menjangkau kisah terbentuknya alam semesta pada sekitar 15 miliar tahun yang lalu. Dengan kata lain, karya Roh Kudus sudah berlangsung jauh sebelum pentekosta, jauh sebelum Musa membebaskan Israel dari perbudakan Mesir, jauh sebelum Abraham dan Sarai meninggalkan Ur-Kasdim ke tempat yang ditunjukkan Allah kepada mereka, dan jauh sebelum manusia purba muncul pertama kali di Afrika. Edwards sangat tertarik dengan pertanyaan yang diberikan Stephen Hawkings di dalam bukunya Brief History of Time, yang mempertanyakan penyebab munculnya alam semesta dan yang memberikan bentuk terhadapnya. [18] Terhadap pertanyaan tersebut, Edwards menyatakan bahwa Roh Pencipta, Sang Nafas Kehidupanlah yang menyebabkan munculnya alam semesta dan memberi bentuk terhadapnya. Dalam pandangan teologis ini, Roh Kudus yang sama memiliki andil dalam peristiwa munculnya bintang awal yang menyinari alam semesta sekitar 13 miliar tahun yang lalu, dan pembentukan sistem Tata Surya kita pada sekitar 4, 5 miliar tahun yang lalu. Ia memberikan kekuatan bagi terbentuknya alam semesta sebelum adanya kehidupan di muka bumi. Lebih daripada itu, Roh Kudus pun berperan “menghembuskan kehidupan” bagi bakteri, eukariota, organisme multisel, binatang, tumbuhan, manusia purba, dan manusia modern. Kedua, menurut Edwards, Roh Pencipta yang menghembuskan kehidupan kepada segenap ciptaan juga merupakan “pembawa rahmat” (bringer of grace). Edwards memahami rahmat dalam pengertian bahwa Allah secara cuma-cuma “menawarkan diri-Nya” dalam cinta kepada manusia. Dengan demikian maka Allah adalah rahmat. Menerima tawaran ini berarti dirangkul di dalam cinta ilahi. Dirangkul dalam Allah berarti dimerdekakan, diubah, dan menjadi partisipan dalam kehidupan Allah yang sesungguhnya. Dalam Tradisi Kristen, rahmat Allah diberikan secara cuma-cuma kepada manusia melalui hidup, wafat, dan kebangkitan Kristus. Kendati demikian, Edwards mempertanyakan makna Rahmat Allah bagi orang-orang non-Kristen. Tetapi ia akhirnya mengikuti pandangan Gereja, misalnya ajaran Konsili Vatikan II yang menegaskan bahwa rahmat Allah yang menyelamatkan tidak hanya ditentukan bagi

  Edwards juga menegaskan bahwa keberadaan manusia selalu merupakan sejarah rahmat—sekurang- kurangnya dalam pengertian bahwa rahmat itu selalu ditawarkan. Sekalipun Roh Kudus, dalam cinta, ada di dalam diri manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa kebebasan manusia memungkinkan dirinya menolak rahmat. Sekalipun dilahirkan di dalam dunia yang penuh rahmat, manusia juga didorong kepada kekurangcintaan (lovelessness), kekejaman (ruthlessness), dan kekerasan (violence). Dalam dunia semacam ini, Roh Kudus hadir dan menawarkan pembebasan dan penyelamatan yang menjadi nyata dalam peristiwa-Kristus (Christ-event). Ketiga, Edwards menegaskan adanya intimitas mendalam antara Yesus Kristus dan Roh Kudus. Menurutnya: “Di dalam Peristiwa Yesus, Roh Kudus yang sama menyebabkan inkarnasi, menguduskan dan mengubah kemanusiaan Yesus, sehingga Ia dapat disebut sebagai Sabda Allah; wajah manusiawi Allah di tengah ciptaan-Nya.[19] Di dalam Kitab Suci, khususnya KSPB terdapat banyak kisah yang mengungkapkan intimitas Yesus dan Roh Kudus. Injil Markus memulai kisahnya dengan peristiwa pembabtisan Yesus. Dalam peristiwa itu, Roh Kudus mengurapi Yesus, lalu terdengarlah suara dari surga “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan ” (bdk. Mark. 1: 11). Di dalam Injil Matius, ada dua ayat yang menyebutkan bahwa Maria ibu Yesus: “mengandung dari Roh Kudus” (bdk. Mat. 1:18, 20). Di dalam Injil Lukas, malaikat berkata kepada Maria: ”Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah” (bdk. Luk. 1:35). Selain itu, ungkapan iman Gereja Perdana menempatkan peran Roh Kudus dalam peristiwa inkarnasi. Di dalam Syahadat Para Rasul terdapat kalimat yang berbunyi: “Dia dikandung dari Roh Kudus dan dilahirkan oleh Perawan Maria.” Syahadat Nikea-Konstantinopel menyatakan: ”Ia menjadi daging dengan kuasa Roh Kudus.” Edwards menyadari bahwa sekalipun peran Roh Kudus di dalam peristiwa-Kristus begitu jelas, teologi Kristen belum memberikan perhatian yang cukup terhadapnya. Usaha untuk menghidupkan kembali teologi yang memberikan perhatian khusus pada peran Roh Kudus di dalam diri Yesus baru muncul lagi belakangan ini, setelah Ambrosius yang pada abad IV mengajarkan bahwa Roh Kudus adalah “The Author of the Lord’s incarnation”. Walter Casper [20], misalnya, melihat Roh Kudus sebagai sosok yang menguduskan kemanusiaan Yesus dan membuat-Nya layak disebut sebagai pribadi yang melalui- Nya Allah mengkomunikasikan diri-Nya dalam cinta. Peran Roh Kudus yang begitu besar di dalam diri Yesus antara lain diungkapkan juga oleh Yves Congar. Menurut Congar [21], kisah yang benar mengenai Roh Kudus dapat ditemukan di dalam kehidupan Yesus. Roh Kudus senantiasa menyertai Yesus dalam peristiwa salib. Roh Kudus ini mengubah derita salib menjadi kasih yang penuh penebusan. Kristus yang telah bangkit ini kemudian menganugerahkan Roh Kudus kepada Gereja pada peristiwa Pentekosta. Keempat, dalam pembahasannya mengenai pentekosta, Edwards mengikuti gagasan Yves Congar yang melihat bahwa Kristus dan Roh Kudus sebagai pembentuk Gereja. [22] Roh Kudus yang dicurahkan kepada para murid Yesus, mempersatukan umat-Nya itu sebagai jemaat Yesus Kristus. Sebagaimana Yesus yang senantiasa dibimbing oleh Roh Kudus, demikian pula Gereja harus senantiasa dibimbing oleh Roh Kudus. Melalui Roh Kudus, Gereja dapat membuka diri terhadap hal-hal baru yang ada di luar dirinya. Yves Congar mengungkapkan bahwa Allah memberikan “kharisma” kepada setiap anggota Gereja. Kepenuhan Roh Kudus diterima Gereja hanya jika ia berada di dalam totalitas kharisma yang diberikan oleh semua anggotanya. [23] Dengan memaksimalkan peran anggota Gereja di dalam kehidupan menggereja, karya Roh Kudus menjadi semakin besar dan semakin nyata.

  1.3. Roh Kudus di Dalam Dunia Evolusioner Yang Terus Berkembang

  Edwards sangat bersimpati terhadap pentingnya peran Roh Kudus dalam sejarah alam semesta yang terus berkembang ini. Jika sains dapat memberikan penjelasan mengenai munculnya alam semesta pada tataran empiris, maka teologi pun memiliki perannya sendiri. Menurut Edwards peran teologi dalam hal ini yaitu bertanya tentang Allah dan peran-Nya dalam penciptaan dunia yang evolusioner dan terus berkembang. Untuk menjawab pertanyaan mengenai bagaimana alam semesta ini diciptakan, Edwards sangat terinspirasi oleh pandangan Karl Rahner mengenai transendensi diri ciptaan. [24] Menurut Rahner, Allah telah memberikan kemampuan kepada setiap ciptaan-Nya untuk “melampaui dirinya” dan senantiasa menjadi ciptaan yang baru. Di dalam transendensi diri ciptaan inilah, karya penciptaan Allah menjadi kelihatan. Berkaitan dengan transendensi diri, Edwards menyatakan pandangannya mengenai Roh Pencipta. Baginya, Roh Pencipta merupakan kehadiran Allah di tengah-tengah ciptaan-Nya yang memperkuat proses transendensi-diri ciptaan dan menyebabkan munculnya alam semesta yang memuat kehidupan. [25] Roh Kudus merupakan kehadiran Allah secara dinamis kepada ciptaan-Nya, yang memungkinkan segenap ciptaan-Nya untuk ada, dan berkembang di dalam relasinya dengan persekutuan ilahi, dan mengarahkan ciptaan-Nya ini kepada masa depannya di dalam Allah. Roh Kudus memungkinkan segenap ciptaan untuk mentransendensi dirinya menjadi sesuatu atau seseorang yang benar-benar baru.

  1.4. Roh Kudus di Tengah Ciptaan Yang Menderita

  Sejarah alam semesta tidak semata-mata dipenuhi dengan kebaikan dan keindahan, tetapi juga kerusakan dan ketidakharmonisan. Menurut Edwards, kerusakan dan ketidakharmonisan ini juga merupakan akibat dari evolusi yang berlangsung di alam semesta. Bagi orang-orang yang percaya akan adanya sosok Pencipta (Creator), kesimpulannya jelas, yaitu bahwa Allah telah memilih untuk menciptakan alam semesta yang terus berkembang dan senantiasa baru dengan segala resiko baik dan buruk yang dihasilkannya. Kendatipun demikian, muncul sebuah pertanyaan: “Jika Allah itu baik dan mahakuasa, mengapa Allah menciptakan dengan cara demikian?” Harusnya, jika Allah adalah mahakuasa maka Ia tidak akan membiarkan penderitaan melingkupi bumi. Edwards mengakui bahwa teologi tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan ini. Teologi hanya berusaha untuk mengartikulasikan apa yang dapat dikatakannya tentang Allah. Kendatipun teologi pada umumnya tidak memberikan jawaban yang memuaskan, teologi Kristen mengimani bahwa Allah yang melampaui pemahaman manusia telah hadir ke dunia dalam diri Yesus. Melihat hidup dan karya Yesus berarti melihat Allah yang penuh cinta dan melalui salib, masuk dan mengalami dunia yang menderita dan memberikan jaminan akan adanya hidup kekal. Edwards memiliki argumentasi sendiri mengenai peran yang dimainkan Roh Kudus di dalam dunia yang menderita. Berkaitan dengan hal ini, Edwards memberikan penegasan pada beberapa hal. Edwards menyatakan bahwa kekuatan ilahi merupakan “kekuatan-dalam-cinta.” [26] Jika Roh Kudus diyakini sebagai kekuatan Allah, maka kekuatan Allah ini harus dijelaskan secara tepat, sebab bagi bagi banyak orang, gambaran Allah sebagai “Yang Mahakuasa” serta merta menampilkan sosok seorang tiran yang memerintah secara sewenang-wenang. Lantas, Edwards menjadikan peristiwa-Kristus sebagai rujukan untuk mengenal kekuasaan Allah. Kekuatan Allah yang ditampilkan Yesus justru merupakan sebuah kekuatan yang menentang praktek tirani. Satu-satunya kekuatan yang diperbolehkan Yesus dalam komunitas-Nya, yaitu saling melayani dan saling mencintai, yang nyata dalam peristiwa salib dan kebangkitan (bdk. Mrk. 10:42-44; Mat. 20:24-28; Luk. 22:24-27; Yoh. 13:1-15). Cinta yang ditampilkan Yesus dalam peristiwa salib secara manusiawi tampak sebagai sebuah kebodohan dan kesia-siaan. Tetapi peristiwa salib bukanlah akhir bagi Allah. Justru dari peristiwa ini, lahirlah kehidupan melalui peristiwa kebangkitan. Salib dan kebangkitan mengungkapkan hakekat kekuatan ilahi. Kedua peristiwa ini memperlihatkan kekuatan yang luar biasa dari cinta Allah, yaitu cinta yang memberikan diri (self- menegaskan bahwa kekuatan ilahi sebagai kekuatan dalam cinta ini bersifat relasional. Artinya, kekuatan ilahi memungkinkan pihak yang dikuasai berkembang dalam segala integritasnya. Kekuatan ilahi tidak mendominasi, melainkan memberikan ruang bagi “yang lain”-nya. Bagi Edwards, peran Roh Kudus dalam penciptaan alam semesta tidak dapat disingkirkan. Ia menegaskan bahwa segala sesuatu yang berwujud dan yang ada di dunia ini ada, hanya karena ia dirangkul oleh Roh Pencipta, dan rangkulan ini adalah sebuah tindakan cinta. [27] Roh Kudus merupakan kekuatan Allah yang memungkinkan munculnya kehidupan. Oleh karena Allah mencintai ciptaan-Nya, Roh-Nya yang kudus senantiasa tinggal di dalam ciptaan-Nya, menempatkannya di dalam komunitas ciptaan, dan menghantarnya kepada masa depan yang cerah di dalam Allah. Masa depan inilah yang oleh Paulus disebut sebagai “pemuliaan anak-anak Allah” (bdk. Rom. 8:19-23). Edwards juga mengikuti pandangan Ruth Page yang mengatakan: ”Jika Allah mengetahui dan peduli dengan pengalaman ciptaan, maka Allah juga mengetahui dan peduli dengan habitat masing-masing ciptaan.” [28] Dengan demikian, tindakan manusia yang menghancurkan habitatnya sendiri akan menjadi “dukacita bagi Roh Kudus” (bdk. Ef. 4:30).

2. Makna Teologis Peristiwa-Kristus (Christ-Event)

  Edwards menekankan betapa pentingnya menghubungkan peristiwa-Kristus dengan persoalan ekologis yang sedang dihadapi komunitas global. Bahkan, menghubungkan komitmen ekologis dengan Yesus dari Nazaret merupakan salah satu inti dari teologi ekologis Kristen. [29] Menurutnya, hubungan antara peristiwa-Kristus dengan tindakan ekologis tidak semata-mata merupakan alasan etis, melainkan merupakan hakekat kekristenan. Kitab Suci memberikan gambaran bahwa pribadi, perkataan, dan tindakan Yesus adalah perwujudan cinta kasih Allah. Cinta kasih ini tidak berbatas, bahkan menjangkau apa yang kita tidak sukai dan apa yang kita musuhi. Cinta Kasih Allah dalam diri Yesus mencapai puncaknya di dalam kematian-Nya yang mencekam dan kebangkitan-Nya yang mulia. Dalam perjumpaannya dengan Yesus yang sudah bangkit, para murid menemukan bahwa cinta kasih Allah yang tampak dalam diri Yesus tidak “terkunci” dalam kubur, tetapi “keluar” sebagai kekuatan pembebasan dan harapan yang dasyat. Cinta kasih ini tidak hanya terbatas pada manusia saja, melainkan menjangkau semua ciptaan “sebab semua makhluk menantikan dengan rindu penebusannya di dalam Kristus” (Bdk. Rom. 8:19-24).

  2. 1. Ciptaan di Dalam Hidup dan Karya Yesus

  Dalam ingatan Gereja Perdana, sebelum kisah mengenai Yesus dibukukan, selain bahwa Yesus dikenal sebagai “Mesias, Putera Allah,” Ia juga dikenal sebagai “Nabi Agung” dan “Guru Kebijaksanaan.” Sebagai pengajar kebijaksanaan, Ia menggambarkan Allah dan kemahakuasaan-Nya dengan menggunakan perumpamaan berupa gambar dan cerita yang biasa digunakan masyarakat di sekitarnya untuk menggambarkan kemahakuasaan Allah. Perumpamaan menampakkan sebuah pengamatan yang dekat mengenai dunia sebagai tempat Allah. Sebagaimana dikatakan C. H. Dodd, demikian pula Edwards: ”Perumpamaan –perumpamaan mengungkapkan bahwa bagi Yesus ada kelekatan dari dalam antara keteraturan alam dengan keteraturan spiritual.” [30] Perumpamaan Yesus mengenai Kerajaan Allah merupakan “produk” yang dihasilkan oleh seseorang yang memandang ciptaan sebagai pemberian Allah dan tempat kehadiran Allah. Tindakan Yesus berdoa dalam keheningan di tempat-tempat sunyi, misalnya padang gurun, bukit Galilea, dan taman Getsemani menggambarkan kedekatan Yesus dengan alam. Di tempat-tempat seperti inilah Yesus berkomunikasi dengan Bapa-Nya. Markus menggambarkan bahwa Yesus bangun pagi- pagi, pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa (bdk.Mark 1:35). Lukas, di dalam referensinya mengenai kehidupan doa Yesus, mengisahkan bahwa Yesus pergi ke sebuah bukit, dan semalam-malaman Ia memberikan makanan dan pakaian kepada burung udara dan bunga bakung di ladang (Bdk. Mat 6:28; Luk 12:27). Kasih Yesus kepada semua ciptaan sangat besar, sampai-sampai “rambut di kepalamu pun terhitung semuanya” (bdk. Mat. 10:30).

  2. 2. Yesus Kristus Sebagai Kebijaksanaan Allah

  Peristiwa kebangkitan Yesus bagi jemaat Kristen awal merupakan suatu kekuatan istimewa, sebab dengan peristiwa iman ini mereka diyakinkan bahwa peristiwa salib bukanlah akhir dari segala sesuatu. Mereka merefleksikan bahwa sosok yang sangat istimewa itu adalah sungguh-sungguh Allah. Bagi jemaat Kristen awal, peristiwa-Kristus memiliki makna universal, maka Ia layak untuk diperkenalkan kepada masyarakat luas. Mereka mewartakan bahwa Yesus Kristus adalah “Allah Beserta Kita” (Mat. 1:23). Bagi Rasul Paulus, Yesus memiliki peran kosmis: “namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang daripada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup” (bdk.

  1 Kor 8:6). Jelaslah bagi Paulus bahwa “segala sesuatu” yang ada di alam semesta ini mendapatkan esksistensinya melalui Yesus. Jika dikatakan bahwa Yesus memiliki peran kosmis, muncul pertanyaan: ”darimanakah peran kosmis yang dimiliki Yesus ini muncul?” Untuk menjawab pertanyaan di atas, Edwards mengatakan bahwa salah satu faktor yang turut melahirkan anggapan bahwa Yesus memiliki peran kosmis, lahir dari sebuah teologi mengenai “Kebijaksanaan Allah.” Dalam surat-surat Kebijaksanaan yang ditemukan di dalam Kitab Suci, komunikasi Allah dipersonifikasikan sebagai “Perempuan Kebijaksanaan.” [31] Menurut Edwards ada dua karakteristik pokok dari istilah perempuan kebijaksanaan. Pertama, “dia terlibat secara intim dengan segenap ciptaan.” Pernyataan ini memberi arti bahwa perempuan kebijaksanaan itu adalah co-creator Allah; ada bersama Allah dalam peristiwa penciptaan pertama (bdk. Amsal 8:22-31; Sir. 24:3-7). Kebijaksanaan ini adalah “pohon kehidupan” (bdk. Amsal 3:18), dengannya “Allah telah meletakkan dasar bumi, dengan pengertian ditetapkan-Nya langit, dengan pengetahuan-Nya air samudera raya berpencaran dan awan menitikkan embun” (bdk. Amsal 3:19-20). Kedua, “dia datang untuk tinggal di tengah-tengah kita.” Pernyataan tersebut menampakkan bahwa perempuan kebijaksanaan itu seumpama orang yang tinggal di tengah kita, mengadakan perjamuan dengan kita, dan mengundang orang miskin dan yang membutuhkan untuk makan dan minum, menikmati apa yang sudah dipersiapkannya (bdk. Amsal 9:1-6; Sir. 24:8-22). Kebijaksanaan ini adalah sosok yang di dalamnya kita semua diciptakan. Sekarang ini ia ada dan tinggal di antara kita. Berbeda dengan orang Yahudi yang menganggap Torah sebagai Kebijaksanaan Allah, jemaat Kristen Awal menjadikan Yesus Kristus sebagai Kebijaksanaan Allah. Sebagai Kebijaksanaan Allah, Yesus adalah Sang Sabda yang menjadi daging (bdk. Yoh. 1:1-18) yang membawa penyembuhan dan pembebasan: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (bdk. Mat. 11:28). Ia ditampilkan sebagai orang yang mengundang kaum miskin dan yang membutuhkan untuk datang ke meja perjamuan yang telah disiapkan-Nya dan memberikan diri-Nya sebagai “Roti Kehidupan” (bdk. Yoh. 6). Di dalam beberapa teks KSPB, ditampilkanlah peran kosmis yang dimiliki Yesus Sang Kebijaksanaan Allah. Di dalam sebuah pujian singkat di dalam surat kepada jemaat Ibrani, Yesus ditampilkan sebagai sosok yang melalui-Nya Allah menciptakan segala sesuatu (bdk. Ibr. 1:2). Lebih lanjut dikatakan bahwa Kristus itulah: “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang ‘segala sesuatu’ dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan” (Ibr. 1:3). Penggambaran Yesus sebagai “Gambar Wujud Allah” sejajar dengan pernyataan Kitab Kebijaksanaan yang mengungkapkan Sophia sebagai “Gambar Allah” (bdk. Keb. Sal. 7:26). Pada bagian awal Injil Yohanes, Yesus lebih ditampilkan sebagai Sabda Allah daripada sebagai Kebijaksanaan Allah: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan